“Ahmed…??? Itukah kamu??” tanyaku mengemuka dalam airmata membanjir. Airmata yang entah
bermakna apa. Airmata yang membuatnya tertular suasana biru.
“Yes, it’s me. Sayalah yang sedang berdiri di hadapanmu,” jawabnya sambil berusaha keras untuk cool.
Kulihat usahanya yang gigih itu akhirnya berhasil. Kini senyum normal berusaha
ia pamerkan, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
“Apa yang kaulakukan di sini? Kenapa berada di sini?” tanyaku menggebu. Begitu tuntas kumenghapus airmataku. Sejuta penasaran menyerang, dan aku
tak tahan untuk tak segera melepaskan pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, bukan
itu saja yang membuatku penasaran. Kedua tangannya yang sejak awal selalu
disembunyikan rapat-rapat di balik punggung
memiliki daya goda yang tak terbantahkan. Apa yang ia sembunyikan? Puluhan kali hatiku bertanya.
memiliki daya goda yang tak terbantahkan. Apa yang ia sembunyikan? Puluhan kali hatiku bertanya.
“Bagaimana saya ke
sini? Saya terpaksa jalan kaki, Janu,
karena tak ada uang. So, perlu waktu dua tahun untuk sampai di
sini.”
Sembari menyibak
tirai di bilik canda, Ahmed mengulurkan jawabannya. Bilik canda adalah bilik
yang hanya sesekali kami masuki kala itu, karena kami lebih mencintai bilik
romantis yang penuh dengan kata cinta.
“Jangan bercanda! Jawab yang benar, Ahmeed!” pintaku entah mengapa begitu saja bersikap manja. Kata ’janu’
serta-merta mengeringkan airmata, menerbangkan pilu dan menghapus kecewa yang
telah lama mengendap. Aku begitu cepat menjadi cerah, seolah tak pernah terjadi
duka, seolah tak pernah terdera sakit. Semua itu hanya karena sepatah kata.
“Saya datang ke
Indonesia naik burung Garuda,” jawab Ahmed sambil beraksi layaknya seekor
burung yang sedang melayang. Aku tertawa kecil melihat ulahnya yang masih saja tak serius.
“Maksudku, apa yang
membuat kamu datang kemari, Buddhu ...??!”
“Your love,” Ahmed
cepat menyahut. Namun, betapa jawaban singkat itu sanggup membuatku tersentak sekaligus terkesan. Senyum manisnya seolah
memberi isyarat, “Saya datang karena
cintamu, Janu. Saya di sini untuk menjemputmu.”
“My love?”
“Cinta kamu yang
memanggil saya datang kemari.”
Ahmed
memperjelas ucapannya dalam bahasa Indonesia yang sempurna. Setelah sekian
lama, ia masih bisa berbahasa Indonesia. Apakah ini karena buku pelajaran
bahasa Indonesia dan kamus Bahasa Indonesia-Inggris-Indonesia yang kuberi saat perpisahan?
Atau dia masih rajin belajar bahasa Indonesia pada Ezry dan Pak Robby?
Entahlah. Pada siapa atau bagaimana ia belajar, bagiku ini hebat. Bahasa
Indonesianya jauh lebih baik.
Dala hati adakah chinta untup saya? Hahaha…
Suatu siang di hari minggu ketika aku sedang menyeterika, bunyi SMS
menghentikan kegiatan rutin akhir pekanku. Kubaca SMS dari yang terkasih dan
senyum senang pun terlukis karenanya. Hati bagai tersirami air bening yang
sangat sejuk.
Cinta dalam hatiku hanya untuk kamu, Sayang. Hey Janu, yang benar: dalam hati adakah cinta untuk saya, balasku disertai rasa hati yang sumringah91.
Terima kasih. Aku cinta kamu, karena kamu kantic
sekali, balas kekasihku yang isinya lagi-lagi membuatku
bahagia.
Terima kasih. Sayang, yang benar cantik, bukan
kantic, okey? AJCK, balasku semakin sumringah.
Rasa tak nyaman karena peluh yang menetes-netes tak menjadi masalah lagi.
Sudah lima menit, tapi balasan Ahmed belum datang. Missed calls pun kulancarkan. Itu cara kami menuntut jawaban yang
tak kunjung tiba padahal hati sudah sangat menantikannya. Bukan, bukan hanya
itu. Kadang kami hanya saling ber-missed
calls ria karena tak cukup pulsa untuk menelepon. Dengan dering itu kami
mengirimkan isi hati. Indahnya seni berkomunikasi kami. Saat itu.
Apa sih AJCK? Akhirnya Ahmed
menyerahkan diri untuk kuejek.
Betapa buddhu-nya kamu, Sayang. Ketika kamu bilang
ATV, aku segera tahu itu singkatan dari Ami Tomake Valobashi, tapi kenapa kamu
tidak segera tahu AJCK?
