Friday, December 13, 2013

Bab 9 : GATE 4


             Di depan, Riza dan ojeknya telah sampai di depan terminal 1A. Sesaat lagi ojek yang membawaku pun akan sampai di sana. Tapi, kenapa hatiku bergetar seperti ini?

Pilu yang tadi kuikat di tiang rumah dengan tali tambang terbaik, telah mampu melepaskan diri. Ia bahkan begitu gesit mengusut jejak dan mengejarku hingga ke sini. Sekarang, dengan tak kenal kasihan ia kembali menyergap dan menduduki sebagian wilayah perasaanku. Bila sudah begini, biasanya sedu sedan segera datang dengan sorak-sorai, airmata berpesta-pora dan rasa nyeri mencabik hati dengan angkuh. Setelahnya duniaku kembali hanya mengenal satu warna. HITAM.

Tak semestinya jejak masa laluku bersama Ahmed di tempat ini mengganggu masa kiniku. Apalagi aku telah bertekad menguburnya. Lagipula, apa artinya tempo hari menantang Bundaran Senayan bila sekarang kubiarkan perasaaanku tergagahi kenangan manis di Bandara Soetta ini? Berbekal pemikiran itu sebagai senjata, coba kulawan pilu yang ingin merajalela.

“Untuk berdua ya, Bang,” kata Riza diiringi anggukan tukang ojek sambil menjawab ‘iya’ dengan gembiranya. Mungkin Riza membayar lebih dari yang diharapkannya. Dengan senyum lebih mengembang, ia acungkan uang itu pada temannya yang baru sampai.

Aku pun turun dan dengan isyarat mata kuajak Riza cepat masuk, meski dengan jelas kutangkap wajah tegang dan matanya yang gelisah. Mungkin karena belum pernah naik pesawat dan baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Aku pun, kalau bukan gara-gara ke Bali bersama Ahmed, tentu belum pernah tahu dan mengalami rasanya naik pesawat terbang.

Ah, pengalaman itu, yang dulu mampu menerbangkanku karena begitu bahagia  harus ikhlas kuraibkan, kupendam dalam-dalam dan kurahasiakan rapat-rapat!!

Adalah 24 November 2006, Ahmed berkunjung ke Indonesia untuk memenuhi rengekanku, agar sebelum pulang ke Bangladesh menyempatkan diri ―lebih tepatnya memaksakan diri― mengunjungiku. Karena sesungguhnya Ahmed tidak punya uang sehingga harus meminjam dari sahabatnya. Tapi, teganya aku membiarkannya menunggu di Bandara Soetta ini dari jam 8 pagi hingga jam 2 siang hanya karena segan mengambil cuti dua hari: Sabtu saat Ahmed tiba, dan hari Senin saat kami masih akan berada di Bali.

Karena hari Sabtu, aku bekerja setengah hari. Begitu bel pulang berbunyi, tanpa mengganti baju apalagi makan siang, dengan menyeret travel bag segera kupacu langkah menuju pangkalan ojek di dekat pabrik.

Di atas laju roda aku setengah mati menahan diri. Tukang ojek itu membuatku naik pitam, karena ternyata gagap jalan menuju bandara. Aku kesal tapi tak tega meluapkan marah karena ia begitu tua, kurus dan selalu memanggilku dengan sebutan ’Nak’. Ia hanya membawaku berputar-putar, sebentar-bentar turun untuk bertanya arah ke bandara hingga akhirnya baru tiba di terminal 1A jam dua siang. Bila mengingat hal itu, aku merasa sangat bersalah pada Ahmed. Bukan saja karena membiarkannya menunggu lama tapi juga kelaparan. Sebab Ahmed tak mau makan kecuali aku telah datang.

“Tiketnya?” pinta petugas di depan pintu masuk. Ingatanku pada Ahmed pun sontak menguap. Segera kuambil tiketku dan milik Riza dari dalam tas dan mengulurkannya. Setelah sepintas memeriksa, petugas itu memberi kami jalan lewat sambil mengembalikan tiket.

Begitu masuk, suasana ramai langsung terasa. Kubawa indra penglihat mengitari penjuru ruangan, mencari-cari konter check in ke Solo. Aku akan pulang ke Solo hari ini untuk menyusul ayah dan Ibra ke rumah Budhe68 Prapti yang akan menyelenggarakan acara nyewu69 atas meninggalnya ibu.

Tembakan mataku terhenti di dekat ujung ruangan, di mana terjadi antrian paling panjang. Kutuju tempat itu dan ikut mengantri. Sesaat kemudian, petugas membuka lagi satu konter di sebelahnya. Aku menoleh, bermaksud mengajak Riza pindah ke konter sebelah, tapi tak kudapati ia di belakangku. Pikiranku langsung memerintahkan mata untuk menoleh ke dekat pintu masuk. Ah, Riza ternyata masih mematung di sana!

