Wednesday, August 14, 2013

Bab 3 : PATUNG



Akhirnya aku kemari juga. Mengunjungi tempat ini dengan menyeret-nyeret keberanian yang sudah lama kuncup. Berusaha terlihat tegar kutancapkan diri di pinggir Bundaran Senayan, di mana Patung Pemuda Membangun telah tinggal selama 37 tahun.

Bermodal kamera di tangan, kutak terlihat aneh seorang diri di taman kota ini. Benda ini pula yang membuatku tak terlalu gugup oleh kesibukan orang dan kendaraan yang selalu lalu-lalang.

Nixon Coolpix P90, kamera semi profesional yang kupinjam dari Anya ini sesungguhnya alat kepura-puraan belaka. Karena sejatinya kutak ingin beraktifitas dengan benda yang cukup canggih ini.

Memandang. Adanya aku di sini hanya karena ingin berlama-lama memandang patung yang berdiri kokoh sambil menjunjung piring berisi api ke atas kepala dalam balutan busana hampir tiada. Kecuali di sana, di daerah terlarang!

Sengaja dibuat demikian oleh
tim ISA21 yang diketuai Imam Supardi untuk menonjolkan ekspresi gerak sehingga nampaklah urat-urat dagingnya. Wajah patung yang selalu ’menyala’ menggambarkan besarnya semangat membangun pemuda-pemudi negeri ini. Itulah mengapa namanya Patung Pemuda Membangun.

Tempat ini yang dulu indah dan selalu menerbitkan senyum bila mengenangnya, kini hanya menyisakan luka cinta yang tak berbilang kata. Sebab begitu dalam Ahmed menggoreskan berjuta pedih di dinding hati dan menggulitakan ruangnya dengan sekumpulan pekat.

Pekat yang sama tajam berduyun-duyun datang dan mengepung sekitarku. Membuat lampu di gedung pencakar langit di Jalan Jenderal Sudirman, Senopati dan rumah-rumah sekitar mulai dinyalakan. Mereka akan tersenyum terang sepanjang malam, menunaikan tugasnya menggantikan sinar mentari menerangi bumi. Lampu jalan dan kendaraan pun dibangunkan dari istirahat siang.

Tapi Bundaran Senayan masih gelap, membuatku menoleh ke mall Ratu Plaza yang tak sempurna tertangkap mata. Karena di sana, ada aku yang dua setengah tahun lalu sedang mencurahkan isi hati pada Kak Faysal, sahabatku.

Di Espressso Coffee Shop di dalam mall itu, Kak Fay menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang tak banyak sebenarnya. Bahkan selalu pertanyaan-pertanyaan yang sama. Yang itu-itu juga.

”Kak, apa kata amma Kakak saat Kakak minta restu untuk menikahi Mbak Ning?” tanyaku deras bersimbah antusias.

”Kalau itu bagus untukmu, teruskan langkah,” jawab Kak Fay menyalin kata ibunya dalam ekspresi setenang air danau. Ia sungguh tak terpengaruh binar mataku yang tak sabar menunggu segores jawab dari sepenggal kisah cinta lintas budaya dan negara yang ajaib. Kukatakan ajaib karena ia satu yang berhasil di antara sekian banyak yang telah gagal.

”Trus, kalau abbu22 Kak Fay, dia bilang apa?” tanyaku lagi. Bahkan sebelum kelopak matanya sempat berkedip. Aku begitu ingin menyerbu temanku yang berasal dari Dhaka, ibukota Bangladesh, itu dengan segenggam peluru tanya. Mata dan wajah Kak Fay sempat berekspresi heran pada antusiasmeku. Tapi segera maklum di satu detik kemudian.

”Faysal, kamu bukan anak kecilku lagi. Kamu seorang pria dewasa sekarang. Tentukan sendiri jalan hidupmu. Tapi apa pun itu, lakukan dengan penuh tanggung jawab layaknya pria sejati!” Dengan gaya cool, Kak Fay mengutip kata-kata ayahnya yang berprofesi sebagai kepala sekolah dan penulis lepas.

”Betapa bijaksana orang tua Kak Fay,” ucapku lirih dan pelan. Namun entah mengapa, dengan pelan tapi nyata aku dikunjungi satu kompi rasa cemas. Kak Fay membelalakkan mata meski sebentar, lantas kembali bersikap santai. Ia tumpangkan paha kanan di atas paha kiri, lalu menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi. Saat itulah sempat kulihat secercah senyum geli berkelebat di bibirnya.

”Apa? Bijaksana?” tanya Kak Fay sambil melempar senyum geli itu semakin terang-terangan. Mendengar itu, kuberikan wajah tersungut padanya.

Diam seribu bahasa. Aku tercebur dalam diam seribu bahasa yang memancing suasana hening di tempat yang tak hening itu.

“Ada apa? Kamu ada masalah?” tanya Kak Fay berubah serius, begitu menyadari telah menunggu lama namun tak juga menemukan cerah memancar dari mata dan wajahku.

”Tidak, Kak. Semua baik-baik saja,” jawabku sedikit gagap. Pikiranku mendadak kosong dan konsentrasiku melayang. Aku begitu terpengaruh dengan apa yang baru saja kudengar. Kalimat yang diucapkan orang tua Kak Fay telah memenuhi ruang dengar dan hatiku. Terjadi sesuatu pada perasaanku hingga degup jantung berdesis getir dan aliran darah mengalir gontai, bak peserta lomba yang gagal meraih predikat juara.

”Bicara, Dik! Apa yang terjadi? Apa ada yang bisa kubantu?!” tanya Kak Fay dengan raut dipeluk cemas, melihat mendung menyelinap melalui kedua pelupuk mataku.

”Kenapa cemas, Kak? Aku baik-baik saja. Aku hanya ... sedikit khawatir,” jawabku sambil tersenyum coba sembunyikan hati yang terbanjiri resah di balik simpulnya. Resah yang mengusik karena sibuk memikirkan pendapat banyak orang, termasuk Ahmed, bahwa amma-nya mungkin tidak akan menerimaku sebagai menantu.

“Kak Fay harus bersyukur, punya orang tua yang bijaksana dan begitu pengertian pada anak-anaknya,” komentarku samar mengurai permukaan hati yang tersusupi iri. Sebuah rasa yang menghasilkan rasa nyeri. Juga getir.

