Friday, December 13, 2013

Bab 4 : LUKISAN CINTA


“Tadi kamu bertanya apa?”

“Kenapa Bapak ada di Indonesia? Emm ... maksud saya, sejak kapan Bapak pulang?” jawabku sembari menghalau gugup pada pria di belakang kemudi itu. Ia hanya memberiku senyum manis sebelum tangannya memencet tombol power on pada CD Player.

Country road take me home to the place I belong, west Virginia, mountain momma, take me home, take me home.

Country Road! Desah nyeri hati ini terlantun begitu alunan suara John Denver menguasai pendengaranku. Harus segera kusembunyikan sendu ke dalam hatiku rapat-rapat.

 Country road take me home to the place I belong, west Virginia, mountain momma, take me home, take me home….

Kembali. Kembali ingatanku menemukan Ahmed malam itu di beranda hotel. Kutatap ia yang dengan sepenuh hati melantunkan refrain lagu Country Road berulang-ulang. Ada kerinduan menggunung di syahdu matanya, sejuta hasrat sesak di dadanya. Tak bosan-bosan lirik itu tersenandungkan oleh bibirnya. Senyum pada lirikan matanya menyudutkanku pada sebuah pemahaman: ia ingin segera pulang pada amma-nya. Tentu hal itu kumaklumi sepenuhnya. Hanya saja, sinar matanya yang seolah berkata ia tak bisa membawaku serta, mengundang duka ke dalam diamku.

“Aifa, kamu tidak apa-apa?” sebaris tanya yang memuat cemas terdengar berasal dari sampingku.

“Oh, ya, saya baik-baik saja.”

Dalam gagap kuberi pria itu sebaris jawab. Ia lantas diam, tapi bukan karena seia dengan ucapanku. Melainkan tak ingin merogoh isi hati ini lebih dalam.

Takdir hidup, bawalah ia pulang, ke puri cinta kami, bawalah pulang beserta restu mama, bawalah, bawalah ia kembali….

Nyanyian doa yang berulang-ulang kupanjatkan terhenti oleh wajah yang selalu menoleh karena diamku. Diam. Ya, bibir ini rapat terkunci semenjak John Denver dihadirkan ke hadapanku. Country Road selalu menghadirkan lara. Jika sudah begini, kutak suka bicara apa pun dengan siapa pun.

Tapi, tentu tak sopan terus membeku dan membisu di depan orang yang berbaik hati mengantarku pulang. Apalagi dialah pria yang sebelum kehadiran Ahmed pernah kugilai meski tak sampai membuatku benar-benar kehilangan akal.

“Sekarang di Jepang musim apa, Pak?” tanyaku sekedar membuka topik untuk mengisi perjalanan yang masih akan memakan waktu satu jam.

“Musim gugur. Cuacanya sangat bagus saat ini. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Saya paling suka musim ini dan tidak suka bulan Juli-Agustus dan Januari-Februari.”

“Kenapa?”

“Juli-Agustus sedang panas-panasnya. Suhu udara bisa mencapai tiga puluh delapan derajat celciun. Sedangkan Januari-Februari adalah musim dingin yang sangat menggigit. Suhu udaranya bisa sampai lima derajat di bawah nol.”

“Ohh. Mengerikan”

”Apa??”

”Maksud saya cuacanya. Ekstrim sekali.”

”Ya. Kamu merasa ngeri?” tanyanya diiringi tawa ringan dan aku hanya menjawabnya dengan sekilas senyum.

Suasana kembali hening. Aku begitu saja mati tema. Tak tahu lagi harus bertanya atau berkata apa. Untungnya suasana nyaman segera pria itu ciptakan. Ia seolah mengerti, dialah yang harus mencairkan suasana di dalam dingin Toyota Fortuner yang gagah ini, hingga satu jam tak terasa berlalu.

“Terima kasih Pak Dio. Saya turun di sini saja.”

“Tidak, saya akan mengantar sampai di depan pintu rumahmu.”

Aku beri ia anggukan sebagai jawab atas ketegasan matanya. Dengan dua kosa kata, kiri dan kanan, kupandu ia menuju tempat tinggalku.

“Ya, berhenti di sini. Yang itu rumah ayah saya.”

“Oke.”

Pak Dio pun turun dan mengantarku ke depan pintu setelah mematikan mesin. Tanpa harus mengetuk, seseorang datang hendak membukakan pintu. Senyum cerah dari dalam menyembul begitu pintu terbuka.

“Halo ...” sapa Pak Dio ramah pada Ibra yang hanya tersenyum tanpa menyuguhi sepatah kata.

”Saya Dio. Apa kabar?” Pak Dio menyebut namanya sambil mengulurkan tangan kanan.

“Ibra. Baik,” jawab Ibra singkat sambil tersenyum malu-malu. Ia lantas kembali diam.

“Ada tamu rupanya.”

Suara dan senyum ayah mendekat. Pak Dio menyambut dengan senyum takzim sambil menundukkan kepala.

“Terima kasih telah mengantarkan anak saya. Silahkan masuk, Nak.”

“Terima kasih, Pak. Maaf, sudah malam. Kalau diijinkan, saya ingin sekali mampir lain kali,” jawab Dio menolak dengan sangat sopan. Ayah tersenyum mengerti. Kami pun mengantarkan Pak Dio ke mobilnya.

“Mari Pak, Aifa, Ibra ... saya pamit,” sambil sekali lagi menundukkan kepala, Pak Dio pamit. Aku membalasnya juga dengan menundukkan kepala. Sementara ayah menjawab dengan senyum dan anggukan. Sedangkan Ibra membisu dalam senyum berpikir.