“Sini,” panggilku tanpa mengeluarkan suara. Riza pun beranjak menuju tempatku. Rasa bersalah pada Riza tiba-tiba timbul. Gara-gara tenggelam pada ingatanku akan Ahmed, Riza jadi terabaikan. Padahal, baru saja kami berbaikan dan saling berjanji untuk membenahi hubungan. Ah, Ahmed, kenapa bayangnya kembali menyembul menebariku hangat?

“Za, nanti tasnya kita titipin saja di bagasi saja,” kataku sekedar menarik Riza ke dalam sebuah obrolan. Begitu ia sampai di belakangku.

“Ya,” Riza menjawab dengan singkat. Suara hatinya menembus kesadaranku, ia tak ingin bicara banyak entah kenapa. Aku pun kembali diam, tak berselera meneruskan.

Nduk ….” kata Riza di antara keheningan kami.

“Ya?”

“Aku gemeter ….” akunya polos.

“Grogi belum pernah naik pesawat, ya? Atau grogi akan ketemu keluarga besarku?” tanyaku berusaha ramah.

“Yang pertama.” jawab Riza jujur, membuatku merasa lega. Ternyata diamnya bukan karena marah pada sikapku yang tak sadar sering mengabaikannya.

“Nggak papa, tenang aja,” kataku sambil melangkah maju. Sebentar lagi, giliranku untuk check in.

Semakin dekat dengan konter, bayangan dua tahun yang lalu saat aku dan Ahmed check in di sebuah konter tak jauh dari sini, seketika muncul. Bayangan yang serasa terjadi dua puluh tahun silam itu begitu jelas. Pesonanya tegas menyibak tirai ingatan.

Saat itu, sembari menunggu antrian, aku yang belum pernah naik pesawat dan belum mengerti tentang baggage claim, bertanya pada Ahmed, kapan dan di mana bisa mengambil travel bag yang akan dititipkan. Mendengar pertanyaan polos itu Ahmed berkata, “Your luggage won’t back, Dear.”

Sejenak aku bisa dibuat tampak bodoh karena panik, tapi melihat senyum anehnya, “bohong!” kuberteriak sambil menginjak kaki Ahmed hingga ia kaget dan berseru, “Youuu?!”

Aku tersenyum puas melihat Ahmed pura-pura marah dan memelototiku. Marah bukan karena kesakitan, sebab sepatu coklat Ahmed yang tebal dan keras tak mempan terinjak kakiku. Marahnya Ahmed karena alas kaki itu menjadi kotor oleh debu yang menempel di sepatuku.

            “Tiketnya!” pinta petugas check in mengagetkanku. Matanya melihatku aneh, seolah telah memergokiku sedang senyum-senyum sendiri. Ah, Ahmed ... tak bosan-bosannya ia mengunjungi ingatanku.

“Tiketnya, Mbak!” pinta petugas itu sekali lagi.

“Eh, iya, iya,” jawabku agak gagap sambil menyerahkan tiket di tangan.

“Ada bagasi?” tanya petugas yang satunya.

“Ada, Pak, “ jawabku. Lalu kutolehi Riza dan memintanya memberikan travel bag-ku yang dibawakannya.

“Bayar airport tax-nya di dekat tangga,” kata petugas check in cepat sambil menyerahkan kembali tiket kami.

”Iya, Pak. Terima kasih.”

Aku dan Riza ―tapi bagiku seolah sendiri tanpa Riza― meninggalkan check in counter menuju tangga ke lantai atas. Sampai di depan tangga, kami berhenti untuk membayar airport tax. Aku jadi ingat dua tahun yang lalu ketika pergi ke Bali, airpot tax langsung dibayarkan di konter check in, bukan di konter tersendiri di depan tangga.

Setelah selesai membayar, aku menuju tangga. Riza di belakang mengikutiku.  Sambil menoleh pada Riza kulempari ia sebuah senyum tipis yang kikuk. Aku lalu mundur agar bisa berjalan sarimbit dengannya, berharap cara itu bisa mengusir bayang Ahmed yang mengancam datang sesaat lagi.

Kubawa kaki menginjak anak tangga pertama lift. Aku dan Riza mulai diangkut naik oleh tangga perkasa. Tapi baru sepertiga perjalanan, aku seperti dipaksa untuk menoleh ke belakang, melihat ke bawah.

Di sana, di ujung tangga itu ada diriku dua tahun yang lalu. Saat itu, diam-diam aku tak ikut Ahmed naik tangga, padahal ia telah hampir sampai di puncak. Saat sadar kutak ada di dekatnya, mata Ahmed bingung mencari-cari. Begitu menemukanku masih di bawah, Ahmed hanya tersenyum cool sambil geleng-geleng kepala seraya mengarahkan telunjuknya kepadaku yang sedang menjulurkan lidah, meledek kekalahannya.

“Kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Riza mengagetkanku. Aku berpura-pura membenarkan tas selempang agar bisa menunda jawaban. Tapi Riza tak mau menunggu lama, ia pun melihat ke bawah, mencoba mencari tahu sendiri.

“Oh… itu? Anak kecil memang lucu, menggemaskan. Seperti kamu!”

