Friday, December 13, 2013

Bab 10 : PILIHAN HATI


Hari ini aku di sini. Di hadapan seorang dokter paruh baya bermata tenang dan menenangkan. Mata inilah yang pernah menasehatiku untuk melewati setiap detik waktu tanpa muram. Saat itu, di Kuta Bali.

Aku di sini untuk meredam kecemasan Budhe Prapti yang tiga minggu lalu memintaku segera membereskan urusan abnormal ini.

Meski terasa malu dan sungkan pada awalnya, berbekal keyakinan akan ditangani dengan baik oleh Babu75  dan suster-susternya, akhirnya kumemilih kemari. Berobat di klinik pribadi milik Babu Shahid.

Babu adalah dokter yang tak biasa banyak bicara tapi sama sekali tak angkuh. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu aku tetap tak bisa menghindari rasa sungkanku padanya hingga ’jarak’ itu tetap ada.

”Apa kamu ada rencana menikah dalam waktu dekat ini, Nak?”

”Tidak, Babu. Kalau Aifa akan menikah, pasti memberitahu Babu.

”Lelaki yang mengantarmu itu?” tanya Babu sambil menyembulkan senyum curiga yang lembut. Senyum yang tetap menawan meski kulit wajahnya telah mengendur direnggut usia. Semua itu tak lain dan tak bukan karena senyumnya berasal dari hati.

”Dia itu ... Maksud Aifa, Aifa memang ada hati sama dia, Babu.

”Semoga berhasil,” jawab Babu sambil tersenyum.

”Terima kasih, Babu. Aifa pun berharap demikian,” jawabku sambil membalas senyum Babu yang belum juga pudar. Tapi senyumku justru ambyar saat Babu memegang tanganku lembut dan berkata, ”Ada yang perlu Babu katakan, Nak. Kau harus siap mental mendengarnya.”
Deg. Hatiku berdesir. Tiba-tiba pasukan pemanah handal mengepung dan siap menghujaniku dengan anak panah berlumur racun kecemasan. Tapi sebuah letupan membuat anak panah itu urung diluncurkan. Di atas bukit, pasukan penembak sedang mengarahkan senapan. Kedua pasukan itu berperang dan akhirnya dimenangkan pasukan penembak yang memenuhi senapan mereka dengan peluru keberanian.

”Katakan saja, Babu. Aifa siap.”

Babu mengangguk dan menatapku, berusaha mengalirkan tambahan kekuatan melalui sorot matanya
.
”Setelah Babu pelajari hasil tes laboratorium dan USG, ada kemungkinan kamu akan sedikit sulit mendapat keturunan.”

Dengan pelan namun tegas, Babu melemparkan dadu yang terbuat dari kenyataan pahit.

”Apa yang terjadi dengan Aifa, Babu?”

”Endometriosis.”

”Endometriosis itu?”

Endometriosis adalah penyakit yang terutama dialami wanita usia muda. Angka kejadian endometriosis terus meningkat, terutama di kota-kota besar. Diperkirakan 10-20% wanita usia 15-45 tahun menderita endometriosis. Masalah yang timbul dapat berupa nyeri hebat saat haid sampai sulit mendapat keturunan atau infertil. Endometriosis terjadi akibat tumbuhnya selaput lendir rahim (endometrium) di luar rahim, seperti di rongga perut76.

Aku rasa pucat sedang mengaliri wajah yang dikatakan Ibra putih hantu.

”Jangan cemas. Untung cepat terdeteksi.”

”Apa bisa diobati, Babu?”

Perlu disadari, sekali wanita menderita endometriosis maka penyakitnya akan tumbuh terus dan tidak pernah berhenti. Penyakit ini tidak pernah dapat sembuh dan pengobatan yang diberikan hanya dapat mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih buruk lagi77.”

”Apa yang akan terjadi dengan Aifa, Babu? Bagaimana cara mengatasinya?”

”Tenanglah, Nak. Tidak perlu cemas. Saat ini Babu akan memberikan vitamin dan obat. Bulan depan dan dua bulan yang akan datang, kamu harus ke sini lagi karena Babu akan memberikan vitamin dan obat ini selama tiga bulan.”

”Aifa harus minum vitamin itu selama tiga bulan berturut-turut, Babu?”

”Tidak setiap hari dalam sebulan penuh. Hanya 5 hari per bulannya.”

Aku terdiam dalam kekhawatiran akan masa depan. Beberapa kisah sedih istri-istri malang karena tak dapat memberikan keturunan hilir-mudik di kepala, membuatku tersuruk dalam bayangan hitam.

”Berusaha dan berserahdirilah kepada Allah,” dengan penuh pemahaman atas kecemasanku, Babu lembut menasehati.

Babu lihat, lelaki itu cukup bijak,” sambungnya mengalihkan pembicaraan.

”Terima kasih Babu atas nasehatnya. Tapi, Aifa masih merasa takut.”

