Thursday, December 12, 2013

Bab 5 : SEMI


Begitu tahu Pak Diolah si Tak Sopan itu, runcing-runcing duri heran menggaruk-garuk rasaku. Mengapa ia missed call ke nomorku larut malam begini? Apakah benar-benar bermaksud meneleponku, atau sekadar salah pencet nomor? Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, tak juga kutemukan jawabnya meski bilangan menit telah melesat, meninggalkanku dalam tanya berjawab buntu.

Oh, jadi itu tadi Pak Dio? Maaf, saya kira orang iseng.

Balasan kuterbangkan dengan mengangkut selarik kata pancingan. Tak lama kemudian, balasan Pak Dio datang menyambangi.

            Saya bermaksud menelfon kamu, tapi tiba-tiba saya cancel, takut kamu sudah tidur. Sekali lagi maaf, ya Aifa? Jawab Pak Dio membuat hatiku digelitiki suatu rasa yang berbeda.

            Saya bermaksud menelfon! Sepertinya itu kata indahnya. Kata-kata yang tak hanya membawa kunci bagi hati yang tertutup kelabu, tapi juga menerangi ruangnya dengan dian yang kemerlip dalam kepekatan.

Tdk apa-apa, Pak. Oh, ya, ada apa Bpk ingin telf sy?

Kamu belum tidur, ya? Saya juga belum. Sulit tidur karena memikirkan kamu, kenapa sendirian dan tampak sedih di Bundaran Senayan malam-malam?

Aku terlonjak, gembira sangat karena perhatiannya. Pria yang dulu sangat jauh dari jangkauan, kini sedang merajutkanku sebuah harapan. Warna pekat di bilik hati, entah ke mana ia minggat.

Andai Riza bisa mengisi hatiku seperti Pak Dio, pasti sudah bisa kulupakan Ahmed dari dulu.

Tapi Riza, Ahmed dan Pak Dio hilang dari pelupuk mata, saat Noe menyanyi di telepon gengam, membuatku tersadar telah mengabaikan Pak Dio yang masih menunggu jawaban. Dia persis seperti Ahmed dulu. Bila kutak segera menjawab SMS-nya, Ahmed akan missed call terus untuk menagih.

Setiap hari walau hanya lewat satu SMS atau sekali panggilan miss called, aku dan Ahmed selalu menjalin komunikasi. Dalam waktu sepuluh bulan kami menjalani cinta jarak jauh, hanya lima hari kosong dari komunikasi.

Pertama, saat aku sedih dan marah. Ia tak menjawab SMS-ku karena sedang mengantar Jessy berbelanja, memasak lalu makan malam bersama bersama gadis Philipina itu! Betapa geramnya aku hingga balas dendam dan tidak menjawab SMS-nya selama tiga hari. Aku baru luluh ketika
ia dalam SMS-nya berkata, listen and silent are two words with same alphabets. But their meaning same for me. Because I can listen to you even you are silent. Saya sungguh minta maaf, Janu. Percayalah, saya tak ada cinta untuk dia. Rasa cinta saya milik kamu seorang.

Yang kedua, satu hari sebelum ujian mid-semester, aku sengaja tak tak mengirim SMS agar ia bisa lebih berkonsentrasi belajar. Tapi itu malah membuatnya kecewa karena sebuah SMS motivasi justru sedang ia tunggu. Dan yang ketiga saat tak ada sinyal karena ia pergi ke luar kota untuk suatu tugas.

Ceritanya pjg, Pak. Tp maaf, sy tdk ingin mengungkit. krn petang tadi sy ke sana utk mengakhiri, jawabku mengelak. Tapi belum sempat jawabanku sampai, SMS yang lain telah lebih dulu masuk.

Boleh sy telf km skg? No telf rmh km brp?

Oopss?! Kali ini aku bingung dibuatnya. Mood-ku yang belum pulih benar membuatku malas mengobrol apalagi dini hari begini. Tapi angin membisikkan kata, sungguh bodoh bila tak mengindahkan permintaannya.

Akan sy beri no telf rmh, tp sy mohon telf  ke hape saja dulu krn sdh larut, jawabku dengan menyuguhkan win-win solution. Usul yang tampaknya diterima karena tak berapa lama setelah SMS terkirim, Pak Dio menelepon ke hape yang segera kuterima dengan hati berhias bunga-bunga.

