Thursday, April 3, 2014

Bab 14 : NAPAK TILAS



24 November. Tanggal itu meraung-raung bagai sirine mobil ambulans yang menuntutku segera mengambil keputusan. Bersikap egois atau mengantarkan hati pada lara.
Sungguh kuingin sekali bersikap egois. Tapi setiap hatiku bersikeras untuk melakukannya, segumpal rasa lara yang lain hadir lebih dari menghancurkan hati, tapi juga menakuti-nakuti. Kiron akan membenciku selamanya.
Takut itu kerap mengganggu rasa damaiku. Bagaimana mempertanggung-jawabkan kesengajaan yang akan merusak persahabatan dan persaudaraan yang baru kami ikat. Betapa terkutuknya aku, menghilang dari momen penting dalam hidup seseorang yang meskipun gagal tapi telah berusaha membantu mewujudkan harapan kalbu. Aku pun mana mungkin tahan melihat telunjuk-telunjuk menuding sambil mengataiku sebagai seorang teman yang egois.
Akhirnya, kuharus mengantar hati ini pada lara. Lagipula, kalau kuat melihat Bundaran Senayan, kenapa tak berusaha percaya diri menantang Kuta? Terlebih telah tertutup harapan bagiku dan Ahmed untuk bersatu. Setipis kulit ari pun, harapan itu telah tak ada. Harusnya ini cukup
untukku kembali mengunjungi Bali dan tak ijinkan sedih mendera karena kenangan di Pulau Dewata.
Masa lalu, semua itu hanya masa lalu. Aku harus rela menerima kenyataan kalau cintaku dengan Ahmed hanya sebuah masa lalu yang tak lulus menjadi masa depan. Jadi bukankah sudah semestinya kutinggalkan? Sebab Allah menciptakan mata di depan agar manusia selalu menatap ke muka87.
Aku memang harus membuang kenangan, sisa-sisa rindu dan harapan pada Ahmed yang telah lenyap dilahap atmosfir Bangladesh. Atau mungkin, hanyut ditelan tenangnya sungai Padma. Apalagi, ia akan segera bersanding dengan gadis lain. Cepat atau lambat Ahmed akan menerima dan mencintai istrinya, lalu aku pun tersingkir ke pinggir.
Hanya saja, kebetulan ini kembali membuatku ditikam ingatan akan dia dan segala tentangnya. Entah mengapa aku harus ke Bali setiap tanggal ini.
24 November 2006, aku ke Bali bersama Ahmed yang saaat itu menjadi makhluk tersayang di hati. Namun 24 November 2008 ini, aku pergi tanpa siapa pun.  Kini, di ruang tunggu terminal 1A gate 4 ini, aku hanya seorang diri menunggu pesawat ke Bali. Tiada siapa pun bersamaku. Kecuali bayang-bayang masa lalu yang timbul-tenggelam.
Tiada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah.
Obat penenang itu selalu kuucap manakala hati mulai berdesir nyeri. Nyeri yang timbul saat rasa kehilangan kembali bergelayut mesra.
Dalam desir itu ada ketidakmengertian, mengapa bagi Allah Ahmed bukan yang terbaik untukku. Bila Allah tak memberiku jawaban, ketidakmengertian ini akan menjadi kerikil dalam hidupku.
Ah, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab ... mengapa tak pernah mampu kumengabaikannya.
Dari dalam gua lamunan, sayup terdengar Ruang Cahaya yang mendekat. Lamunan yang khusyuk pelan terurai lalu hilang saat mataku melonjak senang mendapati sebuah pemberitahuan: Kak Dio is calling.
