Hai.. aku sudah online. Sedang menunggumu. SMS Kiron
mengingatkan janjiku untuk chatting dengannya.
Aku akan online dalam 15 menit, balasku sambil menyambar tas bergegas keluar
kamar.
Aku akan menunggumu.
Setelah
membuat Kiron seperempat jam menunggu, aku telah tiba di warnet dekat rumah.
”Hei,
maaf membuatmu menunggu” sapaku.
”Tak
masalah.”
”Ada
kabar baru apa, Bondhu?”
”Aku
akan berkunjung ke Indonesia!”
”Benarkah?”
”Ya,
benar. Saya bahkan akan tinggal di negaramu.”
“Hei,
kamu bercanda, kan?”
“Tidak.
Saya mengatakan yang sebenarnya.”
“Apa
maksudmu akan tinggal di Indonesia?”
“Aku akan
menikah lalu tinggal di Indonesia. Aku akan meneleponmu saat tiba di sana.”
“Menikah?
Dengan pacar internetmu itu?”
”Yup.”
”Kamu
yakin, Kiron?”
”Ya.”
”Tapi
bukankah dia ....”
”Dia
apa?
Dua belas tahun lebih tua? Bagiku itu tidak masalah, Aifa. Aku menyukainya dan dia menerima cintaku. Hanya itu hanya penting.”
Dua belas tahun lebih tua? Bagiku itu tidak masalah, Aifa. Aku menyukainya dan dia menerima cintaku. Hanya itu hanya penting.”
”Jadi
kamu serius?”
”Ya,
tentu. Aku offline lama karena
mengurus segala sesuatunya agar aku bisa segera ke Indonesia.”
”Mengurus apa?”
”Mengajukan visa dan banyak lagi. Keluargaku
tidak setuju, terutama amma-ku. Jadi, aku harus jual properti
pemberian Abba66 atas namaku untuk biaya pesawat dan tinggal di sana selama
menunggu pekerjaan.”
”Kenapa
kamu lakukan ini, Kiron?”
”Aku
mencintainya, Aifa.”
”Tapi
orang tuamu tidak setuju.”
”I
don’t care. Aku sudah 26 tahun. Sudah seharusnya tahu yang kuinginkan dalam
hidup.”
”Kamu pikir kamu akan bahagia
menikah tanpa restu orang tua?”
”Ya, tentu aku akan
bahagia. Amma memang tidak setuju dan
marah aku memilih tinggal di Indonesia. Tapi sebesar apa pun marahnya, amma tidak akan mengutukku.”
”Dasar
anak nakal.”
”Coba
kamu pikir, orang tua mana yang akan mengutuk anak nakalnya?”
”Ada.
Ibunya Malin Kundang. Ia mengutuk anaknya jadi batu.”
”Kenakalan
apa yang membuat Malin Kundang dikutuk ibunya?”
”Karena
ia tidak mau mengakui ibunya yang tua dan miskin.”
”Oh, dia
memang anak terkutuk. Yang seperti itu wajib dikutuk. Ngomong-ngomong, aku
ingin lihat Malin Kundang yang sudah jadi batu itu. Kamu akan bawa aku ke
sana?”
”Kiron,
aku tidak tahu tempatnya. Aku juga tidak tahu apa Malin Kundang yang telah
menjadi batu itu ada, karena ini sebuah cerita legenda.”
”Oh, aku
pikir cerita nyata. Kamu sempat buat aku takut.”
”Kiron,
mungkin amma-mu memang tidak akan
mengutuk, tapi kalau terjadi sesuatu padanya, apa kamu tidak akan menyesal?”
”Terjadi
apa, Aifa? Amma akan baik-baik saja.
Jangan berpikir macam-macam. Dustu!
Kamu sengaja menakut-nakuti aku, kan?”
”Kamu
tega menyakiti hati amma-mu?”
”Aifa,
jangan buat aku jadi sentimentil.”
”Jangan
sampai kamu menyesal, Kiron.”
”Dengar,
Bondhu, suatu saat amma akan setuju. Aku yakin itu. Dia
hanya butuh waktu. Dan selama itu, aku akan mengurus pernikahan kami.”
”Kenapa
kamu begitu bersikeras?”
”Entah
apa namanya, tapi yang jelas aku tidak mau jadi pemuda yang harus mengikuti
tradisi keluarga yang akan mengacaukan hidupku.”
”Maksudmu?”
”Aku
tidak mau dijodohkan!”
”Kalau
wanita itu baik, kenapa tidak?”
