24 November. Tanggal itu
meraung-raung bagai sirine mobil ambulans yang menuntutku segera mengambil
keputusan. Bersikap egois atau mengantarkan hati pada lara.
Sungguh kuingin sekali bersikap egois. Tapi setiap hatiku bersikeras untuk
melakukannya, segumpal rasa lara yang lain hadir lebih dari menghancurkan hati,
tapi juga menakuti-nakuti. Kiron akan membenciku selamanya.
Takut itu kerap mengganggu rasa damaiku. Bagaimana mempertanggung-jawabkan
kesengajaan yang akan merusak persahabatan dan persaudaraan yang baru kami
ikat. Betapa terkutuknya aku, menghilang dari momen penting dalam hidup
seseorang yang meskipun gagal tapi telah berusaha membantu mewujudkan harapan
kalbu. Aku pun mana mungkin tahan melihat telunjuk-telunjuk menuding sambil
mengataiku sebagai seorang teman yang egois.
Akhirnya, kuharus
mengantar hati ini pada lara. Lagipula, kalau kuat melihat
Bundaran Senayan, kenapa tak
berusaha percaya diri menantang Kuta? Terlebih telah tertutup harapan bagiku
dan Ahmed untuk bersatu. Setipis kulit ari pun, harapan itu telah tak ada.
Harusnya ini cukup
untukku kembali mengunjungi Bali dan tak ijinkan sedih mendera karena kenangan di Pulau Dewata.
untukku kembali mengunjungi Bali dan tak ijinkan sedih mendera karena kenangan di Pulau Dewata.
Masa lalu, semua
itu hanya masa lalu. Aku harus rela menerima kenyataan kalau cintaku dengan
Ahmed hanya sebuah masa lalu yang tak lulus menjadi masa depan. Jadi bukankah
sudah semestinya kutinggalkan? Sebab Allah menciptakan mata di depan agar
manusia selalu menatap ke muka87.
Aku memang harus
membuang kenangan, sisa-sisa rindu dan harapan pada Ahmed yang telah lenyap dilahap atmosfir Bangladesh. Atau mungkin, hanyut
ditelan tenangnya sungai Padma. Apalagi, ia akan segera bersanding dengan gadis lain.
Cepat atau lambat Ahmed akan menerima dan mencintai istrinya, lalu aku pun
tersingkir ke pinggir.
Hanya saja, kebetulan ini kembali membuatku ditikam ingatan akan dia dan
segala tentangnya. Entah mengapa aku harus ke Bali setiap tanggal ini.
24 November 2006, aku ke Bali bersama
Ahmed yang saaat itu menjadi makhluk tersayang di hati. Namun 24 November 2008 ini, aku pergi tanpa siapa pun. Kini, di ruang tunggu
terminal 1A gate 4 ini, aku hanya seorang diri menunggu pesawat ke Bali. Tiada siapa pun
bersamaku. Kecuali bayang-bayang masa lalu yang
timbul-tenggelam.
Tiada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan
Allah.
Obat penenang itu selalu kuucap manakala hati mulai berdesir nyeri. Nyeri
yang timbul saat rasa kehilangan kembali bergelayut mesra.
Dalam desir itu ada ketidakmengertian, mengapa bagi Allah Ahmed bukan yang
terbaik untukku. Bila Allah tak memberiku jawaban, ketidakmengertian ini akan
menjadi kerikil dalam hidupku.
Ah, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab ... mengapa tak pernah mampu
kumengabaikannya.
Dari dalam gua lamunan, sayup terdengar Ruang Cahaya yang mendekat. Lamunan
yang khusyuk pelan terurai lalu hilang saat mataku melonjak senang mendapati
sebuah pemberitahuan: Kak Dio is calling.
Bagai warna papan
catur yang kontras, hatiku pun demikian. Hitam yang kelam tunduk oleh putih
bercahaya. Dengan warna itu kujawab sapa Kak Dio.
”Ya, Kak?”
“Kamu ada di mana, Aifa?”
“Di bandara, Kak”
“Bandara? Mau ke mana?”
“Ke Bali.”
“Bali??”
“Ya, Kak. Temanku akan menikah di Bali dan ia mengundangku.”