Aha, I got it. AJCK: Aku Juga Cinta Kamu. Ok Honey, anyway I got to go to
the lab. Aku juga cintaaa banget sama kamu. AJCBSK, haha…
Aku tersenyum
bahagia dalam peluh menetes-netes. Betapa indah masa-masa kami sedang jatuh
cinta. Setelah sempat hilang, sekarang ia di sini untuk kembali. Hanya saja
hatiku masih bertanya-tanya, benarkah ia ada untuk merajut kembali keindahan
masa itu?
“Aifa, saya berkata benar. Saya di sini karenamu. Saya telah kembali, Janu. Saya kembali untukmu. Karena
cintamu memanggil-manggil hati saya selalu.”
Akhirnya, kuhanya bisa diam mematung dan
mengeluh! Kalau tahu akan begini akhirnya, kupasti tak perlu menguras seluruh
airmata rindu dendam yang pahit dan tak berdaya. Aku tak perlu cinta dari pria lain selama masa tunggu
itu. Tak juga cinta Kak Dio.
“Tapi Ahmed, tapi
mengapa selama ini kamu diam seperti Patung Pemuda Membangun?”
“Saya jawab nanti
ya. Karena saya ada kejutan besar
untukmu.”
“Kejutan besar??”
“Ya,” kata Ahmed sambil menatapku puas entah karena sebab apa.
“Hei, kenapa wajah kamu cemas seperti ini? Ini surprise yang bagus,
Honey.
Jangan cemas begitu, okey?” kata
Ahmed membendung cemasku. Cemas yang begitu saja muncul saat kata big
surprise keluar dari bibirnya. Sejak mendengar kabar Ahmed akan menikah, kata
kejutan segera menjadi hal yang menakutkan.
”Aku benci
kejutan.” Dengan mata penuh dendam ku-smash Ahmed dengan keras.
”Ami dukkhito. Itu
ide Rasel. Tapi aku menyesal telah menyetujuinya.”
“Kenapa kamu
bertindak dustu? Mengarang cerita kamu akan menikah dengan gadis pilihan amma?!” protesku yang masih begitu sakit dilanda
rasa penasaran akan ulah tengilnya.
“Saya hanya ingin tahu tanpa bertanya.”
”Ingin tahu apa?”
”Tentu saja ingin
tahu isi hatimu, Buddhu. Apakah masih mencintaiku setelah kita berpisah
dan menjalani hidup masing-masing.”
”Sudah kautemukan
jawabannya?!”
”Sudah,” si
Pendustu menjawab sambil tersenyum puas.
”Bagus! Tapi aku
belum mendapat jawaban atas pertanyaanku. Kenapa kau membisu seperti patung
selama ini?”
“Saya kasih tahu
nanti, Nyonya Rahman. Sabar ya?” jawab Ahmed yang juga tak mau mengalah.
“Apa kamu bilang? Nyonya Rahman? Apa maksud kamu?” tanyaku
kebingungan oleh kata-kata yang terdengar aneh di telinga.
“Uugh. Baru dua tahun, kamu sudah lupa nama saya?!”
“No, of course not. Aku mana mungkin lupa
namamu.”
“Tapi kamu masih tak paham apa arti Nyonya Rahman??”
“Tidak. Tolong katakan dengan jelas!!”
“Ooohh, my Buddhu…”
Ahmed menghembuskan
nafas keras layaknya orang kesal tapi bibirnya berhias senyum.
“I
meant to say, will you be my
life-partner? Jadilah
Nyonya Ahmed Shafiqur Rahman, Aifa?” pintanya sambil merenangi mataku
dengan seksama. Aku terdiam dalam hati tersentuh melihatnya memintaku dengan
sungguh-sungguh. Tapi kumasih belum yakin dan masih ingin memastikan
sekali lagi.
“Menjadi teman hidupmu? Menjadi Nyonya Ahmed Shafiqur Rahman? Maksudnya?”
“Huuuh, kamu masih
belum paham?!”
Tampak terheran
sangat Ahmed melebarkan mata. Senyum herannya pun mekar satu kelopak demi satu
kelopak.
”Buddhu!”
Ejek Ahmed
pura-pura marah. Kuhanya terus mematung dengan sedikit senyum tersipu.
”Maksud saya,
menikahlah denganku. Ahmed-mu yang dustu.”
“Bagaimana
mungkin?”
“Tentu saja
mungkin.”
“Tapi…?”
“Kamulah yang saya
inginkan menjadi teman hidup saya.”
“Tapi bagaimana
dengan amma-mu? Bagaimana dengan
gadis pilihannya?”
“Kamu tak perlu
cemaskan masalah itu.”
“Aku harus.”
“Tidak, Janu. Tidak perlu.”
”Kenapa tidak
perlu?”
”Sebab amma setuju
kau menjadi menantunya.”
“Apa yang terjadi?
Apa yang sudah kamu lakukan sehingga amma-mu
menjadi setuju kau menikahiku?”
“Tak ada,”
jawabnya enteng sambil tersenyum misteri. Misteri namun terasa benar rasa
bersalahnya.
“Ahmed, kamu
harus bicara jujur. Apa yang telah kamu lakukan atau apa yang telah terjadi
sehingga amma-mu setuju. Lalu
bagaimana dengan perjodohan itu? Kalau kau tidak memberitahu sekarang, aku
janji tidak akan bicara lagi sama kamu!”
