Thursday, April 3, 2014

BAB 15: GELIAT KUTA GELIAT CINTA



“Ahmed…??? Itukah kamu??” tanyaku mengemuka dalam airmata membanjir. Airmata yang entah bermakna apa. Airmata yang membuatnya tertular suasana biru.
Yes, it’s me. Sayalah yang sedang berdiri di hadapanmu,jawabnya sambil berusaha keras untuk cool. Kulihat usahanya yang gigih itu akhirnya berhasil. Kini senyum normal berusaha ia pamerkan, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Apa yang kaulakukan di sini? Kenapa berada di sini?” tanyaku menggebu. Begitu tuntas kumenghapus airmataku. Sejuta penasaran menyerang, dan aku tak tahan untuk tak segera melepaskan pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, bukan itu saja yang membuatku penasaran. Kedua tangannya yang sejak awal selalu disembunyikan rapat-rapat di balik punggung
memiliki daya goda yang tak terbantahkan. Apa yang ia sembunyikan? Puluhan kali hatiku bertanya.
“Bagaimana saya ke sini? Saya terpaksa jalan kaki, Janu, karena tak ada uang. So, perlu waktu dua tahun untuk sampai di sini.
Sembari menyibak tirai di bilik canda, Ahmed mengulurkan jawabannya. Bilik canda adalah bilik yang hanya sesekali kami masuki kala itu, karena kami lebih mencintai bilik romantis yang penuh dengan kata cinta.
“Jangan bercanda! Jawab yang benar, Ahmeed!” pintaku entah mengapa begitu saja bersikap manja. Kata ’janu’ serta-merta mengeringkan airmata, menerbangkan pilu dan menghapus kecewa yang telah lama mengendap. Aku begitu cepat menjadi cerah, seolah tak pernah terjadi duka, seolah tak pernah terdera sakit. Semua itu hanya karena sepatah kata.
 “Saya datang ke Indonesia naik burung Garuda,” jawab Ahmed sambil beraksi layaknya seekor burung yang sedang melayang. Aku tertawa kecil melihat ulahnya yang masih saja tak serius.
“Maksudku, apa yang membuat kamu datang kemari, Buddhu ...??!
Your love,” Ahmed cepat menyahut. Namun, betapa jawaban singkat itu sanggup membuatku tersentak sekaligus terkesan. Senyum manisnya seolah memberi isyarat, “Saya datang karena cintamu, Janu. Saya di sini untuk menjemputmu.”
My love?”
“Cinta kamu yang memanggil saya datang kemari.”
Ahmed memperjelas ucapannya dalam bahasa Indonesia yang sempurna. Setelah sekian lama, ia masih bisa berbahasa Indonesia. Apakah ini karena buku pelajaran bahasa Indonesia dan kamus Bahasa Indonesia-Inggris-Indonesia yang kuberi saat perpisahan? Atau dia masih rajin belajar bahasa Indonesia pada Ezry dan Pak Robby? Entahlah. Pada siapa atau bagaimana ia belajar, bagiku ini hebat. Bahasa Indonesianya jauh lebih baik.
Dala hati adakah chinta untup saya? Hahaha…
Suatu siang di hari minggu ketika aku sedang menyeterika, bunyi SMS menghentikan kegiatan rutin akhir pekanku. Kubaca SMS dari yang terkasih dan senyum senang pun terlukis karenanya. Hati bagai tersirami air bening yang sangat sejuk.
Cinta dalam hatiku hanya untuk kamu, Sayang. Hey Janu, yang benar: dalam hati adakah cinta untuk saya, balasku disertai rasa hati yang sumringah91.
Terima kasih. Aku cinta kamu, karena kamu kantic sekali, balas kekasihku yang isinya lagi-lagi membuatku bahagia.
Terima kasih. Sayang, yang benar cantik, bukan kantic, okey? AJCK, balasku semakin sumringah. Rasa tak nyaman karena peluh yang menetes-netes tak menjadi masalah lagi.
Sudah lima menit, tapi balasan Ahmed belum datang. Missed calls pun kulancarkan. Itu cara kami menuntut jawaban yang tak kunjung tiba padahal hati sudah sangat menantikannya. Bukan, bukan hanya itu. Kadang kami hanya saling ber-missed calls ria karena tak cukup pulsa untuk menelepon. Dengan dering itu kami mengirimkan isi hati. Indahnya seni berkomunikasi kami. Saat itu.
Apa sih AJCK? Akhirnya Ahmed menyerahkan diri untuk kuejek.
Betapa buddhu-nya kamu, Sayang. Ketika kamu bilang ATV, aku segera tahu itu singkatan dari Ami Tomake Valobashi, tapi kenapa kamu tidak segera tahu AJCK?