“Oh, begitu. Kamu sama siapa?”
“Sendiri, Kak.” Jawabku mulai kecil hati.
“Oh. Kapan nikahnya?”
“Besok.”
“Besok? Mau Kakak
temani? Kamu pasti nggak nyaman pergi ke pesta sendirian.”
“Ya, begitulah
kira-kira. Tapi, masalahnya sebentar lagi aku dah akan terbang.”
“Nggak papa. Kamu
tunggu Kakak di Bali. Nanti Kakak menginap
di hotel yang sama. Kamu akan menginap di hotel apa?”
“Nggak tahu, Kak. Semua sudah diurus sama Kak Lina. Aku hanya datang membawa badan. Nanti kalau aku sudah sampai di sana, segera kukasih tahu.”
“Oke.”
“Arigatoo. Kalau ada
Kakak, aku nggak mungkin sedih,” kataku mulai bersemangat.
“Kakak tahu.”
Kak Dio pun
menjawab dengan tersenyum. Aku dapat merasakannya dari sini.
“Kenapa sih Kakak
melakukan ini?”
Benih-benih
keberanian bersemi karenanya. Keberanian mengajukan sebuah tanya yang entah
akan menghasilkan kesan apa di benaknya.
Pertanyaan ’norak’
itu terlantun demi mencari sebuah petunjuk, hubungan seperti apa yang ingin
dijalin Kak Dio denganku? Apakah sama dengan harapanku? Mengisi hati ini
dan menggantikan posisi Ahmed di galeri cinta?
”Lho ... kenapa kamu bertanya begitu? Kita ini kan sepasang sahabat dan adik-kakak yang harus saling mendukung? Kakak merasa malu dipanggil
kakak, kalau tidak melakukan apa yang bisa seorang kakak lakukan.”
Hatiku yang sempat
berwarna putih mengkilat, kini menjadi abu-abu yang muram. Sepasang sahabat dan adik-kakak?
Kulafalkan arti
kata Kak Dio dalam hati hampa. Jalinan dengan Riza telah terputus lalu ia
kubiarkan pergi. Kak Dio hanya memilihku sebagai
adik, dan Ahmed ...? Ia akan menikahi gadis pilihan amma-nya dalam beberapa hari ke depan! Habislah aku di sini. Sendiri,
tak punya siapa-siapa. Benarlah lelucon itu. Dunia kejam. Lebih kejam dari ibu
tiri.
“Fa, kamu kenapa?
Kok diam? Ada yang salah dengan ucapan Kakak?” tanya Kak Dio membangunkanku
dari sedu-sedan.
“Oh, tidak, Kak.
Sampai ketemu di Bali.”
Dengan agak gelagapan
kujawab Kak Dio. Sejenak aku lupa masih on
the phone dengannya.
“Oke. Hati-hati, ya.”
“Baik. Aku tunggu di Bali,
Kak.”
“Oke. Ja ne88.”
“Bai bai89.”
Kututup telepon Kak Dio dengan jari dan hati lemas. Ucapan Kak Dio sesaat
lalu yang hanya menganggapku sebagai sahabat dan adik membuat perasaanku seketika dikuasai
hampa. Aku benar-benar seorang
diri sekarang. Jiwa dan raga.
Kenapa mesti sedih? Dari sahabat kan bisa jadi cinta?
Sebuah godaan nakal
menyeruak. Tapi pikiran itu memang benar. Biar saja sekarang masih
bersahabat. Bukankah orang
bilang ala cinta karena biasa? Bahkan ada yang mengatakan
persahabatan antara lelaki dan perempuan itu tidak ada, karena selalu ada cinta
di antara mereka. Aku harus optimis. Karena Kak Dio sudah ada
dalam jangkauan. Aku hanya perlu menunggu waktu dan mencari cara meraihnya.
Bunga-bunga optimisme itu melukis hatiku dengan tekun. Hingga aku landing di Bandara International Ngurah
Rai, perasaan ini masih memimpin. Kurasa wajahku berseri-seri dan mata pun
berbintang-bintang sejak ditemani semangat dan harapan baru sebagai bodyguard-ku.
”Aifa!”
Terdengar suara Kiron memanggil. Aku menoleh ke arah datangnya suara.