Bagai warna papan catur yang kontras, hatiku pun demikian. Hitam yang kelam tunduk oleh putih bercahaya. Dengan warna itu kujawab sapa Kak Dio.
”Ya, Kak?”
Kamu ada di mana, Aifa?”
“Di bandara, Kak”
“Bandara? Mau ke mana?”
“Ke Bali.”
Bali??”
“Ya, Kak. Temanku akan menikah di Bali dan ia mengundangku.”
Oh, begitu. Kamu sama siapa?”
Sendiri, Kak.” Jawabku mulai kecil hati.
“Oh. Kapan nikahnya?”
Besok.”
“Besok? Mau Kakak temani? Kamu pasti nggak nyaman pergi ke pesta sendirian.
“Ya, begitulah kira-kira. Tapi, masalahnya sebentar lagi aku dah akan terbang.”
“Nggak papa. Kamu tunggu Kakak di Bali. Nanti Kakak menginap di hotel yang sama. Kamu akan menginap di hotel apa?”
“Nggak tahu, Kak. Semua sudah diurus sama Kak Lina. Aku hanya datang membawa badan. Nanti kalau aku sudah sampai di sana, segera kukasih tahu.
“Oke.”
Arigatoo. Kalau ada Kakak, aku nggak mungkin sedih,” kataku mulai bersemangat.
Kakak tahu.”
Kak Dio pun menjawab dengan tersenyum. Aku dapat merasakannya dari sini.
“Kenapa sih Kakak melakukan ini?”
Benih-benih keberanian bersemi karenanya. Keberanian mengajukan sebuah tanya yang entah akan menghasilkan kesan apa di benaknya.
Pertanyaan ’norak’ itu terlantun demi mencari sebuah petunjuk, hubungan seperti apa yang ingin dijalin Kak Dio denganku? Apakah sama dengan harapanku? Mengisi hati ini dan menggantikan posisi Ahmed di galeri cinta?
”Lho ... kenapa kamu bertanya begitu? Kita ini kan sepasang sahabat dan adik-kakak yang harus saling mendukung? Kakak merasa malu dipanggil kakak, kalau tidak melakukan apa yang bisa seorang kakak lakukan.”
Hatiku yang sempat berwarna putih mengkilat, kini menjadi abu-abu yang muram. Sepasang sahabat dan adik-kakak?
Kulafalkan arti kata Kak Dio dalam hati hampa. Jalinan dengan Riza telah terputus lalu ia kubiarkan pergi. Kak Dio hanya memilihku sebagai adik, dan Ahmed ...? Ia akan menikahi gadis pilihan amma-nya dalam beberapa hari ke depan! Habislah aku di sini. Sendiri, tak punya siapa-siapa. Benarlah lelucon itu. Dunia kejam. Lebih kejam dari ibu tiri.
“Fa, kamu kenapa? Kok diam? Ada yang salah dengan ucapan Kakak?” tanya Kak Dio membangunkanku dari sedu-sedan.
“Oh, tidak, Kak. Sampai ketemu di Bali.”
Dengan agak gelagapan kujawab Kak Dio. Sejenak aku lupa masih on the phone dengannya.
Oke. Hati-hati, ya.”
Baik. Aku tunggu di Bali, Kak.”
“Oke. Ja ne88.
Bai bai89.
Kututup telepon Kak Dio dengan jari dan hati lemas. Ucapan Kak Dio sesaat lalu yang hanya menganggapku sebagai sahabat dan adik membuat perasaanku seketika dikuasai hampa. Aku benar-benar seorang diri sekarang. Jiwa dan raga.
Kenapa mesti sedih? Dari sahabat kan bisa jadi cinta?
Sebuah godaan nakal menyeruak. Tapi pikiran itu memang benar. Biar saja sekarang masih bersahabat. Bukankah orang bilang ala cinta karena biasa? Bahkan ada yang mengatakan persahabatan antara lelaki dan perempuan itu tidak ada, karena selalu ada cinta di antara mereka. Aku harus optimis. Karena Kak Dio sudah ada dalam jangkauan. Aku hanya perlu menunggu waktu dan mencari cara meraihnya.