”Tidak perlu takut, Nak. Dekatkan diri pada Allah. Dia tahu yang terbaik untuk setiap hambanya. Kamu tahu, Syed Omni? Ayah Qays atau yang terkenal dengan nama Majnun?”

”Iya, Babu. Aifa tahu cerita itu. Syed Omni tidak memiliki keturunan padahal ia sudah tua. Lalu ia berdoa meminta anak kepada Allah dan dikabulkan. Tapi setelah anaknya tumbuh dewasa, malah memberinya banyak kesedihan dan penderitaan. Anaknya, Qays, kehilangan kewarasannya karena tak bisa bersatu dengan Layla, gadis yang dicintainya. Kegilaan Qays terkenal di seluruh jazirah Arab hingga ia lebih dikenal sebagai Majnun alias si Gila.”

”Nah, kamu sekarang jangan bersedih, ya?”

Kata Babu sambil tersenyum lebar. Matanya yang dipenuhi bintang-bintang menunjukkan hati yang gembira.

”Iya, Babu. Terima kasih. Sebaiknya Aifa pamit. Pasien yang lain sudah banyak yang mengantri.”

”Baik. Sampaikan salam Babu padanya.”

”Padanya? Pada siapa, Babu?” tanyaku kebingungan.

”Siapa lagi kalau bukan sopir pribadimu itu?” jawab Babu sambil tersenyum menggoda. Suster Maria dan suster Elsa mendukung pernyataan Babu dengan senyum mereka. Sedangkan aku, tersenyum karena pertanyaan bodoh itu.

Ya, betapa bodohnya aku. Tak heran Ahmed senang memanggilku Buddhu.

Ah, Ahmed ... kenapa semua yang terjadi selalu membuatku teringat pemuda Rajshahi yang teeta itu?

”Aifa pamit, Babu,” dengan tersenyum yang pastinya tak cerah, aku siap pergi. Babu beranjak dari tempat duduk saat kucium tangannya. Tangan yang besar itu sebentar menyentuh kepala lalu merangkul pundakku hingga pintu keluar.
?


“Fa, kamu baik-baik saja, kan? Dokter bilang apa?tanya Dio sambil menyambutku.

“Nggak, Kak. Aku nggak papa. Babu bilang, cuma gangguan hormon saja” jawabku canggung.

“Syukurlah. Sekarang kita ke mana lagi?”

“Nebus obat.”

“Di apotik depan situ?”

Ya.”

Dalam diam aku dan Kak Dio menuju apotik yang terletak di dekat loket pendaftaran. Tanpa bicara apa pun, langsung kuberikan resep Babu pada apoteker. Tak peduli wajah tanpa senyumku, apoteker itu tetap menyambut dengan senyum dan keramahan.

“Tunggu sebentar ya, Mbak Aifa. Silakan duduk dulu.

“Baik, Mbak, akhirnya aku mulai meramah.

“Ayo, Fa, kita duduk di situ,” ajak Dio sambil entah mengapa menuntunku.

“Fa, kamu kok murung begitu? Kamu menyembunyikan sesuatu, ya? Dokter bilang apa tadi?” tanya Kak Dio ingin tahu.

“Ee ....

“Jangan ragu, bicara dong sama Kakak.”

Kakak?

Ah! Aku baru saja diingatkan kembali kalau pria ini selalu menyebut dirinya Kakak padaku. Tapi kenapa aku membayangkannya sebagai pasangan hidupku? Aku lupa, Rizalah yang akan menjadi pendampingku kelak.

”Aifa?”

”Eh ... iya, Kak?”

”Apa yang dikatakan Babu-mu hingga kamu murung begini?”

“Kata Babu … ada kemungkinan aku akan sulit punya anak.”

“Oo. Tapi dokter kan juga manusia, semoga kali ini Babu-mu salah,” ucap Dio berusaha menghibur. Tapi tetap saja hati kecilku merasa takut.

“Tapi, Kak?”

“Kenapa?”

“Kalau … kalau Babu benar?”

Babu-mu kan tidak bilang tidak bisa. Cuma susah. Artinya, kamu dan suamimu kelak hanya perlu bersabar dan terus berusaha.”

“Iya, ya.” Aku pun coba menghibur diri sendiri.

“Nah, jangan cemas lagi, ya?” pinta Kak Dio.

“Iya, Kak. Tapi….”

“Apa lagi?”

“Aku keluar sebentar,” kataku langsung beranjak, meninggalkan Kak Dio yang tampak tak mengerti kenapa dan ke mana aku akan pergi.

Sesampainya di luar, aku segera memencet nomor telepon Riza. Tapi sebuah panggilan telepon masuk dan itu berasal dari nomor yang ingin kupanggil.

“Halo?”

Nduk, sudah makan belum?” tanya Riza tak biasa. Dalam sejarah hubungan kami, Riza tak memberikan perhatian kecil seperti ini. Aku menjadi terdiam karena heran.

