Dering telepon memanggilku ke alam nyata meski rasa kantuk masih erat
memeluk. Apalagi tidak adanya sinar matahari yang masuk ke kamar, semakin
membuatku malas membuka mata. Sepertinya sinar matahari tertutup awan tebal.
“Mbak ... bangun, Mbak! Bangun! Ada telepon.”
Lamat-lamat kudengar teriakan Ibra sambil mengetuk pintu kamarku membabi
buta.
“Suruh telepon lagi nanti!” sahutku lemah.
“Huuh ... mentang-mentang hari minggu, sudah siang nggak
bangun-bangun juga.”
“Ibra, dimintai tolong kenapa
susah sih, Dik? Mbak masih ngantuk.”
“Ibra nggak bisa ngomongnya, Mbak. Yang nelpon pake
bahasa Inggris.”
Bahasa Inggris? Mataku langsung terbuka mendekati
sempurna. Aku segera bangkit dari tempat tidur untuk menerima telepon. Tapi,
ada sesuatu yang membuatku tak nyaman.
Lemas. Setelah kutahu penyebabnya. Tanpa
mengganti pakaian dengan yang bersih apalagi menyisir rambut, segera kutuju
meja telepon. Tapi, deringnya berhenti saat aku tiba.
”Benar kamu nggak tahu namanya, Dik?” tanyaku dalam balut
curiga yang tak tipis. Tapi Ibra tak menjawab, malah segera menarik tangan dan
membawaku ke depan cermin di kamar mandi.
“Mbak, lihat wajah Mbak, deh. Pucat seperti hantu. Mbak kenapa, sih? Sakit, ya?”
“Tidak, Dik. Mbak baik-baik saja.” Jawabku mencoba tampak
sehat.
“Jangan bohong sama Ibra kenapa, Mbak?”
“Gak bohong ... Mbak cuma sedikit pusing
kok.”
“Ibra ambilin obat, ya?” jawabnya penuh semangat membuat
senyumku mekar mendengarnya. Seiring itu dering telepon kembali meminta
perhatian.
“Kakak terima saja teleponnya. Mungkin Kak Kiron yang
telpon balik,” sambil cepat-cepat pergi meninggalkanku, Ibra berkata dalam tawa
puas penuh kemenangan.
”Hoooh ... Adik yang nakal!”
tukasku pura-pura marah. Sambil menjauh, Ibra terus tertawa menikmati rasa
senangnya bisa membohongiku.
“Hello, assalamualaikum,” sapaku riang oleh
kejutan yang menyenangkan.
”Waalykum salam.
Hi, bondhu, kemon aso?”
”Kiron??”
”Ya, ini aku.”
”Ke mana saja kamu?”
”Aku sibuk mengurus banyak hal. Hei, katakan bagaimana
kabarmu?”
”Ami valo. Tumi kemon aso?”
”Ami o valo63. Are you free
today?”
”Ya, kenapa?”
”Bisa online? Aku ingin chatting sama kamu.”
“Tentu bisa. Aku akan online dua jam lagi.”
“Thanks. Sampai jumpa.”
“Okey, see ya.”
“Bye.”
Kuletakkan
telepon ketika Ibra menjulurkan tangannya yang memegang obat sakit kepala.
“Mbak mau mandi dan makan dulu ya. Obat Mbak ditaruh di sini
dulu, nanti Mbak minum.”
Ibra menjawab dengan anggukan dalam wajah tersenyum
cerah. Aku mengacak rambutnya pelan sebelum ke kamar
mandi. Tapi langkahku tertahan oleh dering telepon.
”Halo?” Aku menyapa penelepon yang entah siapa.
“Fa, ke mana kamu semalem?”
Tanpa salam dan menanyakan kabar,
penelepon memberondongiku pertanyaan.
“Mang kenapa?”
“Riza semalem ke rumah. Mukanya kayak mangga muda, kecut64. Dia
curiga, jangan-jangan kamu lagi pergi sama cowok lain.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kamu nggak mau ngasih tahu di mana kamu.”
“Aku juga kesel sama dia. Kamu
sendiri tahu, dia kerja, kerja, dan kerja. Lembur terus, tak ada waktu untuk aku. Sekarang mana pernah ngapel malem
minggu. Kalau sekali-kali ngapel, yang diomongin soal teori QC terus. Mentang-mentang
baru pindah ke departemen QC.”
“Fa, kamu tuh nyari-nyari kesalahan dia mulu.”