”Come on, Aifa ... sebaik apa pun dia,
hatiku sudah ada yang punya. Aku yakin kami tidak akan bahagia. Menikah tidak
untuk satu atau sepuluh tahun, tapi untuk selamanya.”
”Kamu
yakin kamu masih hidup sampai sepuluh tahu lagi?”
”Buddhu! Apakah besok aku
masih hidup pun tidak ada yang tahu. Aku berkata seperti itu karena
berandai-andai umurku akan sampai enam puluh atau tujuhpuluhan tahun.
Mengerti?”
”Iya,
iya. Lanjut!”
”Aku
tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak kucintai meskipun hanya satu hari.
Jadi aku memutuskan untuk bergabung dengan barisan pemuda yang menentang adat
perjodohan keluarga.”
”Kamu
masuk klub pemuda penentang perjodohan? Penentang orang tua, gitu?”
”Buddhu, klub seperti itu memang tidak
ada. Maksudku, saat ini, sudah banyak pemuda-pemuda Bangladesh yang menikah
dengan pilihannya sendiri. Kalau ada beberapa yang masih dijodohkan, banyak
dari mereka yang menolak.”
”Oke.
Tapi menurutku, sebaiknya kamu beri pengertian dengan baik sampai mereka
merestui, baru menikah.”
”Aku
sudah berusaha, Aifa. Tapi amma tidak
mau dengar. Dia bahkan sudah bicara pada banyak orang kalau aku akan menikahi
Sima. Amma tidak mau perjodohanku
dengan Sima batal.”
”Kalau
begitu kamu bisa bicara dengan Sima. Beri pengertian padanya kalau kamu sudah
punya pilihan dan tak akan baik nanti bila menikah dengannya. Biar Sima yang
memberi pengertian pada amma-mu.”
”Itu ide
yang baik kalau Sima juga telah memiliki kekasih atau tak mencintaiku. Amma dan Sima saling menyukai dan mereka
sangat sehati. Makanya aku tak mungkin membawa Lina tinggal di Bangladesh. Dia
tidak akan nyaman. Mungkin juga tidak akan aman. Akulah yang harus tinggal di
Indonesia.”
”Oh. Aku
mengerti. Kamu sayang banget ya sama dia, ya? Betapa manisnya.”
Dalam desir iri hati kuungkapkan pernyataanku.
”Aku menyukai dan menghargainya. Dia wanita
dewasa dan mandiri. Aku suka tipe wanita seperti ini. Aku tidak suka gadis
manja, suka merajuk dan selalu minta tolong.”
”Bukannya
laki-laki senang dimintai tolong? Senang dianggap pahlawan?”
”Come
on, Aifa ... Ini zamannya wanita harus mandiri. Memang ada hal-hal
yang tak pantas dikerjakan wanita dan hanya bisa dikerjakan pria, tapi kalau ke
mana saja minta diantar, harus selalu berdua, jujur aku tidak suka. Memangnya aku tidak perlu bekerja?”
”Aku mengerti.”
”Terima kasih. Aku ingin meminta
sesuatu, Aifa.”
”Apa?”
”Di Indonesia, aku tidak punya
siapa-siapa. Maksudku, aku hanya punya Lina.”
“Keluarga
Kak Lina akan menjadi keluargamu juga.”
”Ya,
benar. Mereka baik sekali padaku. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan
menyukaiku. Tapi maksudku, di Indonesia aku tidak punya keluarga dari pihakku
sendiri. Jadi, bisakah kau menjadi saudariku? Menjadi keluargaku di Indonesia?”
”Kiron
...? Kamu membuatku ingin menangis.”
”Kenapa?”
”Aku merasa
terharu dengan permintaanmu.”
”Kamu
mau atau tidak?”
”Menurutmu
apa?”
”Kamu pasti
mau. Mana mungkin kamu tidak mau. Iya, kan?”
”Nah,
kamu sudah tahu jawabannya.”
”Terma kasih, Adikku. Hahaha,
terdengar lucu, ya?”
”Kamu
pernah bilang, tidak perlu minta maaf dan berterima kasih pada teman baik.
Apalagi jika sekarang telah menjadi saudari.”
”Tapi
kali ini aku harus mengucapkannya.”
”Baiklah, terima kasih kembali.”
”I’m happy.”
”Jadi apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Saat
ini tidak ada. Tapi nanti akan banyak.”
“Tak
masalah.”
”Terima
kasih sebelumnya.”
”Tuh,
ngomong terima kasih lagi, kan?”
”Aku harus
mencicil. Hahaha.”
”Hemmh.
Oke. Sekalian bunganya, ya.”