“Aku menggemaskan?” tanyaku sekedar menanggapi. Sementara hatiku melonjak riang karena tertolong keadaan.

“Iya. Cuma ... kalau anak kecil menggemaskan untuk dicium, tapi kamu menggemaskan untuk di ….”

“Diapain?” sahutku cepat.

“Dijewer!”

“Kok dijewer?!”

“Lha, iyalah. Kamu bandel, gampang ngambek. Udah gitu, kalau marah suka ngusir.”

“Biarin, kamu juga suka ngeselin, sih.”

“Aku yang ngeselin, apa kamu yang nggak sabaran? Perlu dianalisa lebih mendalam, tuh,” kata Riza kali ini sambil tersenyum. Tegang di wajahnya sudah mulai mengendur.

“Huh! Dasar orang QC. Semua nggak lepas dari analisa. Kebanyakan analisa kamu!” balasku sambil mengangkat kaki keluar tangga. Si tangga perkasa baru saja membawa kami sampai di puncak.

“Memang harus begitu, biar root-cause-nya. Dengan demikian bisa diambil tindakan pencegahan agar masalah yang sama tidak terulang lagi. Begitu prinsipnya,” jawab Riza tetap tak mau kalah. Semangatnya menyala begitu membicarakan masalah yang ia kuasai.

“Ah, bicara sama kamu tak lepas dari teori dan prinsip.”

“Eh, Nduk, suatu teori itu tidak turun dari langit. Sebelum ditetapkan jadi teori, ia telah diteliti dengan serius, mendalam dan terbukti secara meyakinkan. Orang-orang yang meyakini suatu teori, tak jarang menjadikannya sebagai prinsip yang ia taati. Baik di pekerjaan maupun di kehidupan pribadi.”

“Iya, iya,” jawabku berpura-pura kalah debat dengan Riza. Yang sebenarnya, karena aku mulai enggan berbicara apa pun, dengan siapa pun. Karena dari kejauhan, kulihat Ahmed sedang menatapku sambil berjalan mundur, seolah ingin terus menjaga jarak. Semakin aku mendekat, semakin jauh pula Ahmed membawa langkahnya ke belakang.

Di tengah perjalanan ke ruang tunggu gate 4, sebuah pintu pemeriksaan dengan metal detector menghadang. Aku dan Riza melaluinya dengan selamat karena tak ada barang terlarang di dalam tas selempangku dan Riza hanya berlenggang kangkung, sebab semua barangnya dititipkan di dalam travel bag-ku.

Aku dan Riza dengan hati lega meninggalkan pintu pemeriksaan itu. Tapi tidak dengan ingatanku. Dengan cekatan ia memanggil Ahmed dua tahun yang lalu saat tertahan sebentar di pintu pemeriksaan metal detector karena membawa korek api.

Dasar perokok. Padahal kuliah di jurusan Perobatan dan Sais Kesehatan. Tahu soal kesehatan, tahu rokok tidak baik untuk kesehatan, tapi tetap saja ia bersahabat erat dengan si Benson yang besar. Ironis!  Sambil menunggu, kumaki Ahmed dalam hati. Saat itu.

Sedangkan saat ini, aku dan Riza terus melangkah menuju gate 4 dalam diam. Entah apa yang dipikirkan Riza dalam diamnya. Mungkin masih asyik memikirkan segala teori QC dan masalah analisa.

Sesampainya di depan pintu, tanpa diminta langsung kuserahkan tiket pada petugas untuk diperiksa.

“Za, itu ruang tunggunya, kita ke sana.”

            “Ya,” jawab Riza lagi-lagi singkat, entah mengapa. Sepertinya, berbicara denganku tak lagi menarik hatinya. Tapi aku tak keberatan dengan hal itu. Sebab aku pun demikian sesungguhnya.

Aku dan Riza berjalan lurus lalu belok kanan. Namun di persimpangan, Riza memilih belok kanan menuju deretan bangku di bagian belakang, sedangkan aku ingin ke kiri, mendekati lokasi tivi. Aku dan Riza pun berbeda haluan dan melangkah sendiri-sendiri.

Dengan berpura-pura menonton tivi, aku duduk sendiri di sini. Dengan leluasa memandang sebuah bangku yang dulu pernah kududuki dengan hati bahagia karena sedang bersama kekasih yang biasanya jauh dari pandangan.

Ada perasaan damai dan bahagia hingga kutak tahan untuk tidak menyandarkan kepala di pundak Ahmed, yang setelah empat hari akan tak ada lagi di sisiku. Aku sungguh tak mampu menguasai diri saat itu. Tapi harus menelan kecewa, sebab Ahmedku memberi isyarat untuk mengangkat kepala dari pundaknya.

Menyadari kesedihanku, Ahmed menghibur dengan bercerita bahwa ibunya seorang yang religius dan mengajarkannya untuk selalu mematuhi syareat Islam. Lagipula, bermesraan di tempat umum apalagi belum suami-istri merupakan hal yang tabu di negaranya. Dengan menerima semua alasan itu aku dapat segera melupakan kesedihanku.