Ingatanku pun tak mau kalah. Ia menyembulkan wajah penjemput dari Hotel Restu
yang sedang berdiri di depan pintu-keluar sambil menunjukkan kertas bertuliskan
namaku dan nama Ahmed. Bola mata penjemput yang lama berputar-putar, segera
berhenti ketika aku dan Ahmed mendekati seraya tersenyum.
Ah, Ahmed ... Lagi-lagi tentang Ahmed!
Kuhela nafas panjang untuk redakan desir nyeri merambat naik.
Cinta, seperti inikah
pedihnya melepaskan cinta? Beginikah sulitnya melakukan sesuatu yang melawan hati?
”Aifa! Kami di sini,” seru Kiron sekali lagi.
Kudekati Kiron dan Kak Lina dengan membawa segurat senyum yang kuatur cerah.
”Katakan dengan
jujur, Aifa. Aku dan Lina serasi tidak?” sambil merangkul calon istrinya, Kiron
bertanya dalam sinar mata bahagia yang melimpah ruah. Aku gagap karenanya. Mana
mungkin jujur mengatakan apa adanya? Tapi kalau pun tak jujur, mana mungkin mereka tak
menyadari. Meskipun cantik dan rapi, Kak Lina tetap terlihat lebih tua dari
Kiron yang hitam manis dan baru seperempat abad.
“Kok diam
mematung? Kami nggak cocok, ya?” tanya Kiron dengan raut sedih.
“Tidak, bukan
begitu. Aku iri dengan kalian, makanya jadi speechless.”
“Iri karena kamu
tak punya pasangan, ya? Tenang Aifa, akan kami
carikan pasangan terbaik buat kamu. Ayo, sekarang ke mobil,”
ajak Kak Lina yang kujawab dengan senyum
yang terasa getir. Namun entah di pandangan Kiron dan Kak Lina.
Pasangan terbaik? Terbaik menurut siapa? Bagiku pasangan
terbaik itu adalah Ahmed. Tapi dia ... akan menjadi pasangan orang lain!
”Kak Lina bawa
mobil sendiri?” tanyaku membuka percakapan tak penting, demi membuat pikiran
dan hati kosong dari apa pun yang terkait dengan Ahmed.
”Mobil sewa. Temani
kami ke Kuta dulu, ya? Kami mau cek persiapan resepsi pernikahan kami,” ajak
Kak Lina dengan entengnya.
”Kuta??”
“Please, Aifa,” pinta Kiron seolah tahu keberatanku.
“Kenapa nggak
kalian berdua saja?”
“Kami berdua saja?
Kami perlu minta pendapatmu, Aifa!” jawa Kak Lina begitu pintar mencari alasan.
”Baiklah,” ucap
bibirku. Sedang hatiku masih sungguh berat dan tak ingin ke sana. Untung
logikaku segera siuman dan mengingatkan untuk pergi tanpa terpaksa karena ini
sebuah tantangan. Tantangan menaklukkan Kuta, yang sebenarnya menaklukkan
ketakutanku sendiri. Ketakutan yang kubuat sendiri menurut pendapat Anya.
Kiron dan Kak Lina
tersenyum senang. Senyumku pun mekar karena reaksi ceria mereka, sepasang
kekasih beda usia. Senyum yang aku sendiri tak tahu untuk apa. Lalu aku dibawa
melaju. Dalam dua puluh menit, kami pun tiba di Pantai
Kuta.
Pantai Kuta. Saat mata menatap hamparan pantai yang biru, tak kusangka bayang-bayang masa
lalu kami kembali dibuka oleh
geliat ombaknya. Gulungan demi gulungan
memunculkan aku, Ahmed dan kisah lalu kami yang nano-nano rasanya. Satu persatu
kenangan kami meloncat dari gulungan ombak dan dengan gagah berdiri di pelupuk
mata. Sungguh aku tak mengundangnya,
tapi keinginan mereka hadir tak terkendali. Mereka sungguh
menyukaiku seperti sukanya penggemar pada idolanya.
Adalah 26 November 2006, dua tahun yang lalu. Sebelum pulang ke Jakarta, sambil minum jus, aku dan Ahmed menghabiskan waktu di Kuta. Menunggu sunset, sekaligus menunggu penerbangan.
