Tuesday, August 13, 2013

BAB 2 - JIMBARAN SURAM

“Bisakah anda tunjukkan jalan ke arah Jimbaran?”

Pada seorang pemuda bule di atas Tiger yang juga sedang menunggu lampu merah berganti hijau, Ahmed mengajukan sebuah tanya dengan santun.

“Ke arah sana!” Sambil menunjuk jalan lurus di depan kami, ia memberitahu dengan ramah dan senang hati.

“Terima kasih banyak,” jawab Ahmed gembira yang juga dijawab dengan senyum gembira. Senyum pemuda asing itu tak hanya ditujukan pada Ahmed, tapi juga padaku. Kubalas senyum menawannya dengan senyum tipis lagi sesaat. Karena sesaat kemudian aku terdorong menuruti desakan hati untuk mendongak, menatap patung besar lagi tinggi yang sangat menawan kekagumanku.

“Ini Patung Dewa Ruci!” seruku begitu saja, tak sanggup menyembunyikan takjub pada maha karya seni nan indah itu. Mataku enggan beranjak dari Patung Kesatria Bima yang sedang berjuang keras melawan ular raksasa yang melilit tubuhnya.

”Ooh ... Siapa Dewa Ruci?” Ahmed menanggapi dengan santai, membuatku mengalihkan pandangan ke spion mencari tahu, seperti apa warna wajah kekasihku saat rileks.

”Nanti kuceritakan,” jawabku sambil tersenyum melihat wajah tenang dan teduhnya.

”Patung yang hebat,” guman Ahmed terdengar tulus.

”Bukan patungnya yang hebat. Tapi
pembuatnya.”

”Ups. Benar juga. Sekarang kamu pintar.” Puji Ahmed berselubung ejekan sayang. Aku hanya tersenyum senang meski lagi-lagi diejek.

”Lalu kapan saya akan mendengar cerita tentang Dewa Ruci?”

”Nanti di Jimbaran.”

”Oke,” jawab Ahmed bersamaan dengan padamnya lampu merah berganti hijau. Ahmed melajukan motor setelah sebelumnya sekali lagi tersenyum pada pemuda bule tampan yang tampak semakin keren di atas motor laki-laki.

“Di mana kita bisa beli bensin?”

”Entahlah. Jalan terus saja. Aku akan melihat tanda di mana ada pompa bensin.”

”Baik, Tuan Putriku,” jawab Ahmed menggugah rasa kaget. Ini kali pertama aku dipanggil demikian olehnya.

”Di sana!”

Dengan telunjuk tangan kirinya, Ahmed menunjuk sebuah warung yang menjual bensin secara eceran. Beberapa saat kemudian.

”Kita akan beli bensin di sana??” tanyaku sebagai pengganti kata tak setuju.

”Ya. Saya rasa begitu,” jawab Ahmed enteng.

”Kita cari pompa bensin saja, Ahmed,” ajakku serupa menyuruh. Tapi Ahmed tak menurut. Ia hentikan motor sewa di depan warung dan minta dipenuhi tangkinya. Aku mencuri pandang dengan wajah tersungut, kecewa pada ketidakpatuhannya pada seseorang yang baru saja ia panggil tuan puteri. Bertambah kecewa karena Ahmed membalas dengan memberiku wajah tak peduli.

Aji kuda niki, Bli 15?” tanya Ahmed dengan bahasa Bali. Spontan pemilik warung dan aku yang masih tersungut pun kaget tapi segera tersenyum berbarengan. Ahmed menyusul kemudian. Kesalku segera lenyap, tergerus oleh gembira karena gaya sok akrab Ahmed yang menunjukkan ia seorang yang bisa menjunjung langit di mana bumi ia pijak.



Sira bise basa Bali 16?” pemilik warung bertanya dengan senyum senang dan takjub.

Tan 17,” jawab Ahmed sambil menggelengkan kepala dan tersenyum sipu yang dijawab senyum maklum oleh pemilik warung. Ahmed lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu sambil tersenyum senang. Setelah mendapat kembalian, kami pun kembali ke atas laju roda, menuju pantai impian dengan hati tersenyum.