Ahmed menghela
nafas dalam-dalam, tampak sedang menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu.
Ancamanku berhasil rupanya.
“Ampuni saya,
Aifa, telah melakukan semua ini.”
“Apa? Apa yang
telah kamu lakukan??”
“Amma memang pernah tak setuju hubungan
kita, tapi sebenarnya tak serius. Amma
hanya ingin melihat keberanian dan kesungguhan saya.”
“Maksudmu?”
“Ketika saya
mengatakan ingin menikahi gadis Indonesia, amma
menolak dan berkata pada saya untuk tidak menambah masalah di rumah kami dengan
menikahi gadis asing yang pasti beda budaya dan kebiasaan. Lalu saya pun tak
pernah membicarakannya lagi.”
“Oke. Lalu?!”
“Tapi suatu saat, amma menemukan saya tidur berselimut
handuk pemberianmu. Setelah saya bangun dan mandi, amma memanggil untuk makan siang. Saat itu, amma bertanya apa arti kata made
in Indonesia. Saya menjawabnya dan amma
mulai sadar kalau handuk itu ada hubungannya dengan gadis Indonesia yang pernah
saya ajukan pada amma untuk saya nikahi. Lalu amma menjelaskan kalau penolakannya saat
itu tidak sungguh-sungguh. Amma hanya
ingin menguji kesungguhan saya. Sebab menikahi gadis asing pasti lebih ....”
“Dan kau tidak
menyadari hal itu? Kan aku sudah bilang, Ahmed, amma pasti setuju. Karena beliau sangat sayang sama kamu. Cinta itu
tidak bisa berbuat egois. Kamu tidak mau dengerin aku, sih. Jadinya seperti
ini,” sahutku memotong ucapannya. Ahmed menatapku tak berkedip, heran dengan
kemarahanku yang tak terkendali karena sengaja kulepaskan.
“Saya bukan saja
tak menyadari hal itu, Aifa. Saya justru merasa senang karena menemukan alasan
yang masuk akal untuk meninggalkanmu.”
“Ahmed…?! Kamu
jahat banget sama aku! Teganya kamu!”
Dengan raut yang
suram, aku menggelar rona wajah kesal. Kesal yang mengangkut berton-ton
kesedihan dalam teriakan yang menggema hingga ke dalam laut. Seketika ikan-ikan
berhenti berenang dan membawa matanya ke arahku. Dengan tatap mata, mereka
memintaku untuk tak bersuara keras di sore yang mulai sejuk.
“Janu, beribu-ribu maaf. Kamu tak
tahu situasiku saat itu.”
“Tentu saja aku tidak
tahu. Bagaimana aku bisa tahu?!” jawabku merendahkan suara. Tapi tetap belum
bisa mengecilkan rasa kecewa akan tindakannya.
”Hemm. Buddhu
sekali saya, ya? Bagaimana kamu tahu kalau saya tidak pernah menghubungi,”
ujarnya pelan sambil tersenyum bodoh.
“Selama dua tahun
hilang dan tak memberi kabar sedikit pun, pasti kamu berpikir saya telah begitu
saja melupakanmu,” lanjut Ahmed.
“Tentu. Dan itu
saat-saat yang berat bagiku.”
“Bagi saya juga, Janu. Dengar, bukan hanya orang yang
disakiti, yang menyakiti pun merasa sakit. Bahkan mungkin lebih sakit. Kau
harus tahu itu.”
“Saya tahu kamu
butuh banyak penjelasan. Kamu akan mendapatkan semuanya nanti. Tapi intinya, amma saya tak pernah berkata ’tidak’
pada cinta kita. Asal kamu muslim dan mau menjadi anggota keluarga yang baik di
rumah kami, amma akan setuju. Saat
ini, itu saja yang perlu kamu tahu.”
“Tapi, kebanyakan
orang tua Bangladesh tidak mengijinkan anaknya menikah dengan orang di luar
Bangladesh, bukan?”
“Tidak juga. Memang
ada sebagian yang masih konservatif seperti itu. Tidak mau repot menghadapi
masalah perbedaan, seperti bahasa, kebiasaan, adaptasi dan lain-lain. Tapi amma saya tak keberatan tentang hal itu.
Karena bisa saling belajar.”
“Lalu kenapa kamu
meninggalkan aku seperti itu, Teeta?”
“Dengar Aifa, saya
tak boleh membuat kamu menunggu lama. Waktu itu ada banyak masalah serius di keluarga saya. Saya juga
belum punya pekerjaan. Di Bangladesh sulit mendapat pekerjaan meskipun
berpendidikan tinggi kalau tidak punya koneksi. Dan, jangan sekali-kali kamu
memanggil saya ‘teeta’, okey?”
“Hei, kamu memang teeta. Dengar, Ahmed, alasan yang kau
ajukan itu alasan yang tidak bisa kuterima. Kenapa kau tak pernah mengerti
kalau aku ingin bersamamu dalam suka dan duka? Aku bisa menunggu, Ahmed.
Menunggu masalah dalam keluargamu selesai, menunggu kamu mendapat pekerjaan ….”
