Begitu tahu Pak Diolah si Tak Sopan itu, runcing-runcing duri heran
menggaruk-garuk rasaku. Mengapa ia missed call ke nomorku larut malam
begini? Apakah benar-benar bermaksud meneleponku, atau sekadar salah pencet
nomor? Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, tak juga kutemukan jawabnya meski
bilangan menit telah melesat, meninggalkanku dalam tanya berjawab buntu.
Oh, jadi itu tadi Pak Dio? Maaf, saya kira orang iseng.
Balasan kuterbangkan dengan mengangkut selarik kata pancingan. Tak lama kemudian, balasan Pak Dio datang menyambangi.
Saya bermaksud menelfon kamu,
tapi tiba-tiba saya cancel, takut kamu sudah tidur. Sekali lagi maaf, ya Aifa? Jawab Pak Dio membuat hatiku digelitiki suatu rasa
yang berbeda.
Saya
bermaksud menelfon! Sepertinya itu kata
indahnya. Kata-kata yang tak hanya membawa kunci bagi hati yang tertutup
kelabu, tapi juga menerangi ruangnya dengan dian yang kemerlip dalam kepekatan.
Tdk apa-apa, Pak. Oh, ya, ada apa Bpk ingin telf
sy?
Kamu belum tidur, ya? Saya juga belum. Sulit tidur
karena memikirkan kamu, kenapa sendirian dan tampak sedih di Bundaran Senayan
malam-malam?
Aku terlonjak, gembira sangat karena perhatiannya. Pria yang dulu sangat
jauh dari jangkauan, kini sedang merajutkanku sebuah harapan. Warna pekat di bilik hati, entah
ke mana ia minggat.
Andai Riza bisa mengisi hatiku seperti Pak Dio,
pasti sudah bisa kulupakan Ahmed dari dulu.
Tapi Riza, Ahmed dan Pak Dio hilang dari pelupuk mata, saat Noe menyanyi di telepon gengam, membuatku
tersadar telah mengabaikan Pak Dio yang masih
menunggu jawaban. Dia persis seperti Ahmed dulu. Bila kutak segera menjawab
SMS-nya, Ahmed akan missed call terus
untuk menagih.
Setiap hari walau hanya lewat satu SMS atau sekali panggilan miss called, aku dan Ahmed selalu
menjalin komunikasi. Dalam waktu sepuluh bulan kami menjalani cinta jarak jauh,
hanya lima hari kosong dari komunikasi.
Pertama, saat aku sedih dan marah. Ia tak menjawab SMS-ku karena sedang
mengantar Jessy berbelanja, memasak lalu makan malam bersama bersama gadis
Philipina itu! Betapa geramnya aku hingga balas
dendam dan tidak menjawab SMS-nya selama tiga hari. Aku baru luluh
ketika
ia dalam SMS-nya berkata, listen and silent are two words with same alphabets. But their meaning same for me. Because I can listen to you even you are silent. Saya sungguh minta maaf, Janu. Percayalah, saya tak ada cinta untuk dia. Rasa cinta saya milik kamu seorang.
ia dalam SMS-nya berkata, listen and silent are two words with same alphabets. But their meaning same for me. Because I can listen to you even you are silent. Saya sungguh minta maaf, Janu. Percayalah, saya tak ada cinta untuk dia. Rasa cinta saya milik kamu seorang.
Yang kedua, satu hari sebelum ujian mid-semester, aku sengaja tak tak
mengirim SMS agar ia bisa lebih berkonsentrasi belajar. Tapi itu malah
membuatnya kecewa karena sebuah SMS motivasi justru sedang ia tunggu. Dan yang
ketiga saat tak ada sinyal karena ia pergi ke luar kota untuk suatu tugas.
Ceritanya pjg, Pak. Tp maaf, sy tdk ingin
mengungkit. krn petang tadi sy ke sana utk mengakhiri, jawabku mengelak. Tapi belum sempat jawabanku sampai, SMS yang lain telah
lebih dulu masuk.
Boleh sy telf km skg? No telf rmh km brp?
Oopss?! Kali ini aku bingung dibuatnya. Mood-ku
yang belum pulih benar membuatku malas mengobrol apalagi dini hari begini. Tapi angin membisikkan kata, sungguh bodoh bila tak mengindahkan
permintaannya.
Akan sy beri no telf rmh, tp sy mohon telf ke hape saja dulu krn sdh larut, jawabku dengan menyuguhkan win-win
solution. Usul yang tampaknya
diterima karena tak berapa lama setelah SMS terkirim, Pak Dio menelepon
ke hape yang segera kuterima dengan hati berhias bunga-bunga.
