Friday, December 13, 2013

Bab 13 : PENDUSTU


Dengan senyum dan mata berkaca-kaca, kubiarkan Riza berlalu. Tersenyum haru kusyukuri kisah dengan Riza yang berakhir tanpa permusuhan saat dering telepon mengetuk daun telinga.

“Tirta Gizitama, Pagi ...”  sapaku ramah.

“Bisa dengan Ibu Ila?” suara di seberang tak kalah ramah.

“Dari mana, Bu?”

“Wina, PT. Shorai.”

Mohon ditunggu.”

Segera kusambungkan telepon Ibu Wina ke extention Bu Ila. Saat menutup gagang telepon, bunyi dan layar hapeku memberitahu sebuah SMS masuk.

Hai, Fa. Kemon aso? Aku sudah tiba di Indonesia kemarin. Aku akan menikah di Bali tanggal 25. Kamu datang, kan? Lina akan mengatur penerbangan dan akomodasimu.

            Deg. Hatiku bagai dihancurkan dengan palu besi. Ah, Bali! Kenapa namanya memiliki kekuatan untuk memberi getar yang lara pada hati ini?
            Aku gak mungkin ke Bali. Pls 4give me, Bhai? Jawabku apa adanya. Pada Kiron aku memang selalu bisa bersikap apa adanya.

            Tidak. Aku tidak akan memaafkan kalau kamu tidak datang. Dan jangan memanggilku bhai untuk membujuk!!!

            Tiga tanda seru Kiron pakai untuk menunjukkan kesungguhan ucapannya. Segelintir demi segelintir rasa takut pada ancamannya datang menghampiri. Tapi jutaan gelintir rasa takut akan bersedih bila mengunjungi Bali telah lebih dulu mendekam di dada ini. Sejak lama.

            Kiron, aku takut jadi sedih teringat kenangan di Bali. Aku nggak akan kuat ke sana. Terlalu menyakitkan bagiku. Kuharap kamu maklum. Sekali lagi maafin aku, ya. Tlg mengerti, bujukku penuh harap Kiron bisa memahami kondisiku.

            Kamu akan ke sana. Ini bukan permintaan, tapi perintah. Bagaimana aku akan menikah tanpa kamu mendampingiku?? Coba pikirkan itu. Kiron berusaha membuka pikiranku.

            Maafkan aku, Kiron. Aku benar-benar nggak bisa. Kita ketemuan di Jakarta saja, ya. Maaf, aku mungkin teman dan adik yang durhaka. Tapi, aku benar-benar takut ke sana. Anyway, congrat to u. My regard to Kak Lina, jawabku berusaha lebih gigih membujuk.

            Jangan berbuat seperti ini pada seorang yang menganggapmu saudari. Kamu lupa, ya? Di sni aku tak punya siapa-siapa kecuali kamu. Bagaimana bisa kamu berbuat seperti itu padaku? Aku janji tak akan bicara denganmu kalau sampai kamu tidak datang!

            Ancaman Kiron semakin terasa serius. Kumasih ingin membujuk lebih gigih, tapi kata-kata Kiron yang mendayu membuat mata ini berembun. Hatiku mulai goyah.

            Baik, akan kupertimbangkan. Kusampaikan sebuah jawaban politis.
            Kamu akan mempertimbangkan sebuah perintah?? Tanya Kiron tak mau menerima.
            Kiron, aku mohon kamu mengerti. Tak mudah bagiku pergi ke Bali. Aku pun kembali bersemangat memberinya kilah.

            Itu artinya kamu tidak menganggapku Kakak. Ya sudah. Tidak apa-apa. Terserah kamu! Jawab Kiron tak ingin melanjutkan pembicaraan.

            Tunggu, Kiron. Bagaimana hasil penyelidikanmu? Kenapa tak pernah memberi kabar? tanyaku tanpa segan. Meskipun waktu telah lama pergi, bahkan sempat kualihkan damba pada Kak Dio, tapi rasa ingin tahu tentang Ahmed selalu selangit. Apalagi mengetahui isi hatinya tentang aku. Inilah sebabnya kusetujui ide Kiron untuk mencari tahu. Tapi sejak itu, tak pernah kudapat berita perkembangannya.

   Maaf, Aifa, aku memang tahu sesuatu tapi tak pernah sanggup menyampaikannya.

            Dunia sempat sejenak berhenti berputar menungguku pulih dari kejut. Kiron tahu sesuatu tapi tak tega mengatakannya?!

