Dengan senyum dan mata berkaca-kaca, kubiarkan Riza berlalu. Tersenyum haru
kusyukuri kisah dengan Riza yang berakhir tanpa permusuhan saat dering telepon
mengetuk daun telinga.
“Tirta Gizitama,
Pagi ...” sapaku ramah.
“Bisa dengan Ibu
Ila?” suara di seberang tak kalah ramah.
“Dari mana, Bu?”
“Wina, PT. Shorai.”
Segera kusambungkan
telepon Ibu Wina ke extention Bu Ila.
Saat menutup gagang telepon, bunyi dan layar hapeku memberitahu sebuah SMS
masuk.
Hai, Fa. Kemon aso? Aku sudah tiba di Indonesia
kemarin. Aku akan menikah di Bali tanggal 25. Kamu datang, kan? Lina akan
mengatur penerbangan dan akomodasimu.
Deg.
Hatiku bagai dihancurkan dengan palu besi. Ah,
Bali! Kenapa namanya memiliki
kekuatan untuk memberi getar yang lara pada hati ini?
Aku gak mungkin ke Bali. Pls 4give me, Bhai? Jawabku apa adanya. Pada Kiron aku memang selalu bisa bersikap apa adanya.
Tidak. Aku tidak akan memaafkan
kalau kamu tidak datang. Dan jangan memanggilku bhai untuk membujuk!!!
Tiga
tanda seru Kiron pakai untuk menunjukkan kesungguhan ucapannya. Segelintir demi segelintir rasa takut pada ancamannya
datang menghampiri. Tapi jutaan gelintir rasa takut akan bersedih bila
mengunjungi Bali telah lebih dulu mendekam di dada ini. Sejak lama.
Kiron, aku takut jadi sedih
teringat kenangan di Bali. Aku nggak akan kuat ke sana. Terlalu menyakitkan
bagiku. Kuharap kamu maklum. Sekali lagi maafin aku, ya. Tlg mengerti, bujukku penuh harap Kiron bisa memahami kondisiku.
Kamu akan ke sana. Ini bukan
permintaan, tapi perintah. Bagaimana aku akan menikah tanpa kamu
mendampingiku?? Coba pikirkan itu. Kiron berusaha
membuka pikiranku.
Maafkan aku, Kiron. Aku benar-benar nggak bisa. Kita ketemuan di Jakarta saja,
ya. Maaf, aku mungkin teman dan adik yang durhaka. Tapi, aku benar-benar takut
ke sana. Anyway, congrat to u. My regard to Kak Lina, jawabku
berusaha lebih gigih membujuk.
Jangan berbuat seperti ini pada seorang yang menganggapmu saudari. Kamu
lupa, ya? Di sni aku tak punya siapa-siapa kecuali kamu. Bagaimana bisa kamu
berbuat seperti itu padaku? Aku janji tak akan bicara denganmu kalau sampai
kamu tidak datang!
Ancaman Kiron semakin terasa serius. Kumasih ingin membujuk lebih gigih,
tapi kata-kata Kiron yang mendayu membuat mata ini berembun. Hatiku mulai
goyah.
Baik, akan kupertimbangkan. Kusampaikan sebuah jawaban politis.
Kamu akan mempertimbangkan sebuah
perintah?? Tanya Kiron tak mau menerima.
Kiron, aku mohon kamu mengerti.
Tak mudah bagiku pergi ke Bali. Aku pun kembali
bersemangat memberinya kilah.
Itu artinya kamu tidak
menganggapku Kakak. Ya sudah. Tidak apa-apa. Terserah kamu! Jawab Kiron tak ingin melanjutkan pembicaraan.
Tunggu, Kiron. Bagaimana hasil
penyelidikanmu? Kenapa tak pernah memberi kabar? tanyaku tanpa segan. Meskipun waktu telah lama pergi, bahkan sempat
kualihkan damba pada Kak Dio, tapi rasa ingin tahu tentang Ahmed selalu
selangit. Apalagi mengetahui isi hatinya tentang aku. Inilah sebabnya kusetujui
ide Kiron untuk mencari tahu. Tapi sejak itu, tak pernah kudapat berita
perkembangannya.
Dunia
sempat sejenak berhenti berputar menungguku pulih dari kejut. Kiron tahu
sesuatu tapi tak tega mengatakannya?!
