Friday, December 13, 2013

Bab 8 : SANG PENENTANG


               Hai.. aku sudah online. Sedang menunggumu. SMS Kiron mengingatkan janjiku untuk chatting dengannya.

            Aku akan online dalam 15 menit, balasku sambil menyambar tas bergegas keluar kamar.

            Aku akan menunggumu.

            Setelah membuat Kiron seperempat jam menunggu, aku telah tiba di warnet dekat rumah.

            ”Hei, maaf membuatmu menunggu” sapaku.

            ”Tak masalah.”

            ”Ada kabar baru apa, Bondhu?”

            ”Aku akan berkunjung ke Indonesia!”

            ”Benarkah?”

            ”Ya, benar. Saya bahkan akan tinggal di negaramu.”

            “Hei, kamu bercanda, kan?”

            “Tidak. Saya mengatakan yang sebenarnya.”

            “Apa maksudmu akan tinggal di Indonesia?”

            “Aku akan menikah lalu tinggal di Indonesia. Aku akan meneleponmu saat tiba di sana.”

            “Menikah? Dengan pacar internetmu itu?”

            ”Yup.”

            ”Kamu yakin, Kiron?”

            ”Ya.”

            ”Tapi bukankah dia ....”

            ”Dia apa?

Dua belas tahun lebih tua? Bagiku itu tidak masalah, Aifa. Aku menyukainya dan dia menerima cintaku. Hanya itu hanya penting.”

            ”Jadi kamu serius?”

            ”Ya, tentu. Aku offline lama karena mengurus segala sesuatunya agar aku bisa segera ke Indonesia.”

”Mengurus apa?”

”Mengajukan visa dan banyak lagi. Keluargaku tidak setuju, terutama amma-ku. Jadi, aku harus jual properti pemberian Abba66 atas namaku untuk biaya pesawat dan tinggal di sana selama menunggu pekerjaan.”

            ”Kenapa kamu lakukan ini, Kiron?”

            ”Aku mencintainya, Aifa.”

            ”Tapi orang tuamu tidak setuju.”

            I don’t care. Aku sudah 26 tahun. Sudah seharusnya tahu yang kuinginkan dalam hidup.”

            ”Kamu pikir kamu akan bahagia menikah tanpa restu orang tua?”

            ”Ya, tentu aku akan bahagia. Amma memang tidak setuju dan marah aku memilih tinggal di Indonesia. Tapi sebesar apa pun marahnya, amma tidak akan mengutukku.”

            ”Dasar anak nakal.”

            ”Coba kamu pikir, orang tua mana yang akan mengutuk anak nakalnya?”

            ”Ada. Ibunya Malin Kundang. Ia mengutuk anaknya jadi batu.”

            ”Kenakalan apa yang membuat Malin Kundang dikutuk ibunya?”

            ”Karena ia tidak mau mengakui ibunya yang tua dan miskin.”

            ”Oh, dia memang anak terkutuk. Yang seperti itu wajib dikutuk. Ngomong-ngomong, aku ingin lihat Malin Kundang yang sudah jadi batu itu. Kamu akan bawa aku ke sana?”

            ”Kiron, aku tidak tahu tempatnya. Aku juga tidak tahu apa Malin Kundang yang telah menjadi batu itu ada, karena ini sebuah cerita legenda.”

            ”Oh, aku pikir cerita nyata. Kamu sempat buat aku takut.”

            ”Kiron, mungkin amma-mu memang tidak akan mengutuk, tapi kalau terjadi sesuatu padanya, apa kamu tidak akan menyesal?”

            ”Terjadi apa, Aifa? Amma akan baik-baik saja. Jangan berpikir macam-macam. Dustu! Kamu sengaja menakut-nakuti aku, kan?”

            ”Kamu tega menyakiti hati amma-mu?”

            ”Aifa, jangan buat aku jadi sentimentil.”

            ”Jangan sampai kamu menyesal, Kiron.”

            ”Dengar, Bondhu, suatu saat amma akan setuju. Aku yakin itu. Dia hanya butuh waktu. Dan selama itu, aku akan mengurus pernikahan kami.”

            ”Kenapa kamu begitu bersikeras?”

            ”Entah apa namanya, tapi yang jelas aku tidak mau jadi pemuda yang harus mengikuti tradisi keluarga yang akan mengacaukan hidupku.”

            ”Maksudmu?”

            ”Aku tidak mau dijodohkan!”

            ”Kalau wanita itu baik, kenapa tidak?”

