Jadi Ahmed seorang duda? Tapi, kapan ia
menikah? Dengan siapa menikah? Kapan bercerai dan kenapa?
Dan yang tak kalah penting, kenapa tak berterus-terang dengan statusnya?
Kejutan bahagia yang tadi ia bawa, pelan tapi pasti menjadi blur, bagai tinta
di atas kertas yang terkena air. Hahh, betapa dekat jarak kebahagiaan dan
kesedihan.
“Apa yang kamu pikirkan, ha?”
Tahu-tahu Ahmed telah kembali ke hadapanku dan
bertanya dengan mengedepankan raut mengejek. Aku diam, sibuk berpikir, mengapa bukan raut bersalah yang ia sandang.
bertanya dengan mengedepankan raut mengejek. Aku diam, sibuk berpikir, mengapa bukan raut bersalah yang ia sandang.
“Kamu pasti berpikir buruk tentang
saya. Akuilah!”
Ahmed semakin terang-terangan mengejek dengan tawanya. Bumi serasa berhenti
berotasi. Seperti pikiranku yang tak bisa mengalir karena membeku.
”Memang benar ini anak saya. Mau kenalan?”
Masih sambil tertawa, dengan pelan dan lembut, Ahmed melepaskan bocah manis
yang semakin tampak manis karena wajah-tak berdosa dari pelukannya.
”Ayo Shahzad, ikut amma barumu.”
Tanpa basa-basi, Ahmed menempelkan bocah berumur sekitar satu tahun itu ke
tubuhku untuk kupeluk. Tapi anak itu meronta-ronta. Matanya yang bengkak dan
merah menatapku tak berkedip sambil menangis keras. Tapi Ahmed tak sedikit pun
terganggu. Tawanya bahkan terdengar lebih renyah, seolah tangis itu sebuah
kemenangan.
”Apa lagi ini, Ahmed??”
Dengan menyuguhkan wajah panik kuberi ia selembar tanya. Tapi Ahmed hanya
tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia ambil kembali bocah itu dan
membawanya ke dalam pelukan. Sebelah tangannya dengan pelan menghapus airmata di pipi si bocah.
Kuputar bola mata mencari sosok Pak Robby untuk menuntaskan
ketidakmengertian ini. Tapi ia ... telah lenyap dari tempatnya!
”Saya rasa, jam sepuluh malam adalah waktu yang tepat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di kepalamu,” Ahmed mencoba meredakan gemuruh di
kepalaku.
Setelah payah melayari waktu dalam
gundah, menunggu jarum jam menunjukkan angka yang tadi siang disebutkan Ahmed,
kini saat itu telah tiba. Ternyata tepat pilihan waktu yang diambilnya. Makan
malam sudah, Shahzad telah tidur dan orang-orang dengan urusannya
masing-masing. Di pinggir kolam kecil ini, malam terasa indah dan sejuk. Hanya
aku dan Ahmed.
”Cerita ini cukup panjang dan saya
tak bisa menyingkatnya dalam hitungan menit. Itulah mengapa saya minta kamu
bersabar menunggu waktu terbaik, agar saya bisa menceritakan semua secara
detail dan kronologis.”
Kuberi Ahmed diam sebagai tanda
mengerti pada ’kata pendahuluan’-nya barusan.
“Paman Fahim, adik amma saya. Dia
meninggal ....”
Berhenti. Belum juga menyelesaikan
satu kalimat, Ahmed memutus cerita dan mendongak ke atas seolah sedang
mencari-cari bintang.
“Tidak ada bintang di langit, Janu. Ia sedang tidur di dalam kamar
itu,” kataku bermajas. Ahmed tersenyum tipis, mengerti ucapanku yang bermaksud
mengencerkan kekentalan duka dengan menghibur hatinya. Sejenak ia menatap
kamarnya, di mana Shahzad sedang tidur pulas.
”Lanjutkan,” pintaku lembut meski
jelas tak sabar. Telingaku sudah sangat gatal, ingin segera tahu yang terjadi
pada paman Fahim, yang kudengar dari bisik angin adalah baba kandung Shahzad.
”Paman Fahim meninggal karena
dibunuh ....”
”Dibunuh? Siapa yang membunuhnya??!”
Menggebu-gebu kupotong cerita Ahmed yang baru dimulai. Ahmed menolehiku
sambil menunjukkan senyum yang kuncup, memaklumi ketidaksabaran yang mulai
mengendalikanku.