“Habis dia nyebelin sih. Seperti semalem, tahu nggak dia
bilang apa coba? Bawa-bawa bunga mawar seperti orang bodoh. Aku sakit hati lah
dia bilang gitu.”
“Ah, kamu. Kebanyakan nonton film romantis. Jadi pingin
yang muluk-muluk. Yang kayak gitu kan cuma ada di film?!”
“Ah kamu selalu mbelain dia. Nggak mau ngomongin soal
dia, ah. Aku mau ngomongin hal lain saja. Yang lebih
penting!”
“Soal
apa? Ahmed lagi?!”
“Kamu
sinis banget sih sama dia? Nyebut namanya saja kayak megang kotoran sapi!”
“Kamu tuh selalu sensi kalau sudah nyangkut soal si Jangkung. Aku tak
bermaksud begitu lagi.”
”Ah, memang kenyataannya kamu nggak suka sama dia.”
”Aku tahu kamu cinta mati sama dia. Tapi kamu kan juga harus lihat realita.
Cinta itu bullshit, Fa. Hanya indah
di bibir tapi tidak dalam kenyataan. Wujud cinta itu tak harus berupa bunga,
kata ’aku cinta kamu’, ke mana-mana selalu bersama, sering kirim SMS ....”
”Kamu selalu memojokkan Ahmed.”
”Emang sulit ya ngomong sama kamu.”
Mati kata. Kalimat Anya terakhir membuatku diam mati kata. Rasa sakit
menjangkiti hatiku. Aku kadang sungguh tak senang dengan jenis persahabatan
seperti ini. Tapi aku sadar dibalik kata-kata pedasnya ada kepedulian yang
tulus padaku.
Ada luka yang terbiar dan menganga di hati Anya. Yang membuatnya kehilangan
kelembutan hati seorang wanita dan aku tak bisa berbuat seolah tak
mengetahuinya. Ayah beserta mantan suaminyalah biang keladinya.
”Sorry Fa, maksudku ... kamu kan sekarang sudah sama Riza. Sebaiknya
kamu lupakan Ahmed. Tidak usah mengingat Ahmed, juga jangan mencari-cari
kelemahan Riza. Hubungan kalian tidak akan berhasil kalau kamu begini caranya,”
ujar Anya melembut. Tak kusangka.
“Tapi setidaknya ada perhatian, dong. Mana coba perhatian Riza ke aku?”
“Kamu ngomomg dong sama dia, kamu tuh mau apa dari dia.”
“Malu lagi. Masak perhatian saja harus pakai minta-minta? Mang aku
pengemis?”
“Kalau gitu jangan berharap. Dia nggak bakalan tahu kalau kamu nggak ngomong.
Memangnya dia tidak punya mata yang bisa tembus ke hati kamu? Yang bisa baca
hati, mengerti semua kemauan kamu?”
“Itu kan hal standar yang harus
diberikan setiap kekasih tanpa harus diminta. Lagian ... ntar aja ah ngomongin dianya. Ada hal yang lebih penting.”
“Apa?”
“Aku mens lagi!”
“Lho? Kan sudah dikasih obat penghenti sama dokter itu?”
“Itu dia. Obatnya habis, mens-ku keluar lagi. Aku takut
...”
Rasa yang selintar mengalir itu bertambah kencang oleh
diam Anya yang untung saja tak lama.
“Kamu ke dokter itu lagi, dong! Aku yang ngomong ke Riza,
biar nanti sore dia antar kamu ke sana.”
“Nggak mungkin, aku nggak akan pernah ke dokter itu
lagi.”
“Kenapa?”
“Aku gak percaya sama dia.”
“Kalau gitu kamu coba saja ke dokterku di Citeurep.
Kliniknya dekat rumahku, kok.”
“Nggak kurang jauh, tuh?”
“Tapi dokter ini bagus, bisa dipercaya karena diagnosa
dan obatnya sering tepat. Susternya juga ramah-ramah dan penyabar. Kamu coba,
deh.”
“Pikir-pikir dulu, ah. Eh, dokternya cowok apa cewek?”
“Cowok.”
“Ah, nggak mau!”
“Fa, jangan berpikiran buruk,
kenapa? Dia profesional.”
“Enggak ya enggak. Udah, ya. Mau mandi.”
“Sopan banget. Siapa yang nelfon, siapa yang nutup?!”
“Sorry.”
“Huh, dasar.”