Kiron telah melanggar janji! Ia telah setuju untuk memberitahuku segala informasi yang ia dapat tapi nyatanya hanya di bibir. Apakah sesuatu itu, hingga ia harus tak tega menyampaikannya? Aku harus bertanya dan ia harus menjawab, sekarang juga!

            Tapi kali ini Kiron senang membuatku bergulat dengan resah menunggu balasan SMS-nya. Sejak bujuk rayu kulontarkan, ia tak juga menjawab keingintahuanku. Terpaksa kunikmati rasa sakit dipompa penasaran yang telah menggelembung begini besar.

       Baik, aku akan mengatakannya. Tapi berjanjilah untuk tidak akan menangis!
Kiron akhirnya menjawab. Rasa sakit karena penasaran hilang. Tapi berganti sakit karena kecemasan, bila akhirnya aku benar-benar sakit oleh kabar itu.

            Aku sudah siap dr dulu, Kiron, kau tahu itu, kataku semakin meyakinkannya. Padahal rasanya ingin pingsan saat Kiron tadi memberi isyarat, telah terjadi sesuatu yang akan menghancurkan hati.

            Sebenarnya, dia akan segera menikah dalam beberapa hari ini. Amma-nya telah memilih seorang gadis untuk menjadi istrinya dan domestic animal 50itu menyetujui. Sebaiknya kamu lupakan dia.

Ohh! Inikah arti diam Ahmed selama ini? Dan ternyata tak benar kutelah jatuh hati pada Kak Dio, sebab hatiku begini hancur oleh kabar ini. Kini aku maklum dengan dengan keputusan Kiron yang memilih bisu.

Ahmed Shafiqur Rahman ....

Cerita cinta kita hanya sebuah masa lalu yang tak akan menjadi masa depan. Musim cinta kita telah benar-benar usai. Expired.

You thr? Are you alright? SMS Kiron menyentak, membuyarkan lamunanku.
Don’t  worry. I am ok. Thks 4 ur help anyway. Jawabku berbohong. Tentu harus begitu. Inilah pertama kali kutak bisa berlaku apa adanya pada Kiron.

“Aifa? Kamu menangis??” tanya Pak Robby yang entah sejak kapan telah berada di belakangku.

“Eh, Pak Robby. Saya ....”

“Kamu ikut saya, ya? Panggil Santi untuk menggantikanmu.”

”Ee ....”

”Kamu mau ikut saya, kan?”

”Emm, Iya. Baik, Pak.”

Akhirnya kuiyakan juga permintaan sekaligus perintahnya. Segera kupanggil Santi untuk menggantikan tugasku sementara aku akan dibawa pergi entah ke mana oleh sahabat si teeta. Kurasa satu tempat yang nyaman untuk menguras airmataku.

Tapi taman di belakang rumah Pak Robby ini lebih dari nyaman. Kurasa ini tempat terbaik untuk bercengkerama dengan keluarga atau sahabat. Namun di tempat sejuk lagi asri ini, aku ada tak untuk bercengkerama. Aku disini untuk diiris-iris hatinya dengan bujuk rayu agar melupakan Ahmed yang sangat pahit.

”Ahmed paling suka tempat ini. Ia senang duduk sendiri sambil menghitungbintang. Dasar! Dia memang kurang kerjaan.” Dengan tawa gelinya, Pak Robby membuka percakapan sekaligus ingatanku. Aku pun ikut tertawa. Tawa geli bercampur berjuta perih.

Saya sedang duduk sendiri sambil melihat bintang.

Melalui SMS, Ahmed menjawab pertanyaan ’what are you doing’, yang juga kuajukan lewat SMS di awal Januari 2006, ketika cinta kami baru saja mekar indah. Bukan hanya sekali. Pada waktu yang sama di lain hari, aku mendapat jawaban yang sama atas  pertanyaan yang sama.

”Aifa, kamu baik-baik saja?” tanya Pak Robby mengembalikanku ke alam nyata.

”Oh. Iya, Pak ... saya baik-baik saja. Cuma lagi ingat si buddhu. Dia bilang senang melihat bintang.”

”Kamu tahu, Aifa? Dia seorang yang sangat baik pada teman, makanya dia kadang dimanfaatkan.”

”Dimanfaatkan? Siapa yang melakukan itu??”

”Kami. Aku dan Rasel.”

Aku menoleh. Melihat wajah merah Pak Robby sedang terkekeh dalam tawa yang tak disuarakan, bibirku terhasut untuk tersenyum. Segera kubertanya apa gerangan yang membuatnya begitu geli.