“Orang Jepang punya kebiasaan membungkukkan badan yang disebut ojigi, Dik. Ojigi itu sebuah cara memberi hormat pada orang lain. Pak Dio, sebagai orang keturunan Jepang biasa ber-ojigi. Tapi karena memberi hormatnya pada ayah yang orang Indonesia, maka tak perlu sampai membungkukkan badan, karena akan dinilai berlebihan. Cukup dengan menundukkan kepala,” aku menjawab pertanyaan bisu Ibra dengan sebuah penjelasan ringan.

“Kok wajahnya tidak seperti orang Jepang?” tanya Ibra tak ubahnya mengajukan protes.

“Dia nggak seratus persen Jepang. Banyak campurannya.”

“Seperti gado-gado dong, Mbak.”

“Seperti es campur juga boleh,” jawabku sambil menebar senyum dan Ibra pun menderaikan tawa senang. Ingin kuacak rambutnya seperti biasa kalau tak ada ayah di antara kami. Sedetik kemudian kedua tangan ayah merangkul dan membawa kami masuk ke dalam rumah. Dan satu jam setelahnya, tubuhku telah siap dibawa ke negeri putih di atas awan.

Tapi sudah berjam-jam sejak kubaca doa tidur, bahkan hingga malam telah habis dan pagi mulai menyingkap tirainya, mataku masih tak melayu.

           Berkali-kali merayu hawa malam untuk lumpuhkan kelopak mataku, tapi tak dihirau. Entahlah. Mungkin ia sendiri telah masyuk dengan mimpinya atau lelah menerbangkan jiwa-jiwa letih ke nikmat awan putih. Atau dia memang senang menikmati wajah yang suntuk menunggu kantuk, hingga meletakkanku di antrian terakhir.

Insomnia kembali membuatku teringat pada Ahmed dan betapa bahagianya saat itu! Saat cinta lahir di Bundaran Senayan.

Itu awalnya. Empat hari setelahnya kami jauh lebih bahagia dan berwarna. Di empat hari yang tersisa itu tiada waktu terlewat  tanpa Ahmed. Ratusan kali panggilan sayang meluncur dari bibir dan telepon genggamnya. SMS cinta penuh kata dan gambar indah ia kirim untuk mendekorasi bilik hati ini. Seperti gambar-gambar ini.

*/**/**;**/**/fresh                            o’’+ ’’ + ... ...+ ’’ +’’o               I snd u an angel 2guard u
*/**;*/**     flower                  ’’+                       +’’                    ,:\,      ,,*,,     ./:,
 )i(    for                         ’’+                  +’’                        “.;;\, (. ) ./;;;.”
( l )     my dear                          ’’ + .. + ’’                                “.;;; ( ,, ) ;;.”
                                                                                            I L U                                           ee
           
            Meskipun kunjungan pertama Ahmed di Indonesia hanya dua minggu, ia telah memberiku saat-saat yang berbeda. Setelah ia ‘terbang’ ke Malaysia pun, hubungan kami semakin erat. Antara lain karena Ahmed sering mengirimiku kartu cinta lewat email.

       Honey, saya telah mengirim 20 email untuk kamu baca dalam 3 hari. Berjanjilah kamu tak akan berbuat curang meski saya tak mengawasi!

            2 Februari 2006, email itu sampai padaku. Aku lama memikirkan sebab tak mengerti apa mau dan maksudnya. Tapi sungguh, meski begitu besar inginku melahap dua puluh email itu dalam sehari, tapi kutak tergerak hati untuk tidak mematuhinya.

            Menjadi istri yang disayang suami karena patuh dan berbakti telah menjadi mimpi yang diajarkan ibu sejak remaja. Prinsip surga nunut neraka katut35 pun kusepakati meski tentu saja tak kuterima mentah-mentah. Kuingin menjadi seorang istri yang baik dan dapat menjadi teman bagi suami dalam suka dan duka. Seperti almarhumah ibu yang patuh pada ayah namun dinamis dalam berpikir dan memiliki keyakinan kuat. Keyakinan yang kadang tak sama. Itulah mengapa kepatuhan ibu bukan kepatuhan robot yang telah terprogram hanya untuk menerima perintah.

            Hari ini, bukalah delapan belas email di alamat ini.

            Sedetik kemudian, tanganku di atas mouse hampir bergerak lincah membuka sebuah arsip lampiran yang judulnya menggoda rasa ingin tahu. Tapi niatku terjegal rangkaian kata di alinea berikutnya.

           Dengar, Galeri Valobashi milikku ini tak dibuka untuk umum. Hanya kamu seorang yang diijinkan masuk. Ada delapan belas ruang pamer yang dapat kamu akses. Saat ini kau telah memasuki pintu ruang pertama. Bukalah arsip lampiran, untuk mengetahui koleksi di dalamnya.

               Di email selanjutnya, kamu akan dituntun masuk ke pintu kedua, ketiga, hingga ke delapan belas. Saya akan melihat, apa kamu cukup bersabar untuk mendapatkan sesuatu. Esok hari, bukalah kotak suratmu di gmail. Ada hal penting yang akan saya sampaikan. Dan lusa, jemputlah hadiahmu di yahoo.co.id. with luv n affection. Your Ahmed.

         Kata with luv n affection menandai berakhirnya email. Saatnya membuka kain penutup pada bingkai lukisan di depan mata. Dengan penuh hati-hati, kesabaran dan debar tak biasa, kumenyingkapnya.

