Ada
yang mengatakan, jika ingin mengenal seseorang maka harus datang ke rumahnya,
karena dengan begitu akan tahu setengah dari kepribadian orang itu. Di dalam
Toyota Fortuner ini kudijemput menuju ke sana untuk misi dan niat itu. Tapi
baginya untuk membantu membersihkan rumah yang suwung59 lebih
dari dua tahun ini.
Sesampainya
di rumah Kak Dio, aku langsung disambut heran yang membuatku mengerutkan dahi.
Rumah ini tak begitu kotor, layaknya tak berpenghuni sekian lama. Namun ada
yang lebih mengganggu pikiran dan perasaan.
Di rumah ini, bukan
setengah dari kepribadian Kak Dio yang dapat segera kutemukan, tapi seluruh isi
hatinya yang masih dipenuhi seseorang. Sepenuh ruang tamu yang sesak oleh
foto-foto seseorang itu.
”Kok bengong?”
Kak Dio mengagetkanku
dengan teguran, juga tatap mata yang memaksaku terkesiap.
”Rumah ini tak tampak
seperti ....”
”Memang tidak,” Kak Dio
menyahut, ”saudari sepupuku yang menempatinya selama ini. Ia baru pindah
seminggu yang lalu,” lanjutnya.
”Oo ....”
”Ada lagi pertanyaan?”
Sambil senyum-senyum Kak
Dio bertanya, tampak mengerti isi pikiranku. Aku terpaksa membiarkan senyum
tersipuku lepas begitu saja.
“Ini,
foto siapa Kak? Cantik banget. Kayaknya, orangnya juga pinter,” tanyaku
berusaha normal, menyembunyikan cemburu yang menyeringai karena foto gadis
cantik dalam rangkul mesra Kak Dio.
“Itu foto ....”
Aku melirik Kak Dio yang berhenti menjawab. Kulirik wajah itu sedang
tersenyum tipis lagi getir, membuatku segera teringat cerita romansa Kak Dio
yang melegenda di Tirta Gizitama. Cerita yang sudah diketahui banyak orang
bahwa ia masih membujang di usianya karena belum melupakan kekasih yang telah
lama tiada.
“Ini, mantan kekasih kak Dio yang meninggal itu, ya?” tanyaku tak sabar.
“Ya.”
Kak Dio menjawab, demi memuaskan rasa ingin tahuku yang
menggebu. Aku lalu diam begitu saja. Ada rasa iri berdesir menatap foto wanita
cantik yang tampak sempurna sebagai pasangan Kak Dio.
“Ini foto favorit Kak Dio?”
“Salah satunya.”
“Paling favorit, ya?”
“Bukan. Yang favorit Kakak simpan di kamar. Mau lihat?”
“Memang
boleh??”
“Ya,
boleh. Ayo, Kakak tunjukkan.”
Dengan rasa bercampur-aduk, kumelangkah mengikutinya. Ada rasa senang dengan keterbukaannya, tapi rasa cemburu yang semakin
gagah tak kupungkiri telah membuatku tertunduk kalah.
“Itu!” tunjuk Kak Dio pada sebuah foto. Mata dan leherku pun bergerak
mengikuti arah telunjuknya.
Foto seorang gadis yang tampak
kecil di antara batu cadas. Tak terlihat wajahnya
dengan jelas, tapi sudah pasti gadis yang sama. Foto yang dipampang di dinding
depan ranjang itu sudah pasti tertangkap mata Kak Dio setiap ia duduk atau
tidur. Percaya diri dan mimpiku runtuh seketika.
“Hebat. Dia pemberani.”
Sepi. Komentarku
membuahkan sepi tanggapan, karena yang semestinya menjawab malah menyeka
airmata.
“Kak?” Panggilku mencoba membelah hening. Lalu kuberanikan diri untuk lebih
dekat. Dengan rasa yang sulit dijelaskan, kuajukan selembar sapu tangan untuk
mengusap matanya yang sudah kering. Aku tidak tahu, apakah ini yang disebut
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yang kutahu aku hanya sedang melakukan
apa yang diperintahkan otak kancilku: memanfaatkan sapu tangan Ahmed demi mengambil hati Kak Dio.
“Ia celaka karena sikap Kakak yang emosional,” kata Kak Dio lirih.
“Sudahlah, Kak. Jangan disesali terus!”
Aku menasehatinya dengan sok dewasa. Kak Dio tak menyahut, tapi dalam
diamnya terpancar hati yang sedang bergolak. Awan kelabu berarak di matanya yang kembali
berkaca-kaca. Ia menatapku dan coba tersenyum untuk mencegat airmata tak datang
lagi.