“Aifa, benar kamu tak mau menceritakan masalahmu?”
“Sebaiknya tidak. Maafkan saya, Pak,” jawabku setengah berbisik agar tak terdengar ayah dari kamar sebelah.
“Oke, saya mengerti. Tapi kalau saya yang cerita tentang masalah saya, kamu mau dengar, tidak?”
“Bapak mau cerita masalah Bapak sama saya??”
“Iya. Kenapa?”
“Tapi, saya kan bukan teman Bapak.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya… gimana ya?”

“Ya, sudah. Mulai sekarang kamu teman saya, jadi berhentilah memanggil saya dengan sebutan Bapak. Gimana? Setuju?”
“Saya jadi teman Bapak?” tanya melonjak.
“Iya. Kenapa? Saya terlalu tua untuk kamu, ya?”
“Ah, enggak. Bukan itu. Tapi ….”
“Tapi, apa?”
“Apa saya pantas jadi teman Bapak?”
“Kenapa tidak?”

“Saya ini hanya pegawai rendahan di perusahaan. Sedang Bapak orang kaya, pinter dan seorang manager.”
Manager?” tanya Pak Dio sambil tertawa.
“Aifa, Aifa. Sekarang saya ini hanya seorang pengangguran,” sambungnya.
“Pengangguran?”
“Iya, dong. Saya kan baru saja tiba di Indonesia dan belum lagi bekerja. Jadi jelas saya seorang pengangguran, bukan?”
“Iya, sih. Memang. Tapi kan sebentar lagi Bapak akan dapat kerjaan.”
“Amin. Terima kasih doanya.”
“Doa?”
”Iya, Aifa. Ucapan adalah doa.”
”Oo ....”

Hening pun sesaat hadir hingga kuteringat sebuah pertanyaan yang petang tadi telah dijawabnya tapi belum cukup memuaskanku.

“Oh iya, Pak ... kalau boleh tahu, kenapa Bapak pulang ke Indonesia? Dulu saya dengar Bapak akan menetap di Negeri Sakura.”

“Saya merasa tidak betah dan selalu merindukan tanah air. Mungkin, karena saya lahir dan besar di sini, ya?”

Iya, Pak. Mungkin.
“Aduh Fa, kamu jangan panggil ‘Bapak’ lagi! Yaaa?!”
“Jadi panggil apa, Pak?”
“Apa ya enaknya ...?”
“Kak?”

“Ya, boleh. Hmm, ya … Kak Dio lebih pas … kan lucu kalau dipanggil Akang Dio atau Bang Dio. Iya, nggak?”
Apalagi Engkong Dio!” sahutku sambil tertawa.
“Nah, gitu, dong! Aku senang kamu ceria,” kata Kak Dio kembali membuatku habis kata.

“Semua keluargaku lebih suka tinggal di Jepang. Aku satu-satunya yang tidak,” kata Kak Dio mengisi keheningan kami. Ia bahkan sudah tak lagi menyebut dirinya ’saya’, tapi ’aku’, seolah sedang mendekatkan jarak antara aku dan dirinya.

Dooshite49? Bukankah Jepang itu sebuah negara maju yang serba benri50?”  
”Heeh, kamu bisa berbahasa Jepang, ya?
”Ya, sedikit. Saya sedang kuliah jurusan bahasa Jepang. Sekarang sudah semester enam, Kak.”
“Oh, begitu? Trus, kamu berhenti kerja?”
“Tidak, saya kuliah sambil bekerja.”
“Hebat! Luar biasa kamu! Ambil kelas malam?”
“Iya, Kak.”
Aa, soo51? Ganbatte ne52.”
Hai, ganbarimasu53.”
“Oh ya, tadi Kak Dio mau cerita apa?”

“Oh, iya. Kok jadi lupa, ya? Tapi, kamu benar, masa lalu tidak perlu diungkit-ungkit. Jadi , tak usah dibahas, ya?”
“Iya, buat apa? Yang dipikirin aja nggak mikirin kita. Iya, kan?”
“Iya.”
“Seenaknya saja ninggalin secara sepihak!”
“Iya, dia juga ninggalin Kakak begitu saja. Begitu cepat.”
“Begitu saja? Dan, begitu cepat?”
“Ya, begitulah.”
“Sama. Tapi dia tidak lantas memanggil Kak Dio dengan sebutan ‘teman’, kan?”
“Maksudnya?”

“Dia ... mantan pacarku itu, setelah ninggalin aku secara sepihak dan mendadak, dengan teganya ia memanggilku ‘teman’. Aku nggak terima banget dipanggil begitu. Dulu kami bagai dua sejoli yang saling menyayangi dan menjaga perasaan masing-masing. Tapi setelah memutuskan cinta, dia selalu dan selalu menegaskan hubungan kami dengan memanggilku ‘teman’. Dan begitu cepatnya ia berubah menjadi tidak peduli dengan perasaanku.”