Tanpa rasa bersalah
yang mengganggu kututup telepon Anya lalu bergegas
ke kamar mandi. Satu jam setelahnya aku hampir siap pergi ke warnet untuk chatting dengan Kiron saat seseorang
mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.
“Rizaa..? Ngapain kamu ke sini?” tanyaku heran yang
dibalas dengan keheranan yang tak kalah.
“Ada apa, sih? Tumben kamu ke
sini?” tanyaku lagi.
“Mau nengok Tuan Puteri yang sedang sakit.”
“Kamu
sudah nggak marah sama aku gara-gara semalem?”
“Enggaklah.
Kebanyakan marah cepet tua. Ayo, aku antar kamu ke
dokter,” ajaknya penuh semangat. Tapi itu tak menggugahku menuruti
kata-katanya. Entah.
“Enggaaak,
ah ....”
“Lho,
kenapa? Wajahmu pucet banget, lho,” ajaknya tulus membujuk.
Selintas rasa haru
mengalir, membuatku memperhitungkan kebaikannya. Tapi sayang waktunya tidak
tepat. Kerinduanku pada Kiron sangat menggebu dan aku tidak ingin melewatkan
kesempatan ini. Kiron sangat lama offline dan baru saja kembali. Apa pun
yang ingin kukatakan padanya begitu lama tertahan.
“Aku
trauma, Riza ....”
“Diapain,
sih pakai trauma segala?”
Penuh rasa penasaran Riza
bertanya dalam curiga yang dikemas.
“Kamu nggak tahu, sih.”
“Kalau kamu nggak cerita, ya aku nggak bakalan tahu. Mang kamu diapain?” tanyanya mulai tak sabar. Tapi aku
hanya diam, enggan menceritakan yang kualami di klinik itu.
“Pokoknya aku nggak mau ke dokter
itu.” jawabku akhirnya. Setelah membiarkan Riza menunggu dalam dengus yang
membuat wajahnya semakin suram.
“Kalau begitu, kita ke dokter lain
saja,” ajaknya terdengar seperti sebuah perintah.
“Nggak mau juga. Biarin aja, nanti juga berhenti sendiri.”
“Nduk65, jangan gitu, dong ...!
Ayolah, jangan buang-buang waktu.”
“Aku trauma, Za. Kenapa sih kamu nggak ngerti juga?”
“Kamu
harusnya berpikir praktis! Pergi ke dokter, minum obat, selesai. Tidak perlu
pakai trauma segala.”
“Kamu nggak pernah trauma, ya? Kamu kenapa sih nggak mau
ngertiin perasaanku?”
“Jangan
terlalu pakai perasaan. Pakai nalar juga, dong. Kamu tuh suka menghabiskan
waktu untuk meladeni perasaan yang tak penting, deh! Jadi orang mbok yang
praktis-praktis saja!”
“Kamu tuh bukannya nenangin, malah bikin aku tambah
kacau. Pulang aja, deh, kamu!”
“Gimana, sih? Aku ninggalin kerjaan demi kamu malah
diusir.”
”Habis kamu maksa.”
”Aku hanya ingin yang terbaik buat kamu.”
”Tapi aku nggak mau ke dokter.”
”Ya sudah, aku pulang kalau begitu.”
Riza berujar sambil bergegas ke
tempat sepeda motornya diparkir.
”Kalau ada tamu jangan lupa dipersilahkan masuk. Tidak baik bicara di depan
pintu,” imbuh Riza sebelum berlalu dengan motornya.
Riza. Ia sungguh-sungguh tak mengerti cara berbicara yang mengena di hatiku. Yang membuatku ingin mematuhinya
dengan segera. Ia sangat berbeda dengan Ahmed
dalam menanganiku. Kalau aku gusar akan suatu hal, Ahmed berperan sebagai
seorang sahabat yang selalu menasehati dengan kesabaran dan kasih sayang.
Seperti saat aku belum haid setelah empat bulan dari haid terakhir, ia
mengirmkan ketenangan melalui SMS.
Sayang, tidak usah cemas. Itu biasa terjadi pada
perempuan yang belum menikah. Tapi
akan baik jika kamu berkonsultasi dengan dokter agar kamu merasa puas dan
tenang. Jangan terlalu dipikirkan, ya? Dan jangan lupa minum air putih 3~4
liter per hari.