“Apa??” Dari bilik lamunan, telingaku menangkap tanya Kak Fay yang disertai tawa keheranan.

“Mau dengar komentarku?” tanyanya lebih bersemangat, seakan ingin mengeluarkan seluruh isi kepalanya.

“Tentu,” bibirku menelurkan jawab dengan yakin.

“Aifa, orang tuaku tidak melakukan sesuatu yang istimewa. Mereka hanya melakukan apa yang bisa dilakukan orang tua karena ingin melihat anaknya bahagia. That’s all!” ucapnya semakin mantap di akhir kalimat.

Huufff!! Tiba-tiba saja kamus di kepalaku lenyap entah ke mana. Kata-kata Kak Faysal sungguh tak terbantahkan. Degup jantungku semakin terinjak-injak getir yang mulai berkembang biak. Semakin sakit kala ia memanggil wadyabalanya yang datang berduyun-duyun dengan semangat menjajah. Kulihat betapa senang dan puas mereka menguasai degup jantungku yang kian tak berdaya. Semakin remuk ketika ucapan Zia tak juga hengkang dari ingatan.

”Zia ... apakah anak-anak Bangladesh harus selalu patuh pada orang tuanya? Tidak boleh menolak??” Tanyaku pada salah seorang teman internet.

”Apakah kamu tidak patuh pada orang tuamu?” Ia malah balik bertanya.

”Jika itu baik menurutku tapi ayahku melarang, aku akan tetap melakukannya. Lagipula, ayahku tidak suka memaksakan kehendak. Ia biasa membiarkanku belajar dari kesalahan.”

“Tapi anak-anak Bangladesh tidak bisa seperti itu, Aifa. Patuh pada orang tua adalah tradisi keluarga yang harus kami jalankan. Dan itu tak hanya menyangkut pilihan teman hidup tapi juga pendidikan. Kalau kau melihat film-film India, kamu pasti mengerti maksudku.”

Diam. Dalam diam kuresapi kata-kata Zia. Ingatanku pada beberapa film India yang menggambarkan kuatnya tradisi kepatuhan anak pada orang tua susul-menyusul mendatangi kepala. Memang tak ada yang salah dengan tradisi itu. Tapi jika menyangkut pilihan hidup dan hak asasi, bukankah lebih bijak orang tua bertindak sebagai penasehat dan penyaring? Bukan penentu, bukan pula hakim yang berhak mengetuk palu.

“Hei ...? Kenapa kamu kelihatan murung? Sebentar lagi aku mau menikah. Jangan beri aku wajah sedih seperti itu, Dik!” Protes Kak Fay pada diamku yang kukira tak sebentar.

“Siapa yang sedih? Aku bahagia untukmu, Kak. Semoga Kak Fay dan Mbak Ning selalu bahagia,” jawabku masih dalam kekuasaan lemas.

“Tapi kamu seperti sedang ada masalah. Jangan menipu bhai23 kamu!” Kak Fay agak marah merasa dibohongi.

“Masalah? Enggak, Kak. Aku nggak ada masalah.” Aku masih berusaha mungkir24.

“Kamu memanggilku kakak, tapi tidak mau membagi masalahmu. Aku bisa marah kalau kamu berbuat seperti ini!” Ancam Kak Fay membuatku merasa sejuk di tengah padang gersang.

Amma-nya Ahmed, Kak….”

Akhirnya kubagi sedikit perasaanku demi meredakan panas di kepala Kak Fay. Sungguh aku takut dengan ancamannya.

“Ada apa dengan amma-nya Ahmed?”

“Sepertinya dia tidak merestuiku menjadi menantunya. Gimana kalau itu benar-benar terjadi nanti? Aku nggak mau kehilangan Ahmed, Kak. Aku cinta banget sama dia. He’s love of my life!”

“Kenapa kamu berpikir begitu?” Kak Fay bertanya dalam keheranan, seolah aku sedang melakukan hal yang tak masuk akal. Itu membuatku terdiam sejenak.

“Zia, temanku, Kak. Dia mengatakan, dalam tradisi keluarga di Bangladesh anak harus selalu patuh pada orang tuanya.” Kataku menjawab sinar mata tak suka Kak Fay.

”Ya, memang! Lalu apa??” Tanya Kak Fay sambil bersedekap dan menatapku tajam.

”Kok Kakak tidak paham juga? Ahmed mengatakan kalau ibunya tak suka ia menikah dengan gadis dari luar Bangladesh. Jadi mungkin aku tidak bisa ...” kataku mengambang di akhir kalimat yang sesungguhnya belum berakhir.

“Hooh… jangan dulu pikir jauh gitu, dong! Kamu masih 19 tahun. Terlalu dini bicara soal nikah. Selesaikan dulu kuliahmu lalu cari pekerjaan yang bagus. Nikmati masa muda, beli ini-itu yang kamu mau, jalan-jalan yang banyak, sudah puas, baru berpikir soal nikah. Serahkan saja semua pada Allah. Hanya Dia yang tahu apa dan siapa yang terbaik untuk hamba-Nya. Kalau jodoh, pasti ada jalan. Yakinlah itu, Dik.” Bibir Kak Fay lincah berdansa memberiku petuah teriring kasih seorang kakak.

Ya, Kak Fay bagiku, ketika dia sedang berbicara tak ubahnya kereta api yang sedang melaju. Kencang, panjang, tak kunjung berhenti. Namun begitu aku suka dan sering merindukannya. Karena di setiap ucapannya selalu ada kasih seorang kakak.

Dalam diam kurasai aliran darah yang menghangat. Hati ini disinggahi setitik bahagia, mensyukuri karunia memiliki teman yang peduli seperti saudara. Kegetiran yang tadi menginjak-injak, perlahan memudar hingga tak berbekas. Bibir pun akhirnya menyungging senyuman.

“Hei… jangan bilang kalian berencana menikah dalam waktu dekat, ya?!” seru Kak Fay tiba-tiba, dan jelas itu memberiku kaget yang melimpah.

“Iya?!” Kembali Kak Fay bertanya dengan semakin menumpahkan kecurigaannya.

