Hari ini aku di
sini. Di hadapan seorang dokter paruh baya bermata tenang dan menenangkan. Mata
inilah yang pernah menasehatiku untuk melewati setiap detik waktu tanpa muram.
Saat itu, di Kuta Bali.
Aku di sini untuk
meredam kecemasan Budhe Prapti yang
tiga minggu lalu memintaku segera membereskan urusan abnormal ini.
Meski terasa malu
dan sungkan pada awalnya, berbekal keyakinan akan ditangani dengan baik oleh Babu75
dan suster-susternya, akhirnya
kumemilih kemari. Berobat di klinik pribadi milik Babu Shahid.
Babu adalah
dokter yang tak biasa banyak bicara tapi sama sekali tak angkuh. Namun
demikian, dalam hal-hal tertentu aku tetap tak bisa menghindari rasa sungkanku
padanya hingga ’jarak’ itu tetap ada.
”Apa kamu ada
rencana menikah dalam waktu dekat ini, Nak?”
”Tidak, Babu.
Kalau Aifa akan menikah, pasti memberitahu Babu.”
”Lelaki yang
mengantarmu itu?” tanya Babu sambil menyembulkan senyum curiga yang
lembut. Senyum yang tetap menawan meski kulit wajahnya telah mengendur
direnggut usia. Semua itu tak lain dan tak bukan karena senyumnya berasal dari
hati.
”Dia itu ... Maksud
Aifa, Aifa memang ada hati sama dia, Babu.”
”Semoga berhasil,”
jawab Babu sambil tersenyum.
”Terima kasih, Babu.
Aifa pun berharap demikian,” jawabku sambil membalas senyum Babu yang
belum juga pudar. Tapi senyumku justru ambyar saat Babu memegang
tanganku lembut dan berkata, ”Ada yang perlu Babu katakan, Nak. Kau
harus siap mental mendengarnya.”
Deg. Hatiku
berdesir. Tiba-tiba pasukan pemanah handal mengepung dan siap menghujaniku
dengan anak panah berlumur racun kecemasan. Tapi sebuah letupan membuat anak
panah itu urung diluncurkan. Di atas bukit, pasukan penembak sedang mengarahkan
senapan. Kedua pasukan itu berperang dan akhirnya dimenangkan pasukan penembak
yang memenuhi senapan mereka dengan peluru keberanian.
”Katakan saja, Babu.
Aifa siap.”
Babu mengangguk
dan menatapku, berusaha mengalirkan tambahan kekuatan melalui sorot matanya
.
.
”Setelah Babu pelajari
hasil tes laboratorium dan USG, ada kemungkinan kamu akan sedikit sulit
mendapat keturunan.”
Dengan pelan namun
tegas, Babu melemparkan dadu yang terbuat dari kenyataan pahit.
”Apa yang terjadi
dengan Aifa, Babu?”
”Endometriosis.”
”Endometriosis
itu?”
”Endometriosis
adalah penyakit yang terutama dialami wanita usia muda. Angka kejadian
endometriosis terus meningkat, terutama di kota-kota besar. Diperkirakan 10-20%
wanita usia 15-45 tahun menderita endometriosis. Masalah yang timbul dapat
berupa nyeri hebat saat haid sampai sulit mendapat keturunan atau infertil. Endometriosis
terjadi akibat tumbuhnya selaput lendir rahim (endometrium) di luar rahim,
seperti di rongga perut76.”
Aku rasa pucat
sedang mengaliri wajah yang dikatakan Ibra putih hantu.
”Jangan cemas.
Untung cepat terdeteksi.”
”Apa bisa diobati, Babu?”
”Perlu disadari,
sekali wanita menderita endometriosis maka penyakitnya akan tumbuh terus dan
tidak pernah berhenti. Penyakit ini tidak pernah dapat sembuh dan pengobatan
yang diberikan hanya dapat mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih buruk
lagi77.”
”Apa yang akan
terjadi dengan Aifa, Babu? Bagaimana cara mengatasinya?”
”Tenanglah, Nak.
Tidak perlu cemas. Saat ini Babu akan memberikan vitamin dan obat. Bulan
depan dan dua bulan yang akan datang, kamu harus ke sini lagi karena Babu
akan memberikan vitamin dan obat ini selama tiga bulan.”
”Aifa harus minum
vitamin itu selama tiga bulan berturut-turut, Babu?”
”Tidak setiap hari
dalam sebulan penuh. Hanya 5 hari per bulannya.”
Aku terdiam dalam
kekhawatiran akan masa depan. Beberapa kisah sedih istri-istri malang karena
tak dapat memberikan keturunan hilir-mudik di kepala, membuatku tersuruk dalam
bayangan hitam.
”Berusaha dan
berserahdirilah kepada Allah,” dengan penuh pemahaman atas kecemasanku, Babu
lembut menasehati.
”Babu lihat,
lelaki itu cukup bijak,” sambungnya mengalihkan pembicaraan.
”Terima kasih Babu
atas nasehatnya. Tapi, Aifa masih merasa takut.”