Aha, I got it. AJCK: Aku Juga Cinta Kamu. Ok Honey, anyway I got to go to the lab. Aku juga cintaaa banget sama kamu. AJCBSK, haha…
Aku tersenyum bahagia dalam peluh menetes-netes. Betapa indah masa-masa kami sedang jatuh cinta. Setelah sempat hilang, sekarang ia di sini untuk kembali. Hanya saja hatiku masih bertanya-tanya, benarkah ia ada untuk merajut kembali keindahan masa itu?
“Aifa, saya berkata benar. Saya di sini karenamu. Saya telah kembali, Janu. Saya kembali untukmu. Karena cintamu memanggil-manggil hati saya selalu.”
Akhirnya, kuhanya bisa diam mematung dan mengeluh! Kalau tahu akan begini akhirnya, kupasti tak perlu menguras seluruh airmata rindu dendam yang pahit dan tak berdaya. Aku tak perlu cinta dari pria lain selama masa tunggu itu. Tak juga cinta Kak Dio.
“Tapi Ahmed, tapi mengapa selama ini kamu diam seperti Patung Pemuda Membangun?
“Saya jawab nanti ya. Karena saya ada kejutan besar untukmu.”
“Kejutan besar??”
Ya,” kata Ahmed sambil menatapku puas entah karena sebab apa.
“Hei, kenapa wajah kamu cemas seperti ini? Ini surprise yang bagus, Honey. Jangan cemas begitu, okey?” kata Ahmed membendung cemasku. Cemas yang begitu saja muncul saat kata big surprise keluar dari bibirnya. Sejak mendengar kabar Ahmed akan menikah, kata kejutan segera menjadi hal yang menakutkan.
”Aku benci kejutan.” Dengan mata penuh dendam ku-smash Ahmed dengan keras.
Ami dukkhito. Itu ide Rasel. Tapi aku menyesal telah menyetujuinya.”
“Kenapa kamu bertindak dustu? Mengarang cerita kamu akan menikah dengan gadis pilihan amma?! protesku yang masih begitu sakit dilanda rasa penasaran akan ulah tengilnya.
Saya hanya ingin tahu tanpa bertanya.
”Ingin tahu apa?”
”Tentu saja ingin tahu isi hatimu, Buddhu. Apakah masih mencintaiku setelah kita berpisah dan menjalani hidup masing-masing.”
”Sudah kautemukan jawabannya?!”
”Sudah,” si Pendustu menjawab sambil tersenyum puas.
”Bagus! Tapi aku belum mendapat jawaban atas pertanyaanku. Kenapa kau membisu seperti patung selama ini?”
“Saya kasih tahu nanti, Nyonya Rahman. Sabar ya?” jawab Ahmed yang juga tak mau mengalah.
“Apa kamu bilang? Nyonya Rahman? Apa maksud kamu?” tanyaku kebingungan oleh kata-kata yang terdengar aneh di telinga.
Uugh. Baru dua tahun, kamu sudah lupa nama saya?!”
No, of course not. Aku mana mungkin lupa namamu.”
“Tapi kamu masih tak paham apa arti Nyonya Rahman??”
Tidak. Tolong katakan dengan jelas!!”
Ooohh, my Buddhu…”
Ahmed menghembuskan nafas keras layaknya orang kesal tapi bibirnya berhias senyum.
I meant to say, will you be my life-partner? Jadilah Nyonya Ahmed Shafiqur Rahman, Aifa?” pintanya sambil merenangi mataku dengan seksama. Aku terdiam dalam hati tersentuh melihatnya memintaku dengan sungguh-sungguh. Tapi kumasih belum yakin dan masih ingin memastikan sekali lagi.
Menjadi teman hidupmu? Menjadi Nyonya Ahmed Shafiqur Rahman? Maksudnya?
“Huuuh, kamu masih belum paham?!”
Tampak terheran sangat Ahmed melebarkan mata. Senyum herannya pun mekar satu kelopak demi satu kelopak.
Buddhu!”
Ejek Ahmed pura-pura marah. Kuhanya terus mematung dengan sedikit senyum tersipu.
”Maksud saya, menikahlah denganku. Ahmed-mu yang dustu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Tentu saja mungkin.”
“Tapi…?”
“Kamulah yang saya inginkan menjadi teman hidup saya.”
“Tapi bagaimana dengan amma-mu? Bagaimana dengan gadis pilihannya?”
“Kamu tak perlu cemaskan masalah itu.”
“Aku harus.”
“Tidak, Janu. Tidak perlu.”
”Kenapa tidak perlu?”
”Sebab amma setuju kau menjadi menantunya.”
“Apa yang terjadi? Apa yang sudah kamu lakukan sehingga amma-mu menjadi setuju kau menikahiku?”
“Tak ada,” jawabnya enteng sambil tersenyum misteri. Misteri namun terasa benar rasa bersalahnya.
“Ahmed, kamu harus bicara jujur. Apa yang telah kamu lakukan atau apa yang telah terjadi sehingga amma-mu setuju. Lalu bagaimana dengan perjodohan itu? Kalau kau tidak memberitahu sekarang, aku janji tidak akan bicara lagi sama kamu!”