Kubalas senyumnya namun terasa canggung. Lalu kutapaki waktu dengan
mengitari ruang tidur Kak Dio dengan mata. Di dinding sebelah kanan, sebuah
foto yang menyolok mata dan perhatianku. Gadis itu dan Kak Dio memakai baju kimono dalam suatu sesi pre-wedding. Senyum mereka melukiskan
hati yang ber-chemistry dan saling
mencintai. Dari aura mereka terpancar hubungan hati yang terjalin erat dan
tampak sekali sedang berbahagia. Entah mengapa ada desir tak suka melihat foto
dan pasangan yang sempurna itu.
“Kak ... kalau Kakak begini terus, ia tidak akan tenang
di alamnya.”
“Kakak
tahu. Tapi Kakak sering tak mampu menepis rasa sesal. Sikap emosional telah
membunuh orang yang sangat kucintai.”
“Itu
yang membuat Kakak tidak menikah hingga seusia ini?”
“Ya.” Setelah memberi jawaban singkat, Kak Dio mendesah
lirih dan dalam.
“Usia Kakak sudah
36 tahun. Tapi menikah tak pernah menjadi impian Kakak. Kakak tak mungkin bisa
membangun rumah tangga dengan benar jika niatnya hanya demi status.”
“Jadi, semenjak itu Kakak tak pernah punya pacar?”
“Punya. Tapi, semua bubar gara-gara cemburu dengan
Virgie.”
“Bagaimana
tidak cemburu? Kakak punya pacar baru tapi foto tunangan Kakak yang sudah meninggal terpampang di seluruh
ruangan di rumah Kakak!”
“Kakak sudah melepaskan nyawa dari raganya, tak tega
melepaskan foto-fotonya dari dinding rumah.”
“Berarti mereka semua sudah pernah ke rumah Kakak, dong?”
“Ya.”
“Ngomong-ngomong, kenapa ia meninggal, Kak? Kalau Kakak
tidak keberatan ....”
”Kakak tak keberatan. Duduklah, akan Kakak ceritakan.”
Aku pun duduk di tepi ranjang, menuruti perintah yang ia
sampaikan lewat isyarat tangan. Sedang Kak Dio, membawa dirinya ke atas sofa.
“Waktu
itu, kami sedang berkemah. Selesai memasak, Kakak mencari Virgie, bermaksud
mengajaknya makan siang di dekat air terjun. Tapi ia tidak ada. Seorang
teman mengatakan Virgie sudah pergi ke sana bersama Richardo, sepupu Kakak. Lalu
Kakak menyusul. Di tengah jalan Kakak bertemu seorang teman yang mengatakan
kalau Virgie sedang berselingkuh dengan Ricardo. Lalu Kakak kembali ke
perkemahan, berkemas dan bergegas pulang. Saat Kakak sudah sudah di belakang
kemudi dan siap pergi, Virgie datang dan menangis. Ia mengatakan hampir
diperkosa Richardo. Kakak tidak percaya dan tidak mau mendengar apa pun
ucapannya. Saat Kakak akan meninggalkannya, Virgie berteriak akan bunuh diri
kalau tidak berhenti dan Kakak memang tak pernah berhenti ....”
”Lalu?” tanyaku penuh
antusias, tak senang rasanya Kak Dio menghentikan cerita di bagian klimaks.
”Begitu sampai di rumah,
Kakak mendapat kabar kalau Virgie sudah meninggal dan ditemukan di bawah tebing
...” Kak Dio mengakhiri ceritanya dengan nada menurun.
”Dia benar-benar bunuh
diri??!”
”Kematian Virgie tetap
menjadi misteri. Tak pernah ada yang tahu, apakah
ia bunuh diri atau terpeleset. Tapi apa pun itu, Kakak sangat menyesal setelah
tahu kalau saat itu memang benar ia akan diperkosa Richardo. Kakak begitu bodoh
karena letupan emosi! Malah pergi saat seharusnya datang membela dan
melindunginya.”
Diam,
kuterhanyut dalam cerita dukanya. Saat itulah kembali kudiingatakan, penyesalan
selalu datang tak pernah di depan!
Ahmed, jangan sampai kau menyesal dengan keputusanmu meninggalkanku. Aku
sudah membujukmu untuk berjuang tapi kau tak mau mengindahkan. Penyesalan hanya
akan menjadi milikmu. Aku tak akan merasakan meski sebagai gantinya harus
menanggung kepahitan karena kau tinggalkan aku serupa itu.
“Aifa ... kamu menangis?”
Kutersentak oleh tanya Kak Dio. Juga oleh pipi yang terasa
hangat terbasahi airmata. Ah, Ahmed ... andai kau tahu yang terjadi di sini,
di Galeri Valobashi yang telah tinggal puing-puing.
“Semua itu sudah takdir, Kak. Kapan kita meninggal,
dengan cara apa kita meninggal, semua sudah ditentukan.”
Aku kembali bertingkah sok
bijak di depannya. Dan membiarkannya berpikir
airmataku mengalir karena ceritanya. Kecurangan yang kedua.