“Tapi saya tidak
boleh egois dengan menyeret kamu ke dalam masalah saya, Aifa. Saya juga
khawatir tak segera punya pekerjaan bagus dan uang yang cukup untuk membawamu
pulang ke negara saya. Saya sudah bukan orang kaya lagi. Tahukah kamu, saya
sering merasa takut tak bisa menyediakan makanan untukmu dan itu membuat saya
tak berdaya. Kamu juga harus mengerti perasaan laki-laki.”
“Perasaan yang
bagaimana?”
“Kami akan bahagia
bila bisa mencukupi kebutuhan anak-istri. Tapi merasa sangat terkutuk dan tak
berguna bila tidak.”
”Oh.”
”Kenapa ’oh’?”
”Hemh. Takut tidak
bisa memberi makan, katamu? Huh! Karena ketakutan ‘tak masuk akal’ itu kamu
tega menumpahkan airmataku. Membiarkan hari-hariku berperang dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menghabisi hati dan menguras airmata.”
”Aifa ... kamu
tak mengerti juga?”
”Tidak. Aku tak
mengerti mengapa kau menganggap beras lebih penting daripada hatiku. Mengapa
kau juga tidak mengerti perasaanku sebagai seorang perempuan yang rela dibawa
ke dalam semua kesusahan asal kau tulus mencintaiku dan setia? Sungguhkah kau
tak paham akan hal itu, Buddhu?”
“Sejak baba92 saya meninggal sepuluh tahun lalu,
perusahaan kami dikelola kakak saya, Kak Sharifa. Tapi 3~4 tahun terakhir, kondisi
perusahaan memburuk gara-gara tertipu. Satu peti kemas sutra terbaik telah kami
kirim ke Qatar, tapi kami tak pernah mendapat bayaran selain uang muka 30%. Lama-lama
kondisi perusahaan menjadi kritis karena cash-flow
yang tidak lancar. Tapi tetap saja kakak saya memaksa saya meneruskan
pendidikan setinggi-tingginya dengan memakai uang perusahaan. Hal itu bukan
tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, Aifa. Keluarga kami kemudian retak
karena saya.”
Ahmed mengalihkan
tatapannya pada mentari di batas cakrawala seolah menahan suatu perasaan sedih
yang sesak di dada. Pertahanan Ahmed akhirnya goyah. Aku mengalihkan pandangan
ke laut lepas ketika mataku menangkap jemarinya menghapus airmata yang setitik
demi setitik terjun dari matanya. Ah, Dia! Pemuda yang pernah membentakku
karena menangis, ternyata bisa bersikap emosional juga!
“Keadaan keluarga
yang penuh cekcok membuat mental amma saya
melemah. Kakak ipar saya, Kak Ehsanur, tidak suka pada saya yang telah
mengambil seluruh perhatian kakak saya. Mereka selalu bertengkar. Memang tak
semua pertengkaran mereka karena saya, sering juga karena perbedaan pendapat
dalam mengambil keputusan perusahaan. Kak Ehsanur sebenarnya lebih jeli dan
hati-hati, tapi karena keputusan tertinggi ada di tangan Kak Sharifa, dalam
banyak hal Kak Ehsanur sering kalah oleh ketukan palu Kak Sharifa. Karena tak
tahan lagi dengan percekcokkan, Kak Ehsanur meninggalkan rumah. Bahkan ia
bersikeras untuk cerai dan meninggalkan kakak saya yang sedang mengalami banyak
masalah dan sedang mati-matian mempertahankan perusahaan kami yang hampir
bangkrut. Sering terjadi demo karena perusahaan tak mampu lagi membayar upah
buruh tepat pada waktunya. Bahkan pernah terjadi demo yang anarkis dan
destruktif di rumah kami. Hal itu membuat amma
saya jatuh sakit dan menderita trauma. Di saat seperti itu, saya tidak ada di rumah, jauh
dari amma saya. Setiap kakak saya
menelepon pun, saya hanya bisa coba mendengarkan dan menenangkannya, tapi tak
bisa membantu secara konkret dan melindungi keluarga saya. Yang paling membuat
saya tidak nyaman di luar negeri adalah amma,
Aifa. Amma banyak pikiran tapi harus menghindari berbagi hati dengan
kakak saya yang memikul beban berlebihan. Dan akulah, Aifa … akulah beban berat
itu. Semuanya gara-gara biaya kuliah dan biaya tinggalku di luar negeri.”
Ahmed kembali
menatap mentari di batas cakrawala, melarikan diri dari tatapanku.
“Kamu masih ingat
kan Aifa, jurusan apa yang saya ambil di UPM? Mikrobiologi dan Parasitologi!