Ahmed menghela nafas dalam-dalam, tampak sedang menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. Ancamanku berhasil rupanya.
“Ampuni saya, Aifa, telah melakukan semua ini.”
“Apa? Apa yang telah kamu lakukan??”
Amma memang pernah tak setuju hubungan kita, tapi sebenarnya tak serius. Amma hanya ingin melihat keberanian dan kesungguhan saya.”
“Maksudmu?”
“Ketika saya mengatakan ingin menikahi gadis Indonesia, amma menolak dan berkata pada saya untuk tidak menambah masalah di rumah kami dengan menikahi gadis asing yang pasti beda budaya dan kebiasaan. Lalu saya pun tak pernah membicarakannya lagi.”
“Oke. Lalu?!”
“Tapi suatu saat, amma menemukan saya tidur berselimut handuk pemberianmu. Setelah saya bangun dan mandi, amma memanggil untuk makan siang. Saat itu, amma bertanya apa arti kata made in Indonesia. Saya menjawabnya dan amma mulai sadar kalau handuk itu ada hubungannya dengan gadis Indonesia yang pernah saya ajukan pada amma untuk saya nikahi. Lalu amma menjelaskan kalau penolakannya saat itu tidak sungguh-sungguh. Amma hanya ingin menguji kesungguhan saya. Sebab menikahi gadis asing pasti lebih ....”
“Dan kau tidak menyadari hal itu? Kan aku sudah bilang, Ahmed, amma pasti setuju. Karena beliau sangat sayang sama kamu. Cinta itu tidak bisa berbuat egois. Kamu tidak mau dengerin aku, sih. Jadinya seperti ini,” sahutku memotong ucapannya. Ahmed menatapku tak berkedip, heran dengan kemarahanku yang tak terkendali karena sengaja kulepaskan.
“Saya bukan saja tak menyadari hal itu, Aifa. Saya justru merasa senang karena menemukan alasan yang masuk akal untuk meninggalkanmu.”
“Ahmed…?! Kamu jahat banget sama aku! Teganya kamu!”
Dengan raut yang suram, aku menggelar rona wajah kesal. Kesal yang mengangkut berton-ton kesedihan dalam teriakan yang menggema hingga ke dalam laut. Seketika ikan-ikan berhenti berenang dan membawa matanya ke arahku. Dengan tatap mata, mereka memintaku untuk tak bersuara keras di sore yang mulai sejuk.
Janu, beribu-ribu maaf. Kamu tak tahu situasiku saat itu.”
“Tentu saja aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu?!” jawabku merendahkan suara. Tapi tetap belum bisa mengecilkan rasa kecewa akan tindakannya.
”Hemm. Buddhu sekali saya, ya? Bagaimana kamu tahu kalau saya tidak pernah menghubungi,” ujarnya pelan sambil tersenyum bodoh.
“Selama dua tahun hilang dan tak memberi kabar sedikit pun, pasti kamu berpikir saya telah begitu saja melupakanmu,” lanjut Ahmed.
“Tentu. Dan itu saat-saat yang berat bagiku.”
“Bagi saya juga, Janu. Dengar, bukan hanya orang yang disakiti, yang menyakiti pun merasa sakit. Bahkan mungkin lebih sakit. Kau harus tahu itu.”
“Saya tahu kamu butuh banyak penjelasan. Kamu akan mendapatkan semuanya nanti. Tapi intinya, amma saya tak pernah berkata ’tidak’ pada cinta kita. Asal kamu muslim dan mau menjadi anggota keluarga yang baik di rumah kami, amma akan setuju. Saat ini, itu saja yang perlu kamu tahu.”
“Tapi, kebanyakan orang tua Bangladesh tidak mengijinkan anaknya menikah dengan orang di luar Bangladesh, bukan?”
“Tidak juga. Memang ada sebagian yang masih konservatif seperti itu. Tidak mau repot menghadapi masalah perbedaan, seperti bahasa, kebiasaan, adaptasi dan lain-lain. Tapi amma saya tak keberatan tentang hal itu. Karena bisa saling belajar.”
“Lalu kenapa kamu meninggalkan aku seperti itu, Teeta?”
“Dengar Aifa, saya tak boleh membuat kamu menunggu lama. Waktu itu ada banyak  masalah serius di keluarga saya. Saya juga belum punya pekerjaan. Di Bangladesh sulit mendapat pekerjaan meskipun berpendidikan tinggi kalau tidak punya koneksi. Dan, jangan sekali-kali kamu memanggil saya ‘teeta’, okey?”
“Hei, kamu memang teeta. Dengar, Ahmed, alasan yang kau ajukan itu alasan yang tidak bisa kuterima. Kenapa kau tak pernah mengerti kalau aku ingin bersamamu dalam suka dan duka? Aku bisa menunggu, Ahmed. Menunggu masalah dalam keluargamu selesai, menunggu kamu mendapat pekerjaan ….”