“Aifa, benar kamu tak mau menceritakan masalahmu?”
“Sebaiknya tidak. Maafkan saya, Pak,” jawabku setengah berbisik agar tak
terdengar ayah dari kamar sebelah.
“Oke, saya mengerti. Tapi kalau saya yang cerita tentang masalah saya, kamu
mau dengar, tidak?”
“Bapak mau cerita masalah Bapak sama saya??”
“Iya. Kenapa?”
“Tapi, saya kan bukan teman Bapak.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya… gimana ya?”
“Ya, sudah. Mulai sekarang kamu teman saya, jadi berhentilah memanggil saya
dengan sebutan Bapak. Gimana? Setuju?”
“Saya jadi teman Bapak?” tanya melonjak.
“Iya. Kenapa? Saya terlalu tua untuk kamu, ya?”
“Ah, enggak. Bukan itu. Tapi ….”
“Tapi, apa?”
“Apa saya pantas jadi teman Bapak?”
“Kenapa tidak?”
“Saya ini hanya pegawai rendahan di perusahaan. Sedang Bapak orang kaya, pinter dan seorang manager.”
“Manager?” tanya Pak Dio sambil tertawa.
“Aifa, Aifa. Sekarang saya ini hanya seorang pengangguran,” sambungnya.
“Pengangguran?”
“Iya, dong. Saya kan baru saja tiba di Indonesia dan belum lagi bekerja.
Jadi jelas saya seorang pengangguran, bukan?”
“Iya, sih. Memang. Tapi kan sebentar lagi Bapak akan dapat kerjaan.”
“Amin. Terima kasih doanya.”
“Doa?”
”Iya, Aifa. Ucapan adalah doa.”
”Oo ....”
Hening pun sesaat hadir hingga kuteringat sebuah pertanyaan yang petang
tadi telah dijawabnya tapi belum cukup memuaskanku.
“Oh iya, Pak ... kalau boleh tahu, kenapa Bapak pulang ke Indonesia? Dulu saya dengar Bapak
akan menetap di Negeri Sakura.”
“Saya merasa tidak betah dan selalu merindukan tanah air. Mungkin, karena saya lahir dan besar di sini, ya?”
“Iya, Pak. Mungkin.”
“Aduh Fa, kamu jangan panggil ‘Bapak’ lagi! Yaaa?!”
“Jadi panggil apa, Pak?”
“Apa ya enaknya ...?”
“Kak?”
“Ya, boleh. Hmm, ya … Kak Dio lebih pas … kan lucu kalau dipanggil Akang
Dio atau Bang Dio. Iya, nggak?”
“Apalagi Engkong Dio!” sahutku
sambil tertawa.
“Nah, gitu, dong! Aku senang kamu ceria,” kata Kak
Dio kembali membuatku habis kata.
“Semua keluargaku lebih suka tinggal di Jepang. Aku satu-satunya yang
tidak,” kata Kak Dio mengisi keheningan kami. Ia bahkan sudah tak lagi menyebut
dirinya ’saya’, tapi ’aku’, seolah sedang mendekatkan jarak antara aku dan
dirinya.
“Dooshite49? Bukankah Jepang itu sebuah
negara maju yang serba benri50?”
”Heeh, kamu bisa berbahasa Jepang, ya?
”Ya, sedikit. Saya sedang kuliah jurusan bahasa Jepang. Sekarang sudah semester
enam, Kak.”
“Oh, begitu? Trus, kamu berhenti kerja?”
“Tidak, saya kuliah sambil bekerja.”
“Hebat! Luar biasa kamu! Ambil kelas malam?”
“Iya, Kak.”
“Aa, soo51? Ganbatte ne52.”
“Hai, ganbarimasu53.”
“Oh ya, tadi Kak Dio mau cerita apa?”
“Oh, iya. Kok jadi lupa, ya? Tapi, kamu benar, masa lalu tidak perlu
diungkit-ungkit. Jadi , tak usah dibahas, ya?”
“Iya, buat apa? Yang dipikirin aja nggak mikirin kita. Iya, kan?”
“Iya.”
“Seenaknya saja ninggalin secara sepihak!”
“Iya, dia juga ninggalin Kakak begitu saja. Begitu cepat.”
“Begitu saja? Dan, begitu cepat?”
“Ya, begitulah.”
“Sama. Tapi dia tidak lantas memanggil Kak Dio dengan sebutan ‘teman’,
kan?”
“Maksudnya?”