”Ayo, Aifa!” Kak Lina mengajakku mengikuti langkahnya. Entah akan dibawa ke
mana, aku hanya turut dan pasrah, tak ingin lagi bicara dan banyak bertanya.
Karena pikiranku sibuk menjamu datangnya masa lalu yang lagi-lagi mampir.
Kala itu, seiring mentari turun ke peraduan, kulirik setangkai kamboja
putih di tangan Ahmed. Dengan tersenyum manis dan sedikit malu-malu, Ahmed mencium bunga
itu lalu menyelipkannya di telingaku.
Ahmed menatap sang mentari sambil
tersenyum memekarkan bahagia. Aku pun bahagia menatap
senyum ’mentari’ku yang kukenali sebagai senyum paling jujur yang pernah terlukis dari bibirnya.
Kaca-kaca di mata ada karena munculnya airmata. Aku mendongak agar
si airmata tak jatuh melelehi pipi.
Bayang-bayang Ahmed begitu saja menyusup ke dalam hati hingga pilu sangat saat
menyebut namanya. Apalagi mengingat kenangan bersamanya. Sungguh, bila dapat
menghentikan waktu, aku ingin membeku bersamanya di bawah sunset saat itu.
Entah mengapa
kuharus terlarut dalam duka kehilangan cintanya. Andai Kak Dio di sini, pasti
akan ia halau kepedihan ini. Dan, Ahmed ... andai pemuda itu tak pernah meninggalkanku, maka tak kan pernah ada kepedihan ini.
Kenapa Ahmed memilih menjadi anak yang baik, tapi tak sekaligus menjadi
kekasih yang murah hati? Apakah cinta
hanya untuk sekedar dirasakan manisnya saat bertunas dan harus dikecap pahitnya
saat gugur?
Kaca-kaca di mataku kembali berkunjung. Aku pun kembali mendongak dan
mengerjapkan mata saat Kak Lina menunjuk suatu tempat dan berkata pada Kiron, “Over there, Honey.”
Langkahku terhenti. Itu adalah tempat yang kukenal dengan baik! Tempat di mana dulu ....
“Ee ... Kak Lina, Kiron, boleh aku berjalan-jalan sendirian? Nanti akan
kususul kalian.”
“Hmmm ... iya, deh. Tapi, cepat ya? Sebelum magrib kita harus sudah sampai
di hotel,” kata Kak Lina tampak penuh pengertian. Kuberi ia anggukan tanda
mengerti.
Mereka pun kutinggalkan. Kurasakan kehendak mereka agar kutak memisahkan
diri. Tapi ... hamparan pasir yang dua tahun lalu kugelari kain untukku dan
Ahmed duduk, mengancam akan menumpahkan airmataku lagi. Karenanya kupilih
pergi, turun ke bibir pantai yang basah oleh hempasan ombak dengan bertelanjang
kaki.
Teras dingin pada awalnya, segar sungguh setelahnya. Itu yang dirasa
telapak kaki. Tapi tidak dengan hatiku. Ia tetap
merasa dingin karena duka yang kembali meraja. Sambil membisikkan sebuah puisi
lara yang indah, kunikmati duka ditemani airmata yang setitik demi setitik
mengalir.
Gambar ini; kau dan aku
Berjalan menyusuri pantai putih
Bergandeng tangan dalam hembusan angin
Hanya ada kita berdua
Semua mimpi ini hanya fantasi
Semu, tak nyata
Dan kini kumenangis karenamu
Hampir mati karenamu90
Jika cinta telah purna, tinggallah kenangan yang terbingkai dalam ingatan.
Keindahan yang mengkristal dan lekat dalam pikiran berangsur-angsur menjadi
kepahitan. Kepahitan yang memaksa airmata tumpah demi mengurangi kerasnya duka
menggumpal di dada.
Airmata yang terus berjalan cepat, tak ada kehendakku menghapusnya. Toh ia akan datang lagi seberapa pun
sering kumenyingkirkannya. Kubiarkan ia mengawal napak tilasku yang lara sore
ini. Mungkin airmata memang sahabat karib si hati patah yang harus selalu ada
saat rasa hancur itu datang berkunjung.