”Tidak perlu takut,
Nak. Dekatkan diri pada Allah. Dia tahu yang terbaik untuk setiap hambanya.
Kamu tahu, Syed Omni? Ayah Qays atau yang terkenal dengan nama Majnun?”
”Iya, Babu. Aifa
tahu cerita itu. Syed Omni tidak memiliki keturunan padahal ia sudah tua. Lalu
ia berdoa meminta anak kepada Allah dan dikabulkan. Tapi setelah anaknya tumbuh
dewasa, malah memberinya banyak kesedihan dan penderitaan. Anaknya, Qays,
kehilangan kewarasannya karena tak bisa bersatu dengan Layla, gadis yang
dicintainya. Kegilaan Qays terkenal di seluruh jazirah Arab hingga ia lebih
dikenal sebagai Majnun alias si Gila.”
”Nah, kamu sekarang
jangan bersedih, ya?”
Kata Babu sambil
tersenyum lebar. Matanya yang dipenuhi bintang-bintang menunjukkan hati yang
gembira.
”Iya, Babu. Terima
kasih. Sebaiknya Aifa pamit. Pasien yang lain sudah banyak yang mengantri.”
”Baik. Sampaikan
salam Babu padanya.”
”Padanya? Pada
siapa, Babu?” tanyaku kebingungan.
”Siapa lagi kalau
bukan sopir pribadimu itu?” jawab Babu sambil tersenyum menggoda. Suster
Maria dan suster Elsa mendukung pernyataan Babu dengan senyum mereka.
Sedangkan aku, tersenyum karena pertanyaan bodoh itu.
Ya, betapa bodohnya
aku. Tak heran Ahmed senang memanggilku Buddhu.
Ah, Ahmed ...
kenapa semua yang terjadi selalu membuatku teringat pemuda Rajshahi yang teeta
itu?
”Aifa pamit, Babu,”
dengan tersenyum yang pastinya tak cerah, aku siap pergi. Babu beranjak
dari tempat duduk saat kucium tangannya. Tangan yang besar itu sebentar
menyentuh kepala lalu merangkul pundakku hingga pintu keluar.
?
“Fa, kamu
baik-baik saja, kan? Dokter bilang apa?” tanya Dio sambil menyambutku.
“Nggak, Kak. Aku nggak papa. Babu bilang, cuma
gangguan hormon saja” jawabku canggung.
“Syukurlah. Sekarang
kita ke mana lagi?”
“Nebus obat.”
“Di apotik depan
situ?”
“Ya.”
Dalam diam aku dan
Kak Dio menuju apotik yang terletak di dekat loket pendaftaran. Tanpa bicara
apa pun, langsung kuberikan resep Babu pada apoteker. Tak peduli wajah
tanpa senyumku, apoteker itu tetap menyambut dengan senyum dan keramahan.
“Tunggu sebentar
ya, Mbak Aifa. Silakan duduk dulu.”
“Baik, Mbak,” akhirnya aku mulai meramah.
“Ayo, Fa, kita
duduk di situ,” ajak Dio sambil entah mengapa menuntunku.
“Fa, kamu kok
murung begitu? Kamu menyembunyikan sesuatu, ya? Dokter bilang apa tadi?” tanya
Kak Dio ingin tahu.
“Ee ....”
“Jangan ragu,
bicara dong sama Kakak.”
Kakak?
Ah! Aku baru saja diingatkan kembali kalau pria ini selalu menyebut dirinya
Kakak padaku. Tapi kenapa aku membayangkannya sebagai
pasangan hidupku? Aku lupa, Rizalah
yang akan menjadi pendampingku kelak.
”Aifa?”
”Eh ... iya, Kak?”
”Apa yang dikatakan Babu-mu hingga kamu murung begini?”
“Kata Babu …
ada kemungkinan aku akan sulit punya anak.”
“Oo. Tapi dokter
kan juga manusia, semoga kali ini Babu-mu salah,” ucap Dio berusaha
menghibur. Tapi tetap saja hati kecilku merasa takut.
“Tapi, Kak?”
“Kenapa?”
“Kalau … kalau Babu
benar?”
“Babu-mu kan
tidak bilang tidak bisa. Cuma susah.
Artinya, kamu dan suamimu kelak hanya perlu bersabar dan terus berusaha.”
“Iya, ya.” Aku pun
coba menghibur diri sendiri.
“Nah, jangan cemas
lagi, ya?” pinta Kak Dio.
“Iya, Kak. Tapi….”
“Apa lagi?”
“Aku keluar
sebentar,” kataku langsung beranjak, meninggalkan Kak Dio yang tampak tak
mengerti kenapa dan ke mana aku akan pergi.
Sesampainya di
luar, aku segera memencet nomor telepon Riza. Tapi sebuah panggilan telepon
masuk dan itu berasal dari nomor yang ingin kupanggil.
“Halo?”
“Nduk, sudah makan belum?” tanya Riza tak
biasa. Dalam sejarah hubungan kami, Riza tak memberikan perhatian kecil seperti
ini. Aku menjadi terdiam karena heran.