Kiron telah
melanggar janji! Ia telah setuju untuk memberitahuku segala informasi yang ia
dapat tapi nyatanya hanya di bibir. Apakah sesuatu itu, hingga ia harus tak
tega menyampaikannya? Aku harus bertanya dan ia harus menjawab, sekarang juga!
Tapi
kali ini Kiron senang membuatku bergulat dengan resah menunggu balasan SMS-nya.
Sejak bujuk rayu kulontarkan, ia tak juga menjawab keingintahuanku. Terpaksa
kunikmati rasa sakit dipompa penasaran yang telah menggelembung begini besar.
Baik, aku akan mengatakannya.
Tapi berjanjilah untuk tidak akan menangis!
Kiron akhirnya
menjawab. Rasa sakit karena penasaran hilang. Tapi berganti sakit karena
kecemasan, bila akhirnya aku benar-benar sakit oleh kabar itu.
Aku sudah siap dr dulu, Kiron,
kau tahu itu, kataku semakin meyakinkannya.
Padahal rasanya ingin pingsan saat Kiron tadi memberi isyarat, telah terjadi
sesuatu yang akan menghancurkan hati.
Sebenarnya, dia akan segera
menikah dalam beberapa hari ini. Amma-nya telah memilih seorang gadis untuk
menjadi istrinya dan domestic animal 50itu menyetujui. Sebaiknya
kamu lupakan dia.
Ohh! Inikah arti diam Ahmed
selama ini? Dan ternyata tak benar
kutelah jatuh hati pada Kak Dio, sebab hatiku begini hancur oleh kabar ini.
Kini aku maklum dengan dengan keputusan Kiron yang memilih bisu.
Ahmed Shafiqur Rahman ....
Cerita cinta kita hanya sebuah masa lalu yang tak
akan menjadi masa depan. Musim cinta kita telah benar-benar usai. Expired.
Don’t worry. I am ok. Thks 4 ur help anyway. Jawabku
berbohong. Tentu harus begitu. Inilah pertama kali kutak bisa berlaku apa
adanya pada Kiron.
“Eh, Pak Robby. Saya ....”
”Ee ....”
”Emm, Iya. Baik, Pak.”
Akhirnya kuiyakan juga permintaan sekaligus perintahnya. Segera kupanggil
Santi untuk menggantikan tugasku sementara aku akan dibawa pergi entah ke mana
oleh sahabat si teeta. Kurasa satu
tempat yang nyaman untuk menguras airmataku.
Tapi taman di belakang rumah Pak Robby ini lebih dari nyaman. Kurasa ini
tempat terbaik untuk bercengkerama dengan keluarga atau sahabat. Namun di tempat
sejuk lagi asri ini, aku ada tak untuk bercengkerama. Aku disini untuk
diiris-iris hatinya dengan bujuk rayu agar melupakan Ahmed yang sangat pahit.
”Ahmed paling suka tempat ini. Ia senang duduk sendiri sambil menghitungbintang. Dasar! Dia memang kurang kerjaan.” Dengan tawa gelinya, Pak Robby
membuka percakapan sekaligus ingatanku. Aku pun ikut tertawa. Tawa geli
bercampur berjuta perih.
Melalui SMS, Ahmed menjawab pertanyaan ’what are you doing’, yang juga kuajukan lewat SMS di awal
Januari 2006, ketika cinta kami baru saja mekar indah. Bukan hanya sekali. Pada
waktu yang sama di lain hari, aku mendapat jawaban yang sama atas pertanyaan yang sama.
”Aifa, kamu baik-baik saja?” tanya Pak Robby mengembalikanku ke alam nyata.
”Oh. Iya, Pak ... saya baik-baik saja. Cuma lagi ingat si buddhu. Dia
bilang senang melihat bintang.”
”Kamu tahu, Aifa? Dia seorang yang sangat baik pada teman, makanya dia
kadang dimanfaatkan.”
”Dimanfaatkan? Siapa yang melakukan itu??”
”Kami. Aku dan Rasel.”
Aku menoleh. Melihat wajah merah Pak Robby sedang terkekeh dalam tawa yang
tak disuarakan, bibirku terhasut untuk tersenyum. Segera kubertanya apa
gerangan yang membuatnya begitu geli.
”Setiap malam minggu, aku biasanya menginap di tempat Ahmed dan Rasel. Kami
bertiga suka lomba bangun paling siang. Tapi Ahmed selalu kalah.”
”Selalu kalah? Kenapa?”
”Karena dia tak tahan lapar. Makanya paling cepat bangun untuk memasak.