“Begitu, ya? Kenapa dia begitu?”
“Rasanya ingin marah. Kenapa persoalan kecil begini dibesar-besarkan?”
“Persoalan apa?”
“Ibunya tidak restu karena beda negara beda budaya. Klise, kan?”
“Ooh. Itu?”
“Apa masalah seperti ini masih up to date?”
“Dia berasal dari mana?”
“Bangladesh.”
“Bangladesh??”

Percakapan kami terhenti mendadak setelah kusebut asal negara Ahmed. Entah apa yang dipikirkan Kak Dio. Yang jelas ia menjadi terdiam karenanya.

“Fa, tidak saja di Bangladesh maupun Indonesia. Di mana-mana yang seperti itu masih ada, apalagi di daerah Asia.”

“Hmm ... iya juga, sih. Benar juga kata orang, menang umur menang akal, pengetahuan dan pengalaman. Kak Dio benar, yang seperti itu memang masih suka ada.”

“Sekarang kamu jangan bete lagi, ya?”

Hai, wakarimashita54.”

“Sekarang kamu coba tidur, karena besok harus kerja dan sorenya kuliah. Kalau kurang istirahat nanti kamu bisa ambruk55.”

“Ya, Kak. Kakak juga ya. Kita nggak usah mikirin orang yang sudah m’buang kita.”
“Hmm tapi dia tidak membuang Kakak. Dia meninggal karena ulah Kakak.”
“Oh??! Maaf, maaf, saya pikir kita benar-benar senasib.”
“Kita memang senasib, harus merelakan orang yang kita cintai. Hanya kisahnya saja yang berbeda.”
“Kalau Sabtu besok ketemuan gimana? Aku ingin dengar cerita tentang dia. Kalau Kakak tak keberatan sekali saja mengungkit masa lalu.”
“Sekalian bantu Kakak bersih-bersih rumah, ya?”
Kamaimasen yo56. Ja, oyasuminasai.”
Oyasuminasai.
Aku dan Kak Dio menutup telepon bersamaan. Tapi, setelah beberapa saat, ada sebuah pertanyaan mengusik. Mengapa Kak Dio selalu menyebut dirinya ‘kakak’ padaku?
?


            Jam dua belas yang kunanti-nanti akhirnya tiba, membuat wajah dan mata pucatku sedikit mencerah.
            “Mbak Aifa, ayo!” ajak Tami yang telah berdiri di belakangku.
“Yuk!” jawabku sambil beranjak.

            Aku dan Tami meninggalkan receiption desk. Dan dengan motornya kami menuju tempat kos Tami yang berlokasi tak jauh dari pabrik. Tapi setelah sampai di kamarnya, Tami mengatakan kalau dirinya sangat lapar dan ingin pergi makan dulu. Terpaksa kubiarkan dirinya pergi.

            Segera kurebahkan tubuh yang sedari tadi mengemis untuk diistirahatkan. Coba kupejamkan mata, indra yang sangat sering kubuat sengsara demi menuruti perasaan yang gemar memanggil sedu sedan, mengenang Ahmed yang sikapnya membuat hati luka.

Padahal saat sisi realistisku berkuasa, aku bisa melupakan Ahmed dan melangkah dengan ringan. Tapi sayang, sisi itu tak pernah mampu bertahan lama. Dia sering kalah dihajar tentara-tentara dari kerajaan mimpiku. Tentara-tentara yang kutugaskan menjemput Ahmed untuk bersama tinggal di istana yang megah di mana duka dan segenap pengikutnya tak pernah diijinkan masuk.

Namun saat malam mendekap jagat raya, aku selalu saja tak mudah tidur. Saat itulah, hanya Ahmed dan tentang Ahmed yang selalu memenuhi benakku yang tak bertepi dan tak berpenghuni. Kecuali aku dan Ahmed yang ditemani cinta kasih kami.

Seperti juga semalam. Lagi-lagi kutak tidur sama sekali. Sampai di rumah, aku yang harusnya beristirahat malah tak kuasa membendung kembalinya Ahmed dalam ingatan.