”Orang-orang yang memusuhinya.”
”Kenapa dimusuhi?!”
Lagi-lagi ketidaksabaran memintaku memotong cerita Ahmed. Lagi-lagi pula
Ahmed menolehiku, kali ini sambil tersenyum setipis membran.
”Aifa, tolong jangan memotong.
Biarkan saya bercerita secara kronologis.”
”Baiklah,” jawabku tersipu sambil
menekan si tak sabar yang sedang mendominasi rasa di dada.
”Amma
saya anak tertua. Ia punya dua orang adik, Bibi Rehana dan Paman Fahim.
Semenjak Nana meninggal, Nani95 tinggal bersama kami. Tapi begitu Paman Fahim menyelesaikan study-nya di Malaysia dan pulang ke
Bangladesh, Nani kembali tinggal di
rumahnya bersama Paman Fahim. Tak lama kemudian, Paman Fahim menikah dengan
Bibi Shahista dari Pakistan. Setelah setahun, Nani kembali tinggal di rumah kami karena Paman Fahim dan Bibi
Shahista pergi ke Amerika. Paman akan melanjutkan pendidikan atas beasiswa dari
Rezaur Laboratories. Setelah enam tahun, paman pulang dan bekerja di tempat
yang membiayainya. Tiga tahun setelah itu, Prof. Rezaur, pemilik Rezaur
Laboratories meninggal dan dari sanalah penderitaan Nani bertambah parah dari hari ke hari.”
Kutatap Ahmed untuk bertanya dengan
rona dan sorot mata, mengapa kematian Prof. Rezaur membuat neneknya tambah
menderita.
”Sebelum meninggal, Prof. Rezaur
mewariskan sebagian harta sekaligus tanggung jawab pada Paman Fahim untuk
mengurus Rezaur Laboratories, karena putri beliau satu-satunya tidak berminat.
Sejak itu, Paman Fahim berubah. Ia sering pulang tengah malam selama tujuh hari
dalam seminggu. Nani menjadi muram
dan pendiam karena jarang bertemu paman. Paman Fahim menyadari kerinduan Nani
yang harus selalu ditahan. Paman akhirnya mengulang kebiasaan saat muda,
tidur di sofa agar saat Nani bangun
untuk sholat malam dapat menghampiri dan melihat wajahnya.”
”Ibuku dulu juga suka menengokku saat tidur,” sahutku tak sadar memotong.
Ahmed tersenyum mengerti. Sesaat ia menyentuh rambutku, memaklumi rindu pada
ibu yang tiba-tiba menyergap.
”Suatu saat Bibi Shahista membawa Nani
ke kantor Paman dengan dalih mengantarkan makan siang. Tapi Paman tak
segera bisa menemui hingga Bibi dan Nani harus
menunggu lama. Paman merasa sedih tapi tak berdaya dengan tanggung jawab yang
dijunjungnya. Ia berjanji untuk berusaha keluar dari kondisi abnormal itu. Tapi
janji itu tak pernah bisa terwujud. Nani
keburu meninggal tiga tahun setelah peristiwa itu yang sebenarnya satu bulan
menjelang terpenuhinya janji Paman pada Nani.”
”Sayang sedikit terlambat, ya?”
gumanku.
”Ya. Karena itu Paman Fahim tak
pernah berhasil membuang rasa sesal. Sejak Nani
meninggal, Paman menjadi sulit tersenyum. Paman tak putus berdoa untuk Nani dan mengerjakan amal baik atas nama
Nani. Semakin lama semakin tak puas.
Paman lalu mendirikan komunitas Mikrobiologis Peduli Anak yang melakukan kegiatan
penelitian terhadap makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi anak-anak,
memberikan penyuluhan lewat media massa juga langsung pada penjual kecil. Tapi
masalah timbul ketika dua perusahaan besar tidak mau mengindahkan permintaan
dari komunitas Paman. Beberapa kali Paman dan teman-temannya melawan mereka
dalam perdebatan di media massa. Paman menjadi semakin terkenal, dipuji dan
didukung banyak kalangan. Tapi nyawanya diincar musuh karenanya.”
Sejenak Ahmed menghentikan cerita.
Ia hela nafas panjang tapi halus, tampak sedang mencoba menguasai diri. Rasa
berkabung masih menyelimuti, membuat matanya berkaca-kaca. Melihat itu
penasaranku hilang. Sudah dapat kutebak akhir ceritanya.