        Inilah yang kudapat! Lukisan seorang bocah perempuan dalam tawa ceria sedang berjalan menuju titik di mana sang ibu merentangkan tangan menyambut masuk ke dalam peluk hangatnya. Gadis kecil itu berumur satu tahun. Pada ruang di antara gadis kecil dan ibunya, tertulis ucapan selamat ulang tahun yang pertama.

     Memasuki pintu kedua, bingkai dibiarkan terbuka. Hmm … gambar seorang batita sedang menyemburkan kata-kata. Kosakata khas batita berumur dua tahun. Senyumku semakin mengembang membaca seuntai komentar dalam sebuah kotak jingga: Gadis kecil itu telah bisa bicara. Setiap hari ayah-ibunya menunggu kata baru apa yang akan meluncur dari bibir mungilnya! J

            Dalam sukacita kuberjalan menuju pintu ketiga. Tapi… terkunci!

            Tolong kata kunci untuk pintu ketiga, please, tanyaku lewat SMS.

        Setelah kamu berhasil menjawab sebuah pertanyaan, jawab Ahmed tak lama kemudian.

            Baiklah, kalau saya tak punya pilihan.

        Kamu percaya teori evolusi Darwin?

        No way! Dasar buddhu.

        Aha… Kau sudah mengatakan sendiri kata kuncinya.

        Kata kuncinya aha?

        Buddhu.

        Apa kata kuncinya?

        Sudah saya beritahu.

        Belum.

        Sudah, Buddhu.

        Yang mana?

        Buddhu.

            Ternyata kata kuncinya buddhu!  Aku baru sadar maksud Ahmed setelah berhenti mengirim SMS untuk memberi waktu berpikir pada diriku. Sejak awal, kupikir Ahmed meledekku dengan mengirim kata buddhu. Ternyata memang kata kuncinya adalah panggilan hangat itu. Hangat yang mengandung ejekan!

            Jari-jemariku dengan lincah mengetik kata kunci itu. Sebuah foto berukuran besar di sana. Seorang gadis mungil sedang menjilati es krim coklat dengan nikmat!

            ”Ini sudah yang ke berapa, Aifa??”

            ”Lupa. Tidak kuhitung, sih.”

            ”Sudah cukup, hentikan. Lebih baik kamu banyak minum jus daripada es krim.”

            ”Lebih enak es krim, tahu?”

            ”Lebih bagus jus, tahu?”

            ”Aku tidak suka ....”

            ”Kamu harus suka!”

            ”Siapa yang mengharuskan?”

            ”Saya. Jus bagus untuk kesehatan.”

            ”Siapa bilang?”

            ”Saya. Mau berhenti minum es krim, tak?”

            ”Tidak.”

            ”Benar?”                      
                                                       
            ”Ya, benar.”

            ”Baik, kalau kamu tak mau ikuti kata-kata saya.”

            Dengan meninggalkan mata keruh dan wajah marah, Ahmed segera beranjak dari sisiku. Rasa takut menampar berkali-kali membuatku segera mengejar si Jangkung yang berjalan cepat dengan langkah-kaki panjang.

            ”Janu, maafin aku. Please, maafin aku!”

            Sambil berlari mengejar Ahmed, kuberteriak meminta maaf. Berharap dengan begitu ia akan menghentikan langkahnya.

            ”Maaf untuk apa?” tanya Ahmed tetap berjalan menjauhiku.

            ”Untuk makan es krim terlalu banyak.”

            ”Hanya itu?”

            ”Untuk tidak menuruti apa katamu,” jawabku membuat si Jangkung serta merta berhenti. Ia membalikkan badan lalu memanggilku dengan jari telunjuknya.

            ”Saya akan memaafkan dengan satu syarat,” katanya setelah aku tiba di hadapannya dengan nafas terengah-engah.

            ”Kamu akan memaafkanku tanpa syarat, Janu.”

            ”Tidak, saya akan memaafkan dengan syarat.”

            ”Itu artinya tidak ikhlas.”

            ”Apa pun namanya. Kamu mau dimaafkan apa tidak?”

            ”Huuh, dasar tak mau kalah. Apa syaratnya?” tanyaku masih terengah-engah.

            ”Kita akan naik kora-kora. Bagaimana?”

            Aku tersentak. Sejurus kemudian kupukul Ahmed dengan topiku berkali-kali. Yang dipukul hanya tertawa-tawa sambil memuntahkan tanya berselubung ejekan.

            ”Yang benar saja, Aifa. Kamu membawa saya ke Ancol hanya untuk melihat-lihat istana boneka, pertunjukan kera dan lumba-lumba? Kamu sungguh-sungguh tak mau mengajakku masuk ke Dufan untuk naik kora-kora, halilintar atau bianglala?”

            Kuhentikan serangan dengan topi lalu menggantinya dengan sorot mata dan mimik wajah sebagai senjata. Tapi ia tak secuil pun takut.

            ”Kenapa kamu begitu takut dengan kora-kora? Kamu lemah jantung ya? Hahaha ....”

            Dengan senyum tersipu malu aku menunduk lalu meninggalkan Ahmed dengan wajah yang kurasa memerah. Ahmed mengiringi langkahku dalam diam. Namun setiap kumenolehinya, si dustu36 itu dengan terang-terangan tertawa geli sendiri.

            Kreettt. Dari bilik lamunan, kudengar pintu didorong dengan tergesa. Suara anak-anak yang heboh pun masuk ke bilik, membuat Ahmed lenyap dari ingatan. Seketika warnet yang sepi menjadi gaduh oleh anak-anak yang ngebet ingin segera bertempur di game online.

            Kumasuki pintu keempat yang tak terkunci, bahkan sedikit terbuka. Rasa penasaran menonjok saat kulihat raut sedih seorang ibu dari kain penutup bingkai lukisan yang sedikit tersingkap. Apa yang terjadi? Hatiku bertanya-tanya dalam cemas.