Bunga-bunga optimisme itu melukis hatiku dengan tekun. Hingga aku landing di Bandara International Ngurah Rai, perasaan ini masih memimpin. Kurasa wajahku berseri-seri dan mata pun berbintang-bintang sejak ditemani semangat dan harapan baru sebagai bodyguard-ku.
”Aifa!”
Terdengar suara Kiron memanggil. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Ingatanku pun tak mau kalah. Ia menyembulkan wajah penjemput dari Hotel Restu yang sedang berdiri di depan pintu-keluar sambil menunjukkan kertas bertuliskan namaku dan nama Ahmed. Bola mata penjemput yang lama berputar-putar, segera berhenti ketika aku dan Ahmed mendekati seraya tersenyum.
Ah, Ahmed ... Lagi-lagi tentang Ahmed!
Kuhela nafas panjang untuk redakan desir nyeri merambat naik.
Cinta, seperti inikah pedihnya melepaskan cinta? Beginikah sulitnya melakukan sesuatu yang melawan hati?
”Aifa! Kami di sini,” seru Kiron sekali lagi.
Kudekati Kiron dan Kak Lina dengan membawa segurat senyum yang kuatur cerah.
”Katakan dengan jujur, Aifa. Aku dan Lina serasi tidak?” sambil merangkul calon istrinya, Kiron bertanya dalam sinar mata bahagia yang melimpah ruah. Aku gagap karenanya. Mana mungkin jujur mengatakan apa adanya? Tapi kalau pun tak jujur, mana mungkin mereka tak menyadari. Meskipun cantik dan rapi, Kak Lina tetap terlihat lebih tua dari Kiron yang hitam manis dan baru seperempat abad.
“Kok diam mematung? Kami nggak cocok, ya?” tanya Kiron dengan raut sedih.
“Tidak, bukan begitu. Aku iri dengan kalian, makanya jadi speechless.”
“Iri karena kamu tak punya pasangan, ya? Tenang Aifa, akan kami carikan pasangan terbaik buat kamu. Ayo, sekarang ke mobil,” ajak Kak Lina yang kujawab dengan senyum  yang terasa getir. Namun entah di pandangan Kiron dan Kak Lina.
Pasangan terbaik? Terbaik menurut siapa? Bagiku pasangan terbaik itu adalah Ahmed. Tapi dia ... akan menjadi pasangan orang lain!
”Kak Lina bawa mobil sendiri?” tanyaku membuka percakapan tak penting, demi membuat pikiran dan hati kosong dari apa pun yang terkait dengan Ahmed.
”Mobil sewa. Temani kami ke Kuta dulu, ya? Kami mau cek persiapan resepsi pernikahan kami,” ajak Kak Lina dengan entengnya.
Kuta??”
Please, Aifa,” pinta Kiron seolah tahu keberatanku.
“Kenapa nggak kalian berdua saja?”
“Kami berdua saja? Kami perlu minta pendapatmu, Aifa!” jawa Kak Lina begitu pintar mencari alasan.
”Baiklah,” ucap bibirku. Sedang hatiku masih sungguh berat dan tak ingin ke sana. Untung logikaku segera siuman dan mengingatkan untuk pergi tanpa terpaksa karena ini sebuah tantangan. Tantangan menaklukkan Kuta, yang sebenarnya menaklukkan ketakutanku sendiri. Ketakutan yang kubuat sendiri menurut pendapat Anya.
Kiron dan Kak Lina tersenyum senang. Senyumku pun mekar karena reaksi ceria mereka, sepasang kekasih beda usia. Senyum yang aku sendiri tak tahu untuk apa. Lalu aku dibawa melaju. Dalam dua puluh menit, kami pun tiba di Pantai Kuta.