No way, bagaimana mungkin? Dia juga masih mahasiswa, dan baru akan lulus tahun 2011 atau 2012. Tapi bicara soal nikah, hatiku hanya menerima Ahmed sebagai life-partner-ku. Aku cuma mau nikah sama dia. He’s the right and perfect one for me,” kataku yakin, tanpa senila pun ragu mengotori.

No!!! Jangan bicara seperti itu!!” bantah Kak Fay sambil menatapku lurus dan tajam, tanda ia sungguh serius dengan ucapannya.

”Hanya Allah yang tahu siapa yang terbaik untukmu. Dan mungkin itu Ahmed, mungkin juga bukan,” lanjutnya. Tatapan mata beloknya yang tak juga berkedip semakin memperjelas ketegasan ucapannya.

“Aku bilang dia dan hanya dia, titik. Bukan koma,” bantahku lebih keras.

“Kalau kamu adikku, pasti sudah kujewer telingamu!” jawab Kak Fay gemas dan meninggikan suara.

“Coba saja kalau berani!” seruku menantang dalam nada dan sikap tenang. Karena ia mana mungkin melakukan tindakan itu.

“Kenapa tidak? Dengan senang hati.” Jawab Kak Fay sambil tertawa dan dengan kecepatan setara kilat menyambar, tangannya menjulur ke telingaku.

Ougghh!!

Tak kusangka, dia akan benar-benar menjewer telingaku. Aku jelas ingin membalas perbuatannya. Di bawah meja, dengan tepat ujung sepatu lancipku menjejak betisnya.

Puasnya aku saat itu melihat Kak Fay mengelus-elus betisnya yang sakit dengan memberiku rona wajah yang berpura-pura marah sambil bergumam tak jelas. Namun, senyum puas teringat kisah dengan Kak Fay yang hanya seuntai itu sungguh cepat memudar, menyadari sebuah kenyataan, karena Ahmed, aku telah tak bisa tersenyum lepas kini.

Kuhela nafas dan menatap langit hitam di atas Bundaran Senayan yang seolah memayungiku terus berada dalam suasana gulita. Tapi angin lembut membelai, coba meredakan duka yang menari-nari di dalam dada.

Bila mengingat Kak Fay, ada rasa sakit-yang tak seharusnya, memilin-milin perasaan hingga mengecil. Juga pertanyaan-pertanyaan yang tak bosan mengganggu. Mengapa orang tua Kak Fay memiliki kearifan dan pengertian itu? Sedang Amma Ahmed yang juga orang Bangladesh, entah mengapa bertolak belakang. Tak pernah habis pikir, mengapa ibu yang hangat itu menjadi faktor utama perpisahan kami. Apakah di balik kelembutan dan keramahannya, ada sikap konservatif yang tak bisa ditundukkan?

Different country, different culture adalah pedang paling tajam yang telah menebas hubungan kami. Aku pun terpisah dari soulmate-ku oleh ketajamannya.

Byaarr.

Bundaran Senayan tiba-tiba terang saat mataku mulai berair. Aku mengeringkan mata dengan sekali kerjap dan ‘membereskan’ pipi dengan sekali usap.

Ah, cinta… mengapa ia hanya indah di angan, tapi tidak di kenyataan?

Lampu-lampu berbentuk bunga teratai berkerlap-kerlip memancarkan cahaya indah, menghias senja yang kian pekat. Bersamaan itu, otakku ‘berkerlap-kerlip’ menemukan argumentasi Anya yang selama ini tak kuanggap.

“Mungkin ibunya Ahmed memang orang tua yang kolot, tidak bisa menerima perbedaan. Sampai kapan pun kamu tak akan bisa masuk ke dalam keluarganya. Karena yang bisa diterima hanya gadis Bangladesh.”

“Kenapa begitu?”

“Karena ibunya Ahmed setiap saat butuh berkomunikasi dengan menantunya. Mengajari banyak hal, mengobrol, bahkan mungkin mengomeli. Ibu Ahmed kan nggak bisa bahasa Inggris. Kalau menantunya orang asing, mana bisa berkomunikasi? Ahmed sebagai jembatan, tak selalu ada di antara kalian. Dia perlu pergi bekerja.”

“Aku yang akan belajar bahasa Bengali.”

”Oke, kamu memang harus belajar bahasa mereka. Tapi apa dalam sehari dua hari langsung bisa? Dan sebenarnya masalahnya bukan hanya bahasa, Nona Aifa! Masih ada masalah adaptasi yang mudah diucapkan tapi sulit dijalankan.”

”Soal adaptasi kan bisa dicoba??!” bantahku tak mau kalah.

“Maksudmu?” Suara Anya tiba-tiba pelan menyadari Eva dalam baby box menggeliat dan mulai menangis.

“Ya dengan cara aku tinggal di sana selama beberapa minggu. Mengenal keluarganya lebih dekat, mengambil hati mereka, dan membuat mereka menyukaiku. Mengapa tidak? Daripada penasaran seumur hidup kayak gini?”

Tinggi suaraku ikut berkurang. Tapi tidak dengan raut kesalku.

“Fa, kenapa kamu begitu bersikeras? Kamu kan tahu, Ahmed bukan orang kaya yang mampu membiayai kunjungan kamu ke Bangladesh.” Sambil menepuk-nepuk pantat Eva, Anya tak mau menghentikan khotbahnya.

“Aku yang akan membiayai diriku sendiri!” kataku mantap.

“Dasar gila!!” balas Anya sengit sambil beranjak mengambil Eva yang mulai menangis keras. Aku diam, menahan diri untuk tak meneruskan debat.

“Kamu mau nekat? Berapa uang yang harus kamu keluarkan untuk itu, Fa? Uang dari mana? Lagipula, kamu kan sudah lama nggak keep in touch sama Ahmed, untuk apa masih memikirkannya? Dia pun sudah lama sekali nggak contact kamu. Sudah seharusnya kamu melupakan dia. Kamu ini mbok25 yang realistis! Coba renungkan kata-kataku ini, kalau sejak awal keluarganya tidak mau menerima, akan sangat sulit bagi kamu berada di tengah-tengah mereka. Di sana kamu tidak punya siapa-siapa. Kalau ada masalah, mau lari ke mana??” lanjut Anya yang kembali bergelora. Tak peduli pada Eva yang terbangun karena suara kami.