            Segera saja kubuka kain itu dan menemukan lukisan seorang balita yang menutup mulutnya rapat-rapat saat sang ibu ingin menyuapinya. Aku meninggalkan ruang itu dengan menjinjing tanya, bagaimana Ahmed dengan tepat tahu di usia itu aku mulai susah makan?

            Pintu kelima tak segera terbuka ketika kumendorong sekali, dua kali hingga tiga kali. Aku siap meminta kata kunci saat tersadar, mungkin pintu tak mau dibuka dengan tergesa. Benar saja! Begitu didorong pelan, barulah pintu itu bisa dibuka. Sebuah ruang yang terang dan dipenuhi hiasan khas ulang tahun untuk anak kecil. Lampion, balon, origami37 berbentuk burung bangau, bintang dan aneka bentuk seni lipatan tergantung dalam warna-warni meriah. Indah dipandang mata.

            Aku menggelengkan kepala dan berkata, kali ini dia salah. Sewaktu kecil, hari lahirku tidak diperingati setiap tahun, tapi setiap bulan pada hari weton38. Pesta ulang hariku dirayakan dengan banca’an39. Kalau si tukang makan itu tahu harumnya bau nasi liwet40, nikmatnya gudangan41 dan telur rebus yang dipotong kecil-kecil di dalam penak’an42 daun pisang, ia pasti minta tanduk43.

            Kutinggalkan ruang kelima menuju pintu ruang keenam yang … terkunci!

            Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan password pintu keenam? tanyaku berusaha tampak sabar.

            Tumi ekta buddhu44. It’s not locked, Dear. You don’t need any password!

            Sesaat kudibuatnya kaget. Aku jadi malu pada ketidaksabaranku. Segera kumendorong pintu pelan dan hati-hati. Tapi sudah puluhan kali kucoba tetap tak terbuka juga! Aku sudah mulai putus asa ketika SMS Ahmed datang.

            Saya sedang menguji keyakinanmu. Tapi kamu tidak lulus. Menyedihkan!

            Sepatah kata dustu segera kuterbangkan. Lalu Ahmed pun membalas.

            Haha, saya tahu kamu akan mengatakan itu. Jadi, kau sudah tahu kata kuncinya.

            Seorang anak perempuan berbaju terusan sepanjang bawah lutut sedang membaca sebuah buku. Tampaknya dia seorang anak yang gemar membaca. Pelan senyumku mengembang.

            “Kenapa kamu memberi saya musuh?” tanya aneh Ahmed membuatku mengalihkan tatap mata dari buku diktat.

            “Musuh?” kubertanya dalam kebingungan yang memuncak.

          “Oh, God. Kamu tidak paham? Tidak salah deh saya selalu bilang tumi ekta buddhu.

            “Apa sih maksud kamu?”

            “Kamu exciting banget dengan buku itu dan menganggap saya tidak ada. Sepertinya buku itu lebih penting dari saya. Sekarang kamu paham??”

            “Kamu asyik sama benson45, sih?!”

            “Saya merokok karena kamu mencuri-curi untuk bisa membaca, tahu?”

            Senyum rasa bersalahku terlukis dan Ahmed menawarkan senyum memaafkan. Rupanya kejadian di pantai Karnaval, Ancol, sore itu yang menginspirasi Ahmed membuat lukisan ini.

            Di pintu ke-tujuh aku benar-benar harus meminta kata kunci lagi. Sebuah pertanyaan yang jawabannya akan menyita waktu. Ahmed memintanya memberi angka 1 pada huruf z, 2 pada huruf y dst. hingga huruf a, lalu menghitung jumlah angka pada namanya di tambah namaku!

            574. Kuserahkan jawaban setelah dua puluh menit. Ahmed mengejek dengan sekali lagi mengatakan tumi ekta buddhu karena terlalu lama mengantar jawaban.

            Asrar. Dengan berhias wajah tersenyum kuketik kata itu yang kurasa singkatan dari Ahmed Shafiqur Rahman-Aifa Ramadani.

            Terbukalah sebuah lukisan yang membuatku ingin memukul pemuda dustu itu seandainya ia ada di sini bersamaku. Diriku tujuh tahun digambarkan sedang menangis di tengah-tengah sebuah lingkaran anak laki-laki yang semuanya menyerbuku dengan sebuah kata: cengeng!

             Di pintu ke delapan, terlukis seorang ayah bersepeda sambil memboncengkan anak perempuannya. Di wajah anak yang memeluk pinggang ayahnya dengan erat itu terlukis kebagiaan dan rasa aman.

            Kusandarkan punggung di tembok sambil memperkirakan lukisan apa yang akan kulihat di pintu ke sembilan ketika SMS menyeruak masuk ke dalam inbox.

            Honey, kamu akan membutuhkan password di pintu ke 14, 17 dan 18. Sunset, sunset dan sunrise adalah kata kunci yang akan kamu butuhkan. Saya harus pergi ke lab sekarang. Dosen memanggil saya. Saya harap kamu tidak mengirim SMS atau menelfon saat saya melakukan pekerjaan penelitian di lab. Hope you understand. Bye, take care.

            Baik, terima kasih. Kapan kamu pulang?

            Tidak tahu. Saya rasa sampai malam. Saya akan kirim SMS saat sudah keluar lab.

            Ok. Aku mengerti.

            Terima kasih. Luv u.

            ILU 2.