”Tak
masalah. Bilang terima kasih kan hal mudah. Tak perlu bayar, hahaha.”
”Kamu
sudah cari pekerjaan?”
”Sudah
dapat. Lina yang mencarikannya.”
”Baguslah.”
”Dia
sudah mengurus semuanya.”
”Sepertinya
dia bisa diandalkan.”
“Itulah
enaknya punya pacar lebih dewasa. Ia tahu banyak hal, punya jaringan dan teman
banyak, bisa mengatasi masalah serius dan tak selalu bergantung pada laki-laki.
Itu sangat menolong, bukan?”
”Iya,
betul. Yang seperti itu tipe kamu, ya?”
”Ya.
Kamu akan senang berteman dengan Lina. Dia baik sekali. Bagaimana kalau aku
kasih nomor teleponnya?”
”Boleh.”
”Nanti
aku kirim lewat SMS, ya.”
”Oke.”
”Sekarang
ganti kamu yang cerita. Bagaimana kabar pacarmu?”
”Aku tak
tertarik membicarakan dia.”
”Kenapa?”
”Tidak
apa-apa.”
”Ya,
sudah. Kamu belum bisa
melupakan Ahmed, ya?”
”Hampir
bisa.”
”Bagus.
Lupakan saja. Life must go on, Aifa. Jangan mengingat
masa lalu terus. Kamu hanya akan membuang waktu percuma.”
”Tidak
mudah bagiku, Kiron.”
”Aifa,
kamu seharusnya mencintai pemuda sepertiku. Bukan domestic animal67 seperti Ahmed itu, hahaha.”
“Kenapa kamu
menjulukinya seperti itu?”
”Kamu
marah?”
”Hmm.”
”Itu
kenyataan, Aifa. Dia seharusnya bisa bicara pada amma-nya.”
“Amma-nya dan amma-mu beda, Kiron. Amma-nya
Ahmed akan sakit kalau Ahmed melawannya.”
”Boleh
aku minta nomor telepon rumah Ahmed? Sesekali aku ingin bicara dengan amma-nya.”
”Kamu
mau bicara apa?”
”Cuma
mau tahu apa yang sedang terjadi di sana. Jangan khawatir, tidak akan terjadi
apa-apa”
“Baiklah.
Nanti kukasih.”
“Percayalah
padaku. Aku pintar menyamar dan mempengaruhi orang, hahaha.”
“Aku juga
akan memberikan ID Ahmed. Kamu bisa bicara dengannya saat ia online.”
“Tentu.”
“Terima
kasih, Kiron.”
“Hahaha.
Di antara teman tidak perlu bilang terima kasih dan minta maaf.”
”Tapi
aku harus. Ini hal serius, haha.”
”Baiklah.
Aku harus pergi. Senang bicara denganmu hari ini.”
”Aku
juga. Take care, bye.”
“Bye.”
Kiron telah pergi! Tapi tidak dengan
rasa senangku. Setelah sebulan menghilang, Kiron muncul dengan kabar bahagia.
Kiron
adalah teman dunia-maya. Ia pemuda yang nekat, agak sesuka hati dalam bersikap
dan tak begitu mendengar kata orang. Tapi mengobrol dengannya membuat hati dan
pikiranku menjadi segar. Begitu pun hari ini. Ia bahkan memberi sebuah harapan.
Tapi rasa senang yang ia transfer
hari ini, tidak semuanya aku terima sebagai rasa gembira. Ada rasa nyeri
mengiris hati, mengingat dalam hal memperjuangkan cinta, Ahmed sama sekali
tidak sama dengan Kiron.
Hahh. Andai kutemukan
rumus bosan memikirkan Ahmed, niscaya aku akan menerapkannya.
”Aifa, u thr?”
Niatku
pulang tercegah. Seorang teman-maya yang lain baru saja menyapa. Dan aku harus
tetap tinggal setidaknya untuk beberapa menit.
”Hi, Zia. Are you in invisible mode?”
“Ya.”
“Kenapa?”
”Pacarku online.”
”Lho, kok malah invisible?”
”Aku lagi bad mood banget. Lebih baik tidak bicara
dengannya. Nanti hanya akan menyakitinya.”
”Apa
yang terjadi?”
”Kakak
tertuaku tidak setuju aku menikah dengan Ria.”
”Kenapa
tidak setuju?”
”Karena
aku akan tinggal di Indonesia. Dia takut kalau aku tak akan dapat pekerjaan
bagus untuk mencukupi kebutuhan lalu menjadi kekurangan di Indonesia.”
