Friday, December 13, 2013

Bab 12 : SENYUM (UNTUK) RIZA


Kutangkap satu sosok dengan mata berkilat cahaya dan berlumur senyum bahagia, sedang mengobrol di depan receiption desk yang akan kutuju. Ia tampak berbeda hari ini. Wajahnya nyata-nyata cerah dan hangat laksana sinar mentari di awal pagi ini. Terang, tapi tak menyengat.

Dengan memasang wajah tenang, kuteruskan langkah ke tempat tugasku. Semakin dekat, rasa bersalah yang memperberat langkah membuatku semakin sungkan menghadapinya. Jujur, aku lebih suka menghindarinya saat-saat ini. Tapi mataku telah tertangkap dan dipasung oleh matanya. Berbelok haluan akhirnya harus kucoret dari daftar pilihan.

”Pagi, Aifa ....”

Saat kumembuka pintu kaca, Pak Adi yang sedang mengobrol dengannya menyambutku dengan keramahan.

”Pagi Pak Adii,” jawabku ceria, coba mengimbangi keramahan tulus staff senior itu. Harus kuakui, gadis yang ramah dari hati bukan jati diriku. Sering kubersikap ramah karena tuntutan pekerjaan, atau terpaksa membayar kontan keramahan seseorang dengan keramahan yang tak bisa ditunda.

”Sudah ditunggu sama Riza, nih.”

Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, Pak Adi menggodaku. Tapi kutak melahirkan kata meningkahi ucapannya yang mulai mengajak bercanda. Hanya senyum geli terus kugelar, menemani Riza yang cerah ceria tak seperti biasanya.

“Aku memang sedang menunggumu, Fa,” ujar Riza tanpa perlu ditanya. Kutatap matanya yang kini bersinar setelah beberapa hari hanya berwarna keruh karena putus denganku. Dari mata ke mata kubertanya, ada apa gerangan ingin menemuiku?

”Saya tinggal dulu ya, Za?” kata Pak Adi sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Ia belum mengerti, aku dan Riza telah tak memiliki hubungan kasih. Lagi-lagi aku hanya menjawab Pak Adi dengan senyum geli hingga ia lenyap dari mata kami.

”Ada apa, Za? Hari ini kamu lain. Bahagia benar tampaknya.

“Oh, ya?”

“Iya.”

“Hmm ....”

“Hmm apa?”

“Hmm ... aku mang lagi bahagia.”

“Kenapa memangnya?”

“Karena hari ini hari terakhirku bekerja di sini. Segera aku akan menjadi mahasiswa ITB!” ujar Riza tak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Aku menolehinya. Ingin sekali berkata, ‘apa kamu tak salah ngomong’? Tapi suaraku tersendat karena tak tega. Akhirnya kata-kata itu hanya terpatri di sorot mata dan bibir yang terkunci.

Sejak ayah Riza meninggal dua setengah tahun yang lalu, Riza yang tergila-gila dengan ilmu teknologi, terpaksa memupuskan mimpinya mengenyam pendidikan di ITB, perguruan tinggi favoritnya.

“Siapa yang akan membiayai??” akhirnya kumemilih bertanya, daripada diam membiarkan Riza memahatku dengan tatap matanya.

“Itulah kekuasaan Allah, Fa. Ia memberi rizki melalui jalan yang tak disangka-sangka.” Setelah berubah menjadi ceria, Riza juga mendadak bersikap religius. Ah, keajaiban peristiwa.

”Aku turut senang. Tapi, apa yang terjadi?” tanyaku tak menutupi keingintahuanku.

”Aku tak sengaja menolong putri seorang dosen. Beliau sangat berterima kasih dan ingin membalas budi.”

”Hmm ....”

”Beliau akan membimbingku supaya bisa lulus ujian masuk ITB tahun ajaran depan. Sementara itu, beliau akan mempekerjakanku sebagai karyawannya. Kebetulan beliau mempunyai usaha sampingan.”

”Usaha apa?”

”Riset dan Pengembangan teknologi. Saat ini beliau dan timnya sedang mengerjakan proyek water treatment untuk rumah tangga.”

”Untuk rumah tangga?”

”Ya. Water treatment yang sederhana dan langsung bisa diminum dengan harga jual terjangkau masyarakat umum.”

”Bukankah itu sulit?”

”Tentu. Karena cara terbaik untuk membuang zinc yang terkandung di dalam air belum kami temukan.”

”Hmm ....”