Pantai Kuta. Saat mata menatap hamparan pantai yang biru, tak kusangka bayang-bayang masa lalu kami kembali dibuka oleh geliat ombaknya. Gulungan demi gulungan memunculkan aku, Ahmed dan kisah lalu kami yang nano-nano rasanya. Satu persatu kenangan kami meloncat dari gulungan ombak dan dengan gagah berdiri di pelupuk mata. Sungguh aku tak mengundangnya, tapi keinginan mereka hadir tak terkendali. Mereka sungguh menyukaiku seperti sukanya penggemar pada idolanya.
Adalah 26 November 2006, dua tahun yang lalu. Sebelum pulang ke Jakarta, sambil minum jus, aku dan Ahmed menghabiskan waktu di Kuta. Menunggu sunset, sekaligus menunggu penerbangan.
”Ayo, Aifa!” Kak Lina mengajakku mengikuti langkahnya. Entah akan dibawa ke mana, aku hanya turut dan pasrah, tak ingin lagi bicara dan banyak bertanya. Karena pikiranku sibuk menjamu datangnya masa lalu yang lagi-lagi mampir.
Kala itu, seiring mentari turun ke peraduan, kulirik setangkai kamboja putih di tangan Ahmed. Dengan tersenyum manis dan sedikit malu-malu, Ahmed mencium bunga itu lalu menyelipkannya di telingaku.
Ahmed menatap sang mentari sambil tersenyum memekarkan bahagia. Aku pun bahagia menatap senyum ’mentari’ku yang kukenali sebagai senyum paling jujur yang pernah terlukis dari bibirnya.
Kaca-kaca di mata ada karena munculnya airmata. Aku mendongak agar si airmata  tak jatuh melelehi pipi. Bayang-bayang Ahmed begitu saja menyusup ke dalam hati hingga pilu sangat saat menyebut namanya. Apalagi mengingat kenangan bersamanya. Sungguh, bila dapat menghentikan waktu, aku ingin membeku bersamanya di bawah sunset saat itu.
Entah mengapa kuharus terlarut dalam duka kehilangan cintanya. Andai Kak Dio di sini, pasti akan ia halau kepedihan ini. Dan, Ahmed ... andai pemuda itu tak pernah meninggalkanku, maka tak kan pernah ada kepedihan ini.
Kenapa Ahmed memilih menjadi anak yang baik, tapi tak sekaligus menjadi kekasih yang murah hati?  Apakah cinta hanya untuk sekedar dirasakan manisnya saat bertunas dan harus dikecap pahitnya saat gugur?
Kaca-kaca di mataku kembali berkunjung. Aku pun kembali mendongak dan mengerjapkan mata saat Kak Lina menunjuk suatu tempat dan berkata pada Kiron, “Over there, Honey.”
Langkahku terhenti. Itu adalah tempat yang kukenal dengan baik! Tempat di mana dulu ....
“Ee ... Kak Lina, Kiron, boleh aku berjalan-jalan sendirian? Nanti akan kususul kalian.”
“Hmmm ... iya, deh. Tapi, cepat ya? Sebelum magrib kita harus sudah sampai di hotel,” kata Kak Lina tampak penuh pengertian. Kuberi ia anggukan tanda mengerti.
Mereka pun kutinggalkan. Kurasakan kehendak mereka agar kutak memisahkan diri. Tapi ... hamparan pasir yang dua tahun lalu kugelari kain untukku dan Ahmed duduk, mengancam akan menumpahkan airmataku lagi. Karenanya kupilih pergi, turun ke bibir pantai yang basah oleh hempasan ombak dengan bertelanjang kaki.
Teras dingin pada awalnya, segar sungguh setelahnya. Itu yang dirasa telapak kaki. Tapi tidak dengan hatiku. Ia tetap merasa dingin karena duka yang kembali meraja. Sambil membisikkan sebuah puisi lara yang indah, kunikmati duka ditemani airmata yang setitik demi setitik mengalir.