Setiap kata ‘parasit’ itu diucapkan di kelas, hati saya sakit sekali. Kadang
teman-teman saya menggunakan kata itu untuk bahan canda dan ejekan. Memang tak
ada yang menganggap saya seperti itu. Bahkan Kak Ehsanur sekalipun. Kakak ipar
saya yang malang! Dia kehilangan haknya sebagai suami karena kakak saya bekerja
keras bahkan berhutang untuk biaya kuliah saya hingga sering lalai pada anak
dan suaminya sendiri karena bekerja siang malam untuk mengumpulkan uang. Kak
Ehsanur tak bisa menerima istrinya yang terus-menerus lalai pada keluarga dan
tak punya waktu lagi untuknya dan anak-anak mereka. Saya biang masalah di
keluarga saya. Saya parasit. Saya yang menyebabkan rumah tangga kakak saya
hancur!”
Airmataku tergesa
menerobos keluar dan aku membiarkannya berjatuhan begitu saja, seperti pesatnya
pemahamanku akan perasaannya setelah ia meluncurkan derita batin yang selama
ini tak ia tunjukkan. Sekarang aku mengerti kenapa ia selalu mengharapkan wajah
tersenyumku.
Parasit! Hatiku
begitu sakit orang terkasihku disebut parasit meskipun yang menyebut begitu tak
lain dirinya sendiri. Selain ingin pulang untuk membantu kakak dan menjaga amma-nya, pasti kata itulah yang
membuatnya bersikeras meninggalkan UPM, demi menyudahi kehancuran keluarganya
itu. Keinginan itu ia tempatkan di peringkat utama, mengalahkan segala keinginan
apa pun termasuk keinginan membawaku pada keluarganya. Seandainya tahu masalah
ini, niscaya aku mengerti tanpa keluh kesah.
“Akhirnya kami
menjual perusahaan dan semua aset untuk membayar semua hutang dan membayar
pesangon karyawan meskipun tidak semua bisa kami penuhi. Kami beruntung,
akhirnya mereka mau menerima dan memaklumi keadaan perusahaan. Amma memang sudah lama meminta kakak
saya melepaskan perusahaan yang selama ini berusaha dipertahankannya. Akhirnya
perusahaan benar-benar terjual. Kami tak punya apa-apa lagi kecuali sebuah
rumah tua dan sebidang kebun mangga warisan Nana93. Kebun mangga yang sejak
panen pertama hasilnya selalu kami sedekahkan itu kemudian menjadi pemberi
makan pada kami,” kata Ahmed sambil tersenyum getir dalam tawanya.
“Kami memulai hidup
baru dengan tinggal di desa dan benar-benar hanya menggantungkan hidup dari
sepetak kebun itu. Hidup kami sangat sederhana. Tapi, di saat itu kebahagiaan
dan keceriaan kami kembali. Kak Ehsanur meminta rujuk dengan kakak saya. Kami
kembali berkumpul, saling memaafkan dan akhirnya cerita sedih berakhir. Tak
lama berselang, saya pun mendapat pekerjaan di Dhaka.”
Bagai air yang
membasahi kerongkongan yang lama kering, kalimat terakhir yang sampai ke
telingaku pun menghidangkan rasa lega. Aku pun senang masalah yang mendera
keluarganya telah usai.
“Sudah berapa banyak airmatamu yang tumpah,
Sayang? Rasa apa yang kamu kecap selama saya hilang?” tanya Ahmed sambil dengan
penuh kehati-hatian menghapus airmata yang tak kusadari kembali jatuh.
“Banyak sekali, Teeta. Kamu memang pemuda yang sangat teeta.”
“Beribu-ribu maaf, Janu.”
“Dustu. Jadi kamu
memanfaatkan kata-kata different country,
diiferent culture untuk meninggalkanku? Kamu membodohi aku!”
“Again and again, please forgive me. Ami
dukkhito, Janu, Sungguh, saya minta maaf dan tolong kamu memaklumi situasi
saya.”
“Ternyata kamu lebih nakal dari yang
kutahu. Kamu memanfaatkan kata-kata amma kamu untuk menakaliku. Huh! Dasar
penjahat! Aku benci kamu, tahu nggak, sih?” ujarku sambil tersungut-sungut
marah meskipun lagi-lagi tak bersungguh-sungguh kali ini.
“Jadi kamu tidak bisa memaafkan saya? Kamu tidak bisa memaklumi situasi
saya, Aifa?” tanya Ahmed sedih lalu menunduk dalam-dalam.
”Mungkin saya memang tidak bisa dimaafkan,” lanjutnya lirih.
“Buddhu…! Apa pun pernah terjadi, aku selalu memaafkanmu. Tapi lain kali
jangan begitu lagi, ya? Bagilah penderitaanmu padaku. Jangan kau tanggung
sendiri karena dengan begitu kamu lebih melukai perasaanku. Kau
mengerti?”
“Aha, tentu saja
kamu akan memaafkan saya. Saya tahu. Saya hanya berpura-pura,” jawabnya sambil
kembali mengangkat wajah.
”Huuuhh, awas kamu
ya? Aku deportasi baru tahu rasa,” jawabku sambil mendekat dan menendang
kakinya.
“Oooo? Kamu memberi
saya lathi94?”
“Kamu memang harus
diberi lathi,” jawabku sambil terus
menendang kakinya yang terus mundur ke darat menghindari tendanganku.