Setengah jam lebih berkendara, tibalah kami di Pantai Jimbaran saat sore menyebar hawa sejuk. Anak-anak sedang bermain bola di sisi kiri. Sedang di sisi kanan berjejer kafe-kafe yang telah mulai ramai oleh pengunjung.

“Indah sekali warna birunya,” ujar Ahmed.

“Ya. Saya juga lebih suka warna biru Jimbaran daripada Kuta,” jawabku.

“Saya tidak sependapat!”

”Hmhh!” seruku pura-pura kesal. Tapi Ahmed hanya menanggapi dengan senyum ringan.

”Itu apa?!” seruku takjub saat menatap angkasa yang sedang dilukis asap putih.


”Itu pesawat jet, Aifa Sayang ...!” jawab Ahmed dalam nada ejekan. Tapi tak kugubris. Jelas aku lebih menyukai kesibukanku menatap asap putih dari ekor pesawat jet yang membentuk aliran indah daripada meladeni ejekannya.

”Kita sudah di sini. Kapan kamu akan menceritakan tentang Dewa Ruci?” Ahmed merecoki keasyikanku dengan pertanyaan.

”Oh, iya. Aku hampir lupa,” jawabku sambil memberinya senyum sipu.

Memory damaged!” sindir Ahmed lagi-lagi mengejek. Aku hanya tersenyum sambil membawa mataku berputar mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Tapi tak kutemukan. Kecuali di bangku depan kafé. Jimbaran tak memiliki tempat yang bisa dimanfaatkan untuk duduk serupa pondasi rumah yang membentang di sepanjang tepi pantai seperti di Kuta.

Lalu ke bangku di sebuah kafe, kami menuju. Menatap petang yang sudah menggelar suasana makan malam yang riuh di sepanjang pantai.

Dalam diam kami menunggu pesanan. Diam dalam pikiran masing-masing. Dan diamku tak lain karena ketidaknyamanan hati, terpaksa memilih menu paling murah untuk kekasihku yang datang dari jauh.

Dalam diam rasa sedih datang dan entah siapa yang sedang menyalahkanku. Tapi nalar segera berdiri tegak, membela dan membenarkan keputusanku memilih menu paling ’masuk akal’ untuk saat itu.

”Saya hanya bisa datang dengan uang 250 dolar yang saya pinjam dari Rasel, Honey. Tapi kamu tak perlu mengkhawatirkan tempat tinggal. Robby meminta saya tinggal di rumahnya dan saya harus setuju. Kamu tahu, saya tak mungkin minta uang pada kakak perempuan saya untuk berkunjung ke Indonesia, karena saya pergi menemuimu secara diam-diam,” kata Ahmed tempo hari. Sebelum ia pergi ke Kuala Lumpur untuk mengurus visa kunjungan ke Indonesia.

Dengan menahan haru, kupinta Ahmed tak perlu khawatir karena aku masih punya sedikit tabungan. Padahal, sungguh sebenarnya tak ada. Uang yang seharusnya untuk biaya kuliah telah kupakai untuk membeli tiket pesawat ke Bali dan biaya membuat Invitation Letter. Seperti Ahmed yang tak mungkin meminta uang pada kakak perempuannya, aku pun tak mungkin meminta uang saku pada ayah. Sebab kepergianku ini  pun diam-diam. Aku bahkan telah membuat cerita bohong pada ayah agar bisa keluar rumah selama dua hari.

”Aku hanya ada uang satu juta, Aifa. Pakailah yang delapan ratus,” kata Anya sembari mengambil ATM dari dompetnya. Terpaksa kuterima ATM itu tapi dalam hati bertekad tak mengambil sebanyak yang disuruhnya. Bagaimana pun juga, aku harus mempertimbangkan Eva. Betapa pun Anya mengatakan telah membeli susu Eva hingga akhir bulan, aku tak boleh membiarkannya memegang hanya dua ratus ribu rupiah untuk seminggu.

”Ehemm ....”

Dehem Ahmed menyapa, mengembalikanku ke alam nyata saat waitress datang dan menyajikan welcome drink. Memperhatikan warna kuning tua pada minuman itu, sesuatu yang tak enak merayapi hati.

