Pekerjaan rumah mata pelajaran bunpoo78 telah selesai kukerjakan. Bab yang akan dibahas
besok pun telah selesai kubaca saat hapeku menyanyikan lagu Letto. Dengan hati diguyur ceria kujawab telepon dari
pengeran baruku.
“Fa, gimana
keadaanmu?” sapanya penuh perhatian, membuat mataku segera menjadi terang
benderang.
“Baik, Kak. Aku baru selesai ngerjain shuukudai79 dan baca diktat. Rencananya mau ngirim SMS buat Kakak.”
“Oh, ya? Ada apa?”
“Mau nagih janji.”
“Ah, dasar
kakek-kakek. Baru seminggu sudah lupa.”
“Oh ... ngajarin masak? Ya datang saja ke
rumah Kakak. Kapan saja kamu mau.”
“Hontoo80?”
“Hontoo yo81!”
“Satu lagi, Kak.”
“Apa?”
“Hm ... aku, pingin
naik jet ski,” kataku malu-malu.
“Boleh saja. Kakak juga sudah
lama tidak main air,” kata Kak Dio sambil tertawa ringan.
“Oh, ya, kamu sudah
nggak mikirin kata babu-mu itu, kan?” lanjutnya.
“Enggak, Kak. Aku
serahin aja sama Yang di Atas. Pusing mikirin itu.”
“Haha. Kalau begitu
kamu memang perlu refreshing. Tapi
jangan main air dulu ya, pantainya lagi bahaya, main jet ski-nya di alam khayal saja dulu.”
“Haha. Ada-ada
saja. Jadi apa dong?”
“Hm ... masak saja,
ya?”
“Iya, deh.”
“Kalau begitu Kakak jemput sekarang, ya.”
“Sekarang?”
teriakku tak bisa menyembunyikan rasa senang.
“Kenapa? Sibuk?”
“Enggak.”
“Jadi, gimana? Mau kapan
belajarnya?”
“Hehe… sekarang.”
“Ah, kamu! Pakai malu-malu segala. ”
Malu. Ya, sejak kumerasa jatuh cinta pada Kak Dio seminggu ini, aku menjadi
serba malu. Malu bila bertemu. Malu tapi rindu ....
Dalam bisu yang khidmat kuulang-ulang pertanyaan ’mungkinkah kubisa bersatu
dengan Kak Dio’? Dan pertanyaan itu belum memudar hingga aku sampai di dapurnya.
“Nih, semua buat
kamu.” Kak Dio menyuguhiku setumpuk buku.
“Ini … semuanya buku-buku resep masak-memasak?”
Tak sadar, sebuah pertanyaan bodoh meluncur. Silly girl!
Kuumpati diri sendiri dalam hati. Tambah malu
karena Kak Dio pun senyum-senyum, mengherankan kebodohan itu tak terbendung.
“Kakak sudah tidak memerlukannya. Sudah hafal di luar kepala.” Katanya mengisi
ruang kosong kami.
“Ooo .... Hari ini
kita masak apa, ya, Kak?”
“Terserah Nyonya.”
“Nyonya???”
Tanyaku lewat
belalakan mata. Tapi Kak Dio tidak menjawab. Lagi-lagi hanya senyum-senyum,
mengubah dirinya menjadi terkesan misterius.
“Kok bengong?”
“Ehm … kita masak
sup jagung saja, ya?” jawabku asal karena gugup. Entah mengapa aku menjadi
sensitif dengan setiap kata yang diucapakannya.
“Itu, resepnya
sedang terbuka di hadapanmu. Ya sudah, kamu coba,
ya?”
“Apa?!” tanyaku
terkaget-kaget. Sekali lagi Kak Dio tak menjawab dan hanya tersenyum. Tapi kali
ini diiringi tawa renyah.
“Resep sudah
dikasih, bahan-bahan ada di kulkas. Apa lagi??”
“Curang!”
“Curang bagaimana?”
