Friday, December 13, 2013

Bab 11 : SEPERCIK


Pekerjaan rumah mata pelajaran bunpoo78 telah selesai kukerjakan. Bab yang akan dibahas besok pun telah selesai kubaca saat hapeku menyanyikan lagu Letto. Dengan hati diguyur ceria kujawab telepon dari pengeran baruku.

“Fa, gimana keadaanmu?” sapanya penuh perhatian, membuat mataku segera menjadi terang benderang.

“Baik, Kak. Aku baru selesai ngerjain shuukudai79 dan baca diktat. Rencananya mau ngirim SMS buat Kakak.”

Oh, ya? Ada apa?”

“Mau nagih janji.”

Janji? Janji yang mana?”

“Ah, dasar kakek-kakek. Baru seminggu sudah lupa.”

“Oh ... ngajarin masak? Ya datang saja ke rumah Kakak. Kapan saja kamu mau.”

Hontoo80?”

Hontoo yo81!

“Satu lagi, Kak.”

Apa?”

“Hm ... aku, pingin naik jet ski,” kataku malu-malu.

Boleh saja.  Kakak juga sudah lama tidak main air,” kata Kak Dio sambil tertawa ringan.

“Oh, ya, kamu sudah nggak mikirin kata babu-mu itu, kan?” lanjutnya.

“Enggak, Kak. Aku serahin aja sama Yang di Atas. Pusing mikirin itu.”

“Haha. Kalau begitu kamu memang perlu refreshing. Tapi jangan main air dulu ya, pantainya lagi bahaya, main jet ski-nya di alam khayal saja dulu.”

“Haha. Ada-ada saja. Jadi apa dong?”

“Hm ... masak saja, ya?”

“Iya, deh.”

Kalau begitu Kakak jemput sekarang, ya.

“Sekarang?” teriakku tak bisa menyembunyikan rasa senang.

“Kenapa? Sibuk?”

“Enggak.”

“Jadi, gimana? Mau kapan belajarnya?”

“Hehe… sekarang.”

“Ah, kamu! Pakai malu-malu segala. ”

Malu. Ya, sejak kumerasa jatuh cinta pada Kak Dio seminggu ini, aku menjadi serba malu. Malu bila bertemu. Malu tapi rindu ....

Dalam bisu yang khidmat kuulang-ulang pertanyaan ’mungkinkah kubisa bersatu dengan Kak Dio’? Dan pertanyaan itu belum memudar hingga aku sampai di dapurnya.

“Nih, semua buat kamu. Kak Dio menyuguhiku setumpuk buku.

“Ini … semuanya buku-buku resep masak-memasak?”

Tak sadar, sebuah pertanyaan bodoh meluncur. Silly girl! Kuumpati diri sendiri dalam hati. Tambah malu karena Kak Dio pun senyum-senyum, mengherankan kebodohan itu tak terbendung.

Kakak sudah tidak memerlukannya. Sudah hafal di luar kepala.” Katanya mengisi ruang kosong kami.

“Ooo .... Hari ini kita masak apa, ya, Kak?”

“Terserah Nyonya.”

“Nyonya???”

Tanyaku lewat belalakan mata. Tapi Kak Dio tidak menjawab. Lagi-lagi hanya senyum-senyum, mengubah dirinya menjadi terkesan misterius.

“Kok bengong?”

“Ehm … kita masak sup jagung saja, ya?” jawabku asal karena gugup. Entah mengapa aku menjadi sensitif dengan setiap kata yang diucapakannya.

“Itu, resepnya sedang terbuka di hadapanmu. Ya sudah, kamu coba, ya?”

“Apa?!” tanyaku terkaget-kaget. Sekali lagi Kak Dio tak menjawab dan hanya tersenyum. Tapi kali ini diiringi tawa renyah.

“Resep sudah dikasih, bahan-bahan ada di kulkas. Apa lagi??”

“Curang!”

“Curang bagaimana?”

 “Itu namanya bukan ngajari.”

“Memang begini cara Kakak mengajari.”

“Huuh ... Ya, sudahlah! Tapi Kakak bantu, dong!”

“Ehmm ... boleh,” jawabnya setelah sejenak berpikir. Hatiku berdesir saat tatap matanya manancap di mataku.

“Kalau gitu ayo kita mulai. Kakak yang bikin bumbunya, ya?” pintaku diplomatis.

“Tidak, tidak, tidak!”

“Ya, nanti rasanya aneh lagi kalau aku yang buat.”

“Kalau tak mau buat bumbu, sama saja Kakak yang masak, kamu yang bantuin.”

“Nanti nggak enak kalo aku yang buat.”

“Enak, enak. Asal kamu masaknya pakai hati dan cinta, pasti enak.”

Kan sudah ada resepnya. Kenapa mesti pakai hati dan cinta? Ada-ada saja.”

“Fa, kamu tidak tahu, ya? Masak itu sama seperti bercinta, kalau tidak ada hati dan cinta, ya tidak enak. Hambar.”

“Idih, Kakak Dio ngomong apaan sih?”