“Tapi saya tidak boleh egois dengan menyeret kamu ke dalam masalah saya, Aifa. Saya juga khawatir tak segera punya pekerjaan bagus dan uang yang cukup untuk membawamu pulang ke negara saya. Saya sudah bukan orang kaya lagi. Tahukah kamu, saya sering merasa takut tak bisa menyediakan makanan untukmu dan itu membuat saya tak berdaya. Kamu juga harus mengerti perasaan laki-laki.”
“Perasaan yang bagaimana?”
“Kami akan bahagia bila bisa mencukupi kebutuhan anak-istri. Tapi merasa sangat terkutuk dan tak berguna bila tidak.”
”Oh.”
”Kenapa ’oh’?”
”Hemh. Takut tidak bisa memberi makan, katamu? Huh! Karena ketakutan ‘tak masuk akal’ itu kamu tega menumpahkan airmataku. Membiarkan hari-hariku berperang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghabisi hati dan menguras airmata.”
”Aifa ... kamu tak mengerti juga?”
”Tidak. Aku tak mengerti mengapa kau menganggap beras lebih penting daripada hatiku. Mengapa kau juga tidak mengerti perasaanku sebagai seorang perempuan yang rela dibawa ke dalam semua kesusahan asal kau tulus mencintaiku dan setia? Sungguhkah kau tak paham akan hal itu, Buddhu?”
“Sejak baba92 saya meninggal sepuluh tahun lalu, perusahaan kami dikelola kakak saya, Kak Sharifa. Tapi 3~4 tahun terakhir, kondisi perusahaan memburuk gara-gara tertipu. Satu peti kemas sutra terbaik telah kami kirim ke Qatar, tapi kami tak pernah mendapat bayaran selain uang muka 30%. Lama-lama kondisi perusahaan menjadi kritis karena cash-flow yang tidak lancar. Tapi tetap saja kakak saya memaksa saya meneruskan pendidikan setinggi-tingginya dengan memakai uang perusahaan. Hal itu bukan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, Aifa. Keluarga kami kemudian retak karena saya.”
Ahmed mengalihkan tatapannya pada mentari di batas cakrawala seolah menahan suatu perasaan sedih yang sesak di dada. Pertahanan Ahmed akhirnya goyah. Aku mengalihkan pandangan ke laut lepas ketika mataku menangkap jemarinya menghapus airmata yang setitik demi setitik terjun dari matanya. Ah, Dia! Pemuda yang pernah membentakku karena menangis, ternyata bisa bersikap emosional juga!
“Keadaan keluarga yang penuh cekcok membuat mental amma saya melemah. Kakak ipar saya, Kak Ehsanur, tidak suka pada saya yang telah mengambil seluruh perhatian kakak saya. Mereka selalu bertengkar. Memang tak semua pertengkaran mereka karena saya, sering juga karena perbedaan pendapat dalam mengambil keputusan perusahaan. Kak Ehsanur sebenarnya lebih jeli dan hati-hati, tapi karena keputusan tertinggi ada di tangan Kak Sharifa, dalam banyak hal Kak Ehsanur sering kalah oleh ketukan palu Kak Sharifa. Karena tak tahan lagi dengan percekcokkan, Kak Ehsanur meninggalkan rumah. Bahkan ia bersikeras untuk cerai dan meninggalkan kakak saya yang sedang mengalami banyak masalah dan sedang mati-matian mempertahankan perusahaan kami yang hampir bangkrut. Sering terjadi demo karena perusahaan tak mampu lagi membayar upah buruh tepat pada waktunya. Bahkan pernah terjadi demo yang anarkis dan destruktif di rumah kami. Hal itu membuat amma saya jatuh sakit dan menderita trauma. Di saat seperti itu, saya tidak ada di rumah, jauh dari amma saya. Setiap kakak saya menelepon pun, saya hanya bisa coba mendengarkan dan menenangkannya, tapi tak bisa membantu secara konkret dan melindungi keluarga saya. Yang paling membuat saya tidak nyaman di luar negeri adalah amma, Aifa. Amma banyak pikiran tapi harus menghindari berbagi hati dengan kakak saya yang memikul beban berlebihan. Dan akulah, Aifa … akulah beban berat itu. Semuanya gara-gara biaya kuliah dan biaya tinggalku di luar negeri.”
Ahmed kembali menatap mentari di batas cakrawala, melarikan diri dari tatapanku.
“Kamu masih ingat kan Aifa, jurusan apa yang saya ambil di UPM? Mikrobiologi dan Parasitologi! Setiap kata ‘parasit’ itu diucapkan di kelas, hati saya sakit sekali. Kadang teman-teman saya menggunakan kata itu untuk bahan canda dan ejekan. Memang tak ada yang menganggap saya seperti itu. Bahkan Kak Ehsanur sekalipun. Kakak ipar saya yang malang! Dia kehilangan haknya sebagai suami karena kakak saya bekerja keras bahkan berhutang untuk biaya kuliah saya hingga sering lalai pada anak dan suaminya sendiri karena bekerja siang malam untuk mengumpulkan uang. Kak Ehsanur tak bisa menerima istrinya yang terus-menerus lalai pada keluarga dan tak punya waktu lagi untuknya dan anak-anak mereka. Saya biang masalah di keluarga saya. Saya parasit. Saya yang menyebabkan rumah tangga kakak saya hancur!”