            Segera kumasuki pintu ke sembilan setelah SMS terakhir kulepaskan. Kulihat seorang anak perempuan di atas sebuah dingklik46 yang dipakainya sebagai injakan kaki sedang mencuci piring di dapur. Di dekatnya seorang ibu sedang memasak sambil tersenyum senang saat menoleh pada si anak perempuan.

            Dengan senyum dan hati cerah kutinggalkan pintu ke sembilan, menjemput lukisan di pintu ke sepuluh. Tapi tak sesuatu kecuali sebuah bingkai kosong. Entah apa maksud Ahmed kali ini. Kusentuh kanvas di bingkai itu dan ups! Tiba-tiba berderet-deret tulisan muncul, lalu susul-menyusul membentuk barisan.

            Satu dasawarsa sudah engkau melihat dunia dan keindahannya. Semoga kau pun akan memperindah dunia dengan keindahan senyummu.

            Kenyang. Kenyanglah aku dengan semua suguhan ulang tahun darinya. Tapi, harus kuselesaikan bahan bacaan hari ini demi penasaran yang rakus mengunyah diri ini.

            Sampai di pintu selanjutnya tanyaku menyeruak, menatap dinding ruangan yang dilumuri dua warna cat: hitam dan putih berselang-seling seperti papan catur. Tak ada apa pun membuatku berpikir lebih baik segera menuju pintu ke duabelas.

            Sebuah jam klasik besar dengan jarum pendek dan panjang bertumpuk, menunjuk angka dua belas. Sedetik kemudian jarum panjangnya berdetak. Dengan irama yang bertempo selalu sama. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Tak ada sinar sampai sebuah kalimat perlahan-lahan muncul dari kegelapan.

            Ketika jarum panjang telah bergeser sedetik dari jam dua belas malam, maka hari telah berganti pagi. Begitu juga di usiamu kini. Engkau telah beralih ke masa baru. Masa remaja yang ceria. Saya harap engkau memang bahagia di masa itu.

            Pintu ke duabelas kutinggalkan dengan diekori rona bahagia, membuka pintu ke tigabelas yang nakal! Kartu-kartu ucapan indah bergelantungan, menggoda untuk dibaca. Tapi ketika jariku mendarat, saat itu pula kartu lenyap. Sudah lelah aku dipermainkan oleh dua belas kartu. Ini satu-satunya yang tersisa.

            Tentu kau tak seperti orang-orang buddhu yang percaya angka tiga belas adalah angka sial. Di usia ke tigabelasmu ini, saya harap selain masa remaja yang indah, engkau pun mulai mengenal rasa. Agar pandai bersyukur, kau perlu mengecap semua rasa. Tapi, saya hanya ingin memberimu rasa manis.

            Enggan kuberanjak dari ruangan itu. Hasrat merenung memintanya tinggal. Tapi, ingatanku yang tahu pasti berapa jumlah rupiah yang mendekam di dalam dompet memberitahu untuk segera menyelesaikan bacaanku hari ini.

            Sunset. Telah kuketik kata kunci untuk masuk ke ruang ini. Terlukis sore yang dipayungi langit biru dan digawangi semilir angin dari pepohonan yang rimbun. Aku sedang bermain basket dengan seorang pemuda Asia Selatan.

            Jika bola boleh diibaratkan nasib baik, saya tahu engkau akan merebut bola dengan strategi dan kesabaran lalu memasukkannya pada saat yang tepat. Karena Aifa gadis cerdas, gigih dan kuat. Sayang, kamu harus sadar, nasib baik tak datang dengan sendirinya. Tapi sikap dan doamu punya andil yang sangat besar untuk mendatangkan nasib baik menaungi hidupmu.

            Mataku berembun mendapat sebuah pelajaran baru. Kucatat baik-baik di benak sebelum menuju ruang ke limabelas di mana diriku di antara teman-teman yang sedang diajari membalut luka pada pelajaran ekstra kurikuler Palang Merah Remaja.

            Di ruang ke enam belas, aku digambarkan sedang mematut diri di depan cermin. Hanya sebentar aku melintas di sana karena begitu penasaran dengan ruang ke tujuh belas.

            Kata sunset kembali harus kuketik untuk mengakses pintunya. Di ruangan itu ada jalan menuju taman melalui pintu samping. Taman dengan warna-warni bunga dan tanaman hias. Patung porselen mewah mengkilat, gemericik air pancuran yang bening dan segar, serta warna-warni lampu-lampu hias yang membalut pohon. Kerlap-kerlip cahaya di langit pun menyempurnakan malam berjuta tabur bintang.

            Dari LCD tivi di tengah taman, bintang-bintang kecil membentuk huruf-huruf yang terangkai dalam kalimat indah.

           Mungkin engkau pernah merayakan sweet seventeen entah bersama siapa. Tapi, kuingin kita merayakannya sekali lagi di sini, di taman ini.

            Dengan wajah berbintang aku pun menuju ruang terakhir. Untuk memasukinya aku perlu mengetikkan kata sunrise. Kali ini dengan rasa tak sabar kubuka pintu, ingin segera tahu gerangan apa yang kudapat.

            Sebuah ruang pamer yang mengkilat. Ada banyak patung-lilin. Ibu dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai pose dan ekspresi. Cinta yang agung terpancar dari kedua mata mereka. Semua lukisan senyum dan rona wajah mereka mengucapkan satu kata: menjadi ibu adalah karunia terindah.

            Tes, tes … airmataku menitik, teringat pada ibu yang telah tiada. Sedetik kemudian sebuah lagu mengalun.