Namun bayang-bayang yang pernah nyata ada itu bagai mimpi yang pudar begitu mata terbuka. Saat ini aku justru tak percaya, pernah ada diriku yang bahagia bersama Ahmed di bangku itu.

Kebersamaan itu telah direnggut, kebahagiaan telah diluluhlantakkan! Entah siapa yang melakukan dan mengapa harus terjadi.

Kembali wajah ini diguyur sayu ketika bayang-bayang Ahmed yang pahit merambati pikiran. Dan mata pun diintip serpihan kenangan yang sebentar lagi akan menggulirkan bulir-bulir airmata kerinduan yang getir.

Bukankah Kak Dio bilang, kesedihan akan tetap ada selama kita menginginkannya? Aku seharusnya pergi pada Riza, suara hatiku lembut berkata.

Kali ini kuikuti kata hati tanpa bantahan. Kuhapus airmata yang baru setetes jatuh sebelum beranjak menghampiri Riza sambil mendengarkan gaung pilu yang terdengar nyata. Gaung yang dengan rintih pedih berkata, aku sangat rindu pada Ahmed.

Betapa pun keras kumencegah, ketika harus berada di tempat yang penuh kenangan ini, aku tak kuasa membendung ingatan tentang Ahmed kembali muncul. Juga, kian tak kuasa membendung airmata kerinduanku padanya.

Tapi kesadaran menyeru untuk tak hanyut dalam ilusi yang sudah akut. Karena semestinya aku memikirkan Riza dan tak boleh membiarkannya sendiri di belakang sana.

Suara hati sepakat meski diiringi isak tertahan. Isak yang tak boleh dibiarkan meledak. Untuk itu, aku memang harus sekali lagi menghapus airmata lalu pergi pada Riza.

Kucoba tampak biasa dan duduk di sampingnya. Namun entah, tiba-tiba enggan sekali bicara sesuatu. Segera kuambil buku diktat dari dalam tas, membuka secara asal lalu pura-pura membaca.

Begitu buku terbuka ....

Sekali lagi kutak mampu menahan munculnya kenangan yang berloncatan ke depan mata. Aku seperti ditenggelamkan ke dalam lembaran buku itu untuk mengarungi sebuah kisah, di mana tokoh utamanya adalah aku dan Ahmed.

Alkisah, begitu mendengar pengumuman bahwa pesawat ke Bali akan delay, Ahmed minta ijin pergi keluar untuk lagi-lagi mengisap Benson, sahabat karib dan setianya. Aku mengangguk begitu menyadari ada kegelisahan yang semakin tak terbendung di sinar matanya. Aku mengerti, Ahmed terlalu lelah mencumbui bandara ini dari pagi hingga malam.

Begitu selesai merokok dan kembali, kubawa kekasihku pada antrian untuk mengambil makanan yang dibagikan petugas maskapai penerbangan. Tak ingin diriku terlibat dalam antrian, Ahmed menunjuk sebuah tempat. Di salah satu sudut ruang tunggu sebelah kiri yang kebetulan sedang kosong aku diminta menunggu di sana. Kosong bukan karena sedikitnya orang, tapi karena banyak yang keluar ruangan karena bosan.

“Sayang, makanlah dulu,” kata Ahmed tak bersemangat sambil menyerahkan dua kotak hokben begitu sampai. Aku mengerti benar Ahmed sangat jenuh dan lelah.

“Baik. Tapi kamu temani aku, ya?” pintaku yang begitu saja dituruti Ahmed. Dengan hati gembira kubuka kotak makanan dan kusuapi Ahmed yang duduk di sampingku. Tapi ia tampak malas mulut.

“Sayang, kamu makan, ya? Pasti kamu lapar,” dengan mengabaikan desir luka karena mulut terkatupnya, aku lembut meminta. Ahmed menatapku lesu dan menggelengkan kepala. Menolak dengan berkata bahwa ia tak bisa makan sebelum mandi.

“Aku tak bisa membiarkanmu kelaparan untuk kedua kali. Please, Sayang. Sedikit saja,” pintaku dari hati yang bersungguh-sungguh.

“Baiklah, kalau kamu memaksa. Tapi biarkan saya makan sendiri, ya?”

Aku terpaksa menyetujuinya meski kecewa menjalari perasaan. Kuperhatikan Ahmed yang sedang makan tak lahap! Tampak terpaksa!

”Tidak enak?” tanyaku.

”Saya merasa tak nyaman makan sebelum mandi. Saya sudah mengatakannya tadi,” jawab Ahmed sambil meletakkan sumpitnya. Kuambil kesempatan itu untuk menyuapinya sekali saja. Tapi Ahmed geleng-geleng kepala sambil tersenyum hingga beberapa suap dari tanganku berhasil kuselundupkan.

”Sekarang kamu yang makan. Kamu juga belum makan dari siang.  Jadi sekarang dan sekarang saya minta kamu makan!” pintanya serius. Aku memberinya gelengan sebagai jawaban.