”Setiap malam minggu, aku biasanya menginap di tempat Ahmed dan Rasel. Kami bertiga suka lomba bangun paling siang. Tapi Ahmed selalu kalah.”

”Selalu kalah? Kenapa?”

”Karena dia tak tahan lapar. Makanya paling cepat bangun untuk memasak. Dan, kamu tahu? Kami baru bangun setelah ia selesai!”

Di antara derai tawa, Pak Robby menceritakan masalah Ahmed yang baginya sebuah lelucon. Aku hanya bisa tersenyum lebih lebar. Jarak hati membuatku tak mudah bersuara di depannya.

”Ahmed bisa masak, Pak? Dia tidak pernah cerita pada saya.”

”Bukan saja bisa, tapi pintar.”

Pujian Pak Robby pada masakan Ahmed segera membuka ruang cemburu pada yang beruntung telah mencicipi. Tapi tentu bukan Pak Robby maupun Rasel.

”Pak Robby kenal Jessy?” tanyaku mencari tahu tentang gadis yang karena dia hatiku pernah hangus terbakar.

”Tahu. Dia juga suka ngerjain Ahmed.” Pak Robby menjawab dengan dengan kata dan tawa berderai.

”Ngerjain gimana, Pak?”

”Dia itu penggemar kari buatan Ahmed. Ia sering minta dimasakin menu itu sama Ahmed.”

”Oh. Kenapa Ahmed mau disuruh-suruh?”

”Karena kalau tidak mau, kami ganggu terus.”

”Ganggu gimana?”

”Macam-macam. Kadang kami sembunyikan kacamatanya, kadang kami pergi tanpa dia. Dan kadang kami bongkar aibnya di depan teman-teman ....”

”Aib? Aib apa??”

”Tidak, tidak. Aku tidak bisa mengatakannya. Ia rahasia lelaki, hahaha ....”

Aku hanya diam di atas ranjau penasaran tapi tak mungkin mendesak karena tiada keberanian.

”Kami suka usil, tapi sebenarnya sayang dia.”

Pak Robby mengurangi keheningan kami dengan ungkapan hati yang kurasakan indah meskipun terdengar lebay. Andai belum tahu ia akan segera menikah, niscaya aku pun ingin mengatakan hal yang sama. Aku pun sangat menyayanginya!

”Dia akan menikah, bukan?”

Sekuat tenaga kuberanikan diri menanyakan hal menyakitkan itu. Pak Robby menoleh dan kulihat rona wajahnya berubah serius.

”Inilah hidup, Fa. Kabhi kushi kabhi ghum83. Kadang senang, kadang sedih. Kadang mendapatkan keinginan kita, kadang tidak. Bahkan, ada kalanya harus menjalani sesuatu yang berlawanan dengan hati.”

”Maksud Bapak, Ahmed tidak mencintai gadis itu?”

Amma-nya sakit, Fa. Beliau lemah secara mental. Kalau Ahmed tak patuh, beliau akan segera tambah parah. Ahmed tidak mau lagi membuat ibunya sakit seperti dulu.”

”Apa yang dulu ia lakukan?”

”Masuk penjara.”

”Masuk penjara?? Kenapa??!”

Kali ini penasaranku tak terkendali hingga berani memberi intonasi tajam pada Pak Robby yang masih kusegani.

”Membela pacar yang diganggu temannya.” Jawabnya enteng.

Rasa remuk di hatiku berlipat ganda. Aku telah salah menganggap. Dulu kupikir ia begitu mencintaiku. Tapi nyatanya tidak. Sebab ia tak tergerak hati memperjuangkan cinta kami. Dan baru saja diberitahu, aku tak begitu istimewa untuk dibela seperti mantannya.

Pelan dan lembut sebuah tangan terulur, menarikku bangkit dari keterpurukan rasa. Ah, Babu Shahid. Senyumnya menggumamkan permintaan untukku berpikir positif dan bersyukur atas kabar ini.

”Kapan dia akan menikah, Pak?” tanyaku mencoba membelah kebisuan kami.

”Maaf, Fa. Aku tak boleh mengatakan tanggalnya. Aku di sini mengemban amanah Ahmed untuk memberitahumu kalau dia akan menikah dengan gadis pilihan amma-nya. Dia tak berdaya atas kehendak amma-nya. Ia memohon pengertianmu dan meminta maaf atas semua kesalahan. Juga mendoakanmu, semoga mendapatkan pendamping hidup yang akan selalu membuatmu bahagia dan ia yakin kau akan mendapatkannya. Dia ingin kamu melupakannya.” Dengan lancar Pak Robby bicara. Entah butuh waktu berapa lama untuk berlatih.