“Itu benar. Tapi, maaf. Kakak memang tak seharusnya begitu. Karena kamu masih belum cukup umur, hehe ….”

“Ah, sudah ah … ayo kita mulai saja.”

“Mulai apa?”

“Mulai masak,” kataku sambil memukul pundak Kak Dio dengan buku.

“Curang, kalau berani jangan pakai alat. Pakai tangan kosong, dong.”

“Siapa takut?” katakku kembali memukul Kak Dio dengan buku bertubi-tubi.

“Curang, curang, kamu beraninya pakai buku. Kenapa tidak pakai panci sekalian?” kata Kak Dio sambil mundur menghindari sabetan bukuku.
?


Tanda waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi aku sama sekali belum bisa tidur. Pikiranku melayang pada Kak Dio yang beberapa hari ini mengaduk-aduk perasaan. Begitu bahagia telah kutemukan seseorang yang bisa menerimaku apa adanya, meski mungkin saja benar, aku bagai ladang tandus. Karena dia, ceria kembali hadir dalam hidupku.

Sayang, malam ini akan terlewat tanpa ber-SMS-ria hingga kutertidur seperti saat bersama Ahmed. Godaan untuk mengirim SMS bermuatan isyarat cinta datang menggebu, tapi ingin itu terhalang rasa malu yang begitu besar hingga lemaslah jari-jemariku.

Satu-satunya yang mungkin untukku mengungkapkan aneka rasa yang menjejali perasaan hanyalah diary. Ya, dialah! Sahabat yang sempat ingin kukubur tapi akhirnya tak kuasa kumelakukannya. Karena dia temanku yang selalu setia setia dan diam.

Punggungku telah berpindah dari kasur ke sandaran kursi depan meja belajar. Jari-jemari sedang menyingkap lembar demi lembar menuju yang masih kosong untuk kutorehi galau. Sampai akhirnya kutak sengaja menemukan sesuatu!

Selembar foto yang kukira telah hilang meluncur turun dari selipan. Adalah foto diriku dan Ahmed dengan latar matahari terbenam di Pantai Kuta. Tak kuat menatap senyum Ahmed dalam foto itu, aku membaliknya.

Namaku dan nama Ahmed tertulis mesra dalam aksara Bengali yang rumit. Berkali-kali Ahmed mengajari, tapi aku tak juga bisa menulisnya. Akhirnya ia yang menulis nama kami dibalik foto ini, dengan pulpen warna hijau kesayangan kami.

Entah dari mana datangnya, sebuah gema lirih membisik di hati. Ahmed akan kembali suatu saat.

Plakk!!!

Aku ditampar oleh entah yang lain. Entah yang tak sekedar menampar tapi juga memaki diri ini yang berlebihan mengharap Ahmed kembali.

Ahmed pergi! Pergi…!

Entah berapa kali kuusir Ahmed yang datang dan pergi hingga tak sadar mataku terpejam karena lelah. Namun hanya sesaat, karena telingaku segera menangkap suara adzan subuh tak lama setelah kelopak mata saling mengatup. Aku mengangkat kepala yang terkulai di atas meja ketika ayah mengetuk pintu.
?


Hari-hariku terus berlanjut dengan dihantui segala yang terkait Kak Dio di setiap denting waktu. Ahmed sesekali datang, tapi tak pernah lama.

Sayangnya hari ini dan besok tak memungkinkanku bertemu dengan pujaan hati baru.  Aku hanya akan berkutat dengan paper sepanjang hari besok. Dan hari ini harus mengumpulan bahan-bahan tambahan di warnet.

Tapi kesibukanku mengunjungi situs-situs yang mungkin menyediakan data-data yang kubutuhkan terhenti oleh nada SMS masuk.

Fa, tolong transfer 219.500 ke bukabuku, ya. Uangnya aku kasih besok. Pls, ya. Aku lagi lembur.

Aku gak bisa, Za. Lg sibuk dgn paper-ku.

Tegas. Tega. Beginilah caraku memberi isyarat untuk putus. Pelan dan pasti menjauhi. Sebab kumerasa lebih nyaman dan optimis bersama Kak Dio,  tak masalah usianya 14 tahun lebih tua. Juga tak lagi terganggu dengan masa lalu kelamnya. Apalagi sakit hati karena tanggapan dingin Riza  tentang diagnosa Babu sulit sekali sirna.

Ya gpp. Tp ntr sore kita ke khitanan ponakanku, ya. Ntr aku jemput, deh.

Riza membujuk. Tapi kata ‘deh’ di akhir kalimat membawa kegagalan untuknya. Aku sangat tak berkenan.
Maaf, ya. Aku gak bisa. Paper-ku hrs sls hr senin, jawabku berdalih. Bukankah setiap orang senang berdalih bila tak mau melakukan sesuatu?

Sayang sekali. Pdhl mau sekalian ngenalin km ke keluargaku.

Sekali lagi Riza membujuk. Bujuk yang membuatku cukup kaget karena aku tak kan dibawa pada keluarganya sebelum rasa yakin itu ada di hati Riza.