“Dia ... mantan pacarku itu, setelah ninggalin aku secara sepihak dan
mendadak, dengan teganya ia memanggilku ‘teman’. Aku nggak terima banget
dipanggil begitu. Dulu kami bagai dua sejoli yang saling menyayangi dan
menjaga perasaan masing-masing. Tapi setelah memutuskan cinta, dia selalu dan selalu
menegaskan hubungan kami dengan memanggilku ‘teman’. Dan begitu cepatnya ia berubah menjadi tidak peduli dengan perasaanku.”
“Begitu, ya? Kenapa dia begitu?”
“Rasanya ingin marah. Kenapa persoalan kecil begini dibesar-besarkan?”
“Persoalan apa?”
“Ibunya tidak restu karena beda negara beda budaya. Klise, kan?”
“Ooh. Itu?”
“Apa masalah seperti ini masih up to
date?”
“Dia berasal dari mana?”
“Bangladesh.”
“Bangladesh??”
Percakapan kami terhenti mendadak setelah kusebut asal negara Ahmed. Entah
apa yang dipikirkan Kak Dio. Yang jelas ia menjadi terdiam karenanya.
“Fa, tidak saja di Bangladesh maupun Indonesia. Di mana-mana yang seperti
itu masih ada, apalagi di daerah Asia.”
“Hmm ... iya juga, sih. Benar
juga kata orang, menang umur menang akal, pengetahuan dan pengalaman. Kak Dio
benar, yang seperti itu memang masih suka ada.”
“Sekarang kamu jangan bete lagi, ya?”
“Hai, wakarimashita54.”
“Sekarang kamu coba tidur, karena besok
harus kerja dan sorenya kuliah. Kalau kurang istirahat nanti kamu bisa ambruk55.”
“Ya, Kak. Kakak juga ya. Kita nggak usah mikirin orang yang sudah m’buang kita.”
“Hmm… tapi dia tidak membuang Kakak. Dia meninggal karena ulah Kakak.”
“Oh??! Maaf, maaf, saya pikir kita benar-benar senasib.”
“Kita memang senasib, harus merelakan orang yang kita cintai. Hanya
kisahnya saja yang berbeda.”
“Kalau Sabtu besok ketemuan gimana? Aku ingin dengar cerita tentang dia.
Kalau Kakak tak keberatan sekali saja mengungkit masa lalu.”
“Sekalian bantu Kakak bersih-bersih rumah, ya?”
“Kamaimasen yo56. Ja, oyasuminasai.”
”Oyasuminasai.”
Aku dan Kak Dio menutup telepon bersamaan. Tapi, setelah beberapa saat, ada
sebuah pertanyaan mengusik. Mengapa Kak Dio selalu menyebut dirinya ‘kakak’ padaku?
?
Jam dua belas yang kunanti-nanti akhirnya tiba, membuat wajah dan mata pucatku sedikit
mencerah.
“Mbak
Aifa, ayo!” ajak Tami yang telah berdiri di belakangku.
“Yuk!” jawabku sambil beranjak.
Aku
dan Tami meninggalkan receiption desk.
Dan dengan motornya kami menuju tempat kos Tami yang berlokasi tak jauh dari
pabrik. Tapi setelah sampai di kamarnya, Tami mengatakan kalau dirinya sangat
lapar dan ingin pergi makan dulu. Terpaksa kubiarkan dirinya
pergi.
Segera kurebahkan tubuh yang sedari tadi mengemis untuk
diistirahatkan. Coba kupejamkan mata, indra yang sangat sering kubuat sengsara
demi menuruti perasaan yang gemar memanggil sedu sedan, mengenang Ahmed yang
sikapnya membuat hati luka.
Padahal saat sisi realistisku berkuasa, aku bisa melupakan Ahmed dan
melangkah dengan ringan. Tapi sayang, sisi itu tak pernah mampu bertahan lama. Dia sering
kalah dihajar tentara-tentara dari kerajaan mimpiku. Tentara-tentara yang
kutugaskan menjemput Ahmed untuk bersama tinggal di istana yang megah di mana
duka dan segenap pengikutnya tak pernah diijinkan masuk.
Namun saat malam mendekap jagat raya, aku selalu saja tak mudah tidur. Saat
itulah, hanya Ahmed dan tentang Ahmed yang selalu memenuhi benakku yang tak
bertepi dan tak berpenghuni. Kecuali aku dan Ahmed yang ditemani cinta kasih
kami.
Seperti juga semalam. Lagi-lagi kutak tidur sama sekali. Sampai di rumah,
aku yang harusnya beristirahat malah tak kuasa membendung kembalinya Ahmed
dalam ingatan.