“Ya lari ke Ahmed. Siapa lagi?” jawanku yakin.

“Kalau masalahnya justru sama Ahmed, mau mengadu pada siapa?” tanya Anya kembali menyerang dan tak mau kalah.

“Ya ke kamu, dong! Kamu kan sahabatku,” jawabku enteng, tapi tetap sengit menggigit.

“Itu berarti kamu harus telepon aku. Memang telepon SLI murah? Bukankah kamu yang bilang, biaya telepon dari Bangladesh ke Indonesia adalah seharga ’pangeran tampan26’?” balas Anya masih dalam semangat berdebat.

“Kan, bisa chatting?” jawabku tambah bersemangat dan tak mau kalah didebat.

“Setelah menikah, kamu pikir bisa chatting kapan saja?!” bantah Anya sambil bersiap pergi. Tangis Eva yang mengeras tak ia hiraukan.

”Lagian, siapa tahu different country, different culture itu hanya alasan yang dibuat-buat Ahmed. Jangan terlalu naïf dan percaya begitu saja dengan ucapan laki-laki. Kenapa sih bersikeras mengejar cinta yang sudah lepas? Apa kamu mau disebut pengemis cinta??” imbuhnya seraya pergi meninggalkanku dalam wajah berbalut kesal.

Dalam terpaku, kecewa mematukiku. Hati terluka dalam heran yang sungguh. Teganya seorang sahabat ‘menyerang’ justru pada saat dibutuhkan untuk mendengarkan curahan hati yang sedang galau.

Kutatap kepergian Anya yang mudah membuatku ’panas’ karena selalu sinis tiap kali membicarakan Ahmed. Kubertanya dalam hati, apakah ia menyangka karena cinta aku jadi buta pada masalah-masalah yang akan menghadang kelak? Ia bahkan tanpa tedeng aling-aling27 menuduh Ahmed meninggalkanku dengan alasan yang dibuat-buat. Teganya Anya, menjatuhkan yang sudah terpuruk dan menyiratkan kata aku seorang pengemis cinta.

“Kalau Ahmed sungguh-sungguh mencintai, dia akan memperjuangkanmu. Bahkan tanpa perlu kau memintanya. Tapi dia tidak, kan??!”

Anya ternyata masih belum puas menyerang. Sebelum ditelan belokan menuju kamarnya, sekali lagi ia mengeluarkan argumen sakti yang menambah sakit hati. Nyala pada mata dan wajah patung pemuda di depanku, masih kalah dengan nyala wajah dan mata Anya saat itu.

Memperjuangkan cinta bagiku harga mati. Tapi benar kata Anya, Ahmed tak berada di pihakku. Memang tak seharusnya kumengobral pengorbanan. Apalagi membawa-bawa papan bertulis SUPER SALE UP TO 90% ke hadapannya dan membujuk dengan segala kata untuk membeli.

Sekian lama aku lupa, diri ini bukan seorang tuan putri yang pantas diperjuangkan cintanya hingga akhir tetes darah dan airmata. Aku sempat lama tak ingat, Aifa hanya seorang operator telepon di sebuah pabrik, sementara Ahmed seorang pemuda berpendidikan tinggi. Bahkan pekerjaan ini pun kuterima karena Ahmed.

Pak Robby meminta papinya mengangkatku menjadi staff setelah tahu hubungan kami. Ia tak tega sahabatnya menjalin hubungan dengan seorang buruh pabrik lalu menaikkan ‘derajat’ku demi Ahmed. Dan aku harus menerima dengan rasa terima kasih karena rasa percaya diriku menjadi bertambah karenanya. Gaji yang meningkat pun sangat membantu biaya kuliah. Aku semakin senang karena tak sepenuhnya bergantung pada ayah yang sudah cukup tua untuk bekerja keras.

Ahmed ....

Entah mengapa dulu kumanfaatkan pria ini. Menerima cintanya hanya demi melupakan mimpiku pada Pak Dio. Gara-gara niat tak baik itu, aku telah kena karma. Akhirnya kumencintai pemuda itu benar-benar. Ada kalanya kusesali perbuatan nakal itu. Bahkan saat sisi irasionalku meraja, kusalahkan Pak Robby yang tak sengaja menjadi jalan pertemuan kami.

Adalah Ahmed dan Pak Robby bersahabat sejak tahun 2000. Saat itu mereka sama-sama kuliah di Fakultas Mikrobiologi, University of Madras, India. Awal tahun 2006, mereka meneruskan pendidikan di tempat yang sama yaitu Universiti Putra Malaysia pada Fakultas Health and Medical Science, jurusan Mikrobiologi dan Parasitologi.

Tapi sebelum memulai study-nya di Malaysia, Ahmed difasilitasi Pak Robby untuk mampir dan jalan-jalan ke Indonesia selama dua minggu. Begitu mendarat, Ahmed langsung dibawa Pak Robby meninjau pabrik yang lokasinya sangat dekat dengan bandara. Saat itulah pertama kali kubertemu Ahmed, berkenalan, dan sepuluh hari kemudian menjalin cinta.

Namun di akhir cerita, kami tersandung ‘batu’ yang bagiku memang besar tapi tak lantas menutup jalan menuju puri cinta asal ada usaha yang cukup untuk mendorongnya. Tapi terlalu besar bagi Ahmed dan mutlak tak tersingkirkan, tak terlewati.

Feeling is like a painting; don’t spoil it, face is like a book; try to read it, love is precious; be ready to sacrifice for it.

Ahmed pernah mengatakan hal itu dalam SMS-nya. Tapi, ketika dihadapkan pada kenyataan, ia tak siap berkorban demi cinta kami. Bahkan telah kalah sebelum genderang perang sempat ditabuh!

Api semangat di mata patung pemuda, semua itu tak ada pada Ahmed. Kata semangat tak bermakna baginya. Ia sama sekali tidak memiliki ‘api’ itu. Ia tak sama denganku dalam hal semangat. Tak memiliki fighting spirit untuk memenangkan harapan kami yang kadang kuduga harapanku semata. Semangat juang untuk mengukuhkan ikatan cinta dalam mahligai pernikahan dengan segala suka-duka, tak ada padanya.