Meski ia seolah antara ada dan tiada dalam kehidupan masa laluku, meski ia dan cinta kasihnya bagai musim yang telah berlalu, tapi entah mengapa hanya dengan teringat namanya jiwaku begitu bergetar. Getar duka lara, getar hati yang teraniaya luka. Lalu getar itu mengundang airmata untuk membanjiri, menyeret arak-arakan hitam agar memeluk, menghalau senyum dan menghajar nalarku hingga pingsan dan terkalahkan.

Ketika nalar kembali siuman, sisi realistisku bisa dengan tegas berkata: mengenang Ahmed adalah pekerjaan sia-sia. Karena ia hanya seseorang dari masa lalu, yang tak akan pernah kembali demi Galeri Valobashi kami yang tak terurus lagi.

Begitulah. Sayangnya, iming-iming dari dunia khayal jauh lebih sering menang dan menguasai hidupku. Aku lebih suka hidup dalam cengkeraman masa lalu yang penuh cinta dan melanjutkan keindahan itu di dunia imaji yang tak berbatas. Aku tak senang berusaha keras untuk hidup di dunia nyata yang mengecewakan ini. Aku begitu lekas lelah dan rela tersungkur jatuh dalam pasrah.

Apa karena aku berusaha seorang diri?
Tiba-tiba sebuah tanya mengemuka. Tanya yang buru-buru disusul jawabannya.
Kak Dio.

Benar. Dia bisa dijadikan sekutu untuk membantuku menyingkirkan Ahmed. Tak dipungkiri, begitu bertemu kembali dengannya hatiku telah bertemu harapan. Apalagi ia begitu perhatian.

Semalam, saat tak sengaja melihatku di Bundaran Senayan, ia langsung menghampiri lalu mengantarku pulang sampai di depan rumah. Aku sungguh tersanjung meski tak tahu mengapa ia merasa perlu melakukan itu.

Tapi sayang, di rumah aku bertemu kembali bayang Ahmed yang membawa dan menjatuhkan sekarung pilu ke atas bongkah hati hingga remuk.

Beruntung Kak Dio tak tinggal diam. Ia datang bersama harapan melalui obrolan dini hari yang tak biasa. Ahmed pun kalah dan akhirnya memudar. Setelah itu, hanya Kak Dio yang kuijinkan menghuni pikiran. Dan dengan sangat lembut, impian lamaku akan dia kembali bangkit. Aku tak bisa memejamkan mata barang sedetik karenanya.

Adalah tiga tahun setelah Kak Dio undur diri dari perusahaan ini, aku tak pernah melihatnya lagi. Namun, entah angin apa yang semalam membawanya padaku. Sungguh tak disangka-sangka, ia muncul begitu saja di hadapanku. Aku jadi ingat saat-saat jatuh cinta pada mantan Manajer Produksi yang dulu populer di perusahaan ini.

            “Boleh saya minta tolong?” tanyanya halus dan lembut.
            “Ya, Pak. Tentu.”

            ”Tolong kamu memakai topi dengan benar. Jangan biarkan rambutmu tampak keluar. Jika sehelai saja jatuh, bisa menempel pada produk. Kita hanya menjual minuman, tanpa rambut sebagai bonusnya. Kamu mengerti?”

            “Mengerti, Pak.
            ”Saya akan berterima kasih jika kamu bersedia menjadi karyawati yang baik dan patuh pada aturan perusahaan. Itu juga akan baik untukmu.”
            ”Baik, Pak,” jawabku monoton namun penuh penghargaan atas sikap baiknya.

            Begitulah awal perkenalanku dengan Kak Dio. Saat itulah pertama kali aku dapat melihat wajah uniknya dari dekat. Percampuran darah Jepang-Brazil dari ayah dan India-Indonesia dari ibu menghasilkan output57 yang menawan. Wajah dan kulit putih gandumnya sangat eksotis. Garis wajahnya campuran kuat antara wajah latin yang tampan dan India yang manis. Hidungnya mancung, khas hidung orang Asia Selatan. Tapi cara kerjanya teliti dan bersungguh-sungguh persis orang Jepang. Sedangkan sikap kesehariannya tak ada beda dengan orang Indonesia tulen. Namanya pun campuran Brazil, Jepang, India muslim dan Indonesia. Claudio Asif Pradana Kumagai adalah nama lengkapnya. Pada pria itu, diam-diam aku mulai jatuh hati dan bermimpi mencapai tahta cintanya.