            Mother, how are you today, here is the note from your doughter, with me everything is ok, mother how are you today47

          Kusentuh wajah ibu Indonesia lalu ibu Asia Selatan berbaju muslimah yang kurasa sengaja didekatkan. Pesan-pesan bijak muncul setiap kali tanganku menyentuh anggota tubuh mereka. Begitu banyak pesan dan semua bermuara pada satu peringatan: barang siapa membuat ibunya menangis, tak akan pernah bahagia hidupnya. Keculai telah meminta maaf dan dimaafkan. Doa ibu dikabulkan bahkan lebih cepat dari kedipan mata. Dapatkah kita bayangkan betapa cepatnya??

            Hari berikutnya dengan gembira kujemput kartuku yang semata wayang. Tak ada password, tak ada kesulitan apa pun.

            Sebuah pemandangan indah tersaji. Pohon-pohon bunga sakura berjejer rapi di pinggir sebuah sungai yang bening. Di belakangnya deretan bukit hijau membentang panjang, sungguh indah. Sayang, bunga berguguran memenuhi jalan membuat wajah ini digoda murung. Untung, sebuah kabilah angin datang, menuntun dan menerbangkan bunga-bunga itu ke danau hijau. Oops… mereka membentuk sebuah tulisan.

               Jika diminta menjadi bunga, saya memilih bunga sakura yang mekar dan gugur bersama-sama. Karena saya ingin mekar dan gugur bersamamu. Sayang, jemputlah kartu ucapanmu esok. Tapi jangan mengharap banyak. With luv n affection. Yours and only yours.              
                        
            Hari itu dan esoknya, kutak bisa makan karena telah kenyang oleh bahagia yang dimasaknya. Betapa saat itu aku sangat karib dengan ceria. Bahagianya bersama dan karena Ahmed yang sangat pintar menumbuhkan cinta, sangat ahli menguntai hari-hari penuh senyum, mimpi dan asa. Ahmed bahkan memberiku bonus dengan sering mengingatkan agar selalu realistis dan mawas diri dalam hidup. Juga hal-hal baru tentang hidup.

Bicara kartu, yang paling menyentuhku adalah sebuah moving card bergambar laut biru yang sangat jernih dan sungguh indah. Kartu yang dikirim lewat email tanggal 30 November 2006, tepat sehari setelah ia meninggalkan Indonesia pada kunjungan yang kedua. Sebaris kalimat yang ia tulis  ‘I want to bring you there, will you go with me’ memenuhi bilik hatiku dengan bahagia yang meruncingkan keyakinan bahwa cinta kami sangat indah, bersama Ahmed sangat bahagia. Maka tak layak bila tak dijaga dan dipertahankan, apalagi dibiarkan lenyap. Aku sangat mencintai kartu itu, ucapan itu, dan tentu saja pemuda itu.

Ahmed adalah penyuka pantai. Ia senang mendengar debur ombak memecah. Menikmati mentari tenggelam di batas cakrawala yang keemasan terbalut merah saga dan memandangi kemilau sinarnya menembaki permukaan laut sangat indah. Itulah mengapa pada kunjungannya yang kedua, pada 24~29 November 2006 itu kumerasa berkeharusan membawanya ke Pulau Dewata yang ia impikan.

Ahmed mengambil keputusan untuk pulang dan tak akan meneruskan kuliah karena ingin menjaga amma dan membantu kakak perempuannya yang menghadapi banyak masalah. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan mental dan fisik bunda tercinta, juga merasa buruk karena sering menyusahkan kakaknya yang sudah sangat susah. Betapa pun semua orang menyarankan untuk kembali, Ahmed tetap pada pendiriannya: putus kuliah di tengah jalan.

Namun Ahmed bukan hanya meninggalkan bangku kuliah dan mimpinya. Ia juga meninggalkanku secara sepihak. Bahkan tiba-tiba dengan kejamnya memanggil bondhu. Sebuah panggilan yang kubenci sangat. Karena kalaupun ia tidak mau mempertahankan hubungan cinta kami, tak seharusnya mempertegas dengan selalu memanggil bondhu yang tajam sangat duri-durinya.

Mungkin Ahmed sebenarnya ingin mengingatkan diri sendiri.

Kak Fay dalam SMS-nya mengirimkan kekuatan untuk mengurangi laju marah dan sedihku. Meski sedikit, aku terhibur mendengarnya.

Adalah tengah malam 26 November 2006. Itu pun saat yang menghibur bila mengenangnya. Tak ingat dengan pasti jam berapa Lion mendaratkan kami di Bandara Soetta48. Mungkin sekitar pukul 10.30 malam. Pak Darno, masih setia menunggu kedatangan kami. Selama di Indonesia, Ahmed kembali tinggal di rumah Pak Robby meski sahabatnya itu tak pulang ke Indonesia. Dan Pak Darno ditugasi mengantar dan menjemput Ahmed ke mana pun ingin pergi.

”Saya merasa lapar, Honey,” suara Ahmed membuatku terhenyak. Kami memang belum sempat makan malam. Seusai sunset, kami kembali ke hotel untuk mengambil barang yang kami titipkan lalu segera mencari taksi untuk menuju Bandara Internasional Ngurah Rai.

Malam itu, meskipun belum akan menjadi saat perpisahan tapi kuingin sekali menggenggam tangan Ahmed dan tak melepaskan hingga tiba di Bandara Ngurah Rai, atau bahkan hingga mendarat di Bandara Soetta. Tapi sejak masuk ke dalam taksi, Ahmed kembali memasang sikap dingin. Tampak gigih ia menjaga jarak serta perhatian dengan memegang erat botol air mineral 1,5 liter dan sebentar-bentar meminumnya. Aku pun hanya bisa mewujudkan keinginan di alam khayal.