Dan, kamu tahu? Kami baru bangun setelah ia selesai!”
Di antara derai tawa, Pak Robby menceritakan masalah Ahmed yang baginya
sebuah lelucon. Aku hanya bisa tersenyum lebih lebar. Jarak hati membuatku tak
mudah bersuara di depannya.
”Ahmed bisa masak, Pak? Dia tidak pernah cerita pada saya.”
”Bukan saja bisa, tapi pintar.”
Pujian Pak Robby pada masakan Ahmed segera membuka ruang cemburu pada yang
beruntung telah mencicipi. Tapi tentu bukan Pak Robby maupun Rasel.
”Pak Robby kenal Jessy?” tanyaku mencari tahu tentang gadis yang karena dia
hatiku pernah hangus terbakar.
”Tahu. Dia juga suka ngerjain Ahmed.” Pak Robby menjawab dengan dengan kata
dan tawa berderai.
”Ngerjain gimana, Pak?”
”Dia itu penggemar kari buatan Ahmed. Ia sering minta dimasakin menu itu
sama Ahmed.”
”Oh. Kenapa Ahmed mau disuruh-suruh?”
”Karena kalau tidak mau, kami ganggu terus.”
”Ganggu gimana?”
”Macam-macam. Kadang kami sembunyikan kacamatanya, kadang kami pergi tanpa
dia. Dan kadang kami bongkar aibnya di depan teman-teman
....”
”Aib? Aib apa??”
Aku hanya diam di atas ranjau penasaran tapi tak mungkin mendesak karena
tiada keberanian.
”Kami suka usil, tapi sebenarnya sayang dia.”
Pak Robby mengurangi keheningan kami dengan ungkapan hati yang kurasakan
indah meskipun terdengar lebay. Andai belum tahu ia akan segera menikah,
niscaya aku pun ingin mengatakan hal yang sama. Aku pun sangat menyayanginya!
Sekuat tenaga kuberanikan diri menanyakan hal menyakitkan itu. Pak Robby
menoleh dan kulihat rona wajahnya berubah serius.
”Inilah hidup, Fa. Kabhi kushi kabhi ghum83. Kadang
senang, kadang sedih. Kadang mendapatkan keinginan kita, kadang tidak. Bahkan,
ada kalanya harus menjalani sesuatu yang berlawanan dengan hati.”
”Maksud Bapak, Ahmed tidak mencintai gadis itu?”
”Amma-nya sakit, Fa. Beliau lemah
secara mental. Kalau Ahmed tak patuh, beliau akan segera tambah parah. Ahmed
tidak mau lagi membuat ibunya sakit seperti dulu.”
”Apa yang dulu ia lakukan?”
”Masuk penjara.”
”Masuk penjara?? Kenapa??!”
Kali ini penasaranku tak terkendali hingga berani memberi intonasi tajam
pada Pak Robby yang masih kusegani.
”Membela pacar yang diganggu temannya.” Jawabnya enteng.
Rasa remuk di hatiku berlipat ganda. Aku telah salah menganggap. Dulu
kupikir ia begitu mencintaiku. Tapi nyatanya tidak. Sebab ia tak tergerak hati
memperjuangkan cinta kami. Dan baru saja diberitahu, aku tak begitu istimewa
untuk dibela seperti mantannya.
Pelan dan lembut sebuah tangan terulur, menarikku bangkit dari keterpurukan
rasa. Ah, Babu Shahid. Senyumnya menggumamkan permintaan untukku
berpikir positif dan bersyukur atas kabar ini.
”Kapan dia akan menikah, Pak?” tanyaku mencoba membelah kebisuan kami.
”Maaf, Fa. Aku tak boleh mengatakan tanggalnya. Aku di sini mengemban
amanah Ahmed untuk memberitahumu kalau dia akan menikah dengan gadis pilihan amma-nya. Dia tak berdaya atas kehendak amma-nya.
Ia memohon pengertianmu dan meminta maaf atas semua kesalahan. Juga
mendoakanmu, semoga mendapatkan pendamping hidup yang akan selalu membuatmu
bahagia dan ia yakin kau akan mendapatkannya. Dia ingin kamu melupakannya.”
Dengan lancar Pak Robby bicara. Entah butuh waktu berapa lama untuk berlatih.
”Ya, saya pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari dia,” jawabku lirih
namun penuh dendam yang tak lirih.
”Aifa, ia ingin kamu menerima kenyataan ini. Selama ini, ia tak pernah
menghubungimu karena ingin kamu melupakannya.”