Harapan untuk hidup bersama sebagai life-partner putus begitu saja karena ‘pedang’ bernama different country different culture. Aku sungguh kecewa, ia tak sedikit pun bertarung memerangi pedang itu. Timbul pula benih-benih benci saat ia membujukku bersikap praktis: melupakannya, semua kenangan dan juga mimpi-mimpi kami. Sebab tanpa restu amma -nya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, salahkah kumenyebutnya pemuda patung?

Yang lebih membuatku panas hati, hanya dua minggu setelah kembali ke Bangladesh pada tanggal 11 Desember 2006 ia mulai memanggilku bondhu28. Tambah sakit hati sebab ia meyakinkanku untuk benar-benar berpisah dengan tak henti memanggilku demikian di setiap SMS-nya. Lalu kutak pernah lagi menelepon dan hanya sesekali mengirim SMS yang juga hampir tak pernah dibalas. Email pun hanya sesekali kukirim. Sengaja kutulis dalam bahasa Jawa agar ia tidak memahami yang kukatakan. Karena saat itu hatiku sedang luber29 oleh sedih dan putus asa. Juga kangen yang melahar ribuan derajat celcius sebenarnya.

Ahmed pun, sejak bulan Januari 2007 hampir tak pernah membalas SMS-ku. Apalagi mengirim. Mengenai email, sejak pulang ke negaranya Ahmed hanya sekali menulis email di akhir bulan Januari yang berisi ‘talak tiga’. Ditambah warning agar kutak lagi menghubungi karena kakak-perempuannya tak suka. Luka hatiku kian menganga.

Putus jalinan dengan Ahmed membuatku sangat tersiksa. Di sana dengan mudah ia berkata ’lupakan segalanya’ dan sungguh mampu untuk tidak menghubungiku sekian lama. Sementara di sini, aku begitu lelah jatuh-bangun dari upaya melupakan dirinya. Dan dari upaya untuk tidak menghubungi dengan cara apa pun. Di sana pun tak ada tempat atau sesuatu yang bisa mengingatkannya padaku karena tak ada secuil pun memori tercipta. Sedang di sini, begitu banyak hal dan tempat yang selalu bisa membuka tirai ingatanku akan kenangan indah bersamanya. Kenangan yang mampu memanggil dan menambah rasa kecewa sekaligus kangenku padanya.

Seperti juga kenangan di Bundaran Senayan ini. Di sinilah terjalin hubungan cinta kami dan Patung Pemuda Membangun adalah saksinya. Meskipun masih luka, mendendam dan putus komunikasi selama hampir dua tahun, bahkan telah memiliki Riza sebagai penggantinya, tapi sejujurnya, remah-remah hatiku yang hancur masih sangat dan hanya merindukannya.

Aliran darah dan degup jantungku selalu bergetar bila mengenang dirinya yang dulu. Bahkan sampai kini, diam-diam hati kecilku masih menantinya pulang ke puri cinta kami. Karena kucuran airmata kerinduanku padanya masih saja deras mengalir, tak peduli bentangan waktu telah memanjang. Hati pun telah terkoyak oleh cabikan rindu dendam dan segala ucapannya yang bergerigi tajam lagi beracun. Tapi karena sadar cintaku tak akan lagi disambut, maka sisi realistisku yang kadang sepintas mampir, rela membungkus dan melarutkan ia dan mimpiku akan dirinya ke laut lepas.

Sejak diputuskan Ahmed, bila melewati tempat ini, aku selalu memejamkan mata. Lubuk hati menjerit nyeri memandang tempat paling bersejarah ini.

Selama dua minggu di Indonesia, ia telah kubawa beberapa kali melewati Bundaran Senayan. Dan setiap kali melewati tempat ini, kami sering membicarakan sesuatu yang berjuntai di belakang pantat patung pemuda. Pertama kali ia bertanya apakah yang berjuntai itu, tanpa berpikir kujawab: ekor. Mendengar itu, ia lantas tertawa lepas dengan gelinya.

“Jadi, lelaki itu punya ekor?” ia bertanya sambil menyemburkan tawa bertubi-tubi. Menertawakanku lebih tepatnya.

Aku menjadi bingung ia mengatakan bahwa itu patung seorang lelaki. Lalu sejalan dengan mobil Trans Jakarta yang semakin menjauh, aku dapat melihat dengan jelas, patung apakah itu.

Benar. Itu adalah patung seorang pemuda. Tadinya kusangka itu patung monyet. Aku sungguh tidak tahu itu patung seorang pemuda karena saat itu cuma bisa melihat bagian pinggang ke bawah dan hanya selintas. Aku jarang keluar rumah dan tak tahu tentang Patung Pemuda Membangun. Karena patung tak pernah menarik perhatianku.

Aku ikut tertawa demi menutupi rasa malu yang setengah mati dan tersadar betapa tolol diri ini. Lalu setiap melewati tempat itu, ia selalu meledek dengan bertanya, apakah aku masih yakin itu adalah ekor.

Demikian juga saat itu. Kali ke enam kubawa Ahmed menikmati pemandangan kota Jakarta di malam hari, ia kembali meledek dengan menanyakan hal yang sama. Tawanya berderai-derai sambil menunjuk juntaian kain di belakang pantat Patung Pemuda. Karena gemas, pada petang yang berangsur pudar berganti awal malam itu, kuajak Ahmed turun di halte busway Bundaran Senayan. Dengan menarik ujung lengan bajunya, kubawa ia ke tempat saat ini aku tak tegak berdiri.

“Kenapa kita ke sini? Ada apa, siiih?” tanya Ahmed sembari memamerkan Bahasa Indonesia-nya yang semakin baik dan lancar.

Aku tak segera menjawabnya. Malah mendongak ke atas dan menunjuk kain yang berjuntai di belakang pantat patung pemuda.

“Kurasa itu kain,” kataku tak yakin. Ahmed mendongak dengan tawa geli yang kuartikan sebagai ledekan.

”Itu memang kain, Aifa. Untuk melindungi ... karena dia tidak memakai baju. Mengapa masih bingung? Apa kau masih yakin itu ekor?” jawab Ahmed sambil tertawa heran. Aku tersipu dan memilih diam.

”Ehem ...”