Skrg aku sdh yakin dan ingin membawamu pada keluargaku. Km jg kan sudah bawa aku ke keluargamu. Bgmn dgn km? Sudah yakin blm sama aku?

I don’t think so, jawabku pada Riza yang memberi kepastian akan masa depan hubungan kami pada saat telah terlambat. Bagiku sudah terlambat benar.

Telaknya jawaban itu membuat Riza segera sadar yang kuinginkan, hingga cepat-cepat menelepon untuk mencari kepastian.

Nduk, apa sih maksudmu? Kenapa bicara begitu?? Bikin aku panik, tahu nggak?!

Panik kenapa? jawabku enteng.

“Sudah lama aku perhatiin, kamu cuek sama aku. Seperti butuh gak butuh!”

“Instropeksi diri saja.”

“Bukan aku yang perlu instropeksi diri, tapi kamu mulai selingkuh dan cari-cari cara untuk pisah.”

“Kamu nuduh?! seruku spontan dan keras, membuat penjaga warnet memperingatiku dari tempat duduknya. Tanpa menjawab, aku keluar untuk meneruskan pertengkaran jarak jauh dengan Riza.

“Aku memang tidak bisa membuktikan, tapi aku merasakan jelas tanda-tandanya,” sambung Riza.

“Sekarang apa maumu?”

“Justru aku yang mau nanya, apa maumu sebenarnya?”

Aku terdiam seketika.

“Aku memang miskin, cuma karyawan biasa. Bukan pria kaya seperti Pak Claudio itu,” sindir Riza sambil menutup telepon.

Tiba-tiba seonggok sesal menggelayuti hati, karena tak seharusnya kuakhiri hubungan dengan cara menyakiti.

            Tapi penyesalan itu segera terbungkam oleh kesibukan yang benar-benar sibuk karena dikejar waktu. Saat ini pun, ketika malam menghadirkan seseorang yang mengetuk pintu, tetap saja aku tak beranjak membukanya.

“Mbaaak, ada Kak Riza,” seru Ibra dari ruang tamu. Dengan enggan aku pergi menemui tamu yang datang di waktu tak tepat.

“Za, aku lagi sibuk dengan paper-ku, kita bahas lain kali, ya? Maaf … kalau tadi siang aku kasar.”

“Aku nggak mau ganggu kamu, kok. Cuma mau bilang ... aku tuh sayang sama kamu. Aku masih mau memperbaiki hubungan kita. Aku sadar, selama ini aku hanya sibuk dengan pekerjaan dan kurang perhatian sama kamu. Maafin aku, ya?”

“Kenapa nggak dulu-dulu, sih?”

“Sudah terlambat, ya? Kamu lebih memilih Pak Claudio?”

Pertanyaan Riza membawa pesan isi hatinya yang kecewa.

“Za, aku sedang dipusingkan oleh paper-ku. Aku tak bisa berpikir apa-apa.”

“Ya sudah, maaf mengganggu. Aku pulang, ya? Tapi tolong kamu ingat, aku … aku tak mau kehilangan kamu, Nduk ....”

Romantisme Riza yang tak pernah ada, entah mengapa kini terlahir. Sayang, hatiku telah mengeras.

“Kita bicarakan lagi nanti, ya ...? Aku harus menyelesaikan paper-ku.”

Aku terus berusaha ‘mengusir’ Riza secara halus.

“Kalau saja aku membantu ….

“Makasih, tapi tak ada yang bisa kamu lakukan.

Riza tersenyum dan beranjak pergi dengan rona wajah yang sulit dilukiskan. Aku menyadari kekecewaannya atas sikapku.

“Oh, ya….” Riza tiba-tiba teriangat sesuatu.

“Apa, Za?”

“Nanti, kalau paper kamu sudah selesai, kita ke dokter yang di Citeurep itu naik motor, ya? Kamu kan pernah bilang pingin naik motor yang jauh. Tangerang-Citereup lumayan jauh, kan?”

“Tak perlu. Aku sudah ditangani Babu.”

“Kapan??!”

“Waktu aku bilang di telepon, aku telah didiagnosa sulit punya ....

“Oh.

Riza tampak menyesal. Mungkin menyesali diri atas keterlambatan perhatiannya.

Sama siapa ke klinik Babu Shahid? Siapa yang nganterin kamu?” sambungnya. Aku tak menjawab karena diamku sesungguhnya sebuah jawaban.

“Tapi tolong jangan bilang ke ayah soal itu, ya?” pintaku dalam sebuah bisik.

Baik. Tapi kamu ke sana sama siapa??”

“Sama Kak Dio.”

“Ooo .... ”

“Hati-hati, ya,” kataku kembali mengusir secara halus.

“Ya,” jawab Riza lemas. Ia pergi dengan kepala menunduk. Aku melihat berjuta rasa sesal, kecewa dan sakit terpancar di sorot mata layunya. Ia telah menangkap pesan yang tak mungkin kusampaikan secara tersurat.


Ketr. : 

78. [Jp]      Tata bahasa
79. [Jp]      Pekerjaan rumah
80. [Jp]      Benarkah?
81. [Jp]      Iya, Benar. 










No comments:

Post a Comment