”Terima kasih,” ucap Ahmed pada waitress dengan ramah. Ia pun segera meraih gelas super mungil itu dan ...

”Jangan ...!! Jangan diminum, Ahmed!”

Keras dan spontan kumenyeru Ahmed yang telah terlanjur meminum sebagian. Ahmed pun berhenti lalu meletakkan gelas sambil berkata ’teeta18’.

”Ini apa?!” tanyaku pada waitress dengan suara keras.

Dengan senyum tetap ramah dan tampak tak terpengaruh oleh kegalakanku, waitress menjawab kalau itu arak!

”Harusnya anda kasih tahu dulu dong kalau ini arak. Tidak semua orang yang datang ke sini boleh minum arak!” Sambil mengucurkan arak di gelasku dan gelas Ahmed ke atas pasir, setengah berteriak kukemukakan protes dalam nyalang mata tertelan temaram.

”Saya sudah sedikit minum, Honey,” Ahmed berkata dalam senyum keterlanjuran. Senyum yang bersemburat penyesalan.

”Hati-hati, Ahmed. Ini Bali. Di sini kita harus waspada dengan makanan dan minuman yang disuguhkan.”

”Saya pikir orange juice, sama dengan welcome drink di hotel tadi pagi,” kata Ahmed polos dan tampak buddhu.

”Warnanya beda, Janu.”

Pelan kupukul ia dengan sebatang bantahan. Ahmed hanya tersenyum menyadari kekeliruannya. Saat itu aku pun baru teringat lagi kalau Ahmed setengah buta dan sedang melepaskan kacamatanya.

Waitress telah pergi. Begitu juga suara kami. Kupandangi jejeran kafe-kafe yang tak mampu kutangkap di mana batas akhirnya. Meloncat-loncat mataku ke atas meja dan kursi di sekitar yang ternyata semua sama persis bentuknya. Entah mengapa bisa begitu.

Pun aku tak tahu apa yang dibicarakan rombongan orang-orang Jepang di depan kami hingga mereka tak henti-hentinya tertawa. Aku dan Ahmed saling tersenyum senang melihat orang-orang yang menikmati makan malam sambil bercengkerama. Rasa iri menciumi hatiku dengan mesra.

”Saya mendengar ombak. Serasa sedang di tepi pantai,” gurau Ahmed mencoba memenuhi harapan tak terkatakanku.

Buddhu! Kita memang di pantai!”

Sambil senyum-senyum aku menjawab. Senyum khas Ahmed merekah saat kumengatainya buddhu alias si bodoh. Kata yang kedengarannya kasar di telinga orang lain tapi bagai madu bagi kami yang selalu senang jika salah satu mengejek yang lain dengan sebutan itu.

Dalam senyum yang belum pudar kutatap laut yang tak tertangkap mata karena sedang berselimut gelap. Beruntung sore tadi aku masih sempat melihat Jimbaran yang indah warnanya, juga gulungannya. Bak penari berbalut baju biru muda yang meliuk lembut selaras irama.

”Permisi,” suara waitress merampas tarian ombak di pelupuk mataku. Waitress yang tadi datang lagi. Sambil meletakkan makanan, ia menatap ramah pada Ahmed dan bertanya, apakah ia berasal dari India.

”Tidak. Saya dari Bangladesh,” jawab Ahmed sembari memberinya senyum manis.

”Anda dari mana?” Ahmed balik bertanya.

”Saya dari Sumatra,” jawab waitress itu sambil memamerkan lagi senyum manisnya.

”Benarkah?” seru Ahmed entah mengapa begitu gembira.

”Ya, Sumatra Selatan,” jawab waitress itu tambah ceria, kali ini sambil menyodorkan selembar kartu nama.

”Saya punya teman baik dari Sumatra.”

“Oh, ya? Teman anda itu dari daerah mana?”

“Lahat.”

”Oh, ya? Itu tempat asal saya!”

”Benarkah?”

”Ya! Anda harus ke Lahat. Kami punya pemandangan alam yang sangat indah.”

”Bagus. Saya harap bisa ke sana suatu saat. Ke kampung halaman Ezry, teman saya.”