”Betapa menjijikkan, Aifa ....”
”Apanya yang menjijikkan, Janu?”
”Perbuatan mereka terhadap paman
saya. Mereka membunuh Paman dengan cara yang sangat keji.”
”Bagaimana?” tanyaku sambil mengelus
pundaknya. Ahmed kembali menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.
”Saat itu paman pulang dari acara
rapat rutin dengan komunitasnya di Dhaka. Di tengah jalan, tiba-tiba mobilnya
meledak ....”
”Tubuh paman saya hancur ....”
Lanjut Ahmed dengan suara bergetar. Ia lalu berhenti bercerita dan menekuri air
kolam yang tenang begitu lama. Aku pun diam dan tak berani bertanya kenapa.
”Ada bom di dalam mobilnya.”
Ahmed menjawab pertanyaan bisuku. Setelah gejolak di dadanya berhasil ia
bekuk. Tapi gejolak di dadaku justru baru dimulai.
”Amma
dan Bibi Rehana sangat sedih dan terpukul ....” lanjut Ahmed. Tapi kemudian
berhenti lagi karena airmatanya mengintip. Hati Ahmed kembali bergolak.
”Sudah, Janu. Cukup. Aku mengerti kelanjutannya.”
Dengan menggenggam tangannya,
kumeminta ia berhenti. Ahmed mengangguk dan memilih untuk tidak melanjutkan
cerita.
”Apakah Shahzad anak Paman Fahim?”
tanyaku sekedar memastikan. Aku lalu diberi anggukan sebagai jawaban. Dalam
diam kumenunggunya berhasil menguasai diri.
“Bibi Shahista di mana?” tanyaku
meluncur saat mata Ahmed tak juga berkedip menatap langit yang tak berbintang.
“Meninggal setelah melahirkan
Shahzad,” jawabnya datar tapi muram.
”Bibi Shahista sudah berumur empat
puluh tahun saat Shahzad lahir. Ia lemah jiwa-raga saat persalinan itu,”
lanjutnya. Cerita tentang orang tua Shahzad kini semakin menarikku ke dalam
dalamnya empati pada pangeran kecil itu.
”Bibi Shahista punya masalah
kesuburan. Ia mengalami endometriosis yang sudah akut. Ia dikatakan tak bisa punya keturunan. Tapi Allah
berkehendak lain. Bibi Shahista sedang hamil delapan minggu saat Paman
meninggal. Setelah kematian Paman, Bibi Shahista sakit keras dan dirawat di
rumah sakit. Saat itulah baru diketahui kalau Bibi Shahista hamil.”
Kubiarkan Ahmed sejenak berhenti
bercerita dan kugunakan waktu itu untuk merasakan hembus angin dari pohon
kamboja.
”Warna hidup Bibi Shahista bagai papan catur. Hitam dan putih
berselang-seling. Ia merasa sedih bila ingat paman, lalu bersemangat bila ingat
dirinya sedang hamil, lalu suram lagi, kemudian cerah lagi. Seperti itu terus.
Kelabilannya membuat Amma dan Bibi
Rehana tambah perih.”
”Kurasa Bibi Shahista tak kuat
menerima guncangan itu,” kataku sekedar berkomentar.
”Iya. Karena ia sangat mencintai Paman. Begitu pula sebaliknya. Dulu, tiap
kali orang menanyakan kenapa belum punya keturunan, Paman selalu mengatakan
bahwa masalah ada pada dirinya. Karena telah tiga tahun menikah Bibi Shahista
belum juga hamil, Paman berinisiatif membuat laporan lab palsu untuk meyakinkan
semua orang bahwa Bibi Shahista sehat. Semua itu ia lakukan agar Bibi Shahista
tak dicemooh dan digunjingkan orang. Saya baru tahu masalah itu dari Bibi
Shahista beberapa saat sebelum ia meninggal.”
Ahmed menghela nafas panjang lalu menyerahkan wajah muramnya ke hadapan
tatap mataku.
”Aifa, saya belum menikah tapi sudah memiliki
seorang anak. Saya ingin bertanya sekali lagi, jika kamu menerima saya sebagai
suami, apakah juga menerima Shahzad sebagai anakmu?”
”Buddhu
... kenapa kamu bertanya seperti itu?” jawabku setengah marah. Dengan
intonasi itu kuharap ia mengerti aku akan menerima dan menyayangi Shahzad
setulus hati.