“Begitu, ya?”
“Itu yang kutahu, Kak.”
“Rasanya tidak mungkin Kak Virgie bunuh diri. Dia gadis yang tangguh, kan??!”
Aku mengajukan opini, membasmi senyap yang mengganggu.
“Tapi dia hampir diperkosa, Fa. Dan ia makin putus asa
karena Kakak meninggalkannya. Dalam
situasi emosional seperti itu, niat bunuh diri bisa saja melintas, meskipun
tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya.”
“Iya juga. Tapi, bagaimanapun juga Kakak tak perlu larut dalam penyesalan
yang sangat panjang begini. Kan Kak Virgie meninggal
karena Richardo. Karena akan diperkosa oleh Richardo.”
Dengan semangat tinggi
kucoba menghibur Kak Dio.
“Aifa, kamu ini bodoh sekali,” sahut Kak Dio sambil
memberi sorot mata heran saat menolehiku pelan.
Aku bodoh?? Hatiku meradang, sedih pun melangit.
Teganya Kak Dio menusuk perasaanku dengan kata dan sorot mata itu. Sebab dia
bukan Ahmed yang setiap mengataiku demikian justru membuat bahagia.
“Virgie mengatakan dengan menangis kalau dia akan
diperkosa. Kakak tidak mempercayai dan meninggalkannya dengan rasa marah. Sikap
Kakak itu membuat Virgie semakin terpuruk. Saat pikirannya kalut, bisa saja ia
kurang berhati-hati sehingga terpeleset dan jatuh ke jurang. Atau, kemungkinan
terburuknya walaupun ini kecil, ia sempat berpikir untuk bunuh diri. Disitulah
poin penyesalan Kakak, Fa ...!”
“Oh,
iya ya. Maafkan aku, Kak. Sekarang aku jadi paham yang membuat Kakak menyesal
tiada ujung. Tapi, apa Kak Virgie tidak melawan saat itu?”
”Aifa, kalau Virgie tidak
melawan dia pasti sudah habis oleh Richardo. Dia jauh lebih kuat dari Virgie.”
Jawab Kak Dio tak kuasa menahan kesal. Padaku.
”Jadi sekarang Kakak mau
apa dalam hidup Kakak? Menyesal seumur hidup??” tanyaku menantang.
“Tidak tahu.”
Kak Dio menjawab dalam kepasrahan. Mendadak ia tampak
lemah hati. Wajah dan matanya tak mampu melarikan diri dari suram. Ibaku
tumbuh. Di saat yang sama, diam-diam kumerasa senang telah menjadi teman
curahan hatinya.
“Hanya ada satu jalan, kirimi dia doa. Kalau perlu
bershodaqoh atas namanya. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan untuk Kak Virgie
yang tak mungkin bisa dibangkitkan lagi,” bujukku tegas dan mantap meski
terucap dengan pelan. Tiba-tiba kumerasa takut pada diri sendiri yang berbicara
sedemikian baik tapi memiliki maksud tertentu. Hahhh! Bibit-bibit
kelicikan ... kumohon mati sajalah engkau!
“Iya, kamu benar. Makasih Fa. Sekarang kamu jadi pintar.”
Seulas senyumnya perlahan mengembang. Seberkas harapan
kulihat berpendar-pendar di pancaran matanya. Senang melihatnya begitu membuat
semangatku pun bertumbuh. Tapi, hati yang masih merasa buruk tak sanggup
mengembangkan senyum di bibir nan kaku.
“Kalau sedang sibuk atau ada kegiatan, Kakak bisa lupa.
Tapi saat sendiri, Kakak selalu terkenang dia dan penyesalan itu muncul
kembali.”
Ia kembali mencurahkan sebagian isi hatinya.
“Kalau begitu Kakak harus menikah dan punya anak.”
“Apa?! Kenapa begitu?” tanyanya heran tanda tak mengerti.
“Agar tak pernah kesepian. Percayalah Kak, keluarga bisa
membuat Kakak bahagia walau mungkin sangat sulit pada awalnya. Kalau Kakak
merasa bahagia, maka tak akan ada lagi energi untuk menyesali masa lalu.”
“Tapi, siapa yang mau menikah dengan Kakak?”
”Ada. Jika Kakak melakukan beberapa hal.” Jawabku
tangkas.
”Hal apa?”
“Tahap
pertama, simpanlah foto-foto Kak Virgie. Jadi tak akan ada lagi pacar Kakak
yang melarikan diri karena cemburu atau marah karenanya. Siapa pun akan terluka jika pasangannya masih hidup
dalam masa lalu. Pacar-pacar Kakak pergi karena tak yakin akan cinta Kakak.”
“Tahap kedua?”
“Lakukan dulu yang pertama.”
“Baiklah. Kalau begitu bantu Kakak,
ya?”