”Saya juga berharap begitu,” jawab waitress itu tersenyum senang. Ia dan Ahmed lalu saling tersenyum dalam mata yang berbicara.

”Saya sudah lapar!”
Dengan kesal aku menyela mereka yang masih berbicara dengan sorot mata.

”Oh, iya. Maaf .... Maaf.”

Waitress itu pun pergi setelah meminta maafku. Tapi sungguh menyebalkan. Ia pergi dengan meninggalkan seulas senyum manis pada Ahmed dan dibalas dengan senyum manis pula. Kemudian Ahmed hanya diam mencermati kartu nama di tangannya dalam senyum yang tak juga pudar meski  waitress itu telah lama lenyap.

Cemburu yang pasti membuat wajah dan mataku tak cerah datang menjajah, menang dan merampas milikku yang sangat berharga: makan malam penuh damai di Pantai Jimbaran bersama kekasih tercinta. Karena seorang waitress, Galeri Valobashi-ku kini berwarna suram.

”Dia gadis Lahat. Gadis manis itu dari Lahat, Sumatra Selatan,” kata Ahmed dengan senyum terpikat. Setelah itu, ia menyantap makanannya dengan nikmat. Aku menjadi sangat ’panas’, curiga kekasihku makan sambil membayangkan wajah gadis itu. Ingin sekali kugedor-gedor pintu hatinya agar terbangun dari diam yang asyik menghadirkan bayangan wajah gadis itu di pelupuk mata.

”Hemm?? Saya jahat, ya?” tanya Ahmed setelah menyadari diamku bermakna luka.

”Saya tak ada maksud membuat kamu cemburu,” sambungnya.

Aku tetap membisu. Airmata yang panas mengalir tanda ikut berkabung pada hatiku yang kembali didudukkan pada bara dan suram.

No ... please don’t cry again, Honey. Ami dukkhito19. Maaf …”

Kali ini Ahmed dengan lembut memintaku tak menangis, tak seperti tadi di Pantai Kuta. Ingat siang tadi, ingat musuh besar sekaligus sahabat dekatku: airmata.

Aku tak boleh menangis di depannya, tak boleh tampak rapuh di hadapannya!

Lirih. Kugigihkan tekad membendung airmata yang siap menerobos dalam suara terlirih agar tak tertangkap kepekaan rasa Ahmed. Kepekaan yang tak jarang tiba-tiba menjulur dan membelit hingga kutak bisa menyembunyikan rasa hati yang sesungguhnya. Tapi, aku gagal total kali ini. Pertahananku lemah! Airmata mengucur tak henti-hentinya ...

Tangan Ahmed yang menjulurkan sapu tangan telah lama sampai di depan wajahku. Tapi tak juga kuambil. Tentu saja. Aku lebih suka menghapus airmata dengan punggung tanganku sendiri daripada dengan sapu tangan yang diberikan tanpa satu pun kata.

”Saya tidak ada rasa apa-apa pada gadis itu. Saya senang karena dia mengajak bicara sambil tersenyum dan ceria. Saya selalu suka pada gadis dengan wajah selalu tersenyum. Seperti gadis waitress itu tadi.”
Dengan kata-kata lembut Ahmed mencoba menenangkanku. Dalam hati kumengeluh, seharusnya Ahmed marah-marah seperti siang tadi. Ternyata, saat ia membujuk dengan sikap lembut, justru semakin tak terkendali pula airmataku jadinya.

”Saya telah sering melihat amma saya menangis, berduka, tampak rapuh. Hati saya habis melihat wajah amma yang cemas dan selalu penuh airmata. Apalagi jika sakit jantungnya kambuh. Tangannya sangat dingin dan wajahnya pucat. Saya sangat takut saat itu. Karena itu saya selalu mohon kamu jangan menangis. Saya ingin selalu melihat kamu tertawa, gembira dan selalu ceria. Karena dengan begitu saya merasa lebih baik, Aifa,” kata Ahmed khidmat namun entah mengapa sambil membuang sapu tangannya ke atas meja. Ia tampak putus asa dan bersedih.

Byaar!