Aku hanya mengangguk-angguk dalam airmata berlinang ketika SMS Kiron
membuyarkan suasana duka di relung hati.
Hi, I’m very happy. Amma sudah mau bicara denganku.
Senang dan sedihku tambah rimbun. Juga cemburu. Senang mendengar kabar dari
Kiron yang mungkin sebentar lagi akan mendapat restu amma-nya untuk
bersanding hidup dengan kekasih pilihan. Tapi juga bersedih dan cemburu karena
Ahmed tak memperjuangkan cinta kami seperti Kiron.
Andai bisa membenci, ingin sekali kumembenci amma Ahmed yang membuat cinta kami menjadi tak mungkin. Tapi mana
bisa membenci seorang ibu yang hangat dan ramah padaku? Ah, Zia, Ria ...
rasanya kuingin menangis bersama mereka. Tapi mana boleh melakukan hal yang
akan membuat teman-temanku bertambah lemah. Semua ini harus kunikmati seorang
diri.
“Kau akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari si Bodoh itu, Aifa.
Yakinlah itu!”
“Iya, Pak. Pasti. Oh ya, bolehkah saya minta ijin pulang cepat hari ini?”
“Kamu sudah pulang cepat.” Jawab Pak Robby sambil tersenyum.
“Maksud saya, sekarang saya ingin pulang ke rumah. Saya ingin sendiri.”
“Tidak. Hari ini aku akan menjadi pelayan dan sopirmu. Aku tak akan membiarkan
kamu bersedih dan menyepi karena sahabatku. Bagaimana kalau kita ke Dufan? Kamu bisa melampiaskan perasaan dengan
berteriak keras di sana.”
“Terima kasih, Pak. Saya ingin tidur saja.”
“Tapi aku yakin kamu tak akan bisa tidur sesampainya di rumah.”
“Saya akan minum obat tidur.”
“Ini masih pagi, Fa. Masak kamu mau tidur? Gimana kalau nonton film saja?”
”Tapi film komedi ya, Pak?”
”Ide bagus,” sahut Pak Robby dengan senyum setelah memenangi debat singkat
ini.
Melalui waktu yang sulit ditemani Pak Robby dan Jim Carey membuat
kesedihanku berangsur-angsur lepas. Rasanya ringan bisa hidup secara realistis,
melupakan yang sudah-sudah dan membiarkannya pergi dibawa angin. Betapa nyaman
hidup tanpa mengharapkan sesuatu yang sulit digapai meskipun untuk itu harus rela
menyimpan rasa hampa.
Hari-hari selanjutnya bergulir bersama Jim Carey dan acara komedi di
televisi. Extravaganza utamanya. Di sela-sela itu, Kiron dan terkadang Kak Lina
menghubungi. Tetapi tidak dengan Zia. Sudah berhari-hari Zia tidak meninggalkan
offline message bahkan tak sekali pun
membalas SMS dan email-ku. Perasaanku
mengatakan hati Zia sedang dirundung suram. Ria benar, sesibuk apa pun, Zia
pasti membalas SMS walau hanya untuk mengatakan ia sedang rapat, yang berarti
tak boleh diganggu. Tapi, beberapa hari ini, Zia seolah hilang diculik monster.
Ini memang bukan yang pertama kali. Waktu itu, selama seminggu ia tak
menghubungi dan tak mau dihubungi, yang ternyata sedang bad mood karena hubungannya dengan Ria
tak mendapat restu kakak tertua.
Zia, kemon
aso, Bondhu? Is everything fine with you?
Tidak tahu apakah ia akan membalas. SMS ini hanya sebuah pemberitahuan
bahwa aku sedang memikirkan dan mengkhawatirkannya.
Aku bad mood banget,
Aifa. Ingin sekali berteriak dan
mengubur diri di sungai Padma.
Tak kusangka Zia membalas, membuat rasa senang dan semangatku terpompa.
Apa yang terjadi Zia? Katakan padaku. Pintaku setengah memaksa. Entah ia merasakan atau tidak.
Ammu66 sudah mempersiapkan pernikahanku.
Aku belum ingin menikah, Aifa. Apalagi dengan selain Ria. Keluh Zia kecewa.
Tundukkan hatimu, Zia. Mungkin ini sudah kehendak
Allah.
Hati terasa sakit sendiri ketika saran untuk Zia melalui SMS itu
kukirimkan. Aku tentu tahu itu tak mudah baginya.