“Baiklah, kalau ini
hukuman yang harus saya terima. Silakaan ...!” tantangnya sambil mendekat dan
mengayunkan kakinya ke depan, siap menerima tendanganku. Tapi hal itu justru
membuatku takut, karena langkahnya tegas menggiringku ke pantai. Ia
menguasai medan, dan satu-satunya jalan bagiku hanyalah mundur, menyatu dengan
air. Tapi aku tak mau itu terjadi.
“Heeeii? Kamu mau
mendorongku ke laut, ya?!”
“Tidak. Saya hanya
sedang memberikan kaki saya untuk kamu beri lathi.
Ayo, silakan! Ini kaki saya, ayo tendang kaki saya, hahaha ....”
“Sudah, Dustu! Aku tidak mau kena air. Gelombang
sudah akan mendekat tuuh!”
”Kenapa ke pantai
kalau tidak mau kena air? Dasar bodoh, hahaha,” seru Ahmed sambil tertawa dan
membiarkanku dihempas air laut.
”Kamu yang bodoh.
Kamu membuatku basah kena hempasan gelombang, nih. Uhhh, dasar Buddhu!”
”Sudah, sudah.
Jangan menangis, ya?”
”Siapa yang nangis?
Kalau marah iya.”
”Tapi jangan mengadu
ke ayah kamu, ya? Nanti aku dideportasi, deh,” kata Ahmed sambil
tersenyum penuh misteri.
“Hey ... kenapa
kamu senyum-senyum seperti itu?”
“Kamu tahu di mana
ayah dan adik kamu, Ibra?”
”Ada di rumah
kerabat saya.”
“Itu artinya kamu
tidak tahu. Bagaimana kamu tidak tahu keluargamu ada di mana? Kalau seperti
ini, apa tidak wajar kalau saya panggil kamu Buddhu?”
“Mereka ada di
rumah kerabat saya. Kemarin perginya.”
”Tidak. Mereka ada
di sini, hehe.”
“Apa??”
Ahmed hanya menjawab kekagetanku dengan senyum dan ekspresi yang cool. Pelan senyumnya mengembang dan
matanya bersinar menawarkan bahagia.
Aku terayu tawarannya. Derai airmata rindu
dendam yang senantiasa menemani setiap malamku pun kini turun tahta. Mungkin
airmata itu harga yang harus kubayarkan untuk pertemuan tak disangka-sangka
yang menghujaniku kabar paling bahagia ini.
Wow … rasanya lega sekali telah terlepas masa penuh rindu
dendam yang sungguh tak sehat bagi jiwa. Aku telah bersama seorang yang
kucintai sampai ke tulang. Yang karena besarnya cinta itu, aku selalu
memaafkannya dengan mudah.
Bahagia yang
mendalam membuatku serta-merta memeluknya. Tapi si Jerapah itu tidak
membalas! Tak bereaksi!
Aku melepaskan
pelukan, sepintas menatapnya yang sedang tegak mematung sambil memandang langit
biru. Begitu mata kami beradu, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku
menunduk. Malu menggagahiku di depan matanya.
”Percayalah, hati
saya pun ingin sekali memelukmu. Tapi, saya malu pada ini ....”
Selendang biru
berkibar-kibar diterpa angin senja. Aku tak tahu kapan Ahmed mengeluarkan
tangan kanan yang sedari tadi disembunyikan di balik punggungnya, tahu-tahu
selembar kerudung biru yang sangat indah telah menari-nari di depan mata. Di
antara telunjuk dan jari tengahnya, ujung selendang itu terjepit mesra.
”Aifa, saya cinta kamu, dan tak
pernah melupakan kamu,” ucap Ahmed sambil memakaikan kerudung itu dengan wajah
penuh kasih sayang. Aku tersipu dalam khidmat.
”Hei, rambutmu sudah panjang, Janu.
Kamu tidak potong pendek lagi?” tanya kekasihku berlagak ceria. Aku tahu ia
sebenarnya sedang berusaha beranjak dari suasana yang mulai mengharubirukan
hati.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. Sehari sebelum Ahmed
tiba di Indonesia di kunjungannya yang kedua, aku ke salon untuk memotong
pendek rambutku dengan model kesukaan. Tapi, ternyata Ahmed tak menyukainya
dengan melancarkan tatap mata kecewa.
”Kenapa? Bukankah kamu suka? Saya tahu kamu suka short hairstyle,” imbuhnya.
”Tapi kamu tidak suka. Makanya, sejak kita berpisah aku tidak memotong rambut.
Hanya dua kali ke salon untuk merapikannya.”
”Wow ... benarkah? Kamu
memanjangkan rambut untuk saya?” ucapnya kembali berlagak ceria.
”Aku ingin sekali kamu melihat rambut panjangku lewat webcam. Tapi kamu tak pernah sekali pun online. Kamu bagai hilang dikubur bumi.”
”Sekarang saya sudah melihatnya dan sangat suka rambut panjang kamu. Kamu
akan lebih cantik dengan rambut sepanjang pinggang. Hei, apa kamu tak tahu,
kalau kamu gadis yang paling di muka bumi ini.”
”Paling apa?”
”Paling bodoh, paling nakal ... tapi juga paling manis dan paling jahat!”