”Kamu tak merasa lapar? Saya lapar sekali. I can’t tolerate, Janu,” Ahmed mengulangi permintaan tersiratnya.

”Ini sudah jam sebelasan, Sayang. Tidak ada rumah makan ....”

”Ada warung makan Jawa Timur yang buka 24 jam, Mbak Aifa,” Pak Darno menjawab ketidaktahuanku.

”Oh, ya? Saya tidak tahu. Bisa kita ke sana, Pak?”

”Baik, Mbak Aifa.” Kutolehi Ahmed yang tersenyum senang dan menang.

”Ayo, Pak! Ikut turun,” kuajak Pak Darno ikut masuk ke rumah makan begitu sampai.

”Terima kasih, Mbak Aifa. Lain kali saja,” jawab Pak Darno canggung.

”Mari makan bersama kami,” Ahmed memperkuat ajakanku.

”Saya masih kenyang. Benar. Lagipula, saya tidak mau mengganggu.”

”Bapak apaan, sih??”

”Silakan, silakan.” Pak Darno tetap memaku tubuhnya di kursi pengemudi.

”Tak boleh, tak boleh. Anda harus ikut,” kata Ahmed memaksa dan itu berhasil membuat Pak Darno tak enak hati.

”Kalau begitu, saya pesan kopi saja.”

”Baiklah. Itu juga boleh,” jawab Ahmed senang. Kami lantas masuk ke dalam warung sementara Pak Darno berhenti di depan pintu masuk, bergabung dengan bapak-bapak yang sedang mengobrol sambil merokok dan minum kopi.

Ayam pecel kami pilih sebagai hidangan larut malam kami. Beberapa saat setelah memesan menu, aku pergi ke wastafel untuk cuci tangan. Saat kukembali, Ahmed pamit untuk cuci tangan. Saat itu menu telah tiba dan selintas gagasan nakal menghampiri.

Kuambil separuh nasiku dan memindahkannya ke piring Ahmed. Ketika Ahmed kembali, tanpa sedikit pun curiga ia mengajakku mulai makan. Dalam hati aku tersenyum puas telah berbuat curang tanpa diketahui. Mungkin lapar telah membuatnya tak cermat. Atau, mungkin juga ia berpikir aku sengaja memesan nasi sedikit, sementara porsi nasinya normal.

”Mas ...!”

Beberapa saat kemudian Ahmed memanggil karyawan rumah makan yang melintas.

”Ya?”

”Boleh tambah nasi satu lagi?”

Ups?! Aku terbelalak. Dua setengah porsi! Telah terbukti benar apa katanya dulu. Selain frekuensi makannya yang kerap, porsinya pun melimpah. Tapi Ahmed sama sekali tidak gemuk apalagi berperut buncit. Ia pemuda jangkung dengan tubuh agak kurus tapi sehat karena ia rajin melakukan fitness di gym.

Malam itu aku melakukan tidak hanya kecurangan. Tapi juga pencurian! Ketika Ahmed menyerahkan dompetnya padaku untuk membayar sementara dia bergabung dengan Pak Darno, diam-diam kuambil kartu nama waitress di Jimbaran.

Puasnya hatiku. Apalagi ternyata tak tertulis nama waitress itu. Yang tertera di sana adalah nama seorang lelaki yang kuduga pemilik kafe. Namun begitu tetap tak ragu kucuri kartu itu. Aku tak mau Ahmed mengingat nama kafe tersebut. Pencurian itu satu-satunya pencurian yang membuat hatiku tenang dan tak kusesali. Karena kutak rela siapa pun menggoda Ahmed apalagi dengan senyum manisnya.

Malam itu aku tersenyum karena kemenanganku. Tapi tidak di pagi hari tanggal 29 November 2006. Ahmed akan terbang pukul 8 pagi. Pukul 6.30 aku telah bersamanya di bandara Soetta. Dia sangat matching dan tampan dengan baju biru lengan pendeknya.

”Aku harus segera pergi, Ahmed. Harus tiba di pabrik jam tujuh.”

Dengan gigih tapi hati tertindih pedih kumohon Ahmed membiarkanku pergi.

”Tidak. Kamu tidak boleh pergi sekarang.”

Ahmed lantas menarik tanganku memasuki Mc Donal. Ia sedang memesan hamburger dan french fries sementara tangannya erat mencengkeram pergelangan tanganku. Cengkraman tangan yang di setiap aliran darahnya terpenuhi cinta tak lagi menjadi milikku.

”Kamu harus makan dulu, baru boleh pergi kerja,” Ahmed dengan tegas berkata. Memberi perintah tepatnya.

”Kamu tidak boleh bekerja dengan perut kosong,” imbuhnya.

Aku menatapnya dan menggelengkan kepala. Kembali memohon pengertiannya kalau aku tak boleh terlambat. Dia dapat membaca kekhawatiran itu.

”Apa perlu saya telfon Robby untuk meminta ijin kamu datang terlambat?”

Aku menggeleng dan airmata hampir menerobos.

”Tak apa kalau kamu tak mau menunggu sampai saya check-in. Tapi, kamu harus makan dulu. Saya ... saya tak bisa biarkan kamu pergi dengan perut lapar.”

Ahmed berkhotbah dalam keteguhan yang nyaris goyah.

”Ahmed, aku tidak sama dengan kamu yang tak tahan lapar ....”

”Gadis yang susah diberitahu. Kamu harus selalu makan pagi sebelum kerja. Mengerti?”

Ahmed mengeluh dan pura-pura memarahiku. Tapi mata merahnya berkata: saya ingin memeluk dan menangis bersamaku pagi ini, Aifa.