            ”Come on, Aifa ... sebaik apa pun dia, hatiku sudah ada yang punya. Aku yakin kami tidak akan bahagia. Menikah tidak untuk satu atau sepuluh tahun, tapi untuk selamanya.”

            ”Kamu yakin kamu masih hidup sampai sepuluh tahu lagi?”

            ”Buddhu! Apakah besok aku masih hidup pun tidak ada yang tahu. Aku berkata seperti itu karena berandai-andai umurku akan sampai enam puluh atau tujuhpuluhan tahun. Mengerti?”

            ”Iya, iya. Lanjut!”

            ”Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak kucintai meskipun hanya satu hari. Jadi aku memutuskan untuk bergabung dengan barisan pemuda yang menentang adat perjodohan keluarga.”

            ”Kamu masuk klub pemuda penentang perjodohan? Penentang orang tua, gitu?”

            ”Buddhu, klub seperti itu memang tidak ada. Maksudku, saat ini, sudah banyak pemuda-pemuda Bangladesh yang menikah dengan pilihannya sendiri. Kalau ada beberapa yang masih dijodohkan, banyak dari mereka yang menolak.”

            ”Oke. Tapi menurutku, sebaiknya kamu beri pengertian dengan baik sampai mereka merestui, baru menikah.”

            ”Aku sudah berusaha, Aifa. Tapi amma tidak mau dengar. Dia bahkan sudah bicara pada banyak orang kalau aku akan menikahi Sima. Amma tidak mau perjodohanku dengan Sima batal.”

            ”Kalau begitu kamu bisa bicara dengan Sima. Beri pengertian padanya kalau kamu sudah punya pilihan dan tak akan baik nanti bila menikah dengannya. Biar Sima yang memberi pengertian pada amma-mu.”

            ”Itu ide yang baik kalau Sima juga telah memiliki kekasih atau tak mencintaiku. Amma dan Sima saling menyukai dan mereka sangat sehati. Makanya aku tak mungkin membawa Lina tinggal di Bangladesh. Dia tidak akan nyaman. Mungkin juga tidak akan aman. Akulah yang harus tinggal di Indonesia.”

            ”Oh. Aku mengerti. Kamu sayang banget ya sama dia, ya? Betapa manisnya.”

Dalam desir iri hati kuungkapkan pernyataanku.     

”Aku menyukai dan menghargainya. Dia wanita dewasa dan mandiri. Aku suka tipe wanita seperti ini. Aku tidak suka gadis manja, suka merajuk dan selalu minta tolong.”

            ”Bukannya laki-laki senang dimintai tolong? Senang dianggap pahlawan?”

            ”Come on, Aifa ... Ini zamannya wanita harus mandiri. Memang ada hal-hal yang tak pantas dikerjakan wanita dan hanya bisa dikerjakan pria, tapi kalau ke mana saja minta diantar, harus selalu berdua, jujur aku tidak suka. Memangnya aku tidak perlu bekerja?”

            ”Aku mengerti.”

            ”Terima kasih. Aku ingin meminta sesuatu, Aifa.”

            ”Apa?”

            ”Di Indonesia, aku tidak punya siapa-siapa. Maksudku, aku hanya punya Lina.”

            “Keluarga Kak Lina akan menjadi keluargamu juga.”

            ”Ya, benar. Mereka baik sekali padaku. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan menyukaiku. Tapi maksudku, di Indonesia aku tidak punya keluarga dari pihakku sendiri. Jadi, bisakah kau menjadi saudariku? Menjadi keluargaku di Indonesia?”

            ”Kiron ...? Kamu membuatku ingin menangis.”

            ”Kenapa?”

            ”Aku merasa terharu dengan permintaanmu.”

            ”Kamu mau atau tidak?”

            ”Menurutmu apa?”

            ”Kamu pasti mau. Mana mungkin kamu tidak mau. Iya, kan?”

            ”Nah, kamu sudah tahu jawabannya.”

            ”Terma kasih, Adikku. Hahaha, terdengar lucu, ya?”

            ”Kamu pernah bilang, tidak perlu minta maaf dan berterima kasih pada teman baik. Apalagi jika sekarang telah menjadi saudari.”

            ”Tapi kali ini aku harus mengucapkannya.”

            ”Baiklah, terima kasih kembali.”

            ”I’m happy.”

            ”Jadi apa yang bisa kulakukan untukmu?”

            “Saat ini tidak ada. Tapi nanti akan banyak.”

            “Tak masalah.”

            ”Terima kasih sebelumnya.”

            ”Tuh, ngomong terima kasih lagi, kan?”

            ”Aku harus mencicil. Hahaha.”

            ”Hemmh. Oke. Sekalian bunganya, ya.”