 This is my order!” pintanya sekali lagi lebih serius.

Aku menatap mata Ahmed yang tak juga berkedip. Perintah itu, membuatku bagai diperciki bunga-bunga api bahagia. Ada rasa diperhatikan, dicintai dan itu membuatku sangat bahagia hingga kumerasa telah kenyang sebelum sesuap nasi pun memasuki ‘tangki’ perut.

Setelah mampu mengatasi rasa haru, dengan kedua tangan terbuka dan tanpa suara, kuminta makanan bekas Ahmed. Sesaat menimbang-nimbang dan pura-pura tak ingin memberikan, Ahmed akhirnya dengan mengulum senyum menyerahkan apa yang kuminta. Ditambah beberapa suap dari tangannya sebagai hadiah untuk entah.

Tak lama kemudian, seseorang berbaju hitam-putih dengan senyum seolah merasa tak enak hati mendekati telepon gantung di dekat exit door. Tampaknya ia akan memberikan sebuah pengumuman, yang kurang atau tidak menyenangkan.

Ahmed dan juga orang-orang di ruangan itu bersiap mendengarkan. Mereka semua tampak berharap berita baik. Setidaknya pesawat yang akan membawa mereka ke tujuan segera diberangkatkan. Tapi, isi pengumuman itu lagi-lagi tentang delay.

Ahmed tersenyum sekaligus tertawa kecewa, sama seperti yang lain. Tapi aku tidak. Aku biasa-biasa saja dan tak mengkhawatirkan masalah delay karena ada Ahmed di sisiku. Kebahagiaanku tak berkurang selama apa pun harus menunggu. Aku tak keberatan meskipun berjam-jam. Tapi sungguh keberatan melihat wajah kekasihku yang kian lelah dan bosan. Dengan senyum, kumohon Ahmed bersabar dengan kondisi ini.

            “Nduk, aku mau merokok,” kata Riza mengagetkan. Tapi berpura-pura membaca dengan posisi wajah sedikit menunduk sungguh membuatku tertolong. Riza tak tahu perubahan muka dan bulir airmata hangat yang siap terjun-bebas.

            “Ya.” Jawabku singkat. Riza pun beranjak pergi, dan aku justru senang ditinggal sendiri. Airmataku yang telah mendekati dagu itu aman dari penglihatan Riza. Segera kuhapus lalu mendongak ke langit-langit ruangan, mencegah airmata tak semakin banyak berderai. Aku tahu taktik ini dari sebuah lagu Jepang yang sudah mendunia: Sukiyaki.

Ue wo muite aruku, namida ga koborenai yooni, omoidasu haru no hi, hitori boochi no yoru70

Hatiku tergerak memperhatikan Riza. Ia telah bersama orang-orang yang sedang merokok di dekat pintu masuk Gate 4. Riza sedang berusaha meredam kecemasan dengan mengisap rokok dalam-dalam. Matanya tenang menatap dahan-dahan pohon yang bergoyang lembut diterpa angin.

Kumengeluh dalam hati. Meski sedekat ini, Riza tidak menyadari diriku di sini sedang mengeluarkan airmata. Betapa ia tidak bisa merasakan perasaanku.

Inikah yang disebut tak terkoneksi?

Kesendirian dan ’jauh’nya Riza semakin membuat tanganku gatal mengirim SMS pada Ahmed. Aku sungguh tak kuat menahan derasnya kenangan di tempat ini yang mulai mengucuri rindu yang mengharu-biru. Tanganku menjulur ke dalam tas, menggambil hape butut, dan menyusun kata demi kata mengikuti perintah hati.

Di sini aku, di tempat kita dulu menunggu pesawat dari jam 5.30 sampai 11.30 malam. Di tempat sekarang aku duduk, dapat kulihat kenangan manis kita. Di sudut ruangan itu, kita saling menyuapi. Aku sangat bahagia saat itu dan berharap kita akan selalu bersama. Tapi rupanya aku terlalu berharap! Kau bahkan telah begitu jauh. Aku tak percaya telah kehilanganmu. Betapa keras aku berusaha menghadapi perpisahan ini, tapi aku sungguh tak bisa. Buddhu, tolong jangan lakukan ini padaku. Kembalilah. Aku di sini menunggumu. Pls back to me, back to me anytime!

Delivered to: Teeta.  Begitu informasi yang tertulis di layar hape, pertanda SMS-ku telah diterima. Mungkin SMS itu sekarang sedang dibaca kakak perempuan Ahmed atau oleh Ahmed sendiri bila kebetulan mereka sedang berdekatan.

Ya, setelah Ahmed berubah menjadi sangat pahit tindakan dan kata-katanya, aku menamainya Teeta. Ahmed adalah Teeta, Teeta adalah Ahmed. Bagiku tak beda.

Aku telah begitu nekat mengirim SMS. Tak ada lagi takut semua ini diketahui kakak perempuan Ahmed. Juga tak takut apa pun yang akan terjadi karena telah menerabas larangan untuk tak menghubunginya. Apa boleh buat! Aku hanya ingin Ahmed tahu perasaanku. 