Tanganku yang lain menghapus setitik airmata yang jatuh. Sepagi ini tak seharusnya menangis di tempat umum. Meskipun semua orang akan paham kalau perpisahan selalu menyisakan tangis. Tangis pilu!

Dengan tangan gemetar Ahmed menyerahkan bungkusan french fries dan memberi isyarat untukku memakannya. Aku menggeleng dan mulutku masih rapat terkunci saat kami telah duduk di deretan terdepan restoran cepat saji itu.

”Makanlah, Honey ... saya mohon ....

Ahmed kembali membujuk dengan lemah lembut. Tapi aku tak bisa mematuhinya. Keinginan terbesarku hanya berlari ... berlari meninggalkan pemudaku yang juga sigap mengejar.

”Jalan Pak! Jalan ...!!” pintaku pada Pak Darno agar cepat-cepat menjalankan mobilnya. Tapi Pak Darno tak di pihakku. Dia diam tak bergeming. Aku berurai airmata putus asa dan tak berdaya.

Ahmed tiba dan membuka pintu mobil yang lupa kukunci. Tanpa sepatah kata ia letakkan semua makanan ke pangkuanku. Dalam wajah merah padam dan mata berair, Ahmed dengan cepat pergi dan aku tak pernah berani memperhatikan ke mana arahnya.

Pak Darno menjalankan mobil. Membawaku dan tiga mawar merah yang masih setengah mekar meninggalkan bandara Soetta yang pagi itu pilu karena perpisahan kami. Kutinggalkan Ahmed begitu saja yang entah berdiri di titik mana. Yang entah memperhatikanku atau tidak saat Nissan Serena meninggalkan bandara di pagi yang kelabu.

Dua setengah jam kemudian Ahmed mengirim SMS dan mengatakan telah mendarat di bandara Kuala Lumpur dengan selamat. Saat itu aku memaki kapal terbang, si alat transportasi udara yang kejam, karena dengan kecepatannya ia bisa memindahkan tubuh kekasihku ke tempat yang sangat jauh dari jangkauan.

I can’t forget your pathetic face ...

SMS-nya kembali datang dan meluruhkan airmata yang setengah mati kutahan. Airmata yang tak akan pernah ada kalau Ahmed mau duduk bersamaku, mencari jalan keluar untuk mendorong ’batu’ yang membentang di depan kami. 

Tes, tes. Malam ini pun aku kembali berurai airmata. Airmata lagi. Lagi-lagi airmata berpesta-pora. Entah kenapa bagi airmata, kesedihanku laksana pesta perkawinan megah yang tak akan meriah tanpa luapannya.

Sebelum Cahaya-nya Letto mengalun syahdu, memecah-belah duka yang tak bersuara. Namun hanya sekian detik. Nomornya pun yang tak kukenal.

Tanpa menunggu, jari-jemariku segera mengetik dan mengirim SMS pada orang yang baru saja membuyarkan ingatanku tentang Ahmed dengan missed call-nya.

Ini sapa sih? Tahu waktu, gak? Tengah malam ganggu orang. Gak punya jam apa?

Tak lama kemudian, balasan pun datang. Aku yang dikendalikan kesal, tak sabar ingin tahu siapa si Tak Sopan ini.

Aifa, maafkan saya sudah mengganggu kamu. Claudio.


Ketr.

      35. [Jw] Terjemahan bebas: Ke surga ikut, ke neraka turut, sebuah pepatah Jawa 
      yang bermakna bahwa istri harus patuh apa kata suami
36. [Bg] Nakal
37. [Jp[ Seni melipat kertas menyerupai bentuk-bentuk tertentu seperti hewan dll.
38. [Jw] Penghitungan hari berdasar kalender Jawa
39. [Jw] Pesta kecil di sebagian pulau Jawa untuk memperingati hari lahir anak-
      anak. Anak-anak kecil yang diundang berdiri mengitari nasi liwet yang dibentuk 
      tumpeng. Di sekeliling tumpeng ditaburi gudangan dan diletakkan satu atau dua 
      butir telur rebus. Setelah ibu atau yang mewakili anak yang berulang tahun 
      mengucapkan doa/harapan, telur diiris kecil-kecil lalu membagikan nasi 
      beserta gudangan dan seiris telur.
40. [Jw] Cara menanak nasi ala Jawa. Beras dicuci dan dimasukkan ke dalam 
      kendhil, lalu ditanak di atas tungku dengan menggunakan kayu sebagai 
      bahan bakarnya. Kendhil adalah semacam panci yang terbuat dari besi baja.
41. [Jw] Sayur-sayuran yang direbus lalu dicampur dengan bumbu yang terbuat 
      dari cabai, garam, bawang putih, kencur, daun jeruk purut, penyedap 
      rasa (bila suka) dan parutan kelapa setengah tua. Hampir mirip dengan urap.
42. [Jw] Tempat nasi dari daun pisang. Dibuat dengan cara : lebar daun dibagi 
      menjadi tiga, bagian tengah untuk menaruh nasi, gudangan dan irisan telur, 
      bagian kiri dan kanan ditangkupkan dan kira-kira seperempat bagian di ujung 
      depan dilipat ke belakang  agar isi di dalam penakan tidak meluncur jatuh. 
43. [Jw] Nambah lagi
44. [Bg] Kamu bodoh
45. [Ing] Nama brand rokok: Benson and Hedge
46. [Jw] Tempat duduk kecil ala Jawa, berbentuk seperti miniature meja.
47. Cuplikan lagu Mother How Are You Today, dinyanyikan Maywood
48. Soetta : Soekarno-Hatta









No comments:

Post a Comment