Meski ia seolah antara ada dan tiada dalam kehidupan masa laluku, meski ia dan cinta
kasihnya bagai musim yang telah berlalu, tapi
entah mengapa hanya dengan teringat namanya jiwaku begitu bergetar. Getar duka
lara, getar hati yang teraniaya luka. Lalu getar itu mengundang airmata untuk
membanjiri, menyeret arak-arakan hitam agar memeluk, menghalau senyum dan
menghajar nalarku hingga pingsan dan terkalahkan.
Ketika nalar kembali siuman, sisi realistisku bisa dengan tegas berkata:
mengenang Ahmed adalah pekerjaan sia-sia. Karena ia hanya seseorang dari masa
lalu, yang tak akan pernah kembali demi Galeri Valobashi kami yang tak
terurus lagi.
Begitulah. Sayangnya, iming-iming dari dunia khayal jauh lebih sering
menang dan menguasai hidupku. Aku lebih suka hidup dalam cengkeraman masa lalu
yang penuh cinta dan melanjutkan keindahan itu di dunia imaji yang tak
berbatas. Aku tak senang berusaha keras untuk hidup di dunia nyata yang
mengecewakan ini. Aku begitu lekas lelah dan rela tersungkur jatuh dalam
pasrah.
Apa karena aku berusaha seorang diri?
Tiba-tiba sebuah tanya mengemuka. Tanya yang buru-buru disusul jawabannya.
Kak Dio.
Benar. Dia bisa dijadikan sekutu untuk membantuku menyingkirkan Ahmed. Tak
dipungkiri, begitu bertemu kembali dengannya hatiku telah bertemu harapan.
Apalagi ia begitu perhatian.
Semalam, saat tak sengaja melihatku di Bundaran Senayan, ia langsung menghampiri lalu
mengantarku pulang sampai di depan rumah. Aku sungguh tersanjung meski tak tahu mengapa ia merasa perlu melakukan itu.
Tapi sayang, di rumah aku bertemu kembali bayang Ahmed yang membawa dan menjatuhkan sekarung pilu ke atas bongkah hati hingga remuk.
Beruntung Kak Dio tak tinggal diam. Ia datang bersama harapan melalui
obrolan dini hari yang tak biasa. Ahmed pun kalah dan akhirnya memudar. Setelah
itu, hanya Kak Dio yang kuijinkan menghuni pikiran. Dan dengan sangat lembut,
impian lamaku akan dia kembali bangkit. Aku tak bisa memejamkan mata barang
sedetik karenanya.
Adalah tiga tahun setelah Kak Dio undur diri dari perusahaan ini, aku tak
pernah melihatnya lagi. Namun, entah angin apa yang semalam membawanya padaku.
Sungguh tak disangka-sangka, ia muncul begitu saja di hadapanku. Aku jadi ingat
saat-saat jatuh cinta pada mantan Manajer Produksi yang dulu populer di perusahaan ini.
“Boleh saya minta tolong?” tanyanya halus dan lembut.
“Ya,
Pak. Tentu.”
”Tolong
kamu memakai topi dengan benar. Jangan biarkan rambutmu tampak keluar. Jika
sehelai saja jatuh, bisa menempel pada produk. Kita hanya menjual minuman,
tanpa rambut sebagai bonusnya. Kamu mengerti?”
“Mengerti,
Pak.”
”Saya
akan berterima kasih jika kamu bersedia menjadi karyawati yang baik dan patuh
pada aturan perusahaan. Itu juga akan baik
untukmu.”
”Baik,
Pak,” jawabku monoton namun penuh penghargaan atas sikap baiknya.
Begitulah awal perkenalanku
dengan Kak Dio. Saat itulah pertama kali aku dapat melihat wajah uniknya dari
dekat. Percampuran darah Jepang-Brazil dari ayah dan
India-Indonesia dari ibu menghasilkan output57 yang menawan. Wajah dan
kulit putih gandumnya sangat eksotis. Garis wajahnya campuran kuat antara wajah
latin yang tampan dan India yang manis. Hidungnya mancung, khas hidung orang
Asia Selatan. Tapi cara kerjanya teliti dan bersungguh-sungguh persis orang
Jepang. Sedangkan sikap kesehariannya tak ada beda dengan
orang Indonesia tulen. Namanya pun campuran Brazil, Jepang, India muslim dan
Indonesia. Claudio Asif Pradana Kumagai adalah nama lengkapnya. Pada pria itu,
diam-diam aku mulai jatuh hati dan bermimpi mencapai tahta cintanya.
Di
sela-sela kesibukannya mengawasi pekerjaan anak buah, ia mendapat telepon dari
seseorang. Aku tidak tahu ia berbicara dengan siapa, tapi nadanya begitu santun
dan enak didengar. Kata pertama yang keluar dari bibir bernilai seratus itu
adalah kata otoosan. Kukira itu
adalah bahasa Jepang karena ia memang keturunan Jepang dan bisa berbahasa Jepang.