”Ya, saya pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari dia,” jawabku lirih namun penuh dendam yang tak lirih.

”Aifa, ia ingin kamu menerima kenyataan ini. Selama ini, ia tak pernah menghubungimu karena ingin kamu melupakannya.”

Aku hanya mengangguk-angguk dalam airmata berlinang ketika SMS Kiron membuyarkan suasana duka di relung hati.

Hi, I’m very happy. Amma sudah mau bicara denganku.

Senang dan sedihku tambah rimbun. Juga cemburu. Senang mendengar kabar dari Kiron yang mungkin sebentar lagi akan mendapat restu amma-nya untuk bersanding hidup dengan kekasih pilihan. Tapi juga bersedih dan cemburu karena Ahmed tak memperjuangkan cinta kami seperti Kiron.

Andai bisa membenci, ingin sekali kumembenci amma Ahmed yang membuat cinta kami menjadi tak mungkin. Tapi mana bisa membenci seorang ibu yang hangat dan ramah padaku? Ah, Zia, Ria ... rasanya kuingin menangis bersama mereka. Tapi mana boleh melakukan hal yang akan membuat teman-temanku bertambah lemah. Semua ini harus kunikmati seorang diri.

“Kau akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari si Bodoh itu, Aifa. Yakinlah itu!”

“Iya, Pak. Pasti. Oh ya, bolehkah saya minta ijin pulang cepat hari ini?”

“Kamu sudah pulang cepat.” Jawab Pak Robby sambil tersenyum.

“Maksud saya, sekarang saya ingin pulang ke rumah. Saya ingin sendiri.”

“Tidak. Hari ini aku akan menjadi pelayan dan sopirmu. Aku tak akan membiarkan kamu bersedih dan menyepi karena sahabatku. Bagaimana kalau kita ke Dufan? Kamu bisa melampiaskan perasaan dengan berteriak keras di sana.”

“Terima kasih, Pak. Saya ingin tidur saja.”

“Tapi aku yakin kamu tak akan bisa tidur sesampainya di rumah.”

“Saya akan minum obat tidur.”

“Ini masih pagi, Fa. Masak kamu mau tidur? Gimana kalau nonton film saja?”

”Tapi film komedi ya, Pak?”

”Ide bagus,” sahut Pak Robby dengan senyum setelah memenangi debat singkat ini.

Melalui waktu yang sulit ditemani Pak Robby dan Jim Carey membuat kesedihanku berangsur-angsur lepas. Rasanya ringan bisa hidup secara realistis, melupakan yang sudah-sudah dan membiarkannya pergi dibawa angin. Betapa nyaman hidup tanpa mengharapkan sesuatu yang sulit digapai meskipun untuk itu harus rela menyimpan rasa hampa.

Hari-hari selanjutnya bergulir bersama Jim Carey dan acara komedi di televisi. Extravaganza utamanya. Di sela-sela itu, Kiron dan terkadang Kak Lina menghubungi. Tetapi tidak dengan Zia. Sudah berhari-hari Zia tidak meninggalkan offline message bahkan tak sekali pun membalas SMS dan email-ku. Perasaanku mengatakan hati Zia sedang dirundung suram. Ria benar, sesibuk apa pun, Zia pasti membalas SMS walau hanya untuk mengatakan ia sedang rapat, yang berarti tak boleh diganggu. Tapi, beberapa hari ini, Zia seolah hilang diculik monster.

Ini memang bukan yang pertama kali. Waktu itu, selama seminggu ia tak menghubungi dan tak mau dihubungi, yang ternyata sedang  bad mood karena hubungannya dengan Ria tak mendapat restu kakak tertua.

Zia, kemon aso, Bondhu? Is everything fine with you?

Tidak tahu apakah ia akan membalas. SMS ini hanya sebuah pemberitahuan bahwa aku sedang memikirkan dan mengkhawatirkannya.

Aku bad mood banget, Aifa. Ingin sekali berteriak dan mengubur diri di sungai Padma.

Tak kusangka Zia membalas, membuat rasa senang dan semangatku terpompa.

Apa yang terjadi Zia? Katakan padaku. Pintaku setengah memaksa. Entah ia merasakan atau tidak.

Ammu66 sudah mempersiapkan pernikahanku. Aku belum ingin menikah, Aifa. Apalagi dengan selain Ria. Keluh Zia kecewa.