Dehem Ahmed terdengar dibuat-buat membuatku mengangkat wajah dan menatap matanya yang memandangku dengan tatapan tersenyum. Entah mengapa rona wajahnya menjadi begitu mempesona. Sepertinya tatap mata itu telah dipenuhi mantra hingga runtuhlah rasa biasaku. Semilir angin yang sejuk menambah indah suasana. Sesuatu telah terjadi! Debar jantungku memainkan irama tak sama tempo dan tekanannya.

Oh, shit. I’m bad. Tak boleh, tak boleh!” seru Ahmed tiba-tiba sambil geleng-geleng kepala lantas membuang muka. Sebuah rasa sakit menggoda, teganya ia mempermainkan jantungku. Menyeretku ke dalam pusaran magnet bernama getar indah lalu melepaskan semaunya.

“Ada apa?” tanyaku lirih.

“Maaf, maafkan saya… Ini tak boleh. Sungguh ini tak boleh.”

“Kamu kenapa, sih?”

Ahmed tak mampu menjawab. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu tapi tertahan oleh sesuatu yang lain. Entah apa sesuatu itu. Aku sungguh tak tahu karena tidak punya mata yang bisa menembus isi dadanya. Tapi dapat kurasa kegelisahan mengintip dari pintu hati Ahmed dari sikapnya yang salah tingkah. Dalam semenit ia beberapa kali membenarkan kacamata yang tidak kenapa-napa. Mengacak-acak rambutnya sambil membuat mimik bodoh dan tersenyum seolah malu pada diri sendiri.

Are you all right?” tanyaku ganti meledek.

“Ya, ya, I’m all right,” jawab Ahmed sekedarnya. Ia tampak sedang dengan sungguh-sungguh memikirkan sesuatu. Lalu ia membelakangiku dengan sempurna, mencoba bersikap santai dengan berkacak pinggang dan mendongak. Menatap wajah Patung Pemuda.

“Kamu mau bicara apa? Katakan saja!” Dari belakang aku menginterogasinya.

It’s not a simple thing,” jawab Ahmed pelan.

“Cobalah untuk mengatakannya!” pintaku sambil menarik ujung lengan bajunya perlahan, supaya ia membalikkan badan menghadap ke arahku. Karena kutak suka lama-lama dibelakangi meski tahu itu bukan karena ia tidak suka padaku.

“Oke, oke. Saya akan coba mengatakannya,” kata Ahmed akhirnya. Setelah posisinya sempurna menghadapku.

“Bagus. Sekarang katakan!”  jawabku sambil menunduk dan menyerongkan badan, menghindari tatapannya yang tepat ke arahku. Seharusnya, kutak perlu mengubah posisinya.

“Eem… Aifa,  do you like me? I mean ....”

“Maaf, maksudmu??!”

Will you be my girlfriend?” tanyanya cepat tampak menutupi rasa gugup. Sorot mataya yang was-was pun tak mampu ia sembunyikan. Mungkin was-was oleh cemas, bila karena terkejut aku bereaksi mengejutkan. Karena permintaannya itu bagiku sebuah kejutan. Benar, aku terkejut. Tidak menyangka baru sepuluh hari kenal ia sudah menyatakan cinta.

Kuhindari tatap matanya dengan melihat lampu-lampu hias berbentuk bunga teratai yang sedang bersinar di depan kami. Tapi kembali aku dan Ahmed beradu pandang sesaat, sebelum mata kami kembali mendarat ke keindahan bunga teratai yang terbuat dari lampu.

“Aku menyukai bunga ini. Bagiku ini bunga tercantik. Kami menyebutnya bunga teratai. Pada zaman dulu disebut bunga padma.”

Klise. Dengan cara klise kualihkan pembicaraan. Menciptakan suasana baru demi melarikan diri dari suasana kikuk.

”Saya juga sangat menyukai bunga teratai. Karena bunga teratai air putih atau yang kami sebut shapla adalah bunga nasional negara kami. Tapi jujur, saya lebih tertarik dengan yang berwarna biru.”

”Kenapa?”

”Kebanyakan bunga teratai air di negara kami berwarna putih. Warna itu melambangkan kedamaian dan sifat kalem. Itulah mengapa shapla yang diambil sebagai bunga nasional. Tapi yang warna biru lebih seksi dan menawan hati. Apalagi ia tak selalu ada di mana-mana seperti shapla. Jadi semakin misterius saja kesannya.”

”Saya belum pernah melihat bunga teratai berwarna biru. Kalau yang warna pink dan putih saya pernah melihat di Taman Buah Mekarsari. Di sana ada Taman Lotus. Sebuah danau yang cukup luas dipenuhi bunga teratai. Di danau tepat di bawah jembatan goyang, bunga teratai putih juga ada. Sayangnya tidak sedang mekar serempak saat saya ke sana.”

”Di negara saya, bunga teratai warna pink juga banyak macamnya. Ada yang warnanya pink penuh, ada juga di ujungnya saja berwarna pink tapi di tengahnya berwarna putih.”

”Aku ingin melihat sebuah danau yang dipenuhi bunga teratai beraneka warna yang sedang mekar bersama. Pasti sangat indah”

”Datanglah ke Bangladesh kalau begitu. Yang kauharapkan ada di sana.”

Sambil tersenyum kecil ia mengundangku datang ke negaranya. Membuat hati ini serasa diguyur bertangki-tangki air bahagia.

”Semoga suatu saat aku ke sana.”

”Saya juga berharap demikian. Tapi ngomong-ngomong, kamu belum menjawab pertanyaan saya.”

Kata Ahmed yang to the point itu memberiku keindahan yang lain. Dalam hati yang gugup aku sibuk bertanya, tidakkah ini terlalu cepat?

Tanya yang tak mampu kunyatakan, tapi entah bagaimana terdengar sampai ke hati Ahmed hingga ia memberiku jawab dengan anggukan kecil namun yakin dibarengi tatap mata penuh harap. Teringat ucapan motivator di radio yang mengatakan obatnya patah hati adalah mencari pengganti, aku pun berpikir untuk menerimanya. Lagipula ia sungguh manis meski tak semenawan Pak Dio. Dan jujur aku sudah jatuh cinta pada getar yang dipendarkannya. Pada sorot matanya yang gencar meyakinkanku.

“Ini kejutan yang buruk?” tanyanya tampak cemas dan entah mengapa kali ini ia tak berani sambil menatapku. Malah mendongak, memandang wajah Patung Pemuda lekat-lekat.