”Paling jahat?? Yang jahat itu kamu, Ahmed! Bukan aku!” Aku membantah Ahmed dengan keras.
”Ya, kamu jahat. Karena kamu selalu menganggu. Kamu gadis pengganggu!”
”Menggaggu? Kenapa kamu bilang aku mengganggu?”
”Ough, tumi ekta buddhu, Janu.
Kenapa tak mengerti masalah kecil dan mudah seperti ini?”
Ahmed yang geleng-geleng kepala dengan tatap mengejek, memancing pikiranku
berkobar mencari penyebab munculnya ejekan itu.
”Oo, aku pengganggu bagi hati kamu, ya? Begitu maksudmu?” jawabku ceria
setelah mendapatkan maksud ucapannya.
”Ya. Kamu suka mengganggu hati dan pikiran saya. Airmata kamu, wajah pilu kamu,. Hmm ... senyum kamu juga, sih.”
Aku menunduk karena tersipu dan menggunakan selendang Amma untuk
menutupi sebagian mukaku. Saat itulah kutemukan sebuah undangan jatuh ke atas
tangan yang sedang menadah. Undangan itu jatuh begitu saja dari kereta cahaya
yang dalam hitungan sepersekian detik telah melesat kembali ke angkasa.
Kupenuhi undangan itu dengan mengalihkan pandangan ke batas cakrawala. Di atas
sana, pertunjukan sedang digelar.
Matahari bulat penuh. Putih mencorong dengan kadar ketajaman
berangsur-angsur berkurang seiring senja semakin dekat. Warna langit
berlapis-lapis. Hitam di lapis terbawah, memangku merah saga dan kuning
keemasan bersemburat biru yang tak begitu nyata. Sunset di Pantai Kuta yang indah. Keangungan Sang Maha Pencipta
semakin terasa.
Laut biru menghampar bagai peraduan empuk yang siap direbahi. Di sanalah
mentari akan beristirahat, agar esok kembali terbit menerangi bumi.
Namun, ada sesuatu yang salah di sana! Mentari yang lain muncul dan
menghampiri kekasihnya. Mereka bergandengan tangan lalu bersama-sama menuju
peraduan. Keindahan berlimpah itu
menghujani penglihatanku hingga hati gusar dan bertanya, nyatakah semua ini?
”Amma menitip salam bersama
kerudung itu. Tahukah kamu, amma
sendiri yang membuatnya. Khusus untuk
kamu, Honey,” ucapnya lembut
seolah membawa pesan bahwa Amma juga
menyayangiku.
”Khusus untukku?” tanyaku dalam kaca-kaca mata. Ahmed
mengangguk dan dengan tanpa suara menjawab ’yes,
no doubt about it’ sambil mengguncangkan tubuhku seolah ingin mematahkan
ketidakpercayaanku.
Wow, it’s a perfect evening! Dua
mentari yang sedang tenggelam itu
bahkan tersenyum padaku.
”Aifa, my Shapla, ami tomake valobashi, Janu. Apakah kamu bersedia menjadi life-partner saya ...?”
“A … amio tomake valobashi,
Janu. And, I’m ... I’m willing to be your life-partner,” dengan
menitikkan airmata, aku menjawab lamarannya dengan gugup.
Dalam rona lega
dan bahagia, Ahmed tersenyum dengan jawabanku sambil mencoba mengerti mengapa
perempuan senang meneteskan airmata. Pun saat sedang bahagia.
Ya Alah,
senja ini sungguh indah, Terima kasih atas nikmat ini, Ya Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Terima kasih telah memberikan apa yang hamba impikan.
Lalu, seiring
menghilangnya kedua mentari dari cakrawala, dengan menggandeng tanganku melalui
sehelai sapu tangan hadiah dariku dulu, Ahmed membawaku menginggalkan Pantai Kuta
dengan hati terisi penuh oleh bahagia. Lebih dari kebahagiaan yang pernah ada.
“Don’t worry be happy, Aifa!” seru Kiron dari jauh melambaikan tangan
padaku. Aku dan Ahmed
menghentikan langkah karenanya.
“Inilah
janji kami untuk mencarikanmu pasangan terbaik, Aifa,” lanjutnya dalam rona
puas dan bangga, laksana mahasiswa yang lulus kuliah dengan nilai terbaik. Aku mulai tahu sesuatu!
”Apa, Kiron? Jadi, kalian ....?”
Kiron hanya tertawa senang. Ahmed melambaikan tangan pada Kiron, dengan
rona wajah seolah sudah mengenal dengan baik dan hangat.
Ternyata Kiron mengkhianatiku! Ia mengkhianati aku dengan berpindah menjadi
sekutu Ahmed. Tapi, sungguh, ini suatu pengkhianatan yang manis.
Indahnya persahabatan jika tak hanya dalam suka jalinan itu ada. Betapa
beruntung memiliki seorang sahabat sejati seperti Kiron. Dia berhasil memenuhi
harapan hati sahabat yang telah dianggapnya sebagai adik. Ia dengan dibantu Kak
Lina telah membawa Ahmedku pulang ke puri cinta kami. Mereka bahkan
mendatangkan Ahmed ke Indonesia, ke hadapanku!