            ”Tak masalah. Bilang terima kasih kan hal mudah. Tak perlu bayar, hahaha.”

            ”Kamu sudah cari pekerjaan?”

            ”Sudah dapat. Lina yang mencarikannya.”

            ”Baguslah.”

            ”Dia sudah mengurus semuanya.”

            ”Sepertinya dia bisa diandalkan.”

            “Itulah enaknya punya pacar lebih dewasa. Ia tahu banyak hal, punya jaringan dan teman banyak, bisa mengatasi masalah serius dan tak selalu bergantung pada laki-laki. Itu sangat menolong, bukan?”

            ”Iya, betul. Yang seperti itu tipe kamu, ya?”

            ”Ya. Kamu akan senang berteman dengan Lina. Dia baik sekali. Bagaimana kalau aku kasih nomor teleponnya?”

            ”Boleh.”

            ”Nanti aku kirim lewat SMS, ya.”

            ”Oke.”

            ”Sekarang ganti kamu yang cerita. Bagaimana kabar pacarmu?”

            ”Aku tak tertarik membicarakan dia.”

            ”Kenapa?”

            ”Tidak apa-apa.”

            ”Ya, sudah.  Kamu belum bisa melupakan Ahmed, ya?”

            ”Hampir bisa.”

            ”Bagus. Lupakan saja. Life must go on, Aifa. Jangan mengingat masa lalu terus. Kamu hanya akan membuang waktu percuma.”

            ”Tidak mudah bagiku, Kiron.”

            ”Aifa, kamu seharusnya mencintai pemuda sepertiku. Bukan domestic animal67 seperti Ahmed itu, hahaha.”

            “Kenapa kamu menjulukinya seperti itu?”

            ”Kamu marah?”

            ”Hmm.”

            ”Itu kenyataan, Aifa. Dia seharusnya bisa bicara pada amma-nya.”

            “Amma-nya dan amma-mu beda, Kiron. Amma-nya Ahmed akan sakit kalau Ahmed melawannya.”

            ”Boleh aku minta nomor telepon rumah Ahmed? Sesekali aku ingin bicara dengan amma-nya.”

            ”Kamu mau bicara apa?”

            ”Cuma mau tahu apa yang sedang terjadi di sana. Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa”

            “Baiklah. Nanti kukasih.”

            “Percayalah padaku. Aku pintar menyamar dan mempengaruhi orang, hahaha.”

          “Aku juga akan memberikan ID Ahmed. Kamu bisa bicara dengannya saat ia online.

            “Tentu.”

            “Terima kasih, Kiron.”

            “Hahaha. Di antara teman tidak perlu bilang terima kasih dan minta maaf.”

            ”Tapi aku harus. Ini hal serius, haha.”

            ”Baiklah. Aku harus pergi. Senang bicara denganmu hari ini.”

            ”Aku juga. Take care, bye.”

            “Bye.

            Kiron telah pergi! Tapi tidak dengan rasa senangku. Setelah sebulan menghilang, Kiron muncul dengan kabar bahagia.           

Kiron adalah teman dunia-maya. Ia pemuda yang nekat, agak sesuka hati dalam bersikap dan tak begitu mendengar kata orang. Tapi mengobrol dengannya membuat hati dan pikiranku menjadi segar. Begitu pun hari ini. Ia bahkan memberi sebuah harapan.

            Tapi rasa senang yang ia transfer hari ini, tidak semuanya aku terima sebagai rasa gembira. Ada rasa nyeri mengiris hati, mengingat dalam hal memperjuangkan cinta, Ahmed sama sekali tidak sama dengan Kiron.

Hahh. Andai kutemukan rumus bosan memikirkan Ahmed, niscaya aku akan menerapkannya.

            ”Aifa, u thr?”

            Niatku pulang tercegah. Seorang teman-maya yang lain baru saja menyapa. Dan aku harus tetap tinggal setidaknya untuk beberapa menit.

            ”Hi, Zia. Are you in invisible mode?”

            “Ya.”

“Kenapa?”

            ”Pacarku online.

            ”Lho, kok malah invisible?”

            ”Aku lagi bad mood banget. Lebih baik tidak bicara dengannya. Nanti hanya akan menyakitinya.”

            ”Apa yang terjadi?”

            ”Kakak tertuaku tidak setuju aku menikah dengan Ria.”

            ”Kenapa tidak setuju?”

            ”Karena aku akan tinggal di Indonesia. Dia takut kalau aku tak akan dapat pekerjaan bagus untuk mencukupi kebutuhan lalu menjadi kekurangan di Indonesia.”