“Tidak. Ini ....”

“Apa?” tanyanya dengan masih tetap mendongak ke atas. Kali ini sambil menatap mata Patung Pemuda yang selalu menyala.

“Ini sebuah kejutan hebat.”

“Benarkah? So, you like me too?” tanyanya antusias sambil menatap mataku lekat-lekat. Tak lama memang. Hanya hanya dua atau tiga kilas. Tapi cukup membuatku tersipu.

“Katakan dengan jelas, Aifa. Apa kamu suka saya?” pintanya penuh harap. Cahaya bintang mengintip di matanya, membuatku luluh dan segera kalah.

I, do.” Jawabku singkat dan lirih.

You do? So, will you be my girlfriend?”

Ahmed kembali mencari ketegasan dengan antusiasme yang berlipat ganda. Tapi kutak segera menjawab. Malah diam dan menemani Pemuda Membangun menjadi patung. Tapi tidak dengan otakku yang merencanakan sesuatu.

“Hei, kamu baik-baik saja?” tanyanya cemas.

“Oh, ya, ya. Saya tidak apa-apa,” jawabku sambil menyembunyikan rasa malu. Aku rasa telah tertangkap basah saat sedang senyum-senyum sendiri.

“Kamu tak harus menjawab sekarang. Come on, Honey. Let’s go!” kata Ahmed sambil memberi isyarat untuk cepat-cepat pergi seiring gerimis mulai menyuntik bumi bertubi-tubi. Tapi aku tak beranjak.

Honey… let’s go!” Ahmed mengulangi.

“Kamu memanggilku Honey?” Akhirnya kukeluarkan juga uneg-unegku.

“Ya. Kamu keberatan?” tanyanya cepat dan mantap.

“Tidak. Tentu saja tidak,” jawabku seketika luluh oleh kemantapan ucapannya.

“Bagus. Sebaiknya kita cepat pergi!”

“Tapi aku ingin memberi jawaban sekarang.”

Ahmed mengalah. Ia urung beranjak dan menatap mataku penuh harap terselip cemas. Semakin mantaplah niat jahilku.

“Kowe ki piye, to? Isih sepuluh dino kok wis ngomong seneng? Mesthi gombal kowe! Iyo, to30??” kataku semakin lama semakin cepat sambil membuat mimik wajah tak percaya. Ahmed menjadi kebingungan, dan ... pias mengaliri wajahnya. Lalu dengan perlahan ia menarik nafas panjang dan menatap langit.

Iyo, to31??” tanyaku kian meninggi. Kian menunjukkan rasa tak percaya.

Ahmed menatapku tak berkedip. Ia sungguh kebingungan. Malu mengkabuti wajah dan bintang-bintang di matanya tiada. Aku tahu, saat itu dia merasa sedang kutolak.

“Apa???” tanyaku seolah semakin tak sabar.

“Aifa, apa semuanya baik-baik saja? Kenapa kamu marah-marah?” tanyanya dalam cemas yang kian erat mengikat pancaran matanya.

“Tapi ... ah, bodo amat dengan semua itu. Kayaknya, aku juga mulai suka sama kamu. Jadi, kita pacaran saja, oke??” kataku sambil membuat mimik baru dan senyum-senyum tak jelas. Ahmed tambah tak mengerti. Ia hanya tercengang dan tampak tak tahu harus bicara apa.

“Oke nggak??!” kataku sambil cengar-cengir32 memperhatikan wajah Ahmed yang semakin kebingungan.

“Mengerti tidak?” tanyaku sekali lagi sambil tertawa senang telah bisa membuatnya tampak bodoh karena kebingungan.

Absolutely not. Kamu tahu saya masih belajar bahasa Indonesia. Kalau kamu bicara cepat saya tak mengerti. Jadi tolong ulangi dan bicaranya pelan-pelaan saja,” pintanya lembut.

“Tidak! Aku tidak akan mengulangi karena tidak suka bicara dua kali. Lagipula aku tidak bicara dalam bahasa Indonesia! Chalo, chalo33!” sambil berlari kuajak Ahmed pergi. Tapi ia tak bergeming, diam terpaku dan tampak sedang berpikir keras. Aku berhenti dan sebentar memperhatikannya yang tetap manis dengan gurat wajah serius itu.

I got you! Saya mengerti, deh. Yes! Yes! Yes!” serunya senang sambil seolah mengangkat piring berisi api ke atas kepalanya. Patung Pemuda Membangun di Bundaran Senayan pun telah menjadi dua.

Aksi itu tidak pernah pudar dari benakku. Bagaimana bisa? Pemuda yang biasa berperilaku kalem itu tiba-tiba ceria, mengekspresikan rasa senang karena cintanya kuterima.

Lalu kami pergi dari Bundaran Senayan dengan suka cita menyelimuti hati penuh hangat. Robinson Blok M yang kami tuju.

Blue-sky is perfect color for love, Honey,” sambil tersenyum ada maksud, Ahmed mengambil selembar baju dan dengan nakalnya berkali-kali mengibaskan ke wajahku.

”Hentikan, Ahmed!” Bentakku manja. Tapi tak digubris. Ia malah terus tertawa dan baru menghentikan tindakannya setelah kuberi ancaman dengan tinju.

”Pakai ini!” Ahmed memerintah bak seorang Raja.

”Ini terlalu sederhana, Ahmed. Aku mau yang ini,” tolakku sambil memperlihatkan baju pilihanku.

”Tak boleh, tak boleh.” Ahmed melarang dan mengambil baju dari tanganku.

”Lho, kenapa??” tanyaku meninggi sambil memelototi senyum misteriusnya.

”Iiiihh kenapa, sih?” tanyaku sambil berusaha merebut kembali baju pilihanku.

”Aku mau yang ini, Ahmed ...!” kataku manja sambil tetap berusaha merebut kembali bajuku pilihanku. Tapi Ahmed tak mau memberikan. Malah menaruhnya di tempat yang tinggi dan tak mungkin terjangkau tanganku.

”Baju pilihanmu tak ada yang warnanya biru langit. Semua warna gelap. Saya mau kamu pakai ini!” Kata Ahmed sambil meletakkan begitu saja baju pilihannya ke kepalaku hingga berjuntai menutupi wajah. Kuambil baju itu dan mengembalikannya pada Ahmed.