Di hatiku tiba-tiba menyala ribuan lampu yang terang tapi menyejukkan. Entah datang dari mana dan buatan ilmuwan asal negara mana, yang jelas hatiku telah berubah rasa karenanya.

”Aifa?”

”Ya?”

”Kamu bisa melakukannya untuk saya?”

”Ya. Demi kamu harus bisa. Tapi, aku juga baru dua puluh tahun, Ahmed. Aku belum pintar menguasai diri. Kalau sedang senang, pasti tertawa dan ceria. Tapi kalau sedang sedih, pasti langsung murung dan menangis. Bukankah itu wajar?”

Sebuah tanya terselip harap ia akan mengerti kuajukan sepenuh hati. Namun pemudaku tak menjawab. Ia memilih mengambil daging ikan dengan sendok dan garpunya lalu menaruh di piringku. Dengan sebuah isyarat ia memintaku segera makan.

”Jangan suka cemburu, Sayang. Itu tidak baik,” ujarnya ringan tapi terdengar jelas memohon.

”Dan belajarlah tersenyum dalam situasi apa pun.”

Sederhana. Kalimat itu sungguh sederhana. Tapi karena diucapkan oleh orang yang terkasih dengan penuh kasih, efeknya sungguh cepat dan besar. Segala rasa cemburu itu balik kanan dan bubar jalan, lalu kocar-kacir entah ke mana.

”Kenapa kamu kuat menahan lapar?” tanya Ahmed sambil memandangiku yang tak juga segera makan.

”Aku sering malas makan.”

”Malas makan??”

Dengan intonasinya, Ahmed menampakkan keheranan. Namun demikian ia tak lagi bicara apa pun. Lalu keheningan hadir di antara kami.

”Maafkan saya, sudah membuatmu selalu menangis hari ini.”

”Aku rapuh, Ahmed. Aku begitu cepat me ....”

”Jangan bicara seperti itu!” bentak Ahmed sambil mengurungkan tangannya yang telah siap memasukkan makanan ke mulutku. Aku kaget dan menjawab gertakan itu dengan satu-satunya yang kupunya: airmata!

”Kamu gadis yang kuat. Sungguh, kamu gadis yang tegar, Aifa! Percayalah pada saya!” kata Ahmed yang dengan tak sadar serta-merta berdiri tegak, memegang dan mengguncang pundakku kuat-kuat. Bola-bola api berloncatan di sorot matanya. Aku meneteskan airmata kian deras dan menunduk menghindari pijar itu. Melihat wajahku, Ahmed kembali duduk lalu diam sejenak. Orang-orang pun menghentikan perhatian pada kami, sepasang kekasih beda negara yang sedang tersulut emosi. Jimbaran hening dalam suram yang diam-diam memasuki penjuru hati kami.

”Yakinlah, Aifa ... Kau pasti kuat menghadapi semua ini,” bujuknya lirih namun tegas. Pahit sungguh terasa bagiku. Bunga-bunga yang baru bersemi di taman Galeri Valobashi segera lemas, siap mati sesaat lagi.

”Yang kukatakan benar ... Aifamu gadis rapuh, Ahmed ....”
Bantahku tak kalah meyakinkan kekasihku untuk tetap tinggal.

”Kataku juga benar. Aifaku gadis yang tegar dan tak suka menangis. Tak mudah pula hatinya berduka ....”
Ahmed pun semakin gigih membantah sambil mengalirkan kekuatan sebesar yang ia punya lewat sorot mata kesungguhannya.

”Menjalani hidup harus dengan hati tegar, Janu. Dalam hidup ini penuh kenyataan pahit. Kamu harus menyadari hal itu,” dalam lirih yang sempurna, ia membisikkan kata-kata bermakna perpisahan.

Tes, tes. Air dari dalam mata Ahmed jatuh begitu saja, membuatku terhenyak dalam heran, apa yang membuat seorang Ahmed, si pembenci kecengengan, meneteskan airmata? Aku terus bertanya-tanya dalam ketidakmengertian yang penuh hingga satu per satu wajah tersenyumku di Galeri Valobashi memudar dan runtuh.