            ”Ya, aku mengerti. Berarti dia sangat sayang sama kamu.”

            ”Aku pusing. Apalagi bulan ini tak mencapai target penjualan.”

            ”Pekerjaanmu jadi kacau mungkin karena masalah pribadi, Zia.”

            ”Ya. Rasanya ingin mengomel.”

            ”Kamu sudah berusaha memberi pengertian ke kakak tertuamu itu?”

            ”Sudah. Sudah dibantu kakak perempuanku juga. Shafi, sahabatku, juga telah berusaha membantu. Kamu tahu, amma-ku sangat mendengarkan apa kata kakak tertuaku.”

            ”Berarti kakak tertuamu kuncinya. Kalau amma-mu tetap tak setuju, gimana?”

            ”Aku nggak peduli.”

            ”Maksudmu?”

            ”Aku akan tetap menikahi Ria. Aku akan kabur ke Indonesia.”

            ”Ya ampun, negaraku akan dipenuhi pelarian-pelarian dari Bangladesh!”

            ”Itu salah gadis-gadis Indonesia.”

            ”Kenapa kamu menyalahkan kami?”

            ”Karena kalian membuat pria-pria Bangladesh tergila-gila.”

            ”Haha.”

            ”Aifa, maaf aku dipanggil bosku.”

            ”Aku juga mau off.  Aku harus pulang?”

            ”Ok. Sampai jumpa.”

            Tambah satu lagi pemuda Bangladesh yang bergabung dengan barisan penentang tradisi perjodohan. Entah kebetulan atau tidak, pemuda-pemuda penentang itu berasal dari keluarga berada. Kiron anak seorang pengusaha kaya, Zia anak seorang pejabat tinggi di pemerintahan dan kakak-kakaknya menjadi orang sukses dalam karir.

            Andai Ahmed punya uang banyak, apakah dia tergoda untuk kabur ke Indonesia demi kekasih seperti yang akan dilakukan Kiron dan Zia?

            Tidak. Ternyata Zia tidak meneruskan niatnya kabur ke Indonesia demi Ria. Dua minggu sejak obrolanku di YM, dalam kekacauan pikiran dan hati tertekan, Zia mengambil keputusan yang akan melelehkan airmata Ria.

            ”Jangan diam saja, Aifa. Tolong katakan bagaimana kabar Zia? Mengapa dia tak menghubungiku? Biasanya, sesibuk apapaun, dalam kondisi bagaimanapun dia pasti membalas SMS dan offline message-ku. Tapi ini sudah seminggu lebih dia tak menghubungiku. Telfonku juga nggak pernah diangkat. Pasti dia sedang bad mood. Tapi kenapa dia bad mood lagi? Terakhir ia bilang kakak tertuanya sudah setuju. Kalau kakak tertuanya setuju, amma-nya pasti akan setuju. Lalu ada masalah apa lagi? Susah mendapatkan visa? Atau apa?”

            Sekilas kutatap mata Ria yang penuh cemas. Dengan diam kuulur informasi yang harus kusampaikan karena tak kuat melihat lelehan airmatanya. Dalam diam kurasakan perasaanku yang mulai paham, mengapa Ahmed sangat tak suka melihatku menangis.

            ”Aifa, kamu di sini diamanahi Zia untuk mengatakan sesuatu, bukan? Tapi kenapa kamu membisu. Kamu jangan menyiksa aku seperti ini, Aifa! Tolong katakan, sepahit apa pun akan aku telan.”

            Bulir airmata Ria berguguran semakin banyak. Aku menatapnya dan bertanya dengan sinar mata, mengapa ia tahu aku membawa kabar pahit?

            “Meskipun belum pernah berjumpa di dunia nyata, tapi aku bisa merasakan perasaan Zia, Aifa. Dia pasti dalam masalah besar! Tapi apa?? Bukankah kakak tertuanya sudah setuju?” Ria mengulangi pertanyaan yang mengusiknya.

            “Kakak tertuanya memang telah setuju, Ria.”

            “Jadi apa lagi masalahnya? Kenapa sepertinya ada masalah yang jauh lebih besar?”

            Amma-nya ....”

            “Amma kenapa?” potong Ria tak sabar.

            “Tak setuju.”

Setelah kalimat itu terucap. Ria digulung pusaran heran. Aku melihat itu di matanya yang tak juga berkedip.

            ”Tapi, kata Zia, kalau kakak sulungnya setuju, Amma pasti akan setuju. Makanya dia mengejar persetujuan kakak sulungnya.”

            ”Ini di luar dugaan, Ria.”