Aku akan mati dalam kehendak Allah yang satu ini, Aifa. Kata Zia terasa besar benar kalutnya.
Zia! Kita memang tak boleh melawan orang tua
,terutama ibu. Orang tua adalah wakil
Allah di dunia. Jadi ridho Allah tergantung ridho orang tua. Aku tahu kau paham
soal itu, Bondhu.
Rasanya ingin bunuh diri saja, kata Zia membuat nelangsaku bertambah dalam. Aku yakin kata-kata Zia itu
hanya di bibir. Tapi cukup untuk memberitahu, ia sedang di puncak kecewa dan
tak berdaya.
Zia, aku mengerti kesedihanmu. Tak ingatkah kamu,
aku pun mengalami nasib yang sama? Percayalah, aku tahu benar betapa sakitnya
bila tradisi perjodohan masuk ke dalam hubungan cinta yang telah terjalin. Kamu
tidak sendiri, Zia. Ada aku di sini
yang mengalami sakit yang sama. Tapi
inilah hidup. Kita tak selalu mendapatkan yang kita inginkan. Ini ujian bagi
keyakinan kita. Bersabar dan berprasangka baik adalah obat yang manjur untuk
kondisi kita.
Sekuat hati kuajak temanku yang sedang terluka ‘membuka mata’. Tentu dengan
kesadaran penuh bahwa kata-kata itu tak lebih dari ajakan untuk diri sendiri.
Di balik kata-kata ’aku ingin mengubur diri di sungai Padma’, Zia
sesungguhnya lebih tegar dan realistis daripada aku.
Sudah terjadi kiamat di sini, Aifa. Aku gagal
menikah dengan Ria dan duniaku telah menjadi suram.
Zia bicara laksana seorang pujangga. Benar kata Sacrotes, yang berhasil
dalam cinta akan bahagia, yang gagal akan mendadak menjadi pujangga.
Jangan berprasangka buruk. Siapa tahu gadis itu
memang pilihan Allah.
Bunuhlah aku untuk sehari saja, Aifa!
Zia semakin puitis saja. Dalam sedih, secuil tawa kecil tak tertahan.
Sebaiknya kamu jalan-jalan mencari udara segar,
Bondhu.
Kamu benar. Sebaiknya aku mengunjungi dadi84
di Rajshahi.
Ie bagus. Tapi kalau kamu ke sungai Padma hanya
untuk melihat sunset, bukan? Tidak untuk melakukan tindakan bunuh
diri yang bodoh itu, kan? Hehe .… Godaku.
Haha … tidak mungkin. Aku tak mungkin bunuh diri
karena alasan apa pun.
Baiklah. Keep in touch!
Ok baba85.
Bye, take care.
Bye, Zia. Take care,
Bondhu.
Tidur yang lama, mengubur diri di sungai Padma.
Sesungguhnya inginku pun sama dengan Zia. Tapi sebagai teman, tentu tak boleh
membuatnya bertambah bad mood dengan
menyeretnya bersedu sedan bersama meskipun nasib sama buruknya.
Buruk. Benarkah nasib ini buruk? Orang bijak
berkata, selain mengucapkan innalillahi
wa inna illaihi rojiun saat mendapat musibah, sebaiknya juga mengucapkan
hamdalah. Sebab dibalik semua kejadian pasti ada hikmah yang sangat berarti.
Bahkan yang kita anggap tidak baik, bisa jadi justru yang terbaik, tapi baru
disadari di kemudian hari. Kebijaksanaan semacam itu,
entah mengapa tak kumiliki. Atau belum sampai karena usia?
Hari-hariku terus berlanjut dengan renungan-renungan. Jiwaku yang bergolak
berangsur-angsur reda. Namun, duka yang pura-pura tak kurasakan itu tak
membiarkanku tetap sehat seperti biasa. Jiwaku yang lelah membuat ragaku pun
tumbang.
Kabar itu terdengar Pak Robby. Ia pun menyempatkan diri mengujungiku yang
menggigil melawan demam tinggi.
“Aifa, jangan memikirkan Ahmed lagi. Kamu tahu? Ahmed hanya seorang
laki-laki yang tak sedap dipandang mata sekarang ini. Tubuh jangkungnya itu
tinggal tulang, rambutnya telah banyak yang memutih dan wajahnya tampak tua.
Yang seperti itu tidak cocok untukmu.”
Aku diam, tak menjawab sedikit pun. Diceritakan kondisinya yang buruk
justru membuatku kembali mencintainya.