Lara yang nikmat. Entah kenangan indah itu yang nikmat diingat atau lara
itu sendiri memang rasanya nikmat. Atau mungkin cinta sesuatu nikmat, sungguh
pun lara terhujam pada kisah akhirnya.
Cinta. Ada yang mengatakan cinta tak diketahui kapan datangnya, tapi
perginya meninggalkan bekas. Kekecewaan, kepahitan, kepedihan, pilu dan segala
rasa tak menyenangkan lainnya bergabung, sempurnakan luka hati yang menganga
sebab perginya cinta.
Luka hati. Sempurnanya luka hati ini. Di tempat yang penuh kenangan ini aku
dikejar lara yang selalu tergila-gila padaku. Sementara di sana, Ahmed sedang
menjemput hari bahagia bersama gadis lain yang akan menemani sisa hidupnya!
Bahagia. Ya, dia akan bahagia menjalani rumah tangga meskipun mungkin saja
sulit saat memulainya. Tapi setelah beberapa waktu, ia akan melupakanku dan
bahagia bersama istri dan anak-anaknya.
Aku tak akan ada lagi dalam hidupnya. Aku hanya akan menjadi bagian dari
masa lalu yang tertinggal. Ya, tertinggal.
Karena masa lalu adalah jalan hidup yang pernah dilewati dan kita ke sana hanya
untuk mengenang. Aku hanya untuk dikenang.
Cinta! Mengapa cinta hanya indah di bibir dan angan-angan, tapi tidak dalam
kenyataan? Kenyataannya, cinta jauh lebih pahit dari biji mahoni. Itu yang
kutahu.
Ahh!!! Aku lelah bercinta dengan rasa kehilangan yang pedih. Rasanya aku
terlalu lama bertahan dalam waktu yang dungu. Atau, mungkin aku yang terlalu
dungu, membiarkan pedih dengan rakus meyeruput airmataku.
Tapi bagaimana lepaskan segala rasa sesak ini?
Bagaimana ikhlas menjalani kehilangan yang belum bisa kuterima ini? Bagaimana
cara tunduk pada kehendak Allah yang satu ini? Aku tahu, Allah hanya memberikan
yang terbaik untuk hambanya, tapi aku masih belum mengerti, mengapa perpisahan
ini yang terbaik untuk kami.
“Hey Shapla?”
Shapla?
Langkahku
terhenti, pikiran pun demikian.
“Hey… Don’t you hear me?! Kamu tak dengar saya panggil-panggil kamu??”
suara itu terdengar lebih keras dan dekat. Sepertinya berasal dari belakangku. Tapi
perasaan aneh menyergap saat mulai kukenali suara itu.
Nyess.
Setetes embun yang
sejuk menitik di hati ketika sebuah tangan mendarat di atas pundakku. Sedetik.
Meskipun hanya sedetik, aku segera tahu siapa pemiliknya.
Itu adalah tangan
Ahmed! Pikiranku keras membantah. Tapi faktanya, cincin di jari tengah yang
sempat kulihat memastikan dengan mutlak, itu memang Ahmed.
Rasa penasaran yang
tak bisa ditoleransi membuatku serta-merta membalikkan badan. Tatap kami
beradu. Tapi kumasih sulit percaya pada kabar yang dibawa mataku.
“Ahmed ...?” dalam
lirih yang sempurna kusebut namanya dalam kalimat tanya. Bukan tak yakin dia
adalah Ahmed. Tapi tak mengerti, kenapa pemuda itu ada disini.
“Hai, Aifa. Senang jumpa lagi,” sapanya
ceria, mengingkari rona wajah dan sinar mata bersalah. Ia melukis senyum
bahagia seolah semua baik-baik saja. Berpura-pura tak melihat airmataku
membelah pipi.
Ketr.:
87.
Diucuapkan
Mamah Dedeh pada acara Mamah & Aa di Indosiar
88. [Jp] Baiklah, sampai nanti
89. [Jp] Sampai nanti
90. Terjemahan bebas dari lagu Painting
in My Mind, dinyanyikan dan
diciptakan Tommy Page
No comments:
Post a Comment