“Itu namanya bukan ngajari.”
“Memang begini cara
Kakak mengajari.”
“Huuh ... Ya,
sudahlah! Tapi Kakak bantu, dong!”
“Ehmm ... boleh,”
jawabnya setelah sejenak berpikir. Hatiku berdesir saat tatap matanya manancap
di mataku.
“Kalau gitu ayo
kita mulai. Kakak yang bikin bumbunya, ya?” pintaku diplomatis.
“Tidak, tidak,
tidak!”
“Ya, nanti rasanya
aneh lagi kalau aku yang buat.”
“Kalau tak mau buat
bumbu, sama saja Kakak yang masak, kamu
yang bantuin.”
“Nanti nggak enak
kalo aku yang buat.”
“Enak, enak. Asal kamu masaknya pakai hati dan cinta, pasti enak.”
“Kan sudah ada resepnya. Kenapa mesti pakai hati dan cinta? Ada-ada saja.”
“Fa, kamu tidak
tahu, ya? Masak itu sama seperti bercinta, kalau tidak ada hati dan cinta, ya tidak enak. Hambar.”
“Idih, Kakak Dio
ngomong apaan sih?”
“Itu benar. Tapi, maaf. Kakak memang tak seharusnya begitu. Karena kamu masih
belum cukup umur, hehe ….”
“Ah, sudah ah … ayo kita mulai saja.”
“Mulai apa?”
“Mulai masak,”
kataku sambil memukul pundak Kak Dio dengan buku.
“Curang, kalau
berani jangan pakai alat. Pakai tangan kosong, dong.”
“Siapa takut?”
katakku kembali memukul Kak Dio
dengan buku bertubi-tubi.
“Curang, curang,
kamu beraninya pakai buku. Kenapa tidak pakai panci sekalian?” kata Kak Dio
sambil mundur menghindari sabetan bukuku.
?
Tanda waktu telah
menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi aku sama sekali belum bisa tidur.
Pikiranku melayang pada Kak Dio yang beberapa hari ini mengaduk-aduk perasaan.
Begitu bahagia telah kutemukan seseorang yang bisa menerimaku apa adanya, meski
mungkin saja benar, aku bagai ladang tandus. Karena dia, ceria kembali hadir
dalam hidupku.
Sayang, malam ini
akan terlewat tanpa ber-SMS-ria hingga kutertidur seperti saat bersama Ahmed.
Godaan untuk mengirim SMS bermuatan isyarat cinta datang menggebu, tapi ingin
itu terhalang rasa malu yang begitu besar hingga lemaslah jari-jemariku.
Satu-satunya yang mungkin untukku mengungkapkan aneka rasa yang menjejali
perasaan hanyalah diary. Ya, dialah! Sahabat
yang sempat ingin kukubur tapi akhirnya tak kuasa kumelakukannya. Karena dia
temanku yang selalu setia setia dan diam.
Punggungku telah
berpindah dari kasur ke sandaran kursi depan meja belajar. Jari-jemari sedang
menyingkap lembar demi lembar menuju yang masih kosong untuk kutorehi galau.
Sampai akhirnya kutak sengaja menemukan sesuatu!
Selembar foto yang kukira telah hilang meluncur turun dari selipan. Adalah foto diriku dan Ahmed dengan latar
matahari terbenam di Pantai Kuta. Tak kuat menatap senyum Ahmed dalam foto itu, aku
membaliknya.
Namaku dan nama
Ahmed tertulis mesra dalam aksara Bengali yang rumit. Berkali-kali Ahmed
mengajari, tapi aku tak juga bisa menulisnya. Akhirnya ia yang menulis nama
kami dibalik foto ini, dengan pulpen warna hijau kesayangan kami.
Entah dari mana
datangnya, sebuah gema lirih membisik di hati. Ahmed akan kembali suatu saat.
Plakk!!!