”Nduk??”
Riza menggugah diamku dengan panggilan sayang itu.
“Belum. Aku ….”
“Kenapa?”
“Dokter mengatakan
… aku nantinya sulit ….”
“Sulit apa?”
“Punya anak ….”
Tiba-tiba Riza terdiam. Suasana terasa kaku dan dingin olehku di sini.
“Kalau itu benar,
gimana Za?”
“Nggak tahu. Aku
belum berpikir sejauh itu.”
“Kalau misalnya
kita nikah, trus benar bahwa aku sulit punya anak, apa kamu nanti akan
ninggalin aku?” tanyaku tak berusaha menyembunyikan cemas.
“Aku belum memikirkan perihal pernikahan, tapi kalau sudah menikah aku sih maunya punya anak kandung.”
Rontok. Dengan
kalimat itu Riza merontokkan harapanku padanya.
“Harus, ya?”
tanyaku lesu.
“Ya, begitulah harapanku.”
“Oh, begitu? Ya,
sudah ya.”
“Iya. Aku juga mau makan siang, nih.”
“Ok.”
Dan aku pun kecewa.
Kecewa dengan reaksi Riza yang sangat dingin. Rasa lega dan aman
tak kudapatkan dari pembicaraan itu. Sungguh tak ada rasa empatinya untukku.
Dalam sedih
kusesali jawaban Riza yang jauh dari bayangan. Bergumpal-gumpal asap yang
memuat dendam memasuki mataku.
Aku kembali masuk
dan duduk di samping Kak Dio dengan dihantui tanya, seandainya Ahmed atau Kak Dio yang menjadi kekasihku, apakah mereka juga
akan bereaksi sama dengan Riza? Benarkah dugaan Babu, bahwa Kak Dio
cukup bijak untuk menerima kekurangannya ini?
“Kak, kalau….”
“Kalau apa, Fa?
Bilang saja, tidak usah ragu.”
“Kalau Kakak punya
istri seperti aku?”
“Fa, Kakak ini bukan pria suci, tapi banyak dosa. Kotor. Semoga kesabaran Kakak bisa menebus dosa Kakak di masa lalu. Lagipula, anak tak harus dari darah daging kita, kan?”
Bersorak-sorai.
Hatiku kini bergembira dengan jawaban Kak Dio yang memuaskan dan menyejukkan hati. Segera saja galau di
hatiku pudar. Aku jadi menyukai Kak Dio berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Dalam sekejap kujatuhkan pilihan pada lelaki
ini. Ya, debar hatiku telah memilihnya.
Aku pun bersyukur
dengan kondisi ini yang justru membantuku semakin yakin untuk mengucap kata
berpisah pada Ahmed dan masa lalu kami yang sekian lama lengket dalam ingatan.
Babu tadi sempat mengingatkan kisah Majnun dan itu menyadarkanku untuk tak
berlebihan mencintai manusia karena itu bisa membuat gila. Dan sungguh aku tak
boleh menjadi gila karena cinta.
Aku merasa lebih baik sekarang. Dan dengan mantap
bisa berkata: Ahmed hanya masa
lalu. Semangatku telah kembali dan itu karena Kak Dio.
”Aifa, kamu baik-baik saja?”
“E ... iya Kak, aku
baik-baik saja. Ehm ... Kak, gimana cara melupakan masa lalu?”
“Pertanyaan ini,
salah alamat kalau ditujukan padaku.”
Dalam sekejap!
Hanya dalam sekejap Kak Dio memadamkan percikan api
cintaku. Hatiku memutih pucat karena jawaban itu mengisyaratkan kalau Kalau Dio
belum benar-benar melupakan Kak Virgie.
“Selama kau pikir hanya dia yang istimewa
dan berarti, maka tak akan pernah ada yang lebih baik dari dia,” kata Kak Dio
akhirnya. Muramku pun terusir pergi.
“Jadi bagaimana? Harus mengingat jeleknya saja?”
“Entahlah, tapi
menurutku, lebih baik cari ganti. Tapi harus yang ’klik’.”
“Yang ’klik’ itu?”
“Yang bisa mengisi
hatimu, membuatmu memikirkannya sepanjang hari, sepanjang malam. Yang bisa
memberi semangat dan harapan baru, bahwa hidup bersamanya juga bisa membuatmu bahagia.”
”Iya, Kak.”
Tapi Kak Dio, kaulah itu yang ’klik’ di hatiku.
Kalau kau menerimaku, aku pun akan menerima masa lalumu yang gelap. Bahkan jika masih harus
berbagi dengan Kak Virgie!
Ketr. :
75. [Hd] Ayah
76. Konsultasi
kesehatan online oleh: Dr med Ali Baziad SpOG-KFER,
Bagian
Obstetri & Ginekologi FKUI/RSCM,
Jakarta.
77. Konsultasi kesehatan online oleh: Dr
med Ali Baziad SpOG-KFER,
Bagian
Obstetri & Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta.
No comments:
Post a Comment