Nduk??” Riza menggugah diamku dengan panggilan sayang itu.

“Belum. Aku ….”

“Kenapa?”

“Dokter mengatakan … aku nantinya sulit ….”

“Sulit apa?”

“Punya anak ….”

Tiba-tiba Riza terdiam. Suasana terasa kaku dan dingin olehku di sini.

“Kalau itu benar, gimana Za?”

“Nggak tahu. Aku belum berpikir sejauh itu.”

“Kalau misalnya kita nikah, trus benar bahwa aku sulit punya anak, apa kamu nanti akan ninggalin aku?” tanyaku tak berusaha menyembunyikan cemas.

Aku belum memikirkan perihal pernikahan, tapi kalau sudah menikah aku sih maunya punya anak kandung.”

Rontok. Dengan kalimat itu Riza merontokkan harapanku padanya.

“Harus, ya?” tanyaku lesu.

“Ya, begitulah harapanku.”

“Oh, begitu? Ya, sudah ya.”

“Iya. Aku juga mau makan siang, nih.”

“Ok.”

Dan aku pun kecewa. Kecewa dengan reaksi Riza yang sangat dingin. Rasa lega dan aman tak kudapatkan dari pembicaraan itu. Sungguh tak ada rasa empatinya untukku.

Dalam sedih kusesali jawaban Riza yang jauh dari bayangan. Bergumpal-gumpal asap yang memuat dendam memasuki mataku.

Aku kembali masuk dan duduk di samping Kak Dio dengan dihantui tanya, seandainya Ahmed atau Kak Dio yang menjadi kekasihku, apakah mereka juga akan bereaksi sama dengan Riza? Benarkah dugaan Babu, bahwa Kak Dio cukup bijak untuk menerima kekurangannya ini?

“Kak, kalau….

“Kalau apa, Fa? Bilang saja, tidak usah ragu.”

“Kalau Kakak punya istri seperti aku?”

“Fa, Kakak ini bukan pria suci, tapi banyak dosa. Kotor. Semoga kesabaran Kakak bisa menebus dosa Kakak di masa lalu. Lagipula, anak tak harus dari darah daging kita, kan?”

Bersorak-sorai. Hatiku kini bergembira dengan jawaban Kak Dio yang memuaskan  dan menyejukkan hati. Segera saja galau di hatiku pudar. Aku jadi menyukai Kak Dio berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dalam sekejap kujatuhkan pilihan pada lelaki ini. Ya, debar hatiku telah memilihnya.

Aku pun bersyukur dengan kondisi ini yang justru membantuku semakin yakin untuk mengucap kata berpisah pada Ahmed dan masa lalu kami yang sekian lama lengket dalam ingatan. Babu tadi sempat mengingatkan kisah Majnun dan itu menyadarkanku untuk tak berlebihan mencintai manusia karena itu bisa membuat gila. Dan sungguh aku tak boleh menjadi gila karena cinta.

            Aku merasa lebih baik sekarang. Dan dengan mantap bisa berkata: Ahmed hanya masa lalu. Semangatku telah kembali dan itu karena Kak Dio.

            ”Aifa, kamu baik-baik saja?”

“E ... iya Kak, aku baik-baik saja. Ehm ... Kak, gimana cara melupakan masa lalu?”

“Pertanyaan ini, salah alamat kalau ditujukan padaku.”

Dalam sekejap! Hanya dalam sekejap Kak Dio memadamkan percikan api cintaku. Hatiku memutih pucat karena jawaban itu mengisyaratkan kalau Kalau Dio belum benar-benar melupakan Kak Virgie.

“Selama kau pikir hanya dia yang istimewa dan berarti, maka tak akan pernah ada yang lebih baik dari dia,” kata Kak Dio akhirnya. Muramku pun terusir pergi.

“Jadi bagaimana? Harus mengingat jeleknya saja?”

“Entahlah, tapi menurutku, lebih baik cari ganti. Tapi harus yang ’klik’.”

“Yang ’klik’ itu?”

“Yang bisa mengisi hatimu, membuatmu memikirkannya sepanjang hari, sepanjang malam. Yang bisa memberi semangat dan harapan baru, bahwa hidup bersamanya juga bisa membuatmu bahagia.”

”Iya, Kak.”

Tapi Kak Dio, kaulah itu yang ’klik’ di hatiku. Kalau kau menerimaku, aku pun akan menerima masa lalumu yang gelap. Bahkan jika masih harus berbagi dengan Kak Virgie!




Ketr. :

75.             [Hd]    Ayah
76.             Konsultasi kesehatan online oleh: Dr med Ali Baziad SpOG-KFER,
Bagian Obstetri  & Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta.
77.             Konsultasi kesehatan online oleh: Dr med Ali Baziad SpOG-KFER,
Bagian Obstetri & Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta.

No comments:

Post a Comment