Bondhu, saya mohon dengan sangat jangan mengirim SMS ke nomorku lagi jika kamu tidak ingin aku kena masalah. Sekarang hapeku dipegang kakak perempuanku.

SMS itu pernah dua kali Ahmed kirimkan. Aku benar-benar tak peduli lagi akan akibat dari kenekatanku. Bahkan bila Ahmed membalas dengan marah-marah sekalipun.

Aku berani bertaruh, ia tak akan membalas. Sebuah bisikan mengisi rongga hatiku. Sepuluh, dua puluh menit telah berlalu, dan balasan itu memang tak datang. Aku mengamuk dalam hati sebab Ahmed telah benar-benar menghabisi cerita cinta dengan ketidakpedulian yang teramat. Ahmed sedang melakukan apa yang dulu ia lakukan pada Febi, tidak menghubungi dan tidak memberi tanggapan saat dihubungi. Agar Febi melupakannya.

Tak ayal Ahmed sampai hati melakukan hal ini padaku. Dulu ia melakukan ini pada Febi yang telah bersamanya tiga tahun. Apalagi bersamaku yang hanya setahun dan menjalani cinta jarak jauh, tentu lebih mudah!

Tapi heran pada tindakan Ahmed yang setega moster belum sepenuhnya dapat kumengerti. Aku tak menemukan jawaban bagaimana sekarang Ahmed menjadi begitu tidak peduli. Padahal dulu bila aku sedikit saja terlambat membalas SMS-nya, ia akan mengirim missed call terus sampai mendapat balasan. Dulu, semuanya begitu indah. Ahmed mengisi hari-hariku selaksa kebahagiaan dan harapan. Sesekali bertengkar tapi masih dalam batas wajar. Justru setelah itu, ia menjadi lebih sayang dan semakin memahamiku.

Tapi setelah pulang ke Bangladesh, kenapa Ahmed seolah hilang dengan tiba-tiba? SMS-nya mulai jarang datang bahkan sejak bulan Januari hampir tak pernah ada. Puluhan email dan offline message-ku terabai dan hampir tak ada yang dibalas. Begitu menulis email, hanya untuk memutuskan cinta dan memintaku menikah dengan laki-laki lain.

Jika Ahmed sudah berkata begitu, apalagi yang bisa  kubuat? Mengharapkannya kembali seperti dulu bagai mengharap David Beckam berlenggang di atas catwalk mengenakan jilbab.

Kesedihan dan kekecewaanku diawali Ahmed saat kumenelepon, bertanya apakah Ahmed sudah mendapat pekerjaan. Tapi ia justru menasehati untuk tidak perlu membuang-buang uang demi menelepon dirinya. Bahkan Ahmed mengatakan telah melupakan masa lalu kami. Aku terhuyung kaget ditampar kenyataan. Ternyata harapanku pada Ahmed terlalu muluk. Jangankan untuk bersama selamanya, aku bahkan secepat itu dilupakan!

Lalu, kekecewaanku selalu dan selalu ditambahnya. Terakhir kekecewaan itu kembali mencekik saat kumengirim SMS di hari ulang tahunnya. Di hari istimewa itu aku sangat yakin SMS-ku akan dibalas. Bahkan mungkin Ahmed akan meledek ketidakkreatifanku karena SMS itu sebenarnya SMS darinya yang ia kirim di hari ulang tahunku ke dua puluh satu. Aku hanya mengganti tanggal lahirku dengan tanggal lahirnya, dan mengganti namaku menjadi namanya. Tapi hasilnya tetap nihil! Itulah mengapa tahun ini aku tidak berminat mengirim ucapan ulang tahun.

Setiap kali kubaca ulang SMS yang bernada datar di mana Ahmed sudah mulai tidak menyertakan kata with lv n affection yang biasa mengakhiri setiap SMS dan email-nya, aku mulai sadar, Ahmed akan benar-benar pergi dari hidupku. Tapi, kutak rela. Karenanya dengan gigih kukumpulkan segenap kemampuan merangkai kata, membujuk dan meyakinkannya untuk tetap tinggal.

Kupikir bujukanku akan berhasil seperti biasanya. Seperti saat harus mengangkat semangat belajarnya terutama saat menjelang ujian. Atau saat harus meredakan perasaan nervous-nya sebelum melakukan presentasi esok hari. Juga saat harus mencerahkan hatinya ketika dihadapkan pada kebosanan, lagi-lagi harus melakukan penelitian yang panjang di laboratorium. Bahkan saat harus menenangkan hatinya setiap kali Ahmed mendengar kabar amma-nya sakit, atau mendengar sendiri amma-nya menangis di telepon.

Tapi kali ini, sungguh kuhanya mengetuk pintu hati orang yang sudah tuli. Ahmed tak mau mendengar kata-kataku lagi! Ia tetap pergi meninggalkanku dengan hati teguh, berdalih tak mendapat dukungan dari keluarga. Terasa semakin menyakitkan ketika ia memintaku berpikir realistis menghadapi realita hidup yang tak sejalan dengan harapan.