”Saya tahu kamu akan setuju. Terima kasih, Janu.”
Hanya senyum dan anggukan kuberi
untuk menjawab ucapan terima kasihnya. Bibirku terkatup, sibuk mencari cara menjelaskan kegundahan yang menyusul
rasa haruku.
”Ada apa, Janu?” tanya Ahmed tampak cemas.
”Saya harus mengatakan semua ini,
Ahmed.”
”Ceritakanlah. Kini saatnya saya
mendengar. Karena saya sudah terlalu banyak bicara sejak tadi,” dengan
tersenyum ia memberikan ruang dan waktu padaku.
”Endometriosis,
Ahmed. Aku memilikinya dan
dokter mengatakan aku mungkin akan sulit mendapat keturunan. Kalau ....”
”Cukup, Buddhu. Saya sudah tahu kelanjutannya. Saya menerimamu lengkap satu
paket. Kamu dan endometriosismu itu,” jawab Ahmed dengan senyum kecilnya.
”Tapi, kalau nanti keluargamu ...”
”Ssssttt, kamu tidak boleh bicara
begitu.”
”Itu mungkin saja terjadi, Ahmed.”
”Kalau sampai itu terjadi, saya akan
mengikuti jejak Paman Fahim,” dengan senyumnya yang lucu Ahmed meyakinkanku.
”Maksudmu, kamu akan membuat laporan
lab palsu?”
”Ya, tentu.”
Tawa di ekor mata Ahmed membuat kedua bibirku melengkungkan senyum gembira.
”Kamu sungguh-sungguh tak
keberatan?”
”Tidak, Janu.
Yang penting kamu selalu bersama saya. Hanya itu yang saya inginkan.”
”Dhonnobaad,
Janu. Aku lega mendengarnya.”
”Dhonnobaad
tomakeo96. Itu
tak masalah bagi kita.”
Senyum dan kata-kata Ahmed membuatku
tersenyum lega. Ganjalan di
hati telah kuutarakan dan tanggapan Ahmed menyejukkan.
”Besok, kita akan mencari baju pengantinmu?”
Kujawab ajakan itu dengan lukisan
senyum bahagia yang disambutnya dengan lukisan senyum yang sama.
”Saya ingin melihat sunrise sebelum kita
menikah.”
”Kenapa?”
”Karena gara-gara saya, kamu pernah
kehilangan momen melihat sunrise di pantai Kuta.” Dengan senyum rasa bersalah, Ahmed bermaksud melunasi hutangnya.
”Dasar late riser! Susah
banget sih bangun pagi. Kebo!”
Gerutuku yang di sambutnya dengan senyum kecil. Aku pun menemaninya dengan
senyum sambil memandang mata bercahayanya.
”Sunrise
adalah peralihan dari gelap ke terang, sedangkan sunset peralihan dari terang ke gelap. Karena itulah sekarang saya
lebih menyukai sunrise.”
”Benar. Kalau begitu aku pun akan
menyukai sunrise.”
”Haha, dasar pengekor. Nah, sekarang
sudah waktunya kita untuk istirahat.”
”Ya. Tapi aku yakin tak bisa tidur.”
”Itu bagus. Kalau Shahzad nanti
terbangun, kamu bisa membuatkannya susu.”
”Huh, maunya.”
”Dia juga akan pindah ke kamarmu?”
”Masalahnya dia masih takut denganku.”
”Makanya kamu yang banyak senyum.”
”Banyak senyum bahaya. Nanti dikirim
ke rumah sakit jiwa.”
”Jangan khawatir. Saya akan sering
ke sana menjengukmu.”
”Kamu menyebalkan.”
”Hehe. Kamu tak pernah menang
berdebat dengan saya.”
”Aku memang benci berdebat.”
”Kamu harus bisa melakukan banyak
hal, Sayang. Termasuk berdebat. Ada kalanya itu diperlukan.”
”Nggak, nggak. Ayo kita masuk kamar
saja. Sudah malam,” ajakku sambil beranjak, membawanya mengakhiri percakapan
panjang yang berakhir dengan senyum dan
mata berkilat cahaya.
”Ok, Dear.” Ia pun beranjak.
”Benarkah lusa kita akan menikah?”
tanyaku sambil berjalan menuju kamar.
”InshaAllah.
Kenapa bertanya?”
”Percaya-nggak percaya.”
”Percayalah. Karena saya ada di
sini.”
