Kutangkap satu
sosok dengan mata berkilat cahaya dan berlumur senyum bahagia, sedang mengobrol
di depan receiption desk yang
akan kutuju. Ia tampak berbeda hari ini. Wajahnya
nyata-nyata cerah dan hangat laksana sinar mentari di awal pagi ini. Terang, tapi tak
menyengat.
Dengan memasang
wajah tenang, kuteruskan langkah ke tempat tugasku. Semakin dekat, rasa
bersalah yang memperberat langkah membuatku semakin sungkan menghadapinya.
Jujur, aku lebih suka
menghindarinya saat-saat ini. Tapi mataku telah tertangkap dan dipasung oleh
matanya. Berbelok haluan akhirnya harus kucoret dari daftar
pilihan.
”Pagi, Aifa ....”
Saat kumembuka
pintu kaca, Pak Adi yang sedang mengobrol dengannya menyambutku dengan
keramahan.
”Pagi Pak Adii,”
jawabku ceria, coba mengimbangi keramahan tulus staff senior itu. Harus kuakui,
gadis yang ramah dari hati bukan jati diriku. Sering kubersikap ramah karena
tuntutan pekerjaan, atau terpaksa membayar kontan keramahan seseorang dengan
keramahan yang tak bisa ditunda.
”Sudah ditunggu
sama Riza, nih.”
Sambil
mengerjap-ngerjapkan matanya, Pak Adi menggodaku. Tapi kutak melahirkan kata
meningkahi ucapannya yang mulai mengajak bercanda. Hanya senyum geli terus
kugelar, menemani Riza yang cerah ceria tak seperti biasanya.
“Aku memang sedang
menunggumu, Fa,” ujar Riza tanpa perlu ditanya. Kutatap
matanya yang kini bersinar
setelah beberapa hari hanya berwarna keruh karena putus denganku. Dari mata ke mata kubertanya, ada apa gerangan ingin menemuiku?
”Saya tinggal dulu
ya, Za?” kata Pak Adi sambil mengedipkan sebelah
matanya padaku. Ia belum mengerti, aku dan Riza telah tak memiliki
hubungan kasih. Lagi-lagi aku hanya menjawab Pak Adi dengan senyum geli hingga
ia lenyap dari mata kami.
”Ada apa, Za? Hari
ini kamu lain. Bahagia benar tampaknya.”
“Oh, ya?”
“Iya.”
“Hmm ....”
“Hmm apa?”
“Hmm ... aku mang
lagi bahagia.”
“Kenapa memangnya?”
“Karena hari ini
hari terakhirku bekerja di sini. Segera aku akan menjadi mahasiswa ITB!” ujar
Riza tak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Aku menolehinya. Ingin sekali
berkata, ‘apa kamu tak salah ngomong’? Tapi
suaraku tersendat karena tak tega. Akhirnya kata-kata itu hanya terpatri di
sorot mata dan bibir yang terkunci.
Sejak ayah Riza
meninggal dua setengah tahun yang lalu, Riza yang tergila-gila dengan ilmu teknologi, terpaksa memupuskan
mimpinya mengenyam pendidikan di ITB, perguruan tinggi favoritnya.
“Siapa yang akan
membiayai??” akhirnya kumemilih bertanya, daripada diam membiarkan Riza
memahatku dengan tatap matanya.
“Itulah kekuasaan
Allah, Fa. Ia memberi rizki melalui jalan yang tak disangka-sangka.” Setelah
berubah menjadi ceria, Riza juga mendadak bersikap religius. Ah, keajaiban
peristiwa.
”Aku turut senang.
Tapi, apa yang terjadi?” tanyaku tak menutupi keingintahuanku.
”Aku tak
sengaja menolong putri seorang dosen.
Beliau sangat berterima kasih dan ingin membalas budi.”
”Hmm ....”
”Beliau akan
membimbingku supaya bisa lulus ujian masuk ITB tahun ajaran depan. Sementara
itu, beliau akan mempekerjakanku sebagai
karyawannya. Kebetulan beliau mempunyai
usaha sampingan.”
”Usaha apa?”
”Riset dan Pengembangan teknologi. Saat ini beliau dan timnya sedang
mengerjakan proyek water treatment untuk rumah tangga.”
”Untuk rumah tangga?”
”Ya. Water treatment yang sederhana dan langsung bisa diminum dengan
harga jual terjangkau masyarakat umum.”
”Bukankah itu sulit?”
”Tentu. Karena cara terbaik untuk membuang zinc yang terkandung di
dalam air belum kami temukan.”