Aku dibuat tak mengerti, sungguh tak tahu apa yang terjadi di sana. Tahu-tahu Ahmed mengambil keputusan sepihak untuk berpisah. Apa yang terjadi dalam hidupnya, kenapa sejak pulang ke Bangladesh 11 Desember 2006 Ahmed berubah seratus delapan puluh derajat? Aku sungguh-sungguh tak mengetahui sesuatu di balik itu semua. Tidak secuil pun.

Heranku terus menanjak, tak henti mengganggu pikiran. Saat ini pun demikian. Aku masih tak menemukan jawab, mengapa cinta Ahmed padaku begitu cepat mencair semenjak kakinya menginjak bumi Bangladesh? Apa di sana ia bertemu kembali dengan gadis yang pertama kali menyentuh hatinya? Yang dulu terpaksa harus ditinggalkan karena setelah diteliti silsilahnya, ternyata masih sepupunya sendiri. Anak pamannya yang dulu hilang di stasiun saat ditinggal sebentar untuk membelikannya permen. Apa Ahmed begitu mencintai gadis itu sampai ke tulang sehingga gadis lain tak pernah cukup baik untuk menggantikan tempatnya di hati Ahmed?

Atau, sebenarnya Ahmed masih mencintai Febi? Kalau benar begitu, kenapa Ahmed menjalin hubungan denganku dan tak pernah lagi menghubungi Febi? Pun saat di Indonesia.

Atau gadis Spanyol itu? Yang konon tak pernah membuat Ahmed sedih atau marah? Yang hanya membuat Ahmed bahagia dan selalu mengisi hatinya dengan kisah cinta yang indah walau hanya sekejap? Gadis yang membuat Ahmed menulis Te Amare Por Siempre71 di belakang buku diktat Bahasa Malaysia-nya itukah cinta sejati Ahmed? Sampai-sampai mengilhaminya menulis puisi dengan judul Te Amo Nanita72. Sedangkan untukku, tak satu pun puisi tercipta.

Hati Ahmed sungguh misterius. Dan gadis Spanyol itu selalu mampu membuatku cemburu. Bahkan detik ini. Jessy, si gadis Filipina pun demikian.

Sabtu malam itu aku mengirim SMS tapi tak juga dibalas. Ahmed mengabaikannya dan asyik bersama Filipino girl itu belanja, memasak bersama lalu dinner berdua. Keesokan harinya ketika aku menangis karena cemburu di telepon, ia mengatakan hanya teman dan Jessy telah berpacaran. Ada rasa lega mendengar penjelasannya meski tak mengerti mengapa mereka hanya berdua. Bahkan sampai hati tidak membalas SMS-ku yang tak perlu makan waktu lama. Hatiku tak pernah bisa menerima meski telah memaafkannya.

Dan hari ini lagi-lagi Ahmed membuatku sedih. Dia telah menjadikanku nobody dalam hidupnya. Tak seperti diriku yang selalu mencintai dan mendahulukannya.

“Baca apa ngelamun? Dari tadi masih di halaman itu-itu saja?” Suara Riza mengagetkan. Lamunanku buyar, ambyar73 menjadi remah-remah.

“Eh, kamu. Habis berapa batang?” jawabku masih dengan muka menunduk, pura-pura menekuri buku diktat.

“Satu.”

“Kok lama?”

“Enakan ngadem74 di luar, banyak anginnya.”

“Oh.”

Aku diam dan melihat jam di ruang tunggu setelah membereskan pipi dan menyulap rona wajah. Belum juga mataku beranjak dari jam dinding, terdengar suara announcer memberi pengumuman untuk segera menuju pesawat. Kuajak Riza meninggalkan ruang tunggu gate 4, mengikuti orang-orang. Ini kali pertama aku pulang ke Solo naik pesawat.

Setelah berada di dalam kabin, tanpa dibantu pramugari kutemukan sendiri tempat dudukku dan Riza.  Kuminta Riza duduk dekat jendela agar nanti bisa melihat arak-arakan awan yang indah. Aku ingin Riza melihat keindahan itu, agar bisa kuberpura-pura membaca diktat.

Di pesawat ini, meskipun bukan yang pernah membawaku dan Ahmed ke Bali, tapi kuingin sekali lagi memanggil kenangan di pesawat bersama Ahmed sebelum membuangnya.

Aku merasa sebal pada Ahmed. Saat pesawat take off, Ahmed pura-pura tak acuh dengan wajah tegangku. Ia sengaja tak menenangkan gemuruh di dada yang sedari awal melanda. Malah sengaja bercerita soal kecelakaan pesawat.

Dustu ….