Kusimpan baik-baik kata itu di folder ingatan. Meskipun tak tahu apa
artinya, tapi bisa kurasakan nada cinta, kesopanan dan takzim yang mendalam
pada seseorang yang ia panggil otoosan. Hal itu membuatku sungguh ingin tahu, siapa otoosan
baginya.
Sejak itu, aku jadi ingin belajar bahasa Jepang. Kuingin di matanya menjadi
lebih istimewa dibanding gadis lain. Juga, agar punya bahan untuk mengajaknya
bicara, membahas sesuatu berlama-lama.
Begitu mulai belajar bahasa Jepang, kata pertama yang kutanyakan arti
bahasa Indonesianya kepada sensei58 tentu saja kata otoosan. Begitu tahu arti kata otoosan,
aku semakin larut dalam kekaguman akan dirinya. Ia seorang yang tak pernah sepi
dari pembicaraan karena wajah tampannya. Memiliki badan yang bagus karena rajin
berolahraga dan kerendahan hati yang terekspresikan dari sikap sopan dan tak
membedakan. Selain semua itu, ternyata ia juga seorang anak yang hormat dan
santun pada otoosan alias ayahnya.
Aku belajar bahasa Jepang memang untuk mendekati pria yang nyaris sempurna
itu. Tapi sayang, baru sebulan masuk kuliah, ia mengundurkan diri karena akan
menetap di Jepang. Saat itu aku dipaksa sadar telah menghayal terlalu tinggi.
Memang tak seharusnya kudapatkan dia karena bukan ‘ukuran’ku. Dan aku pun pasti
bukan ‘ukuran’nya. Setelah tiga tahun berlalu, aku mendapatkan Riza yang dulu
pernah menjadi anak buahnya. Mungkin inilah ‘ukuran’ku.
Kreeettt….
Tiba-tiba seseorang membuka pintu tanpa mengetuk. Sudah
tentu aku kaget, dan itu membuyarkan pikiranku akan Kak Dio.
“Anya
...?”
“Aku ngantuk banget, Fa. Semalem Eva rewel. Aku nggak
tidur sampai pagi,” kata Anya sambil tanpa basa-basi merebahkan tubuhnya di
sampingku.
“Ya,
udah. Tidur, aja. Nanti aku bangunin.”
“Kamu tumben, pakai acara tidur siang segala.”
“Sama seperti kamu. Nggak tidur sampai pagi.”
“Kamu pasti mikirin Ahmed sepanjang malam. Susah ya
mbilangin kamu. Ngapain sih, kamu mikirin dia terus?? Nglupain dia, apa
susahnya, sih!!” Anya meletup-letup, entah disengat lebah yang datang dari
mana.
“Aku nggak mikirin dia semalam suntuk.”
“Ah, gak percaya. Kamu tuh kebiasaan banget gak tidur sampai pagi hanya
karena mikirin dia. Lama-lama capek juga ya ngasih tahu kamu. Susah banget
ngomong sama orang yang nggak ngerti-ngerti!”
“Kalau kamu capek, berhentilah. Apa susahnya, sih?
Sudahlah, kamu tidur saja. Jangan neriakin aku lagi!”
“Kok kamu ngomong gitu? Aku kan ngingetin kamu, biar gak
suka nyiksa diri karena si Ahmed sompret itu!”
“Kamu yang mulai, sih.”
Anya langsung diam. Aku pun demikian. Kami lalu saling tidur
membelakangi. Setelah beberapa menit, Anya dibawa terbang malaikat penjaganya
ke kerajaan mimpi. Dengkur halusnya sangat mengganggu. Tapi bukan itu yang
membuatku tambah tak bisa tidur.
Aku bangun dan menatap wajah sahabatku yang tampak layu dibebat lelah. Anya, semuda
ini telah menjadi seorang single
parent. Ia pasti sangat lelah mengurus anaknya hingga tak sadar bicara
keras padaku.
Ketr.
49. [Jp] Kenapa
50. [Jp] Praktis
51. [Jp] Oh, begitu?
52. [Jp] Berusahalah dengan keras, ya?
53. [Jp] Ya, saya akan berusaha dengan keras
54. [Jp] Ya, saya mengerti
55. [Jw] Jatuh. Maksudnya sakit.
56. [Jp] Saya tidak keberatan, kok. Kalau begitu, selamat istirahat
57. [Ing] Keluaran, hasil
58. [Jp] Guru
No comments:
Post a Comment