“Benar? Kakak mau menyimpan foto-foto Kak Virgie?” tanyaku kaget. Tak kusangka dia begitu menuruti
kata-kataku.
“Iya, Kakak mau. Kakak memang harus
melakukannya, bukan?”
“Kalau begitu, aku mau bantu
Kakak.”
“Kalau begitu, ayo kita segerakan.”
“Ayo, Kak. Semangat!!”
“Ah, kamu. Kayak orang Jepang saja.”
“Kita memang harus senang menyemangati diri sendiri,
kan?”
“Hm, kamu betul. Semangat!!!” kata Kak Dio sambil
menghentakkan tangannya yang terkepal. Tawa gembira hadir dan kecanggungan kami
semakin luntur, membuat bersamanya menjadi semakin nyaman.
Dengan bersemangat penuh kubantu Kak Dio menurunkan dan
membungkus rapi foto-foto Kak Virgie. Sesekali kusempatkan diri mencuri pandang
wajah dan matanya yang suram digores pilu, harus melakukan pekerjaan yang
melawan hati.
“Masih ada yang tertinggal, Kak? Di dompet mungkin?”
tanyaku mengusir bisu.
“Kamu tahu aja,” jawab Kak Dio dalam senyum yang sekedip
mata. Ia lalu mengambil dompet yang
tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia keluarkan semua foto yang ia temukan dan memberikannya padaku.
“Buat kamu saja.”
“Enggak
mau ah, takut ntar Kakak pinta lagi. Kita simpan sekalian saja, ya?”
“Hm.”
Jawabannya mengambang,
tapi kuartikan saja sebagai kata ‘ya’.
“Hei, kamu tidak lapar, Fa?” tanya Kak Dio seperti sengaja mengalihkan
pembicaraan.
“Lapar juga, sih.”
“Sana, kamu masak saja. Habis ini Kakak mau ngepel dan
ngelap perabotan.”
“Kenapa
sih Kakak tidak cari pembantu saja. Rumah sebesar ini mau diurus sendiri?”
“Selain suka kerja, Kakak senang bersih-bersih rumah,
masak, merawat tanaman. Kakak hanya tidak suka dengan nyuci-nyetrika. Jadi
Kakak bayar tukang cuci. Ia datang setiap 2 hari.”
“Oh, gitu. Aku ke dapur ya, Kak.”
Kak Dio tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mencoba
tersenyum senormal mungkin. Tapi tiba-tiba memanggilku.
“Aifa!”
“Ya, Kak??”
“Kemarin Kakak ketemu jin.”
“Masak, sih? Yang
bener aja!”
“Iya. Dia memberi Kakak tiga permintaan.”
“Tiga permintaan? Kak Dio minta apa?”
“Pertama, Kakak minta tivi, eh dikasih home teater.”
“Cuma minta tivi? Nggak mungkin amat, sih? Lagian aku
nggak percaya Kakak ketemu jin.”
“Trus, yang kedua Kakak minta mobil, eh dikasih Jaguar.”
“Di garasi Kakak nggak ada mobil
jaguar! Tuh kan, ketahuan bo’ongnya?”
“Yang ketiga, Kakak minta pembantu, eh dikasih kamu ...!”
“Aaahh, Kak Dio jahat. Apa
wajahku tampang pembokat?”
“Iya.
Habis dikerik minum jamu, pembantu terbaik ya cuma kamu, hahaha.”
“Aaah,
Kak Dio jahat!” teriakku sambil mendekat dan menendang-nendang kakinya. Ia membalasku dan tak mau kalah. Kami pun bermain sepak tanpa bola.
Akhirnya tanganku pun bicara. Aku memukuli badannya dengan bantal sofa. Tapi
kali ini ia tak membalas. Aku berhenti sendiri lalu membalikkan badan melangkah
ke dapur.
Aku heran, entah ke mana perginya kesedihan tadi. Tapi, aku rela diejek
asal ia tak lagi sedih teringat Kak Virgie, wanita berbaju kimono yang anggun itu.
Bicara foto, kembali kuteringat
kisah bedebah itu. Ketika pagi itu Ahmed tak sedikitpun keberatan kuingin
melihat isi dompetnya. Aku gembira dengan sikap terbukanya, tapi menjadi
terluka begitu menemukan foto seorang gadis di dalamnya.
“Foto siapa ini??” tanyaku gusar. Tapi Ahmed tak segera
menjawab. Ia ambil foto dari tanganku, mengamatinya lalu tersenyum tampak heran
dan kaget sendiri.
“Siapa??!” tanyaku semakin gusar dan tak sabar menunggu
jawaban.
“Febi,” jawabnya pasrah.
“Bagus.
Bagus sekali!”