Ahmed menjawab sambil tersenyum maklum. Aku tak lagi menyahut dan hanya
mengirimkan rasa bahagia lewat senyum.
”Sweet
dream, Honey,” ucapnya tampak rela-tak rela membiarkanku
masuk kamar.
”You too, sweet dream, Janu.”
Aku
menantapnya pergi menuju kamar sebelah sebelum menutup pintu. Setelah saling
tersenyum, kami pun bersama-sama masuk. Ke kamar masing-masing.
?
Dug,
dug ....
Sebuah ketukan dinding membuyarkan
konsentrasiku mengetik SMS untuk Ria. Setelah masuk kamar, aku sama sekali tak
bisa tidur dan menggunakan waktu untuk mengabari pernikahan mendadakku pada
teman dan keluarga. Mungkin kekasihku di kamar sebelah tahu aku masih terjaga
karena mendengar bunyi SMS masuk berkali-kali hingga menggangguku dengan
mengetuk dinding. Hanya saja aku tidak tahu apa arti ketukan itu. Apakah
menyuruhku cepat tidur, atau minta dikirimi SMS juga?
Sengaja tak kubalas untuk memancing
penjelasannya akan maksud ketukan itu. Sementara itu kegiatan mengirim SMS
tidak terhenti karenanya.
Tapi ada yang bisa menghentikan
kelincahan jariku di atas keypad hape. Adalah panggilan telepon Kak
Faysal dari Dubai.
”Salaam
alykum, Adik.”
”Waalaikum salam, Bhaiya. Aap kaisi ho97?”
”Mai
theek hoon, meri bahna98.
Kenapa kamu bertanya seperti itu di SMS, Dik?”
”Aku hanya ingin mengujimu. Aku
ingin tahu, apa kau bisa merasakan perasaanku.”
“Ok. Aku rasa sekarang kamu sedang
bahagia, tapi sedikit sedih juga.”
“Bagaimana kau tahu? Aku kan nggak
cerita apa pun.”
“Karena kamu chotti bahna99-ku.”
”Seratus. Kau lulus, Kak.”
”Jadi, sekarang ceritakan apa yang
terjadi.”
”Aku akan menikah! Besok lusa segera setelah
matahari terbit.”
”Wow,
ini kabar bagus yang selalu aku tunggu. Jadi aku akan dikirim manisan?
Tapi, ngomong-ngomong siapa pengantin prianya?”
”Kakak Fay harus nebak lagi.”
”Kali ini aku menyerah.”
”Jangan menyerah, dong, Kak.
Cobalah. Gunakan kepekaan rasamu.”
”Aku sungguh tak mengerti, Dik. Kamu
begitu bahagia, artinya kamu akan menikah dengan Ahmed. Karena sampai saat ini aku yakin hanya dia yang
kamu cintai. Tapi, bagaimana mungkin?”
”Kenapa tidak mungkin, Kak?”
”Dia sudah meninggalkanmu.”
”Dia kembali, Kak. Kenyataannya
seperti itu.”
”Oh, ya?? Benarkah ...?”
”Itu benar, Kak.”
”Syukurlah, aku senang mendengarnya.
Anyway, selamat ya, Dik. Kalau pulang
ke Indonesia nanti, akan kubelikan sesuatu untuk hadiah pernikahanmu. Katakan
yang kau inginkan.”
”Nggak tahu, Kak. Terserah, apa saja
yang menurutmu bagus untukku.”
”Oke. Nanti aku dan Ning akan pergi
mencari.”
”Makasih, Kak. Makasih juga untuk
telfonnya. Salam buat Mbak Ning.”
”Tak masalah. Dengar Aifa, Ahmed
kembali karena ada cinta di hatinya. Dan cinta itu memang untukmu. Aku
benar-benar bahagia untukmu. Rasanya ingin berada di sana dan melihatmu
menikah.”
“Kau memang di sini, Kak.”
”Aku tahu. Aku akan segera pulang
dan memberi kabar gembira ini pada Ning. Sambutlah hari bahagiamu, Dik. Salaam alykum.”
”Iya, Kak. Sekali lagi terima kasih.
Waalaikum salam.”
Setelah menutup telepon dari Kak
Fay, panggilan telepon Ria yang telah menunggu segera kusambut.
”Aifa, aku rela menunggu karena kamu
pasti sibuk dengan telfonmu.”
”Ria, maaf ya.”
”Gak papa lagi.”