Pesan yang manis, bijak dan menenangkan. Tapi hari-hari penuh cinta itu telah berlalu, berganti dengan ketidakpedulian dan sikap bisu. Entah mengapa ia bisa berubah sikap
demikian. Aku merasa benci bila membandingkan kedua masa yang kontras itu.
“Mungkin Ahmed ingin kamu melupakannya. Makanya tak pernah menghubungi atau
menjawab semua pesan,” jawab Kak Fay dari Dubai melalui offline message, lebih dari setahun lalu. Kalau saja Kak Fay masih
di Indonesia, bisa kugelandang dia ke suatu tempat untuk mendengarkan curahan
hati, meski tak ada jaminan aku bebas dari omelannya.
”Aku akan memukulmu kalau kau bicara lagi soal Ahmed.”
Suatu saat dengan mata beloknya yang membelalak ia mengancamku. Aku sungguh
tak suka ia berkata seperti itu. Bagiku topik tentang Ahmed seharusnya masih
panas dalam diskusi kami. Tapi ia menganggap sudah tak perlu dibicarakan lagi.
Diam-diam aku kecewa lalu mogok berkomunikasi dengannya. Tapi tiga hari
kemudian, tanpa sepengetahuanku Kak Fay telah menunggu di depan pabrik untuk
mengajak minum kopi. Itu istilah dia, yang maksud sebenarnya adalah mengobol.
Tak lain mengobrol tentang Ahmed. Ia paham aku harus dipuaskan untuk hal yang
satu ini. Pengertian itu yang membuatku selalu merindukannya saat butuh teman
bicara seperti saat ini.
Telepon berdering dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku tersentak kaget
dan terbangun dari lamunan. Namun, rasa enggan membuatku tak beranjak untuk
mengangkat.
Akhirnya dering itu berhenti. Tapi dering yang lain datang dari kamarku.
Aku pun ke sana untuk menjawab. Gembira menggelitik rasa demi mengetahui siapa
peneleponnya.
“Ya,
Kak ...”
“Tadi
Kakak telepon ke nomor rumah tapi kok nggak diangkat?”
“Oh,
itu tadi Kak Dio? Maaf, aku kira Anya.”
“Lho,
memang kalau yang telepon Anya kenapa nggak mau angkat?”
“Lagi nggak kompak
sama dia. Jadinya males ngomong,
ntar-ntarnya berantem.”
“Kok, gitu?”
“Habisnya dia selalu mbelain Riza.”
“Riza? Riza staffku dulu? Riza apamu?”
”Hmmm ...”
”Pacarmu, ya? Iya, kan?” sahut Kak Dio cepat.
”Eh, hehe ... jadi ketahuan juga akhirnya.”
”Kamu ada masalah dengan Riza? Gara-gara semalem, ya?”
“Enggak, bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku nggak enak nyeritainnya, Kak.”
“Kenapa?”
“Ini, masalah privasi cewek.”
“Oh, begitu. Ya, sudah. Kalau Kakak nggak boleh tahu, ya
nggak papa. Semoga masalahmu cepat selesai.”
“Amin. Makasih, Kak. Maaf, aku harus pergi Kak. Ada perlu.”
”Oke ... ati-ati ya?”
“Iya. Oh, ya Kak ...?!”
“Apa?”
“Di rumah Kakak masih ada koleksi minuman, nggak?”
”Tidak ada, Aifa. Sudah Kakak buang semua.”
”Kalau ada penghapus yang bisa ngehapus masa lalu kelam
Kak Dio, aku mau Kak Dio membelinya.”
”Hahaha ... Kalaupun ada mana
mampu Kakak membelinya. Pasti akan sangat mahal. Kakak nggak perlu yang instan.
Manual saja, biar bisa menikmati prosesnya.”
”Heeee ... Oke, Kak. Bye.”
”Bye.”
Begitu Kak Dio menutup telepon, aku terdiam dalam lamunan panjang. Ada
andai yang melingkar-lingkar di dalamnya. Andai Riza bisa mengambil hatiku
seperti yang dilakukan Kak Dio, aku pasti bisa dengan mudah melupakan Ahmed. Atau,
andai Kak Dio yang penuh perhatian itu adalah kekasihku. Aku pasti ....
Stop! Segala andai yang
berputar-putar terhenti ketika niat menjadikan andai yang kedua menjadi
kenyataan melintas sambil menyebar goda. Ya, aku paham perasaanku tak bisa
dibohongi. Ternyata kutak bisa membohongi perasaan sendiri yang selalu
menegaskan kecenderunganku pada Kak Dio. Tak peduli di masa lalu ia
telah pernah bergelimang dosa.