Airmataku tergesa menerobos keluar dan aku membiarkannya berjatuhan begitu saja, seperti pesatnya pemahamanku akan perasaannya setelah ia meluncurkan derita batin yang selama ini tak ia tunjukkan. Sekarang aku mengerti kenapa ia selalu mengharapkan wajah tersenyumku.
Parasit! Hatiku begitu sakit orang terkasihku disebut parasit meskipun yang menyebut begitu tak lain dirinya sendiri. Selain ingin pulang untuk membantu kakak dan menjaga amma-nya, pasti kata itulah yang membuatnya bersikeras meninggalkan UPM, demi menyudahi kehancuran keluarganya itu. Keinginan itu ia tempatkan di peringkat utama, mengalahkan segala keinginan apa pun termasuk keinginan membawaku pada keluarganya. Seandainya tahu masalah ini, niscaya aku mengerti tanpa keluh kesah.
“Akhirnya kami menjual perusahaan dan semua aset untuk membayar semua hutang dan membayar pesangon karyawan meskipun tidak semua bisa kami penuhi. Kami beruntung, akhirnya mereka mau menerima dan memaklumi keadaan perusahaan. Amma memang sudah lama meminta kakak saya melepaskan perusahaan yang selama ini berusaha dipertahankannya. Akhirnya perusahaan benar-benar terjual. Kami tak punya apa-apa lagi kecuali sebuah rumah tua dan sebidang kebun mangga warisan Nana93. Kebun mangga yang sejak panen pertama hasilnya selalu kami sedekahkan itu kemudian menjadi pemberi makan pada kami,” kata Ahmed sambil tersenyum getir dalam tawanya.
“Kami memulai hidup baru dengan tinggal di desa dan benar-benar hanya menggantungkan hidup dari sepetak kebun itu. Hidup kami sangat sederhana. Tapi, di saat itu kebahagiaan dan keceriaan kami kembali. Kak Ehsanur meminta rujuk dengan kakak saya. Kami kembali berkumpul, saling memaafkan dan akhirnya cerita sedih berakhir. Tak lama berselang, saya pun mendapat pekerjaan di Dhaka.”
Bagai air yang membasahi kerongkongan yang lama kering, kalimat terakhir yang sampai ke telingaku pun menghidangkan rasa lega. Aku pun senang masalah yang mendera keluarganya telah usai.
 “Sudah berapa banyak airmatamu yang tumpah, Sayang? Rasa apa yang kamu kecap selama saya hilang?” tanya Ahmed sambil dengan penuh kehati-hatian menghapus airmata yang tak kusadari kembali jatuh.
“Banyak sekali, Teeta. Kamu memang pemuda yang sangat teeta.
“Beribu-ribu maaf, Janu.”
Dustu. Jadi kamu memanfaatkan kata-kata different country, diiferent culture untuk meninggalkanku? Kamu membodohi aku!”
Again and again, please forgive me. Ami dukkhito, Janu, Sungguh, saya minta maaf dan tolong kamu memaklumi situasi saya.
“Ternyata kamu lebih nakal dari yang kutahu. Kamu memanfaatkan kata-kata amma kamu untuk menakaliku. Huh! Dasar penjahat! Aku benci kamu, tahu nggak, sih?” ujarku sambil tersungut-sungut marah meskipun lagi-lagi tak bersungguh-sungguh kali ini.
“Jadi kamu tidak bisa memaafkan saya? Kamu tidak bisa memaklumi situasi saya, Aifa?” tanya Ahmed sedih lalu menunduk dalam-dalam.
”Mungkin saya memang tidak bisa dimaafkan,” lanjutnya lirih.
Buddhu…! Apa pun pernah terjadi, aku selalu memaafkanmu. Tapi lain kali jangan begitu lagi, ya? Bagilah penderitaanmu padaku. Jangan kau tanggung sendiri karena dengan begitu kamu lebih melukai perasaanku. Kau mengerti?”
“Aha, tentu saja kamu akan memaafkan saya. Saya tahu. Saya hanya berpura-pura,” jawabnya sambil kembali mengangkat wajah.
”Huuuhh, awas kamu ya? Aku deportasi baru tahu rasa,” jawabku sambil mendekat dan menendang kakinya.
“Oooo? Kamu memberi saya lathi94?”
“Kamu memang harus diberi lathi,” jawabku sambil terus menendang kakinya yang terus mundur ke darat menghindari tendanganku.