Gambar ini; kau dan aku
Berjalan menyusuri pantai putih
Bergandeng tangan dalam hembusan angin
Hanya ada kita berdua

Semua mimpi ini hanya fantasi
Semu, tak nyata
Dan kini kumenangis karenamu
Hampir mati karenamu90

Jika cinta telah purna, tinggallah kenangan yang terbingkai dalam ingatan. Keindahan yang mengkristal dan lekat dalam pikiran berangsur-angsur menjadi kepahitan. Kepahitan yang memaksa airmata tumpah demi mengurangi kerasnya duka menggumpal di dada.
Airmata yang terus berjalan cepat, tak ada kehendakku menghapusnya. Toh ia akan datang lagi seberapa pun sering kumenyingkirkannya. Kubiarkan ia mengawal napak tilasku yang lara sore ini. Mungkin airmata memang sahabat karib si hati patah yang harus selalu ada saat rasa hancur itu datang berkunjung.

Cinta. Ada yang mengatakan cinta tak diketahui kapan datangnya, tapi perginya meninggalkan bekas. Kekecewaan, kepahitan, kepedihan, pilu dan segala rasa tak menyenangkan lainnya bergabung, sempurnakan luka hati yang menganga sebab perginya cinta.
Luka hati. Sempurnanya luka hati ini. Di tempat yang penuh kenangan ini aku dikejar lara yang selalu tergila-gila padaku. Sementara di sana, Ahmed sedang menjemput hari bahagia bersama gadis lain yang akan menemani sisa hidupnya! Bahagia. Ya, dia akan bahagia menjalani rumah tangga meskipun mungkin saja sulit saat memulainya. Tapi setelah beberapa waktu, ia akan melupakanku dan bahagia bersama istri dan anak-anaknya.
Aku tak akan ada lagi dalam hidupnya. Aku hanya akan menjadi bagian dari masa lalu yang tertinggal. Ya, tertinggal. Karena masa lalu adalah jalan hidup yang pernah dilewati dan kita ke sana hanya untuk mengenang. Aku hanya untuk dikenang.
Cinta! Mengapa cinta hanya indah di bibir dan angan-angan, tapi tidak dalam kenyataan? Kenyataannya, cinta jauh lebih pahit dari biji mahoni. Itu yang kutahu.
Ahh!!! Aku lelah bercinta dengan rasa kehilangan yang pedih. Rasanya aku terlalu lama bertahan dalam waktu yang dungu. Atau, mungkin aku yang terlalu dungu, membiarkan pedih dengan rakus meyeruput airmataku.
Tapi bagaimana lepaskan segala rasa sesak ini? Bagaimana ikhlas menjalani kehilangan yang belum bisa kuterima ini? Bagaimana cara tunduk pada kehendak Allah yang satu ini? Aku tahu, Allah hanya memberikan yang terbaik untuk hambanya, tapi aku masih belum mengerti, mengapa perpisahan ini yang terbaik untuk kami.
            Hey Shapla?”
            Shapla?
            Langkahku terhenti, pikiran pun demikian.
            “Hey… Don’t you hear me?! Kamu tak dengar saya panggil-panggil kamu??” suara itu terdengar lebih keras dan dekat. Sepertinya berasal dari belakangku. Tapi perasaan aneh menyergap saat mulai kukenali suara itu.
Nyess.
Setetes embun yang sejuk menitik di hati ketika sebuah tangan mendarat di atas pundakku. Sedetik. Meskipun hanya sedetik, aku segera tahu siapa pemiliknya.
Itu adalah tangan Ahmed! Pikiranku keras membantah. Tapi faktanya, cincin di jari tengah yang sempat kulihat memastikan dengan mutlak, itu memang Ahmed.
Rasa penasaran yang tak bisa ditoleransi membuatku serta-merta membalikkan badan. Tatap kami beradu. Tapi kumasih sulit percaya pada kabar yang dibawa mataku.
“Ahmed ...?” dalam lirih yang sempurna kusebut namanya dalam kalimat tanya. Bukan tak yakin dia adalah Ahmed. Tapi tak mengerti, kenapa pemuda itu ada disini.
“Hai, Aifa. Senang jumpa lagi,” sapanya ceria, mengingkari rona wajah dan sinar mata bersalah. Ia melukis senyum bahagia seolah semua baik-baik saja. Berpura-pura tak melihat airmataku membelah pipi.

Ketr.:
             87.                      Diucuapkan Mamah Dedeh pada acara Mamah & Aa di Indosiar
88. [Jp]      Baiklah, sampai nanti
89. [Jp]      Sampai nanti
90.             Terjemahan bebas dari lagu Painting in My Mind, dinyanyikan dan
                  diciptakan Tommy Page

No comments:

Post a Comment