Tundukkan hatimu, Zia. Mungkin ini sudah kehendak Allah.

Hati terasa sakit sendiri ketika saran untuk Zia melalui SMS itu kukirimkan. Aku tentu tahu itu tak mudah baginya.

Aku akan mati dalam kehendak Allah yang satu ini, Aifa. Kata Zia terasa besar benar kalutnya.

Zia! Kita memang tak boleh melawan orang tua ,terutama ibu. Orang tua adalah wakil Allah di dunia. Jadi ridho Allah tergantung ridho orang tua. Aku tahu kau paham soal itu,  Bondhu.

Rasanya ingin bunuh diri saja, kata Zia membuat nelangsaku bertambah dalam. Aku yakin kata-kata Zia itu hanya di bibir. Tapi cukup untuk memberitahu, ia sedang di puncak kecewa dan tak berdaya.

Zia, aku mengerti kesedihanmu. Tak ingatkah kamu, aku pun mengalami nasib yang sama? Percayalah, aku tahu benar betapa sakitnya bila tradisi perjodohan masuk ke dalam hubungan cinta yang telah terjalin. Kamu tidak sendiri, Zia. Ada aku di sini yang mengalami sakit yang sama. Tapi inilah hidup. Kita tak selalu mendapatkan yang kita inginkan. Ini ujian bagi keyakinan kita. Bersabar dan berprasangka baik adalah obat yang manjur untuk kondisi kita.

Sekuat hati kuajak temanku yang sedang terluka ‘membuka mata’. Tentu dengan kesadaran penuh bahwa kata-kata itu tak lebih dari ajakan untuk diri sendiri. Di balik kata-kata ’aku ingin mengubur diri di sungai Padma’, Zia sesungguhnya lebih tegar dan realistis daripada aku.

Sudah terjadi kiamat di sini, Aifa. Aku gagal menikah dengan Ria dan duniaku telah menjadi suram.

Zia bicara laksana seorang pujangga. Benar kata Sacrotes, yang berhasil dalam cinta akan bahagia, yang gagal akan mendadak menjadi pujangga.

Jangan berprasangka buruk. Siapa tahu gadis itu memang pilihan Allah.
Bunuhlah aku untuk sehari saja, Aifa! 

Zia semakin puitis saja. Dalam sedih, secuil tawa kecil tak tertahan.

Sebaiknya kamu jalan-jalan mencari udara segar, Bondhu.

Kamu benar. Sebaiknya aku mengunjungi dadi84 di Rajshahi.

Ie bagus. Tapi kalau kamu ke sungai Padma hanya untuk melihat sunset, bukan? Tidak untuk melakukan tindakan bunuh diri yang bodoh itu, kan? Hehe .… Godaku.

Haha … tidak mungkin. Aku tak mungkin bunuh diri karena alasan apa pun.

Baiklah. Keep in touch!

Ok baba85. Bye, take care.

Bye, Zia. Take care, Bondhu.

Tidur yang lama, mengubur diri di sungai Padma. Sesungguhnya inginku pun sama dengan Zia. Tapi sebagai teman, tentu tak boleh membuatnya bertambah bad mood dengan menyeretnya bersedu sedan bersama meskipun nasib sama buruknya.

Buruk. Benarkah nasib ini buruk? Orang bijak berkata, selain mengucapkan innalillahi wa inna illaihi rojiun saat mendapat musibah, sebaiknya juga mengucapkan hamdalah. Sebab dibalik semua kejadian pasti ada hikmah yang sangat berarti. Bahkan yang kita anggap tidak baik, bisa jadi justru yang terbaik, tapi baru disadari di kemudian hari. Kebijaksanaan semacam itu, entah mengapa tak kumiliki. Atau belum sampai karena usia?

Hari-hariku terus berlanjut dengan renungan-renungan. Jiwaku yang bergolak berangsur-angsur reda. Namun, duka yang pura-pura tak kurasakan itu tak membiarkanku tetap sehat seperti biasa. Jiwaku yang lelah membuat ragaku pun tumbang.

Kabar itu terdengar Pak Robby. Ia pun menyempatkan diri mengujungiku yang menggigil melawan demam tinggi.

“Aifa, jangan memikirkan Ahmed lagi. Kamu tahu? Ahmed hanya seorang laki-laki yang tak sedap dipandang mata sekarang ini. Tubuh jangkungnya itu tinggal tulang, rambutnya telah banyak yang memutih dan wajahnya tampak tua. Yang seperti itu tidak cocok untukmu.”