”Ini terlalu sederhana, Ahmed ....”

”Justru yang sederhana ini akan membuat kamu tambah misti34, Sayang?” Ahmed mulai merayu. Stop! Aku tak boleh berkata-kata lagi. Senyum tersipuku telah menunjukkan isi hati yang tersanjung oleh ucapannya. Lalu suasana hening menghampiri.

”Aku tahu badanmu bagus karena rajin fitness, tapi kuingin melihatmu memakai baju koko ini.”

Ahmed tersenyum sambil menggelengkan kepala menanggapi permintaanku. Seperti lazimnya penolakan yang acap membuahkan kecewa, aku pun tak terkecuali.

”Saya tak mau.” Ahmed tambah menyakitiku dengan mempertegas penolakannya.

”Ya, sudah. Terserah kamu!” jawabku kesal dan sedih.

Buddhu ....” kata Ahmed sambil tersenyum aneh membuatku curiga akan sesuatu.

Buddhu means?”

It’s mean stupid. Bodoh!”

”Bodoh??! Kamu ....?! Kamu tega memanggilku seperti itu??”

Airmataku hampir jatuh ketika Ahmed dalam senyum nakal sambil geleng-geleng kepala berkata, ”Buddhu, kenapa kamu sedih seperti itu? Saya tak mau menolak lagi. Ugh, betapa cepatnya kamu menangis!”

Muram di wajahku berangsur-angsur terkelupas, tinggalah cerah bercahaya. Apalagi  setelah Ahmed menjelaskan bahwa buddhu adalah sebuah panggilan hangat. Panggilan yang justru membuktikan betapa ia telah merasa dekat hati denganku, hingga berani dan tak sungkan memanggilku Buddhu. Sama seperti ia terkadang memanggil Rasel, sahabatnya.

Ugh!!”

Sorot lampu-depan sebuah mobil menembak tepat di wajahku. Seketika itu kisah masa laluku dengan Ahmed lenyap saat mataku terpejam menghindari silau.

Ketika hangat sinar lampu di wajahku pudar, kubuka mata dan memandang sekitar. Tempat ini yang tadi sepi, hanya ada aku, Ahmed dan patung pemuda, sekarang padat dan sibuk oleh lalu lalang kendaraan.

Ah, Tentu saja. Karena aku lama terlarut dalam kenangan masa silam hingga lupa di mana ragaku berada.

Sejak kehilangan Ahmed, aku phobia memandang tempat-tempat yang penuh kenangan dengannya. Tak terkecuali tempat ini. Batalyon pasukan kepedihan langsung menyergap dan melakukan agresi bila kubiarkan mata terbuka memandang tempat-tempat yang pernah kami singgahi. Itu dulu.

Sekarang kutelah sadar tak mungkin terus-menerus bersikap begitu. Harus kuhapus Ahmed dan kenangan masa lalu kami yang sebenarnya ingin kuteruskan keindahan itu dalam mahligai rumah tangga. Sayang Ahmed tak sepakat. Jadi, mau tak mau, suka tak suka harus kukumpulkan keberanian dan membulatkan tekad untuk datang ke sini dan sudah semestinya berani membuka mata. Menatap dan menantang mata Patung Pemuda Membangun, agar pengaruhnya bagi perasaanku memudar dari waktu ke waktu.

“Hei, Shapla?”

Aku tercengang. Tiba-tiba terdengar suara memanggilku dengan nama bunga itu. Suaranya sangat dekat, begitu dekat seolah bergaung dari dalam jiwaku, seolah memanggilku dari dalam diriku.

Kuremas jemariku yang bergetar. Rasa tak percaya Ahmed berada di sini masih memberiku kejut luar biasa. Tapi kutak bisa berbuat apa pun kecuali diam, sekali lagi menemani Pemuda Membangun menjadi patung.

Benarkah ia ada di sini?! Sulit dipercaya bila benar adanya. Rasa penasaran merambat semakin cepat hingga akhirnya mencapai ubun-ubun.

“Hei, sedang apa kamu di sini?”

Kembali terdengar sebuah suara. Begitu jelas dari belakangku tapi tampaknya suara yang berbeda. Rasa heran dan penasaran kian meletup, segera kubalikkan badan untuk mencari jawab. Dia ...?! Tapi bagaimana bisa ia memanggilku Shapla? Karena hanya Ahmed seorang yang memanggilku demikian.

Bingungku tak habis. Lelaki itu bukan Ahmed, tapi memanggilku dengan panggilan yang hanya diberikan Ahmed. Atau tadi memang ada Ahmed tapi segera lenyap dibawa angin pengembara?

“Apa yang kamu lakukan di sini, Aifa?” Lelaki itu kembali bertanya. Aku gugup hingga tak bisa berpikir.

“Kenapa Bapak di sini??”  Aku malah balik bertanya. Lalu lelaki itu hanya tersenyum maklum.

“Kamu masih ingin di sini?” tanpa menjawab pertanyaanku, ia mengajukan tanya yang segera kujawab dengan gelengan. Lalu lelaki itu memberi isyarat untuk cepat-cepat pergi dari tempat itu dan aku menurutinya.

Selamat tinggal Bundaran Senayan, Selamat tinggal Patung Pemuda, Selamat tinggal Pemuda Patung….

Ketr: 
21.   ISA : Insinyur, Seniman dan Arisektur
22. [Bg]  Ayah 
23. [Bg]  Kakak laki-laki
24. [Jw] Mengelak
25. [Jw] Alangkah lebih baik
26.   Peribahasa untuk melukiskan kata sangat mahal
27. [Jw] Bicara terus terang
28. [Bg] Teman
29. [Jw] Berhamburan keluar karena penuh
30. [Jw] Kamu ini bagaimana, sih? Baru sepuluh hari kenal, sudah berkata suka. 
Pasti kamu bicara gombal. Iya, kan?
31. [Jw] Iya, kan?
32. [Jw] Senyum-senyum geli sendiri
33. [Hd] Ayo pergi
34. [Bg] Manis

1 comment:

  1. mbak lanjutin donk cerita bab 4 nya penasaran nih. thanks

    ReplyDelete