”Ya, aku
mengerti. Berarti dia sangat sayang sama kamu.”
”Aku pusing.
Apalagi bulan ini tak mencapai target penjualan.”
”Pekerjaanmu
jadi kacau mungkin karena masalah pribadi, Zia.”
”Ya.
Rasanya ingin mengomel.”
”Kamu
sudah berusaha memberi pengertian ke kakak tertuamu itu?”
”Sudah.
Sudah dibantu kakak perempuanku juga. Shafi, sahabatku, juga telah berusaha
membantu. Kamu tahu, amma-ku sangat
mendengarkan apa kata kakak tertuaku.”
”Berarti
kakak tertuamu kuncinya. Kalau amma-mu tetap tak setuju, gimana?”
”Aku
nggak peduli.”
”Maksudmu?”
”Aku
akan tetap menikahi Ria. Aku akan kabur ke Indonesia.”
”Ya ampun,
negaraku akan dipenuhi pelarian-pelarian dari Bangladesh!”
”Itu
salah gadis-gadis Indonesia.”
”Kenapa
kamu menyalahkan kami?”
”Karena
kalian membuat pria-pria Bangladesh tergila-gila.”
”Haha.”
”Aifa,
maaf aku dipanggil bosku.”
”Aku
juga mau off. Aku harus pulang?”
”Ok.
Sampai jumpa.”
Tambah
satu lagi pemuda Bangladesh yang bergabung dengan barisan penentang tradisi
perjodohan. Entah kebetulan atau tidak, pemuda-pemuda penentang itu berasal
dari keluarga berada. Kiron anak seorang pengusaha kaya, Zia anak seorang
pejabat tinggi di pemerintahan dan kakak-kakaknya menjadi orang sukses dalam
karir.
Andai
Ahmed punya uang banyak, apakah dia tergoda untuk kabur ke Indonesia demi
kekasih seperti yang akan dilakukan Kiron dan Zia?
Tidak.
Ternyata Zia tidak meneruskan niatnya kabur ke Indonesia demi Ria. Dua minggu
sejak obrolanku di YM, dalam kekacauan pikiran dan hati tertekan, Zia mengambil
keputusan yang akan melelehkan airmata Ria.
”Jangan
diam saja, Aifa. Tolong katakan bagaimana kabar Zia? Mengapa dia tak
menghubungiku? Biasanya, sesibuk apapaun, dalam kondisi bagaimanapun dia pasti
membalas SMS dan offline message-ku.
Tapi ini sudah seminggu lebih dia tak menghubungiku. Telfonku juga nggak pernah
diangkat. Pasti dia sedang bad mood. Tapi
kenapa dia bad mood lagi? Terakhir ia
bilang kakak tertuanya sudah setuju. Kalau kakak tertuanya setuju, amma-nya pasti akan setuju. Lalu ada
masalah apa lagi? Susah mendapatkan visa? Atau apa?”
Sekilas
kutatap mata Ria yang penuh cemas. Dengan diam kuulur informasi yang harus
kusampaikan karena tak kuat melihat lelehan airmatanya. Dalam diam kurasakan
perasaanku yang mulai paham, mengapa Ahmed sangat tak suka melihatku menangis.
”Aifa,
kamu di sini diamanahi Zia untuk mengatakan sesuatu, bukan? Tapi kenapa kamu
membisu. Kamu jangan menyiksa aku seperti ini, Aifa! Tolong katakan, sepahit apa pun
akan aku telan.”
Bulir
airmata Ria berguguran semakin banyak. Aku menatapnya dan bertanya dengan sinar
mata, mengapa ia tahu aku membawa kabar pahit?
“Meskipun
belum pernah berjumpa di dunia nyata, tapi aku bisa merasakan perasaan Zia,
Aifa. Dia pasti dalam masalah besar! Tapi apa?? Bukankah kakak tertuanya sudah
setuju?” Ria mengulangi pertanyaan yang mengusiknya.
“Kakak
tertuanya memang telah setuju, Ria.”
“Jadi
apa lagi masalahnya? Kenapa sepertinya ada masalah yang jauh lebih besar?”
“Amma-nya ....”
“Amma kenapa?” potong Ria tak sabar.
“Tak
setuju.”
Setelah kalimat itu terucap. Ria digulung pusaran
heran. Aku melihat itu di matanya yang tak juga berkedip.
”Tapi,
kata Zia, kalau kakak sulungnya setuju, Amma
pasti akan setuju. Makanya dia mengejar persetujuan kakak sulungnya.”
”Ini di
luar dugaan, Ria.”