Aku diam, tak menjawab sedikit pun. Diceritakan kondisinya yang buruk justru membuatku kembali mencintainya.

Pak Robby salah! Ia telah salah cara. Kalau ingin membuatku melupakan Ahmed, seharusnya ia mengarang cerita yang memahitkan hati dengan mengatakan kalau Ahmed juga menyukai gadis itu. Ia telah melupakanku dan menerima gadis itu dengan hati terbuka. Yang seperti itu justru akan lebih mudah bagiku.

”Ahmed itu laki-laki bodoh, Aifa. Ia suka tak tega sama siapa saja. Makanya ia mudah dimanfaatkan. Rasel yang paling nakal terhadap Ahmed. Ia sering minta tolong Ahmed mengerjakan tugas-tugas kuliah. Apalagi jika yang meminta ibunya. Itu bagai perintah yang harus dipatuhi bagi Ahmed.”

Aku tetap dan terus diam. Mungkin itu yang membuat Pak Robby melanjutkan cerita tentang Ahmed.

”Ia sangat perhatian pada teman dan selalu bisa dimintai tolong. Sikapnya itu sering menimbulkan salah sangka pada banyak gadis. Bahkan cewek yang kusukai malah jatuh hati pada Ahmed, si kurir cintaku,” kata Pak Robby yang ditingkahi dengan tawa kecil di akhir kalimat. Memang terdengar menggelikan, tapi bibirku mahal tersenyum kali ini. 

Pak Robby semakin bersemangat mencekokiku dengan kisah tentang Ahmed yang sedikit demi sedikit akhirnya membuatku mengeluarkan tawa. Ada rasa kasihan, mantan kekasih terindahku itu sering dijahili teman dan sahabatnya.

Koko86 tahu masalah foto Febi di dompet Ahmed ....”

Belum juga kalimatku tuntas, Pak Robby yang tak mau lagi dipanggil ‘Pak’ dan minta dipanggil ’Koko’, segera memuntahkan tawa gelinya. Mata sipitnya tinggal segaris dan wajah putihnya memerah karena seisi jiwanya tertawa. Cara ia tertawa telah menjelaskanku apa yang saat itu terjadi. Sekali lagi, Ahmed kena dijahili kedua sahabatnya. Permintaan maaf Pak Robby semakin memperjelas masalah. Merekalah yang menyelipkan foto itu sebelum Ahmed pergi ke Indonesia.

”Makanya Ahmed lebih senang berteman dengan Ezry, sebab ia tidak pernah jahil seperti kami, hahaha.”

”Jadi Ahmed lebih akrab dengan Ezry?”

”Tidaklah. Kami tidak membiarkan itu terjadi. Kami usil dan tak membiarkannya lebih dekat orang lain. Dia seperti layang-layang yang kami tarik dan ulur sesuai keadaan.”

Sambil tersenyum kecil, kutahan pintu hati yang didorong kuat oleh rasa kasian pada Ahmed.

”Rasel itu seperti apa orangnya?” tanyaku mengalihkan perhatian.

”Ha, aku akan mengenalkan dia padamu. Kamu akan senang berteman dengannya,” jawab Pak Robby senang dan bersemangat.

Benar saja. Setelah aku diperkenalkan dengan Rasel melalui yahoo messenger dan telepon, hari-hariku mencerah. Sebagai teman, Rasel memberiku perhatian yang lebih dari cukup. Ia bukan hanya mendengarkan curahan hati, tapi juga banyak membuatku tersenyum dan tertawa dengan cerita-ceritanya.

Rasel juga mengajari bagaimana menyikapi hidupnambah satu jam ya yang kadang pahit dan mengecewakan. Aku terpengaruh dengan pola pikirnya realistis dan konstruktif tapi diiringi sikap yang banyak bergurau dan easy going. Aku merasa tertarik dengan kepribadiannya dan ingin belajar mengikuti karena sudah akut terperangkap dalam duniaku yang jauh dari sikap realistis. Mungkin itu salah satu yang membuatku cepat pulih.


Ketr. :

83. [Hd]    Kadang bahagia kadang sedih
84. [Bg]     Nenek dari pihak ayah (ibunya ayah)
85. [Bg]     Terjemahan langsung : Baik, Ayah. Tapi istilah itu tidak hanya diucapkan
pada ayah tapi pada siapa saja yang memiliki hubungan dekat
86. [Ch]     Kakak laki-laki 








No comments:

Post a Comment