            Di sela-sela kesibukannya mengawasi pekerjaan anak buah, ia mendapat telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ia berbicara dengan siapa, tapi nadanya begitu santun dan enak didengar. Kata pertama yang keluar dari bibir bernilai seratus itu adalah kata otoosan. Kukira itu adalah bahasa Jepang karena ia memang keturunan Jepang dan bisa berbahasa Jepang. Kusimpan baik-baik kata itu di folder ingatan. Meskipun tak tahu apa artinya, tapi bisa kurasakan nada cinta, kesopanan dan takzim yang mendalam pada seseorang yang ia panggil otoosan. Hal itu membuatku sungguh ingin tahu, siapa otoosan baginya.

Sejak itu, aku jadi ingin belajar bahasa Jepang. Kuingin di matanya menjadi lebih istimewa dibanding gadis lain. Juga, agar punya bahan untuk mengajaknya bicara, membahas sesuatu berlama-lama.

Begitu mulai belajar bahasa Jepang, kata pertama yang kutanyakan arti bahasa Indonesianya kepada sensei58 tentu saja kata otoosan. Begitu tahu arti kata otoosan, aku semakin larut dalam kekaguman akan dirinya. Ia seorang yang tak pernah sepi dari pembicaraan karena wajah tampannya. Memiliki badan yang bagus karena rajin berolahraga dan kerendahan hati yang terekspresikan dari sikap sopan dan tak membedakan. Selain semua itu, ternyata ia juga seorang anak yang hormat dan santun pada otoosan alias ayahnya.

Aku belajar bahasa Jepang memang untuk mendekati pria yang nyaris sempurna itu. Tapi sayang, baru sebulan masuk kuliah, ia mengundurkan diri karena akan menetap di Jepang. Saat itu aku dipaksa sadar telah menghayal terlalu tinggi. Memang tak seharusnya kudapatkan dia karena bukan ‘ukuran’ku. Dan aku pun pasti bukan ‘ukuran’nya. Setelah tiga tahun berlalu, aku mendapatkan Riza yang dulu pernah menjadi anak buahnya. Mungkin inilah ‘ukuran’ku.

Kreeettt.
            Tiba-tiba seseorang membuka pintu tanpa mengetuk. Sudah tentu aku kaget, dan itu membuyarkan pikiranku akan Kak Dio.
            “Anya ...?”
            “Aku ngantuk banget, Fa. Semalem Eva rewel. Aku nggak tidur sampai pagi,” kata Anya sambil tanpa basa-basi merebahkan tubuhnya di sampingku.
            “Ya, udah. Tidur, aja. Nanti aku bangunin.”
            “Kamu tumben, pakai acara tidur siang segala.”
            “Sama seperti kamu. Nggak tidur sampai pagi.”

            “Kamu pasti mikirin Ahmed sepanjang malam. Susah ya mbilangin kamu. Ngapain sih, kamu mikirin dia terus?? Nglupain dia, apa susahnya, sih!!” Anya meletup-letup, entah disengat lebah yang datang dari mana.

“Aku nggak mikirin dia semalam suntuk.”
“Ah, gak percaya. Kamu tuh kebiasaan banget gak tidur sampai pagi hanya karena mikirin dia. Lama-lama capek juga ya ngasih tahu kamu. Susah banget ngomong sama orang yang nggak ngerti-ngerti!”

            “Kalau kamu capek, berhentilah. Apa susahnya, sih? Sudahlah, kamu tidur saja. Jangan neriakin aku lagi!”

            “Kok kamu ngomong gitu? Aku kan ngingetin kamu, biar gak suka nyiksa diri karena si Ahmed sompret itu!”

            “Kamu yang mulai, sih.”

            Anya langsung diam. Aku pun demikian. Kami lalu saling tidur membelakangi. Setelah beberapa menit, Anya dibawa terbang malaikat penjaganya ke kerajaan mimpi. Dengkur halusnya sangat mengganggu. Tapi bukan itu yang membuatku tambah tak bisa tidur.

Aku bangun dan menatap wajah sahabatku yang tampak layu dibebat lelah. Anya, semuda ini telah menjadi seorang single parent. Ia pasti sangat lelah mengurus anaknya hingga tak sadar bicara keras padaku.


Ketr.

49. [Jp]      Kenapa
50. [Jp]      Praktis
51. [Jp]      Oh, begitu?
52. [Jp]      Berusahalah dengan keras, ya?
53. [Jp]      Ya, saya akan berusaha dengan keras
54. [Jp]      Ya, saya mengerti
55. [Jw]     Jatuh. Maksudnya sakit.
56. [Jp]      Saya tidak keberatan, kok. Kalau begitu, selamat istirahat
57. [Ing]    Keluaran, hasil
58. [Jp]      Guru

No comments:

Post a Comment