Apa boleh buat! Airmataku pun jatuh berguling-guling, menyadari ada kelemahan mental di tetes airmata Ahmed yang telah habis ditumpasnya. Di balik sikap dan sinar matanya yang kadang mencuatkan garang, ia tak lebih dari seorang pemuda penangis! Panglima perang itu sempat tak mampu menghadang airmatanya sendiri.

”Hidup tak selalu memberikan keinginan kita, Aifa. Kadang kita bertemu kepahitan. Tapi saya ingin kamu selalu tersenyum dan bersyukur menghadapi segala kenyataan, meskipun itu sangat pahit. Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk setiap hambanya. Karena itu, kehendak Allahlah yang berlaku. Bukan kehendak kita, Sayang. Kamu sepaham dengan saya?” tanyanya sambil sekuat tenaga menahan getar. Kupandangi kedua tangannya yang mengepal. Aku jadi semakin yakin, Ahmed datang ke Indonesia sesungguhnya hanya untuk mengucapkan selamat berpisah dan menemuiku untuk terakhir kali.

”Kamu sepaham dengan saya, Honey ...?!” Ahmed mengulang pertanyaannya serupa memaksa.

Ia tak akan menyampaikan salamku pada amma -nya, apalagi meminta ijin menikahiku! Persetujuannya di Pantai Kuta tadi bohong belaka. Itu hanya untuk membodohiku. Teeta! Dia sungguh pemuda teeta! Dan aku sungguh seorang gadis buddhu siang tadi.

”Aifa ... Kamu sepaham dengan saya, kan?” Sekali lagi Ahmed mengejar persetujuanku dengan pertanyaannya.

”Aku bisa menghadapi apa saja asal kamu ada bersamaku, Ahmed. Kamu adalah kekuatan, guru, sahabat, dan kekasihku.”
Sambil terisak semakin pilu dan tak peduli sekitar, kumengemis memintanya tetap tinggal.

”Aifa, Sayang ... saya tahu kamu bisa hidup dengan aman dan bahagia tanpa saya,” bujuknya tak kalah gigih dan sabar.

”Ahmed ...! Kamu ....??”

”Aifa ... kamu gadis yang tabah, dan juga realistis,” pelan namun dengan penuh kesungguhan Ahmed berusaha melepaskan diri dari rengekanku. Di saat yang sama, aku semakin sadar, Ahmed begitu bersikeras membujukku rela ditinggalkan. Hatiku mengarang. HITAM! Dan airmataku marah hingga ia tumpah-ruah. Ahmed sungguh-sungguh ingin meninggalkanku!

”Ahmed! Kenapa kamu tak mau berusaha memperjuangkan cinta kita? Bukankah cinta itu berarti dan kita harus siap berkorban? Kamu yang mengatakan itu, kan?”

”Ya.”

”Jadi kita harus berusaha, Ahmed. Karena kita tidak akan tahu sampai kita mencoba. Bekerjasamalah denganku demi bersatunya cinta kita, Ahmed. Tak bisakah, kamu??”

”Tak semudah itu, Aifa ....”

”Kamu akan membiarkan cinta kita berakhir di sini tanpa berusaha? Begitukah?”

Leave itu to Allah, Honey ....”

Ahmed melunak, menyadari puluhan mata kembali tersorot ke arah kami yang beradu mulut di antara cahaya lilin.

”Tapi kita juga harus berusaha, harus melakukan sesuatu! Jangan menyerah tanpa berusaha sedikit pun, Ahmed. Aku tidak suka itu. Sungguh aku tidak suka!”

”Saya takut, Aifa ....”

”Takut apa? Takut pada siapa??”

Ahmed diam dan tetap tak menjawab hingga kami meninggalkan Jimbaran menuju Nusa Dua.
Sejak sebelum tiba di Indonesia, Ahmed sudah wanti-wanti20 untuk tidak melewatkan Nusa Dua yang ia dengar sangat indah dari temannya.

”Seandainya kita bisa berkendara seperti ini seumur hidup kita ....”

Ahmed berkata sambil menderaikan tawa pendek berselubung duka. Rasa suaranya meyakinanku bahwa ia telah mantap memilih pergi! Aku sungguh-sungguh akan ditinggalkannya ....! Keras hati! Ahmed sungguh keras hati!