Aku ditampar oleh entah yang lain. Entah yang tak sekedar menampar tapi
juga memaki diri ini yang berlebihan mengharap Ahmed kembali.
Ahmed pergi! Pergi…!
Entah berapa kali
kuusir Ahmed yang datang dan pergi hingga tak sadar mataku terpejam karena
lelah. Namun hanya sesaat, karena telingaku segera menangkap suara adzan subuh tak lama setelah kelopak mata
saling mengatup. Aku mengangkat kepala
yang terkulai di atas meja ketika ayah mengetuk pintu.
?
Hari-hariku terus berlanjut dengan dihantui segala yang terkait Kak Dio
di setiap denting waktu. Ahmed sesekali datang, tapi tak pernah lama.
Sayangnya hari ini dan besok tak memungkinkanku bertemu dengan pujaan
hati baru. Aku hanya akan berkutat
dengan paper sepanjang hari besok.
Dan hari ini harus mengumpulan bahan-bahan tambahan di warnet.
Tapi kesibukanku mengunjungi situs-situs yang mungkin menyediakan data-data
yang kubutuhkan terhenti oleh nada SMS masuk.
Fa, tolong
transfer 219.500 ke bukabuku, ya. Uangnya aku kasih besok. Pls, ya. Aku lagi
lembur.
Aku gak bisa, Za. Lg sibuk dgn paper-ku.
Tegas. Tega. Beginilah caraku memberi isyarat untuk putus.
Pelan dan pasti menjauhi. Sebab kumerasa lebih nyaman dan optimis bersama Kak
Dio, tak masalah usianya 14 tahun lebih
tua. Juga tak lagi terganggu dengan masa lalu kelamnya. Apalagi sakit hati
karena tanggapan dingin Riza tentang
diagnosa Babu sulit sekali sirna.
Ya gpp. Tp ntr sore kita ke khitanan ponakanku, ya. Ntr aku jemput, deh.
Riza membujuk. Tapi
kata ‘deh’ di akhir kalimat membawa kegagalan untuknya. Aku sangat tak
berkenan.
Maaf, ya. Aku gak bisa. Paper-ku hrs sls hr
senin, jawabku berdalih. Bukankah setiap orang senang berdalih bila tak mau
melakukan sesuatu?
Sayang sekali. Pdhl mau sekalian ngenalin km ke
keluargaku.
Sekali lagi Riza membujuk. Bujuk yang membuatku cukup
kaget karena aku tak kan dibawa pada keluarganya sebelum rasa yakin itu ada di
hati Riza.
Skrg aku sdh yakin dan ingin membawamu pada keluargaku. Km jg kan sudah
bawa aku ke keluargamu. Bgmn dgn km? Sudah yakin blm sama aku?
I don’t think so, jawabku pada Riza yang memberi kepastian akan masa
depan hubungan kami pada saat telah terlambat. Bagiku sudah terlambat benar.
Telaknya jawaban
itu membuat
Riza segera sadar yang kuinginkan, hingga cepat-cepat
menelepon untuk mencari kepastian.
“Nduk, apa sih maksudmu? Kenapa bicara begitu?? Bikin aku panik, tahu nggak?!”
“Panik kenapa?” jawabku enteng.
“Sudah lama aku perhatiin, kamu cuek sama aku. Seperti
butuh gak butuh!”
“Instropeksi diri
saja.”
“Bukan aku yang
perlu instropeksi diri, tapi kamu mulai selingkuh dan cari-cari cara untuk
pisah.”
“Kamu nuduh?!” seruku spontan dan keras, membuat penjaga warnet
memperingatiku dari tempat duduknya. Tanpa menjawab, aku keluar untuk meneruskan pertengkaran jarak jauh dengan Riza.
“Aku memang tidak
bisa membuktikan, tapi aku merasakan jelas tanda-tandanya,” sambung Riza.
“Sekarang apa
maumu?”
“Justru aku yang
mau nanya, apa maumu sebenarnya?”