”Aku sudah memanggilmu adik, Aifa. Itu artinya aku punya kewajiban
mencarikan pasangan hidup yang terbaik untukmu. Dan aku tahu siapa yang sangat
kauinginkan yang bagiku itu berarti akan menjadi pasangan terbaikmu.”
Aku tak menahan airmata ketika di hadapanku, Kiron mengatakan hal itu
dengan mata berkilat cahaya.
”Kita akan menikah di hari yang sama, Dik. Kamu suka?” lanjutnya.
”Tentu, tentu aku suka, Kak. Terima kasih untuk semua.”
Kiron mengangguk, menepuk pundahku lalu memberikan pelukan khas laki-laki
pada Ahmed. Aku pun memeluk Mbak Lina, membagi rasa bahagia yang melimpah ini.
Aku tidak tahu cara Kiron membuat semua ini menjadi mungkin karena ia hanya
selalu berkata tak ada harapan positif bila kutanya tentang perkembangan
misinya menyelidiki Ahmed. Bahkan dengan dustu-nya membuat skenario yang begitu
mematahkan hati dengan mengarang cerita bahwa Ahmed akan menikah dengan gadis
pilihan amma-nya. Dasar dustu! Kak Lina juga. Ia juga sudah
ketularan jadi dustu. Apalagi Pak Robby dan Rasel, the master of dustu, si pencetus ide.
”Aifa,
teruslah tersenyum, nikmati bahagiamu. Sekarang inilah musim cinta dan
ceriamu,” kata Kiron dalam rona wajah beranyam puas dan gembira.
”Tentu. Thanks a lot, Dustu. Kalian memang sudah kena virus dustu.
Tapi sekali lagi terima kasih banyak, Kak. Aku akan terus berdoa sampai Amma menyetujui pilihanmu.”
”Itu kewajiban yang harus kautunaikan, Dik, karena aku sudah menunaikan
kewajibanku. Kau harus mendoakan kami. Dan, ingat! Kau tidak boleh berhenti
sampai Amma berkata ’ya’ pada
menantunya. Oke?”
”Okey baba,” jawabku sambil mengacungkan kedua jempol.
”Kita akan bertemu lagi di meja makan,”
ucap Kiron teriring senyum bahagia sebelum
akhirnya bersama Kak Lina menjauh dariku dan Ahmed. Di sini, di
dalam hatiku pun, aku sedang
’melambaikan tangan’ pada cintaku untuk Kak Dio.
Ahmed menatap mataku yang terus berair. Tangannya yang penuh kasih
mendekati mataku yang basah, lalu menggunakan sapu tangannya untuk menghapus
airmataku dengan sangat hati-hati sambil berkata, ”Saya masih belum mengerti, Janu, kenapa perempuan suka sekali
menangis.”
”Tangis hanya sebuah ekspresi, Ahmed ....”
”Tapi saya tetap tak suka kamu menangis meskipun itu airmata bahagia. Saya
hanya mau melihat wajah tersenyum kamu.”
”Kalau begitu aku akan bersembunyi darimu saat menangis.”
”Saya akan memukulmu kalau berani melakukan itu.”
”Kamu membuat aku serba salah, Ahmed.”
”Kamu memang buddhu, Aifa.”
”Jadi?”
”Airmata bisa membersihkan mata dan tangis bisa memuaskan gejolak emosi di
dalam dada. Kamu tak perlu pura-pura tangguh di depanku, Gadis Sensitif.
Menangislah kalau ingin menangis. Tapi jangan sebentar-bentar menangis. Kecuali
kamu ingin saya menjadi cepat bosan dengan kamu,” kata Ahmed sambil tertawa di
ujung kalimat. Bibirku pun terhasut untuk mekar manakala hati puas mendengar jawabannya
yang sesuai harapan.
Kebahagiaan pun bergegas mendaftarkan diri, disusul keceriaan, keindahan,
kepuasan, rasa hati yang ringan, kedamaian, dan segala rasa positif lainnya
sebagai kolega hidupku semenjak Ahmed kembali untuk menjemputku di sini, di
tempat aku pernah ditinggalkannya. Ya, pemuda ini, belahan hatiku yang sempat
hilang telah pulang ke puri cinta kami.
”Baba ... Baba!”
Seorang bocah dalam gendongan Pak Robby di sana, sedang menangis
meronta-ronta dan memanggil Baba pada
Ahmed. Matanya penuh airmata dan tangisnya menderu-deru, memilukan hati yang
mendengar. Tangis bocah itu seolah bersedih telah berjauhan dengan seorang yang
paling berarti dalam hidupnya. Ahmed segera bergegas meninggalkanku untuk
mengambil dan menggendong bocah yang berumur sekitar satu tahun itu.
Ketr.:
91. [Jw] Berseri-seri
92. [Bg] Ayah
93 [Bg] Kakek dari pihak ibu (ayahnya ibu)
93 [Bg] Kakek dari pihak ibu (ayahnya ibu)
94. [Bg] Tendangan
No comments:
Post a Comment