“Baiklah, kalau ini hukuman yang harus saya terima. Silakaan ...!” tantangnya sambil mendekat dan mengayunkan kakinya ke depan, siap menerima tendanganku. Tapi hal itu justru membuatku takut, karena langkahnya tegas menggiringku ke pantai. Ia menguasai medan, dan satu-satunya jalan bagiku hanyalah mundur, menyatu dengan air. Tapi aku tak mau itu terjadi.
“Heeeii? Kamu mau mendorongku ke laut, ya?!”
“Tidak. Saya hanya sedang memberikan kaki saya untuk kamu beri lathi. Ayo, silakan! Ini kaki saya, ayo tendang kaki saya, hahaha ....”
“Sudah, Dustu! Aku tidak mau kena air. Gelombang sudah akan mendekat tuuh!” 
”Kenapa ke pantai kalau tidak mau kena air? Dasar bodoh, hahaha,” seru Ahmed sambil tertawa dan membiarkanku dihempas air laut.
”Kamu yang bodoh. Kamu membuatku basah kena hempasan gelombang, nih. Uhhh, dasar Buddhu!
”Sudah, sudah. Jangan menangis, ya?”
”Siapa yang nangis? Kalau marah iya.”
”Tapi jangan mengadu ke ayah kamu, ya? Nanti aku dideportasi, deh,” kata Ahmed sambil tersenyum penuh misteri.
“Hey ... kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?”
“Kamu tahu di mana ayah dan adik kamu, Ibra?”
”Ada di rumah kerabat saya.”
“Itu artinya kamu tidak tahu. Bagaimana kamu tidak tahu keluargamu ada di mana? Kalau seperti ini, apa tidak wajar kalau saya panggil kamu Buddhu?”
“Mereka ada di rumah kerabat saya. Kemarin perginya.”
”Tidak. Mereka ada di sini, hehe.”
“Apa??”
Ahmed hanya menjawab kekagetanku dengan senyum dan ekspresi yang cool. Pelan senyumnya mengembang dan matanya bersinar menawarkan bahagia.
Aku terayu tawarannya. Derai airmata rindu dendam yang senantiasa menemani setiap malamku pun kini turun tahta. Mungkin airmata itu harga yang harus kubayarkan untuk pertemuan tak disangka-sangka yang menghujaniku kabar paling bahagia ini.
Wow … rasanya lega sekali telah terlepas masa penuh rindu dendam yang sungguh tak sehat bagi jiwa. Aku telah bersama seorang yang kucintai sampai ke tulang. Yang karena besarnya cinta itu, aku selalu memaafkannya dengan mudah.
Bahagia yang mendalam membuatku serta-merta memeluknya. Tapi si Jerapah itu tidak membalas! Tak bereaksi!
Aku melepaskan pelukan, sepintas menatapnya yang sedang tegak mematung sambil memandang langit biru. Begitu mata kami beradu, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku menunduk. Malu menggagahiku di depan matanya.
”Percayalah, hati saya pun ingin sekali memelukmu. Tapi, saya malu pada ini ....”
Selendang biru berkibar-kibar diterpa angin senja. Aku tak tahu kapan Ahmed mengeluarkan tangan kanan yang sedari tadi disembunyikan di balik punggungnya, tahu-tahu selembar kerudung biru yang sangat indah telah menari-nari di depan mata. Di antara telunjuk dan jari tengahnya, ujung selendang itu terjepit mesra.
”Aifa, saya cinta kamu, dan tak pernah melupakan kamu,” ucap Ahmed sambil memakaikan kerudung itu dengan wajah penuh kasih sayang. Aku tersipu dalam khidmat.
”Hei, rambutmu sudah panjang, Janu. Kamu tidak potong pendek lagi?” tanya kekasihku berlagak ceria. Aku tahu ia sebenarnya sedang berusaha beranjak dari suasana yang mulai mengharubirukan hati.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. Sehari sebelum Ahmed tiba di Indonesia di kunjungannya yang kedua, aku ke salon untuk memotong pendek rambutku dengan model kesukaan. Tapi, ternyata Ahmed tak menyukainya dengan melancarkan tatap mata kecewa.
”Kenapa? Bukankah kamu suka? Saya tahu kamu suka short hairstyle,” imbuhnya.
”Tapi kamu tidak suka. Makanya, sejak kita berpisah aku tidak memotong rambut. Hanya dua kali ke salon untuk merapikannya.”
Wow ... benarkah? Kamu memanjangkan rambut untuk saya?” ucapnya kembali berlagak ceria.
”Aku ingin sekali kamu melihat rambut panjangku lewat webcam. Tapi kamu tak pernah sekali pun online. Kamu bagai hilang dikubur bumi.”
”Sekarang saya sudah melihatnya dan sangat suka rambut panjang kamu. Kamu akan lebih cantik dengan rambut sepanjang pinggang. Hei, apa kamu tak tahu, kalau kamu gadis yang paling di muka bumi ini.”
”Paling apa?”
”Paling bodoh, paling nakal ... tapi juga paling manis dan paling jahat!”