Aku terdiam
seketika.
“Aku memang miskin, cuma karyawan biasa. Bukan
pria kaya seperti Pak Claudio itu,” sindir Riza sambil menutup telepon.
Tiba-tiba seonggok
sesal menggelayuti hati, karena tak
seharusnya kuakhiri hubungan dengan cara
menyakiti.
Tapi
penyesalan itu segera terbungkam oleh kesibukan yang benar-benar sibuk karena
dikejar waktu. Saat ini pun, ketika malam menghadirkan seseorang yang mengetuk
pintu, tetap saja aku tak beranjak membukanya.
“Mbaaak, ada Kak
Riza,” seru Ibra dari ruang tamu. Dengan enggan aku pergi menemui tamu yang
datang di waktu tak tepat.
“Za, aku lagi sibuk
dengan paper-ku, kita bahas lain
kali, ya? Maaf … kalau tadi siang
aku kasar.”
“Aku nggak mau
ganggu kamu, kok. Cuma mau bilang ... aku tuh sayang sama kamu. Aku masih
mau memperbaiki hubungan kita. Aku sadar, selama ini aku hanya sibuk dengan
pekerjaan dan kurang perhatian sama kamu. Maafin aku, ya?”
“Kenapa nggak
dulu-dulu, sih?”
“Sudah terlambat,
ya? Kamu lebih memilih Pak Claudio?”
Pertanyaan Riza
membawa pesan isi hatinya yang kecewa.
“Za, aku sedang
dipusingkan oleh paper-ku. Aku tak
bisa berpikir apa-apa.”
“Ya sudah, maaf
mengganggu. Aku pulang, ya? Tapi tolong kamu ingat, aku … aku tak mau kehilangan kamu, Nduk ....”
Romantisme Riza
yang tak pernah ada, entah mengapa kini terlahir. Sayang, hatiku telah
mengeras.
“Kita bicarakan
lagi nanti, ya ...? Aku harus menyelesaikan paper-ku.”
Aku terus berusaha
‘mengusir’ Riza secara halus.
“Kalau saja aku
membantu ….”
“Makasih, tapi tak ada yang bisa kamu lakukan.”
Riza tersenyum dan
beranjak pergi dengan rona wajah yang sulit dilukiskan. Aku menyadari
kekecewaannya atas sikapku.
“Oh, ya….” Riza
tiba-tiba teriangat sesuatu.
“Apa, Za?”
“Nanti, kalau paper kamu sudah selesai, kita ke dokter yang di Citeurep itu naik motor,
ya? Kamu kan pernah bilang pingin naik motor yang jauh. Tangerang-Citereup lumayan jauh, kan?”
“Tak perlu. Aku
sudah ditangani Babu.”
“Kapan??!”
“Waktu aku bilang
di telepon, aku telah didiagnosa sulit punya ....”
“Oh.”
Riza tampak menyesal. Mungkin menyesali diri atas keterlambatan
perhatiannya.
”Sama siapa ke klinik Babu Shahid? Siapa yang nganterin kamu?” sambungnya. Aku tak menjawab
karena diamku sesungguhnya sebuah jawaban.
“Tapi tolong jangan
bilang ke ayah soal itu, ya?” pintaku dalam sebuah bisik.
“Baik. Tapi kamu ke sana sama
siapa??”
“Sama Kak Dio.”
“Ooo .... ”
“Hati-hati, ya,”
kataku kembali mengusir secara halus.
“Ya,” jawab Riza
lemas. Ia pergi dengan
kepala menunduk. Aku melihat berjuta rasa sesal, kecewa dan sakit terpancar di
sorot mata layunya. Ia telah menangkap pesan yang tak mungkin kusampaikan
secara tersurat.
Ketr. :
78. [Jp] Tata bahasa
79. [Jp] Pekerjaan rumah
80. [Jp] Benarkah?
81. [Jp] Iya, Benar.
No comments:
Post a Comment