”Sebagaimana air, zinc merupakan zat-tak terurai. Jadi tak bisa dimatikan. Hanya bisa dibuang.”

”Ooo ....”

”Kami harus melakukan riset dan percobaan terus sampai berhasil. Sekali lagi, water treatment bukan hal mudah. Sangat rumit dan menuntut ketelitian luar biasa. Tapi kalau berhasil, akan mendatangkan untung yang melimpah. Karena pasar sedang menunggu-nunggu produk ini,” kata Riza tak bisa menghentikan khotbah paginya.

”Kami?”

”Ya. Itu pekerjaan yang akan kutekuni bersama tim sebentar lagi. Aku memang belum resmi bekerja di sana tapi segera,” kata Riza berbunga-bunga.

”Kuterima tawaran itu karena menuruti nasehat beliau yang kurasa benar juga. Memang lebih baik aku segera mulai kuliah. Jika menunda-nunda, nanti akan semakin keenakan kerja lalu lupa pada cita-cita semula. Jadi, kuputuskan untuk segera resign dari sini. Aku akan kuliah sambil kerja di bidang yang sesuai keinginan dan minatku! kata Riza berapi-api meski tak sampai berkobar-kobar. Sudah lama waktu melaju. Sinar bahagia itu tak pudar juga dari matanya.

“Kamu pantas mendapatkannya, Za. Good luck! Kudoakan semoga tercapai cita-citamu,” ucapku sambil melebarkan mata, mencoba menepis airmata yang mulai mengintip, mencari celah untuk merembes.

Thanks. Hari ini aku menemuimu untuk pamit. Aku juga mendoakanmu, semoga beruntung dengan Pak Dio,” ucap Riza lancar membuatku tersentak hingga mataku membelalak, memprotes ucapannya.

”Aku dan Kak Dio tidak pacaran, Za. Sungguh!”

Bibirku bergerak membela diri. Aku lancar mengatakannya karena hingga detik ini Kak Dio memang belum pernah menyatakan cinta.

“Bukan ‘tidak’ tapi ‘belum’. Pasti sebentar lagi,” ucap Riza sambil tersenyum yakin, membuatku merasa tak enak hati padanya.

”Ah, kamu. Sukanya ngeyel82.”

Aku menyahut sambil tersungut. Riza tersenyum mendengar jawaban dan melihat muka kesalku yang sering menjadi santapannya selama ini.

”Selama bersamaku, aku tak sempat melakukan yang terbaik. Maafkan aku, ya? Aku terlalu mengejar uang, demi obsesiku untuk bisa kuliah di ITB.”

“Kenapa tidak ngomong kalau kamu masih terobsesi kuliah di ITB? Kalau aku tahu, aku pasti akan mendukungmu.”

“Karena aku tidak tahu, apa akan mampu mewujudkan mimpiku.”

“Setidaknya kamu ngomong, dong.”

“Iya. Seharusnya begitu.”

Suasana hening sesaat, membuat rasa bersalah kembali berkunjung. Bukan hanya Riza, aku juga bersalah atas pupusnya hubungan kami. Sebab kutak mampu membelokkan hatiku dari Ahmed dan Kak Dio pada Riza.

“Sebentar lagi bel masuk. Aku pergi, ya? Kalau kamu masih mau berteman dengan cowok miskin ini, jangan segan-segan menghubungi.”

”Kamu ngomong apa, sih??!” jawabku sambil tersungut karena tak suka pada ucapannya. Kembali rasa tak enak menggumuli, mendengar Riza menyampaikan pesan hatinya lewat canda yang tak sepenuhnya kelakar itu.

Aku pergi, ya. Salam untuk Kak Dio. Eh! Pak Dio maksudku.”

Aku tak menjawab, hanya semakin menunjukkan wajahku yang cemberut karena sindiran Riza.

Maaf, bercanda.

Riza mencoba menghibur. Kuberi ia senyum sebagai hadiah.

“Di hari terakhirku ini, maukah kau sekedar makan siang bersamaku?” tanya Riza dengan kesungguhan harap dalam sapuan rasa cemas.

“Tentu.”

Kuberi Riza senyum trenyuh dan mata berembun. Riza pun tersenyum haru.

“Kita ketemu saat istirahat?” tanyanya sekedar memastikan.

”Tentu,” jawabku. 


Ketr. : 
82. [Jw]     Sulit diberitahu dengan selalu membantah












No comments:

Post a Comment