”Paling jahat?? Yang jahat itu kamu, Ahmed! Bukan aku!” Aku membantah Ahmed dengan keras.
”Ya, kamu jahat. Karena kamu selalu menganggu. Kamu gadis pengganggu!”
”Menggaggu? Kenapa kamu bilang aku mengganggu?”
Ough, tumi ekta buddhu, Janu. Kenapa tak mengerti masalah kecil dan mudah seperti ini?”
Ahmed yang geleng-geleng kepala dengan tatap mengejek, memancing pikiranku berkobar mencari penyebab munculnya ejekan itu.
”Oo, aku pengganggu bagi hati kamu, ya? Begitu maksudmu?” jawabku ceria setelah mendapatkan maksud ucapannya.
”Ya. Kamu suka mengganggu hati dan pikiran saya. Airmata kamu, wajah pilu kamu,. Hmm ... senyum kamu juga, sih.”
Aku menunduk karena tersipu dan menggunakan selendang Amma untuk menutupi sebagian mukaku. Saat itulah kutemukan sebuah undangan jatuh ke atas tangan yang sedang menadah. Undangan itu jatuh begitu saja dari kereta cahaya yang dalam hitungan sepersekian detik telah melesat kembali ke angkasa. Kupenuhi undangan itu dengan mengalihkan pandangan ke batas cakrawala. Di atas sana, pertunjukan sedang digelar.
Matahari bulat penuh. Putih mencorong dengan kadar ketajaman berangsur-angsur berkurang seiring senja semakin dekat. Warna langit berlapis-lapis. Hitam di lapis terbawah, memangku merah saga dan kuning keemasan bersemburat biru yang tak begitu nyata. Sunset di Pantai Kuta yang indah. Keangungan Sang Maha Pencipta semakin terasa.
Laut biru menghampar bagai peraduan empuk yang siap direbahi. Di sanalah mentari akan beristirahat, agar esok kembali terbit menerangi bumi.
Namun, ada sesuatu yang salah di sana! Mentari yang lain muncul dan menghampiri kekasihnya. Mereka bergandengan tangan lalu bersama-sama menuju peraduan. Keindahan berlimpah itu menghujani penglihatanku hingga hati gusar dan bertanya, nyatakah semua ini?
Amma menitip salam bersama kerudung itu. Tahukah kamu, amma sendiri yang membuatnya. Khusus untuk kamu, Honey,” ucapnya lembut seolah membawa pesan bahwa Amma juga menyayangiku.
Khusus untukku?” tanyaku dalam kaca-kaca mata. Ahmed mengangguk dan dengan tanpa suara menjawab ’yes, no doubt about it’ sambil mengguncangkan tubuhku seolah ingin mematahkan ketidakpercayaanku.
Wow, it’s a perfect evening! Dua mentari yang sedang tenggelam itu bahkan tersenyum padaku.
            Aifa, my Shapla, ami tomake valobashi, Janu. Apakah kamu bersedia menjadi life-partner saya ...?”
            A amio tomake valobashi, Janu. And, I’m ... I’m willing to be your life-partner,” dengan menitikkan airmata, aku menjawab lamarannya dengan gugup.
Dalam rona lega dan bahagia, Ahmed tersenyum dengan jawabanku sambil mencoba mengerti mengapa perempuan senang meneteskan airmata. Pun saat sedang bahagia.
Ya Alah, senja ini sungguh indah, Terima kasih atas nikmat ini, Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terima kasih telah memberikan apa yang hamba impikan.
Lalu, seiring menghilangnya kedua mentari dari cakrawala, dengan menggandeng tanganku melalui sehelai sapu tangan hadiah dariku dulu, Ahmed membawaku menginggalkan Pantai Kuta dengan hati terisi penuh oleh bahagia. Lebih dari kebahagiaan yang pernah ada.
Don’t worry be happy, Aifa!” seru Kiron dari jauh melambaikan tangan padaku.  Aku dan Ahmed menghentikan langkah karenanya.
“Inilah janji kami untuk mencarikanmu pasangan terbaik, Aifa,” lanjutnya dalam rona puas dan bangga, laksana mahasiswa yang lulus kuliah dengan nilai terbaik. Aku mulai tahu sesuatu!
”Apa, Kiron? Jadi, kalian ....?”
Kiron hanya tertawa senang. Ahmed melambaikan tangan pada Kiron, dengan rona wajah seolah sudah mengenal dengan baik dan hangat.
Ternyata Kiron mengkhianatiku! Ia mengkhianati aku dengan berpindah menjadi sekutu Ahmed. Tapi, sungguh, ini suatu pengkhianatan yang manis.
Indahnya persahabatan jika tak hanya dalam suka jalinan itu ada. Betapa beruntung memiliki seorang sahabat sejati seperti Kiron. Dia berhasil memenuhi harapan hati sahabat yang telah dianggapnya sebagai adik. Ia dengan dibantu Kak Lina telah membawa Ahmedku pulang ke puri cinta kami. Mereka bahkan mendatangkan Ahmed ke Indonesia, ke hadapanku!