Galau. Dalam galau kubertanya, adakah Kak Dio merasakan hal yang sama? Lalu
bagaimana dengan Riza? Haruskah kupertahankan bila perasaanku padanya sudah pupus?
Ingin sekali mencurahkan rasa galau ini, tapi jelas tak mungkin pada Anya
atau siapa pun. Satu-satunya yang mungkin hanyalah buku harian. Ya ...
dialah! Karena dia tak akan menyahut, menyela, membantah apalagi mengecam.
Diriku maupun tentang curahan hatiku.
Kujulurkan tangan membuka laci, tempat sahabatku
yang selalu diam berada. Lembar demi lembar
kusingkap, menuju ruang yang belum terisi. Namun di tengah jalan kutemukan
sesuatu!
No matter what
happen, please don’t misunderstand me.
Tertulis selarik kalimat di satu lembar dan itu jelas bukan tulisanku. Sebab itu adalah tulisan tangan Ahmed!
Desir nyeri mengikatku dalam diam. Sambil menekuri tulisan tangan Ahmed yang setiap hurufnya berujung tajam
menusuk-nusuk hati, kubiarkan airmata terus bergulir.
Ahmed ….
Diam-diam ia menulis pesan di buku harianku yang berarti sudah berencana
pergi untuk selamanya tapi tak mau mengatakan secara langsung saat di
Indonesia! Betapa teguh keinginannya meninggalkanku, mengakhiri kisah kami
hanya sampai di sini. Titik. Betapa cepat ia membubuhkan tanda titik ke dalam
hubungan kami.
Ternyata tidak benar kutelah jatuh cinta pada Kak Dio. Sebab saat ini aku
begitu berduka karena Ahmed. Kerinduan begitu cepat datang dan menggunung
hingga kutak tahan untuk tak meneleponnya. Tapi ... rasa takut ini, bagaimana
aku menekannya?
Aifa, lakukan! Lakukan dengan berani!
Coba terus kudorong keberanian diri sembari merasai nikmatnya denyut
jantung yang dipompa ngilu. Dalam kesiapan yang tak penuh, kupencet nomor si Teeta dengan harap-harap cemas. Sekali
dering… dua kali dering….
“Hello.”
Ada yang menyahut! Tak kusangka, kali ini ada seseorang yang mau menjawab panggilan teleponku.
Mungkinkah perempuan yang menjawab itu kakak perempuan Ahmed?
“Hello?” sapanya sekali lagi.
“Good
evening, emm… my name ... my name is Aifa. I’m calling from Indonesia. May
I speak with Ahmed??”
“He is
going out,” jawabnya dingin.
“Oh, I
see, thank you.”
Haahh! Jantungku
bagai dihantam palu hingga hancur, hampir berhenti berdetak! Hati ngilu menahan
debar yang sungguh seru saat tadi menyebut nama Ahmed dan berbicara dengan
seorang perempuan yang tetap kuduga kuat kakak perempuannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah dia
akan mengatakan pada Ahmed kalau seorang gadis Indonesia bernama Aifa telah
menelepon?
Ahmed, seperti apa suara dan wajahnya sekarang?
Begitu lama tak mendengar suara dan melihat wajahnya, sampai-sampai kumerasa
kabur dengan sosoknya. Wajah dan tubuhnya bagai bayangan hitam, sebuah siluet
yang tak jelas lekuk dan detailnya. Dia tinggal sebuah siluet. Tapi hanya
dengan menyebutkan namanya, airmata ini bergulir deras.
Kutak
ingat lagi lekuk wajah dan tubuhnya,
Aku bahkan tak ingat siapa dia
Tapi, sering kulihat sosoknya dalam sebuah siluet
Berkendara denganku menuju dan pulang dari Nusa Dua,
Yang dengan
getar suara penuh cinta berkata,
’”Kasih, kuingin rasanya melaju di atas roda sejauh kita
bisa
bersamamu selamanya ....”
Sejauh-jauhnya!
Selamanya. Begitu pun inginku. Tapi kami dimusuhi kenyataan yang gagah
perkasa.
Ketr. :
63. [Bg] Aku juga baik
64. [Jw] Masam
65. [Jw] Dik (untuk perempuan)
65. [Jw] Dik (untuk perempuan)
No comments:
Post a Comment