”Hmm ....”
”Sebagaimana air, zinc merupakan zat-tak terurai. Jadi tak bisa
dimatikan. Hanya bisa dibuang.”
”Ooo ....”
”Kami harus melakukan riset dan percobaan terus sampai berhasil. Sekali
lagi, water treatment bukan hal mudah. Sangat rumit dan menuntut
ketelitian luar biasa. Tapi kalau berhasil, akan mendatangkan untung yang
melimpah. Karena pasar sedang menunggu-nunggu produk ini,” kata Riza tak bisa
menghentikan khotbah paginya.
”Kami?”
”Ya. Itu pekerjaan yang akan kutekuni bersama tim sebentar lagi. Aku memang belum resmi bekerja di sana tapi segera,” kata Riza
berbunga-bunga.
”Kuterima tawaran itu karena menuruti nasehat beliau yang kurasa benar
juga. Memang lebih baik aku segera mulai kuliah. Jika menunda-nunda, nanti akan
semakin keenakan kerja lalu lupa pada cita-cita semula. Jadi, kuputuskan untuk segera resign
dari sini. Aku akan kuliah sambil kerja di bidang yang sesuai keinginan dan
minatku!” kata Riza berapi-api meski tak sampai berkobar-kobar.
Sudah lama waktu melaju. Sinar bahagia itu tak pudar juga dari matanya.
“Kamu pantas
mendapatkannya, Za. Good luck! Kudoakan semoga tercapai cita-citamu,” ucapku sambil
melebarkan mata, mencoba menepis airmata yang mulai mengintip, mencari celah
untuk merembes.
”Thanks. Hari ini aku menemuimu untuk pamit. Aku juga mendoakanmu, semoga beruntung dengan Pak Dio,” ucap Riza lancar
membuatku tersentak hingga mataku membelalak, memprotes ucapannya.
”Aku dan Kak Dio
tidak pacaran, Za. Sungguh!”
Bibirku bergerak membela diri. Aku lancar mengatakannya karena hingga detik
ini Kak Dio memang belum pernah menyatakan cinta.
“Bukan ‘tidak’ tapi
‘belum’. Pasti sebentar lagi,” ucap Riza sambil tersenyum yakin, membuatku
merasa tak enak hati padanya.
”Ah, kamu. Sukanya ngeyel82.”
Aku menyahut sambil
tersungut. Riza tersenyum mendengar jawaban dan melihat muka kesalku yang
sering menjadi santapannya selama ini.
”Selama bersamaku,
aku tak sempat melakukan yang terbaik. Maafkan aku, ya? Aku terlalu mengejar
uang, demi obsesiku untuk bisa kuliah di ITB.”
“Kenapa tidak
ngomong kalau kamu masih terobsesi
kuliah di ITB? Kalau aku tahu, aku pasti
akan mendukungmu.”
“Karena aku tidak
tahu, apa akan mampu mewujudkan mimpiku.”
“Setidaknya kamu
ngomong, dong.”
“Iya. Seharusnya
begitu.”
Suasana hening
sesaat, membuat rasa bersalah kembali berkunjung. Bukan hanya Riza, aku juga
bersalah atas pupusnya hubungan kami. Sebab kutak mampu membelokkan hatiku dari
Ahmed dan Kak Dio pada Riza.
“Sebentar lagi bel
masuk. Aku pergi, ya? Kalau kamu masih mau berteman dengan cowok miskin ini,
jangan segan-segan menghubungi.”
”Kamu ngomong apa,
sih??!” jawabku sambil tersungut karena tak suka pada ucapannya. Kembali rasa
tak enak menggumuli, mendengar Riza menyampaikan pesan hatinya lewat canda yang
tak sepenuhnya kelakar itu.
“Aku pergi, ya. Salam untuk Kak Dio. Eh! Pak Dio maksudku.”
Aku tak menjawab, hanya semakin menunjukkan wajahku yang cemberut karena
sindiran Riza.
“Maaf, bercanda.”
Riza mencoba
menghibur. Kuberi ia senyum sebagai hadiah.
“Di hari terakhirku
ini, maukah kau sekedar makan siang bersamaku?” tanya Riza dengan kesungguhan
harap dalam sapuan rasa cemas.
“Tentu.”
Kuberi Riza senyum trenyuh
dan mata berembun. Riza pun tersenyum haru.
“Kita ketemu saat istirahat?” tanyanya
sekedar memastikan.
”Tentu,” jawabku.
Ketr. :
82. [Jw] Sulit diberitahu dengan selalu membantah
No comments:
Post a Comment