”Kamu sungguh akan pergi? Kamu benar-benar akan meninggalkanku, hah?”

Sambil memukul punggungnya, kutangisi keputusan Ahmed yang sangat melukai hati. Ahmed diam dalam teguh yang sangat. Diam yang seolah memaksaku untuk menerima dan menghadapi perpisahan kami.

”Ahmeeeed ...!!! Jangan biarkan perpisahan ini terjadi! Kumohon tetaplah tinggal ....”  pintaku sangat dalam suara yang kian parau. Tapi Ahmed tetap bungkam. Rasa putus asa memeluk, membuat kuingin melompat dari motor yang sedang melaju lalu pingsan dan tak bangun. Mungkin dengan begitu kekasihku batal pergi. Sayang, hal itu tak bisa kulakukan! Satu-satunya yang terjadi hanyalah airmata yang terus-menerus menetes, dan remuk rasa di dadaku tetap terbiar. Tak terurus!

Diam Ahmed yang teguh dan kukuh membuatku tak meneruskan perlawanan. Rasanya tak ada guna lagi. Dia telah menang dan aku hancur. Pun Galeri Valobashi-ku. Ia runtuh dan bunga-bunganya mati. Total.

Kucoba abaikan kepedihan hati dengan mengalihkan perhatian pada pemandangan malam yang kami lalui. Merasakan semilir angin malam nan murah hati, yang menemani perjalanan kami ke Nusa Dua. Kunjungan yang sebenarnya percuma sebab di sana kami hanya akan menemui gelap yang akan menambah suram kisah cinta kami.

Tapi kutak ingin Ahmed meninggalkan Indonesia dengan berkalung kecewa. Karenanya tak akan kami lewatkan kunjungan ke pantai itu. Entah berapa kali kami berhenti untuk menanyakan rute. Perjalanan kami terasa cukup jauh. Artinya, cukup pula memenuhi asa Ahmed berkendara sejauh mungkin bersamaku yang akan ditinggalkannya. Sejauh itu pula kami membiarkan duka yang bisu mendekap hati penuh cinta. Dan untuk pertama sekaligus terakhir, kurebahkan kepala di punggung Ahmed yang tak memiliki kegigihan berusaha sebagaimana yang dimiliki Ksatria Bhima.

Malam yang sejuk oleh semilir angin 25 November 2006, seandainya bisa menghentikan waktu, aku pasti menghentikannya dan rela membeku bersamanya di atas laju roda yang pedih saat itu ....


”Mbaaakk ...!”

Sebuah seru membangunkanku dari nikmat melumat suka-duka cinta lalu bersama diary. Sahabat terpercaya yang setelah purna kubaca terpaksa harus dikubur. Sebab setiap kali membaca ulang kisah di dalamnya, hanya melahirkan kucuran airmata dan pedih di hati ini tak kunjung surut.

”Mbaaak ... ada telfon dari Mbak Anya!” sekali lagi terdengar sebuah panggilan menyeru. Kuhapus airmata dan bersiap membuka pintu setelah yakin semua bekas duka di wajahku sudah tak ada.

”Terima kasih, yaa ....” sambil sesaat mengusap rambut Ibra, si penyeru, kuucapkan terima kasih padanya yang masih setia menunggu. Tapi ia tak menjawab. Bocah tujuh tahun itu membuntutiku dan tak lepas mendongak, memastikan kalau benar ada bekas airmata di mata merahku.

”Assalamualaikum,” sapaku pada penelepon.

”Kum salam,” jawab Anya ‘berandalan’. Seperti biasanya.

”Ada apa, Nya?”

”Ambil kameranya sekarang. Aku harus pergi,” jawab Anya.

”Mau ke mana?”

”Udah gak usah banyak tanya! Ke sini aja sekarang!”

”Oke, bawel!” jawabku singkat lalu menutup telepon.


Ketr.:

15. [Bl] Berapa ini harganya, Kak?
16. [Bl] Kamu bisa bahasa Bali?
17. [Bl] Tidak
18. [Bg] Pahit
19. [Bg] Maafkan aku
20. [Jw] Berpesan dengan sangat

No comments:

Post a Comment