“Kenapa Amma jadi tidak setuju?”
“Ria,
Zia memintamu untuk melupakannya. Dan dia meminta maaf untuk semua kata dan
janji yang tak mampu ia penuhi. Ketahuilah Ria, ia jauh lebih tertekan.”
”Ceritakan
semuanya, Aifa. Semuanya!”
Dengan menggebu, Ria memintaku memuntahkan semua
yang kutahu tentang masalah Zia.
”Dulu ia
yakin, amma-nya akan setuju karena ia
anak bungsu yang selalu mendapatkan semua keinginan. Hanya saja, untuk masalah
pernikahan kalian, Zia pikir mungkin akan ada sandungan dari kakak tertuanya.
Makanya, yang utama adalah restu kakak tertua. Asal dia memberikan lampu hijau,
Zia yakin amma-nya akan merestui.”
”Ya, aku
tahu itu.” Ria menyahut tak sabar.
”Tapi
ternyata, sandungan itu bukan berasal dari kakak sulungnya, tapi dari amma-nya sendiri.”
”Kenapa?”
”Bukan
suatu kebetulan ia bekerja dan mendapat posisi bagus di perusahaannya sekarang,
Ria.”
”Dengan
gelar MBA-nya, ia pantas mendapatkan pekerjaan itu. Meskipun perusahaan
itu memang milik teman amma-nya.”
”Semua
itu ternyata ada hubungannya.”
”Maksudmu
...? Zia dijodohkan dengan anak pemilik perusahaan itu? Seperti di film-film
India?”
Tebakan jitu Ria membuatku mengangguk sebagai
pengganti kata ’iya’.
”Klise!”
”Memang
klise, Ria. Tapi yang seperti itu masih banyak terjadi, bukan hanya di
Bangladesh atau India. Di sini juga masih ada.”
”Pantas
Zia tak pernah diberhentikan. Padahal tradisi di perusahaan itu jelas, kalau
manajer penjualan yang tidak mencapai target selama tiga bulan berturut-turut
pasti dipecat.”
Ria lalu
diam lama, namun selama itu aku tak berhasil merangkai kalimat selanjutnya yang
harus kusampaikan pada gadis yang senasib denganku.
”Tahukah
kamu, Aifa? Betapa sakitnya tradisi perjodohan yang hadir di tengah-tengah
hubungan yang telah terjalin.”
Dalam khidmat dan lirih, Ria mendahuluiku
membicarakan rasa hati dalam pertanyaan yang menusuk
.
.
”Aku
mungkin tidak tahu persis, Ria. Tapi kurasa, setiap perpisahan, apa pun alasannya,
pasti menyisakan luka dan kesedihan.”
”Zia
pernah mengatakan ’tak peduli’ jika amma-nya
tak setuju.”
”Dia
telah mencoba meminta restu secara baik-baik, juga secara tak baik-baik.”
”Maksudmu?”
”Tiga
hari yang lalu, Zia kabur. Tapi dalam perjalanan menuju bandara, ia mendapat
kabar ibunya marah dan menangis. Jadi ia putuskan untuk pulang.”
Seketika bulir-bulir airmata Ria dengan kencang
berlari seperti larinya pencuri yang dikejar ratusan massa. Aku menawarkan
pelukan pada gadis yang belum lama kukenal dan baru pertama berjumpa, tapi
serasa sudah berteman sejak kecil.
”Terimalah kenyataan ini, Ria. Aku tahu ini sangat
pahit, tapi setelah beberapa waktu, aku yakin kamu akan pulih.”
”Aku pasti kuat, Aifa. Karena aku memang harus
kuat. Aku percaya pada kehendak Allah. Mungkin Zia memang bukan untukku.”
Ria tampak tangguh dalam kesedihannya. Ia semakin
erat memelukku, seolah memintaku mengalirkan kekuatan yang besar untuk
mendukung keyakinannya. Tapi yang kurasa sebaliknya, akulah yang mendapat
uluran kekuatan itu. Aku yang sedari tadi sok kuat dan sok bijak di hadapannya
menjadi sadar, aku bukan satu-satunya orang yang menangis karena perpisahan.
Lega kurasa hati ini. Amanah telah kusampaikan.
Dan yang lebih membuatku senang, ternyata Ria tak cengeng seperti dugaanku. Dia
begitu kuat menerima kabar buruk ini meski tak coba mengingkari airmatanya.
Dengan kondisi sebaik ini, besok aku bisa pulang kampung dengan perasaan
ringan.
Ketr. :
67. [Ing] Orang rumahan
No comments:
Post a Comment