”Aku sudah memanggilmu adik, Aifa. Itu artinya aku punya kewajiban mencarikan pasangan hidup yang terbaik untukmu. Dan aku tahu siapa yang sangat kauinginkan yang bagiku itu berarti akan menjadi pasangan terbaikmu.”
Aku tak menahan airmata ketika di hadapanku, Kiron mengatakan hal itu dengan  mata berkilat cahaya.
”Kita akan menikah di hari yang sama, Dik. Kamu suka?” lanjutnya.
”Tentu, tentu aku suka, Kak. Terima kasih untuk semua.”
Kiron mengangguk, menepuk pundahku lalu memberikan pelukan khas laki-laki pada Ahmed. Aku pun memeluk Mbak Lina, membagi rasa bahagia yang melimpah ini.
Aku tidak tahu cara Kiron membuat semua ini menjadi mungkin karena ia hanya selalu berkata tak ada harapan positif bila kutanya tentang perkembangan misinya menyelidiki Ahmed. Bahkan dengan dustu-nya membuat skenario yang begitu mematahkan hati dengan mengarang cerita bahwa Ahmed akan menikah dengan gadis pilihan amma-nya. Dasar dustu! Kak Lina juga. Ia juga sudah ketularan jadi dustu. Apalagi Pak Robby dan Rasel, the master of dustu, si pencetus ide.
”Aifa, teruslah tersenyum, nikmati bahagiamu. Sekarang inilah musim cinta dan ceriamu,” kata Kiron dalam rona wajah beranyam puas dan gembira.
”Tentu. Thanks a lot, Dustu. Kalian memang sudah kena virus dustu. Tapi sekali lagi terima kasih banyak, Kak. Aku akan terus berdoa sampai Amma menyetujui pilihanmu.”
”Itu kewajiban yang harus kautunaikan, Dik, karena aku sudah menunaikan kewajibanku. Kau harus mendoakan kami. Dan, ingat! Kau tidak boleh berhenti sampai Amma berkata ’ya’ pada menantunya. Oke?”
Okey baba,” jawabku sambil mengacungkan kedua jempol.
”Kita akan bertemu lagi di meja makan,” ucap Kiron teriring senyum bahagia sebelum akhirnya bersama Kak Lina menjauh dariku dan Ahmed. Di sini, di dalam hatiku pun, aku sedang  ’melambaikan tangan’ pada cintaku untuk Kak Dio.
Ahmed menatap mataku yang terus berair. Tangannya yang penuh kasih mendekati mataku yang basah, lalu menggunakan sapu tangannya untuk menghapus airmataku dengan sangat hati-hati sambil berkata, ”Saya masih belum mengerti, Janu, kenapa perempuan suka sekali menangis.”
”Tangis hanya sebuah ekspresi, Ahmed ....”
”Tapi saya tetap tak suka kamu menangis meskipun itu airmata bahagia. Saya hanya mau melihat wajah tersenyum kamu.”
”Kalau begitu aku akan bersembunyi darimu saat menangis.”
”Saya akan memukulmu kalau berani melakukan itu.”
”Kamu membuat aku serba salah, Ahmed.”
”Kamu memang buddhu, Aifa.”
”Jadi?”
”Airmata bisa membersihkan mata dan tangis bisa memuaskan gejolak emosi di dalam dada. Kamu tak perlu pura-pura tangguh di depanku, Gadis Sensitif. Menangislah kalau ingin menangis. Tapi jangan sebentar-bentar menangis. Kecuali kamu ingin saya menjadi cepat bosan dengan kamu,” kata Ahmed sambil tertawa di ujung kalimat. Bibirku pun terhasut untuk mekar manakala hati puas mendengar jawabannya yang sesuai harapan.
Kebahagiaan pun bergegas mendaftarkan diri, disusul keceriaan, keindahan, kepuasan, rasa hati yang ringan, kedamaian, dan segala rasa positif lainnya sebagai kolega hidupku semenjak Ahmed kembali untuk menjemputku di sini, di tempat aku pernah ditinggalkannya. Ya, pemuda ini, belahan hatiku yang sempat hilang telah pulang ke puri cinta kami.
Baba ... Baba!”
Seorang bocah dalam gendongan Pak Robby di sana, sedang menangis meronta-ronta dan memanggil Baba pada Ahmed. Matanya penuh airmata dan tangisnya menderu-deru, memilukan hati yang mendengar. Tangis bocah itu seolah bersedih telah berjauhan dengan seorang yang paling berarti dalam hidupnya. Ahmed segera bergegas meninggalkanku untuk mengambil dan menggendong bocah yang berumur sekitar satu tahun itu.

Ketr.: 
91. [Jw]     Berseri-seri
92. [Bg]     Ayah
93 [Bg]           Kakek dari pihak ibu (ayahnya ibu)
94. [Bg]     Tendangan

No comments:

Post a Comment