Dengan ketus kuberkata
seraya beranjak meninggalkan Ahmed sendiri di restoran. Aku geram begitu mendengar nama itu. Dengan luka yang begitu segar dan menganga, kubawa kakiku bergegas pergi.
Tak lama kemudian, tanpa mengetuk
Ahmed membuka pintu kamarku. Tapi tak kuindahkan kehadirannya. Dalam kesibukan
mengepak pakaian, pikiranku tak kalah sibuk. Pertanyaan datang silih-berganti,
menderu-deru dalam sakit hati yang memuncak namun tak sanggup kumemuntahkannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya berlabuh pada satu ketidakmengertian:
mengapa kekasihku membawa-bawa foto mantannya bahkan saat bersamaku! Teganya
Ahmedku ....
“Apa kamu akan percaya kalau saya beritahu kenapa bisa
kamu temukan foto itu di dompet saya?”
Dari depan pintu, Ahmed bertanya dengan lembut dan pelan.
Aku tak menoleh, tak juga menjawab. Tak sanggup kuberkata apa pun karena sibuk
mengukur kedalaman luka yang ditimbulkan peristiwa bedebah itu.
“Saya hanya akan bercerita kalau kamu akan percaya pada
penjelasan saya,” kata Ahmed mengulangi dalam nada sedikit lebih keras. Setelah
membuat Ahmed lama menunggu, dengan lirih dan tak tulus kukatakan kalau aku
percaya. Entah Ahmed menyadari, entah tidak. Semua itu kulakukan karena ingin
mendengar alasannya.
“Terima kasih. Kamu ingat Rasel?”
“Ya, sahabat kamu sejak di India,” jawabku judes.
“Ya, benar.”
“Pak Kumis bapaknya Mumun, kamu tambah manis kalau
melamun,” sindir Kak Dio yang telah ada di belakangku.
“Eh, Kak Dio?” Jawabku agak gagap karena kaget. Aku menoleh dan menatap matanya sekilas.
“Fa, Kakak tidak suka melihat kamu sedih,” sambil
menghampiriku, Kak Dio berkata dengan kesungguhannya.
“Enggak, Kak. Aku nggak papa.”
“Kalau saja aku bisa percaya. Ayo, kamu harus cerita sama
Kakak. Ada apa? Kenapa diam-diam bersedih?” tanya Kak Dio lembut.
“Sudahlah, Kak. Itu cuma masa lalu.”
“Hmm,
cuma masa lalu. Kamu bicara seolah itu tak penting padahal airmatamu mengalir
karenanya.”
“Apa, Kak? Aku nangis?”
“Tidak! Maksud Kakak, tidak salah!”
Aku terdiam. Lalu dibuat salah tingkah oleh tatap selidik
Kak Dio.
“Eem ... ini tentang Ahmed, mantan cowokku yang orang
Bangladesh itu, Kak. Dua tahun yang lalu, kami pergi ke Bali. Dia pecinta laut
dan sangat ingin ke Bali karena penasaran seperti apa Bali yang terkenal itu.”
”Hm.”
”Kugunakan uang kuliah dan meminjam pada teman untuk
membeli tiket kami. Ahmed juga meminjam sekian dolar dari temannya. Akhirnya
dengan kondisi uang yang sangat pas-pasan kami pergi ke Bali selama dua hari.
Hanya dua hari. Padahal kami sebenarnya ingin di sana lebih lama. Mengunjungi
semua tempat yang indah dan ter ...”
“Yang membuat kamu sedih apa?? Tidak perlu bicara ngalor-ngidul60!”
potong Kak Dio tak sabar.
“Menjelang check
out, kami makan di restoran hotel tempat kami menginap. Ketika membuka
dompetnya, aku menemukan foto seorang gadis ....”
“Bukan foto kamu, kan ...?”
Lagi-lagi dengan lincah Kak Dio memotong. Raut mukanya
menunjukkan rasa tak suka. Bukan padaku tentunya.
“Bukan. Tapi foto mantan kekasihnya.”
“Bagus! Pintar sekali dia! Sudah kautangkap pesannya?!”
“Kak Dio kok jadi marah, sih?”
“Sudah pasti Kakak marah. Love is not a crime tapi mempermainkan hati orang termasuk tindakan
kriminal. Apalagi ditambah mengelabuhi. Kecuali, jika dia tak punya yang namanya perasaan!” ucap Kak Dio berbalur emosi.
“Dia tidak mempermainkan hatiku, Kak. Jadi ceritanya gini
... Ahmed punya sahabat namanya Rasel, orang Bangladesh juga. Waktu Ahmed datang
ke Indonesia, ia meminjam dompetnya Rasel. Ahmed tidak tahu ada foto Febi di
sana sampai aku menemukannya.”
”Kenapa di dompet Rasel ada foto
Febi? Febi kan mantannya Ahmed, bukan mantan Rasel. Ah,
semakin tak masuk akal saja!!”