Pak Robby salah! Ia telah salah cara. Kalau ingin membuatku melupakan
Ahmed, seharusnya ia mengarang cerita yang memahitkan hati dengan mengatakan
kalau Ahmed juga menyukai gadis itu. Ia telah melupakanku dan menerima gadis
itu dengan hati terbuka. Yang seperti itu justru akan lebih mudah bagiku.
”Ahmed itu laki-laki bodoh, Aifa. Ia suka tak tega sama
siapa saja. Makanya ia mudah dimanfaatkan. Rasel yang paling nakal terhadap
Ahmed. Ia sering minta tolong Ahmed mengerjakan tugas-tugas
kuliah. Apalagi jika yang meminta ibunya. Itu bagai perintah yang harus
dipatuhi bagi Ahmed.”
Aku tetap dan terus diam. Mungkin itu yang membuat Pak Robby melanjutkan
cerita tentang Ahmed.
”Ia sangat perhatian pada teman dan selalu bisa dimintai tolong. Sikapnya
itu sering menimbulkan salah sangka pada banyak gadis. Bahkan cewek yang
kusukai malah jatuh hati pada Ahmed, si kurir cintaku,” kata Pak Robby yang
ditingkahi dengan tawa kecil di akhir kalimat. Memang terdengar menggelikan,
tapi bibirku mahal tersenyum kali ini.
Pak Robby semakin bersemangat mencekokiku dengan kisah tentang Ahmed yang
sedikit demi sedikit akhirnya membuatku mengeluarkan tawa. Ada rasa kasihan,
mantan kekasih terindahku itu sering dijahili teman dan sahabatnya.
”Koko86 tahu masalah foto Febi di dompet Ahmed ....”
Belum juga kalimatku tuntas, Pak Robby yang tak mau lagi dipanggil ‘Pak’
dan minta dipanggil ’Koko’, segera memuntahkan tawa gelinya. Mata sipitnya tinggal segaris dan wajah putihnya memerah karena seisi
jiwanya tertawa. Cara ia tertawa telah menjelaskanku apa yang saat itu terjadi.
Sekali lagi, Ahmed kena dijahili kedua sahabatnya. Permintaan maaf Pak Robby
semakin memperjelas masalah. Merekalah yang menyelipkan foto itu sebelum Ahmed
pergi ke Indonesia.
”Makanya Ahmed lebih senang berteman dengan Ezry, sebab ia tidak pernah
jahil seperti kami, hahaha.”
”Jadi Ahmed lebih akrab dengan Ezry?”
”Tidaklah. Kami tidak membiarkan itu terjadi. Kami usil dan tak
membiarkannya lebih dekat orang lain. Dia seperti layang-layang yang kami tarik
dan ulur sesuai keadaan.”
Sambil tersenyum kecil, kutahan pintu hati yang didorong kuat oleh rasa
kasian pada Ahmed.
”Rasel itu seperti apa orangnya?” tanyaku mengalihkan perhatian.
”Ha, aku akan mengenalkan dia padamu. Kamu akan senang berteman dengannya,”
jawab Pak Robby senang dan bersemangat.
Benar saja. Setelah aku diperkenalkan dengan Rasel melalui yahoo
messenger dan telepon, hari-hariku mencerah. Sebagai teman, Rasel memberiku
perhatian yang lebih dari cukup. Ia bukan hanya mendengarkan curahan hati, tapi
juga banyak membuatku tersenyum dan tertawa dengan cerita-ceritanya.
Rasel juga mengajari bagaimana menyikapi hidupnambah satu jam ya yang kadang pahit dan
mengecewakan. Aku terpengaruh dengan pola pikirnya realistis dan konstruktif
tapi diiringi sikap yang banyak bergurau dan easy going. Aku merasa tertarik dengan kepribadiannya dan ingin
belajar mengikuti karena sudah akut terperangkap dalam duniaku yang jauh dari
sikap realistis. Mungkin itu salah satu yang membuatku cepat pulih.
Ketr. :
83. [Hd] Kadang bahagia kadang sedih
84. [Bg] Nenek dari pihak ayah (ibunya ayah)
85. [Bg] Terjemahan langsung : Baik, Ayah. Tapi
istilah itu tidak hanya diucapkan
pada
ayah tapi pada siapa saja yang memiliki hubungan dekat
86. [Ch] Kakak laki-laki
86. [Ch] Kakak laki-laki
No comments:
Post a Comment