            “Kenapa Amma jadi tidak setuju?”

            “Ria, Zia memintamu untuk melupakannya. Dan dia meminta maaf untuk semua kata dan janji yang tak mampu ia penuhi. Ketahuilah Ria, ia jauh lebih tertekan.”

            ”Ceritakan semuanya, Aifa. Semuanya!”

Dengan menggebu, Ria memintaku memuntahkan semua yang kutahu tentang masalah Zia.

            ”Dulu ia yakin, amma-nya akan setuju karena ia anak bungsu yang selalu mendapatkan semua keinginan. Hanya saja, untuk masalah pernikahan kalian, Zia pikir mungkin akan ada sandungan dari kakak tertuanya. Makanya, yang utama adalah restu kakak tertua. Asal dia memberikan lampu hijau, Zia yakin amma-nya akan merestui.”

            ”Ya, aku tahu itu.” Ria menyahut tak sabar.

            ”Tapi ternyata, sandungan itu bukan berasal dari kakak sulungnya, tapi dari amma-nya sendiri.”

            ”Kenapa?”

            ”Bukan suatu kebetulan ia bekerja dan mendapat posisi bagus di perusahaannya sekarang, Ria.”

            ”Dengan gelar MBA-nya, ia pantas mendapatkan pekerjaan itu. Meskipun perusahaan itu memang milik teman amma-nya.”

            ”Semua itu ternyata ada hubungannya.”

            ”Maksudmu ...? Zia dijodohkan dengan anak pemilik perusahaan itu? Seperti di film-film India?”

Tebakan jitu Ria membuatku mengangguk sebagai pengganti kata ’iya’.

            ”Klise!”

            ”Memang klise, Ria. Tapi yang seperti itu masih banyak terjadi, bukan hanya di Bangladesh atau India. Di sini juga masih ada.”

            ”Pantas Zia tak pernah diberhentikan. Padahal tradisi di perusahaan itu jelas, kalau manajer penjualan yang tidak mencapai target selama tiga bulan berturut-turut pasti dipecat.”

            Ria lalu diam lama, namun selama itu aku tak berhasil merangkai kalimat selanjutnya yang harus kusampaikan pada gadis yang senasib denganku.

            ”Tahukah kamu, Aifa? Betapa sakitnya tradisi perjodohan yang hadir di tengah-tengah hubungan yang telah terjalin.”

Dalam khidmat dan lirih, Ria mendahuluiku membicarakan rasa hati dalam pertanyaan yang menusuk
.
            ”Aku mungkin tidak tahu persis, Ria. Tapi kurasa, setiap perpisahan, apa pun alasannya, pasti menyisakan luka dan kesedihan.”

            ”Zia pernah mengatakan ’tak peduli’ jika amma-nya tak setuju.”

            ”Dia telah mencoba meminta restu secara baik-baik, juga secara tak baik-baik.”

            ”Maksudmu?”

            ”Tiga hari yang lalu, Zia kabur. Tapi dalam perjalanan menuju bandara, ia mendapat kabar ibunya marah dan menangis. Jadi ia putuskan untuk pulang.”

Seketika bulir-bulir airmata Ria dengan kencang berlari seperti larinya pencuri yang dikejar ratusan massa. Aku menawarkan pelukan pada gadis yang belum lama kukenal dan baru pertama berjumpa, tapi serasa sudah berteman sejak kecil.

”Terimalah kenyataan ini, Ria. Aku tahu ini sangat pahit, tapi setelah beberapa waktu, aku yakin kamu akan pulih.”

”Aku pasti kuat, Aifa. Karena aku memang harus kuat. Aku percaya pada kehendak Allah. Mungkin Zia memang bukan untukku.”

Ria tampak tangguh dalam kesedihannya. Ia semakin erat memelukku, seolah memintaku mengalirkan kekuatan yang besar untuk mendukung keyakinannya. Tapi yang kurasa sebaliknya, akulah yang mendapat uluran kekuatan itu. Aku yang sedari tadi sok kuat dan sok bijak di hadapannya menjadi sadar, aku bukan satu-satunya orang yang menangis karena perpisahan.

Lega kurasa hati ini. Amanah telah kusampaikan. Dan yang lebih membuatku senang, ternyata Ria tak cengeng seperti dugaanku. Dia begitu kuat menerima kabar buruk ini meski tak coba mengingkari airmatanya. Dengan kondisi sebaik ini, besok aku bisa pulang kampung dengan perasaan ringan.  



Ketr. :
                         
66. [Bg]     Ayah
67. [Ing]    Orang rumahan

No comments:

Post a Comment