”Rasel juga tidak tahu, Kak. Waktu Ahmed telfon, Rasel
juga tak habis pikir kenapa ada foto Febi di dompet dia.”
”Jangan-jangan Rasel ada apa-apa dengan Febi?” Kak Dio mulai menduga-duga.
”Rasel sudah menikah, Kak. Istrinya di Bangladesh,”
jawabku menerangkan. Kak Dio diam sejenak dan emosinya tampak telah mereda.
“Kamu percaya dengan cerita itu?”
“Iya, Kak. Percaya.”
“Kamu!”
kata Kak Dio tampak kecewa.
“Kenapa,
Kak? Kakak nggak percaya?”
“Kakak sulit mempercayai cerita itu. Kamu tidak mencium bau rekayasa? Tidak
berprasangka bahwa skenario itu sudah dirancang Ahmed? Dompet itu, juga foto
itu milik Ahmed. Bukan milik Rasel. Dan kamu tahu tujuannya? Dia ingin putus
denganmu.”
“Ahmed
bukan tipe pembohong, Kak. Dia lebih suka jujur meskipun menyakiti daripada
bohong.”
“Ah, kamu malah membela dia. Semua sudah jelas, Aifa.
Jangan naif!”
Aku diam. Sedih rasanya kalau benar apa yang diyakini Kak
Dio. Keyakinan Kak Dio hampir meyakinkanku, tapi hatiku kembali memihak pada
kebenaran ucapan Ahmed. Karena kalau benar Ahmed lebih mencintai Febi, kenapa
ia datang hanya untukku? Mengapa ia tak menemui Febi? Bahkan selama di
Indonesia, menelepon Febi pun tidak ia lakukan.
“Maaf. Kakak tak bermaksud membuat kamu tambah sedih,
Aifa. Juga tak bermaksud bicara kasar. Tapi Kakak tidak
suka siapa pun menyakitimu.”
”Cerita cinta saya dan Ahmed memang berakhir sedih dan
menyakitkan, Kak.”
Kak Dio tak lagi bersemangat menjawab. Ia diam dalam
kelam membalut wajah dan mata. Suasana menjadi hening dan suram.
“Hubungan Ahmed dan Febi berakhir di pertengahan tahun
2003, saat mereka masih study di University of Madras, India.” Aku memulai cerita, mengisi keheningan.
“Kenapa mereka pisah?”
“Febi tidak bisa ikut Ahmed ke Bangladesh. Sementara
Ahmed juga tidak bisa ninggalin amma-nya
untuk menikah dan menetap di Indonesia seperti kemauan Febi.”
“Kalau
tidak ada yang ngalah, mana
bisa bersatu?”
“Ahmed sangat mencintai amma-nya. Ia pernah berkata my
mom is my first love. Ia ingin selalu menjaga
dan berada di dekat amma-nya. Apalagi ia satu-satunya anak laki-laki.”
“Lalu alasan Febi?”
“Ayahnya baru saja meninggal saat itu. Ia bahkan segera pulang ke Indonesia dan tak meneruskan kuliahnya di India.
Sama seperti Ahmed, Febi pun ingin menjaga dan tak mau meninggalkan ibunya.”
“Kenapa nggak ada yang mengalah?”
“Entahlah.” Ya, entahlah. Aku juga tidak tahu mengapa
Ahmed begitu mencintai Febi dan sedih tak bisa menikahinya. Sementara denganku,
tak pernah membahas perkawinan seolah tak ada niat ke arah itu.
Mungkin karena aku tak pantas untuknya? Bagaimana pun
juga, aku hanya seorang karyawan pabrik milik ayah temannya. Sementara dia
seorang mahasiswa paska sarjana yang andai saja tidak berhenti di tengah jalan,
akan menyandang gelar Ph. D. di belakang namanya.
Aku tidak tahu mengapa selalu bermimpi tinggi. Dulu menyukai Kak Dio, seorang Manajer
Produksi. Lalu menyukai Ahmed yang meskipun berasal dari negara miskin lagi
kecil bernama Bangladesh, tapi he is a
well educated man. Itu tak perlu diherankan memang. Karena ia berasal dari
Rajshahi, The Education City of
Bangladesh.
Aifa Ramadhani,
siapa yang mengajari bermimpi terlalu tinggi? Sekarang kamu kesakitan karena jatuh. Tengoklah Riza, dia itulah yang
sepandan denganmu.
“Aifa, kamu baik-baik saja?” tanya Kak Dio membuyarkan
lamunan.
“Eh, iya Kak. Aku baik-baik saja, kok.”
“Seperti katamu tadi, kita tidak boleh tenggelam dalam
masa lalu. Kata orang, kesedihan itu akan terus ada selama kita
menginginkannya. Mari kita akhiri saja. Kakak sudah memulai. Kamu segera, ya?”