Begitu juga saat pesawat hampir mencapai bandara Ngurah Rai. Dari angkasa kulihat keindahan Bali di malam hari. Lampu-lampu tampak sangat indah bagai aliran sungai berkilau. Kuberitahukan hal itu pada Ahmed dan memintainya melihat keindahan itu bersamaku. Tapi si Dustu pura-pura tidur. Setelah kubuka sepatu dan memukul tulang kering nya, baru ia membuka mata. Ahmed lantas merebut sepatuku dan menaruhnya ke dalam kotak bagasi yang terletak di atas kursi penumpang. Hingga pesawat landing dengan sempurna di bandara International Ngurah Rai, kami hanya saling senyum-senyum geli sendiri.

Begitu sampai di bandara, kami langsung menuju ke tempat bagagge claim. Aku mulai mendapat gambaran di mana bisa mengambil travel bag-ku. Tempat itu penuh sesak karena orang-orang ingin cepat-cepat mengambil bawaannya. Maklum, saat itu sudah lewat tengah malam. Tapi aku tak tahan ingin segera ke toilet dan meminta tolong pada Ahmed untuk mengambilkan travel bag-ku.

Begitu selesai dan keluar dari toilet, kutemukan Ahmed sudah menunggu sambil memegang sebuah travel bag. Aku berkacak pinggang dan melotot berpura-pura marah sambil berkata, “Budhuu!  It’s not my travel bag!” Ahmed pun terkaget-kaget.

“Sungguh? Oh, maaf, maaf,” jawabnya sambil tertawa bodoh. Dengan senyum kumaafkan dia lalu kami kembali ke baggage claim yang telah sepi. Segera kutemukan travel bag-ku di atas conveyor dan Ahmed segera meneliti perbedaan kedua travel bag itu. Dengan tertawa kecil ia menyadari kesalahannya lalu mengembalikan yang salah ke atas conveyor.

”Warnanya sedikit beda, Ahmed.”

Aku menegaskan perbedaan travel bag-ku dengan yang salah. Ahmed menjawab dengan sekilas senyum dan kata ’yes’.

Begitu keluar dari bandara, seorang penjemput dari hotel Restu sedang menunggu dengan memegang kertas bertuliskan nama kami. Aku segera membawa Ahmed mendekati nya.

“Ibu Aifa dan Tuan Ahmed?”

“Iya.”

“Mari, mobilnya ada di sana!” kata penjemput setengah tua sambil menunjuk ke arah jam sebelas. Aku dan Ahmed mengikutinya. Begitu dekat, ia menunjuk sebuah mobil APV silver. Penjemput itu membuka pintu dan dengan sopan mempersilakan kami masuk lalu ia sendiri menuju ke belakang kemudi. Kami pun segera dibawa meninggalkan bandara Internasional Ngurah Rai menuju Hotel Restu di Legian.

Di dalam hati kubersyukur karena sudah melakukan reservasi dan minta dijemput oleh pihak hotel. Kalau tidak, alangkah repotnya mencari hotel dan taksi di tempat asing lewat tengah malam seperti itu.

Sepanjang jalan yang hanya dua puluh menit itu, kumerebahkan kepala di sandaran kursi sambil sesekali menatap Ahmed penuh rasa damai dan bahagia. Ahmed dengan canggung mengenggam tanganku sambil melihat pemandangan Bali di tengah malam. Hanya sekian detik. Begitu sadar, ia segera mengambil tangannya sambil tersenyum tersipu malu.

Bahagianya saat itu. Tapi mengapa kebersamaan yang bahagia itu hanya untuk beberapa hari?

Nduk??”

“Hah??!?”

“Ssst, kamu kok kaget begitu, sih?! Aku kan cuma menyentuh pundakmu,” tanya Riza dalam sorot heran yang bertumpuk-tumpuk. Aku tak berani menjawabnya. Karenanya kupilih membisu saja.

”Kamu kangen ibumu, ya?” tanya Riza membuatku terharu. Tapi entah, tetap saja itu tidak membuatku bertambah mencintainya. Aku malah semakin merindukan Ahmed yang bayangnya sering menyiksa perasaan. Benar kata orang: siapa bisa menipu hati sendiri? Kenyataannya aku sedang bersama Riza tapi hatiku malah merindukan Ahmed.

Hey!
Sekawanan angin dengan sejuta kaki menjulur,
Tahukah engkau wujudnya rindu?

Hey!
Gulungan air laut biru dengan sejuta liuk


Pernahkah engkau meliukkan sketsa rindu?


Ketr.:

      68. [Jw]     Kakak perempuan dari ayah atau ibu
      69. [Jw]     Peringatan seribu hari meninggalnya seseorang
70. [Jp]      Diciptakan oleh Rokusuke Ei dan dinyanyikan oleh Kyu Sakamoto.
Terjemahan bebas: Aku berjalan dengan menatap ke atas, agar airmata tak
jatuh berderai, mengingat suatu hari di musim semi, melamun  sendiri di
malam hari.
71. [Sp]     Aku mencintaimu selamanya
72. [Sp]     Aku mencintaimu, Nanita
73. [Jw]     Hancur berkeping-keping

74. [Jw]     Mencari udara sejuk

No comments:

Post a Comment