“Tapi Kakak sendiri berkaca-kaca waktu menurunkan
foto-foto Kak Virgie,” kataku protes.
“Itu
kan tadi, sebelum foto-fotonya dikemas dan disimpan. Mulai sekarang, mari kita
kemas luka hati kita. Mari meninggalkan masa lalu yang suram dan menutup buku
lama. Kakak rasa, masih ada harapan bahagia menanti di masa depan.”
“Iya, Kak. Ternyata Kak Dio puitis juga, ya?”
Kak Dio tertawa kecil menjawab pujianku, lalu meneruskan kata-katanya.
“Fa, saat di Jepang, Kakak bisa lupa Virgie karena sibuk dan ….”
“Dan apa, Kak?”
Kak Dio membuatku menunggu dengan diamnya. Hanya sejenak
memang tapi cukup membuatku penasaran.
“Kakak akan menceritakannya padamu. Tapi Kakak harap kamu
mau menyimpannya untuk dirimu sendiri,” kata Kak Dio sambil entah mengapa memijit-mijit kepalanya.
“Kakak bisa mengandalkan aku
dalam hal itu,” jawabku menahan penasaran.
“Terima kasih.”
“Apa yang terjadi di Jepang, Kak?” tanyaku sambil meminta Kak Dio duduk di meja
makan dengan isyarat.
“Di sana, Kakak kenal banyak
wanita dari berbagai negara. Kakak pacaran dengan banyak gadis dari berbagai
negara bahkan lintas benua. Dan Kakak ... Kakak sudah sering bercinta dengan mereka.”
Kak Dio mengakhiri pembukaan ceritanya dengan menunduk. Diam, tak bergeming. Hanya itu yang kulakukan. Tapi marah dalam hatiku sudah tingkat tinggi. Ia ingin segera menerobos
ke luar kepala.
Sungguh tercengang kumendengar pengakuannya. Inikah wajah
asli orang yang pernah kugilai? Tiba-tiba segala puja yang tersimpan untuknya menguap. Raib.
“Tidak ada yang Kakak nikahi?” tanyaku sekedar mengusir
suasana hening yang kaku.
“Tidak.”
“Kenapa? Mereka kurang cantik, kurang pintar? Tak mampu mengalahkan pesona
Kak Virgie?”
“Mereka juga tidak ingin dinikahi. Kami cuma
bersenang-senang.”
Bersenang-senang?! Jawaban itu semakin membuatku lidahku kaku.
“Sekarang, kamu sudah tahu lelaki macam apa yang kamu
panggil Kakak ini. Kalau tak nyaman lagi, kamu boleh
tinggalkan Kakak dan melupakan pertemanan kita. Kakak akan mengerti. Yang Kakak
harap, kamu pegang janji untuk tidak menguak aib ini pada siapa pun karena tak
ada yang tahu kecuali kamu.”
“Sebelum Kakak di Jepang, apa Kakak pernah berbuat
seperti itu?” tanyaku mengalihkan perhatian. Rasanya tak mungkin menanggapi
ucapannya barusan.
“Tidak, tidak pernah sama sekali.”
“Lalu siapa yang membuat Kakak jadi begitu?”
“Kakak tidak mau bilang bahwa gadis Aussie itu yang telah
menggoda dan menjebak Kakak sampai akhirnya terbiasa dan susah untuk lepas.
Kakak sudah dewasa, tahu mana yang baik dan yang buruk. Jadi, keburukan itu
harus Kakak akui sebagai kesalahan sendiri. Tidak boleh mengkambinghitamkan
siapa pun.”
“Jangan lakukan lagi, ya Kak,” kataku luluh, justru oleh
sikap kesatrianya.
“Itulah alasan sebenarnya Kakak pulang ke Indonesia. Di
Jepang, Kakak seperti binatang liar yang tak tahu aturan. Tapi hati kecil Kakak
merasa tersiksa dan jijik pada diri sendiri. Kakak tak mau begitu terus. Bila
tetap tinggal di Jepang, niscaya Kakak sangat sulit untuk berhenti. Jadi Kakak
putuskan untuk pulang. Kakak telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak
melakukannya lagi.”
“Baguslah, aku lega mendengarnya.”
“Bantu Kakak, ya?”
“Bantu apa, Kak?”
“Jangan jauh-jauh dari Kakak.”
”Kenapa?”
”Kesepian membuat Kakak mendekati minuman.”
”Kakak sering minum juga?!”
Kak Dio diam dan kutemukan kata iya di sana. Aku sengaja menghela nafas
panjang di depannya. Aku baru tahu, di balik sikap istimewanya di tempat kerja,
ia seorang peminum.
”Waktu di Indonesia tidak sering, tapi setelah pulang ke Jepang ... hampir
tiap hari.”
Aku tak mampu menahan diri untuk tidak melengos. Aku benci mendengar kabar
ini. Benci dengan kenyataan yang benar ini.
”Tapi Dio jangan tomat,
habis tobat langsung kumat61.”
”Kakak sungguh-sungguh, Fa. Makanya Kakak pulang ke Indonesia.”
”Semoga.”
“Trus, sekarang apa?”
“Ya kita lanjutkan pekerjaan kita. Aku masak dan Kak Dio membersihkan rumah.”
“Ok, masak yang enak ya, Bi.” Kak Dio memulai lagi hasrat
bercandanya.
“Tuh, mulai lagi kan?”
“Jeruk purut, jeruk nipis, Aifa cemberut tambah
manis.”
Aku tersenyum mendengar pantun Kak Dio. Terbit keinginanku untuk menciptakan pantun balasan. Satu jam telah
berlalu. Rumah telah bersih dan rapi, makan malam pun siap dihidangkan, tapi
aku belum juga berhasil menciptakan sebaris pantun lucu.
Aku memang terhibur oleh pantun-pantun Kak Dio, tapi dalam sekejap, perasaan
berbunga-bunga yang kualami telah lenyap. Bunga-bunga cinta lama yang bersemi
kembali kini sirna. Namun begitu, entah mengapa aku tak juga lari
tunggang-langgang dan meninggalkannya.
Apa itu berarti masih ada rasa suka yang tersisa? Karena pantun-pantunnya
yang membuat bibir ini menyungging senyum, atau bersamanya bayang-bayang Ahmed takut mendekat? Atau
mungkin karena niat tobatnya? Entahlah.
“Fa, kamu tidak dengar teleponmu bunyi?”
“Masak? Enggak tuh, nggak ada bunyi apa-apa.”
“Sudah mati, Non.”
“Kak Dio ngeledek kali.”
“Dibilangin. Kalau tidak percaya, lihat saja di call log kamu.”
Aku segera mengecek dan benar!
Riza baru saja menelepon dan sekarang sedang menelepon kembali.
“Fa, kamu di mana? Telepon nggak diangkat-angkat?”
“Maaf, aku tadi nggak denger.”
“Kamu di mana sekarang??” sekali lagi Riza menanyakan hal
yang sengaja kuhindari menjawabnya.
“Sorry, aku lagi di luar. Aku nyampai rumah ntar jam 9-an.”
“Aku tahu kamu di luar. Kalau kamu di rumah aku nggak
perlu nungguin kamu sambil bawa-bawa bunga mawar kayak orang bodoh begini. Sudah, aku pulang saja. Malu tahu
diketawain Ibra terus. Jangan berharap lagi aku jadi cowok romantis seperti
impianmu itu. Aku nggak bisa!”
“Aku akan pulang sekarang. Tunggu, ya.”
“Terlambat!” seru Riza sambil menutup telepon. Aku dapat merasakan betapa kesal hati Riza dari kecepatannya menutup
telepon.
“Pacarnya, ya? Wah, Kakak jadi nggak enak, sudah nyuri
gadisnya. Ya, sudah, sekarang kita makan dulu. Habis itu Kakak antar kamu
pulang.”
“Orang dia sudah pulang.”
“Oh! Kakak minta maaf. Apa perlu
Kakak telepon dia?”
“Nggak perlu lagi. Aku bisa
tangani sendiri.”
“Baiklah. Tapi kalau butuh
bantuan Kakak untuk menjelaskan, katakan saja, ya?”
“Iya.”
“Sekarang, ayo kita mulai makan!”
“Tapi masakanku cuma masakan wong ndeso62
lho, Kak. Aku nggak bisa masak makanan ala
barat, apalagi ala Jepang.”
“Ah, Kakak sih bisa makan semua
jenis makanan. Coba Kakak cicipi, ya?”
“Iya ... Gimana, Kak?” tanyaku
ingin segera tahu. Tapi ia hanya senyum-senyum.
“Jujur saja, Kak,” desakku.
“Rasanya aneh, Aifa.”
“Aneh?”
Aneh. Baru kali ini ada yang mengatakan masakanku aneh
padahal kata ayah dan Ibra enak. Anya yang bawel pun tak pernah berkomentar.
“Nanti Kakak ajarin masak, deh,” sahut Kak Dio memotong
kesibukan pikiranku.
“Bener?” responku lincah tapi serasa mengambang. Aku
belum rela menerima komentar Kak Dio.
“Ya, Kakak akan mengajarimu.”
”Terima kasih, Kak.”
Ketr. :
59. [Jw] Tak dihuni, tak ditempati
60. [Jw] Terjemahan bebas: ke utara dan ke selatan. Maksudnya: tidak perlu bicara
berbelit-belit.
61. Kata-kata khas Mamah Dedeh, pengisi
acara ’Mama & Aa’ di Indosiar
62. [Jw] Orang desa
No comments:
Post a Comment