”Bukan, bukan itu maksudku. Aku minta maaf karena
mengabarimu soal pernikahanku. Aku bukan bermaksud membuatmu sedih karenanya.”
”Aifa, mana mungkin aku sedih dengan
kebahagiaanmu. Mungkin aku
memang tidak berjodoh dengan orang Bangladesh.”
”Semoga itu yang terbaik.”
”Ya, semoga. Ngomong-ngomong selamat
atas pernikahanmu dan aku ikut berbahagia untukmu, Aifa.”
”Trims. Tapi saat ini aku
mengkhawatirkan Zia, Ria.”
”Sudahlah, Aifa. Kamu harus konsen
dengan urusanmu sendiri. Kamu akan menjelang hari bahagiamu dan Zia akan
baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri. Suatu saat ia akan menerima perjodohan itu dan
melupakanku.”
”Tapi kamu yakin kan, kalau Zia
tidak pernah mempermainkanmu?”
”Aku yakin itu, Aifa. Dan aku
sungguh-sungguh menghargai usahanya selama ini. Aku akan menyimpan namanya
dalam hatiku.”
”Kadang aku iri dengan ketabahan dan
kerendahan hatimu menerima kenyataan pahit, Ria. Aku dulu sama sekali tak
seperti itu. Hatiku dipenuhi pemberontakan.”
”Aifa, ini belum apa-apa. Nanti kalau kita sudah
memiliki keluarga, akan menghadapi masalah yang jauh lebih rumit. Yah, ini
mungkin latihan buatku.”
“Iya, benar.”
“Ngomong-ngomong, aku ingin minta
tolong padamu, Aifa.”
”Apa itu?”
”Tolong katakan pada Zia, aku ingin
dia mematuhi amma-nya karena tak akan
baik melangkah tanpa restu orang tuanya. Aku juga tak mau membuat seorang anak
yang baik menjadi durhaka. Dan tolong bantu dia melupakan aku.”
”Caranya?”
”Jangan bicara apa pun tentang aku
kecuali dia yang memulai.”
”Baik.”
”Terima kasih, ya. Sekali lagi
selamat dan sampaikan salamku pada calon suamimu. Ntar, kirimi aku foto pernikahan kalian ya?”
”Tentu.”
”Ya udah, ya. Assalamualaikum.”
”Waalaikum salam.
Dug,
dug ....
Ahmed kembali mengetuk dinding, membuatku
tergerak mengirimnya SMS.
Maaf, Sayang. Aku sedang sibuk.
Begitu dapat telfon dari
temanmu, kamu segera melupakanku, protes Ahmed sok teraniaya.
Buddhu, aku baru
mengabaikanmu beberapa menit kamu sudah mengeluh. Kamu sendiri, berapa lama
mengabaikan aku? Dua tahun. Huh!
Heheh ... maaf, maaf.
Belum juga sempat menimpali SMS
Ahmed, bunyi hapeku memberitahu ada SMS masuk dari Zia. Kali ini, kupilih
membaca dan membalas SMS teman daripada kekasih.
Sunset di sungai Padma tak
lagi indah, Aifa. Tapi aku bahagia untukmu. Selamat atas pernikahanmu, semoga
kau bahagia selamanya.
Dhonnobaad, Bondhu. Kau tahu,
saat bahagia hal yang sangat sederhana bisa tampak indah, tapi saat sedih, hal
yang indah pun tampak tak bernilai di mata. Jadi semua itu tergantung hati.
Kepalaku tersumbat, Aifa. Aku
tak bisa berpikir dan merasakan apa pun, keluh Zia yang masih berada di dalam kumparan marah yang ditahan.
Bondhu, inilah hidup. Kadang
sedih, kadang bahagia. Ngomong-ngomong soal bahagia, sebenarnya kebahagiaan itu
harus dicari, dia tidak datang dengan sendirinya.
Di mana mencarinya? Zia menantang.
Bukan di tempat yang jauh,
karena dia terletak di dalam hatimu sendiri.
Kenapa kamu percaya dengan
teori-teori seperti itu, Aifa?
Maksud kamu, Zia?
Itu mudah diucapkan tapi
sulit dilaksanakan, Teman.
Zia menyanggah dengan pesimis membuatku gatal untuk berkhotbah padanya.
Dalam hidup tak ada yang
selalu mudah, Zia. Kadang kita harus melalui banyak rintangan dan masalah, baru
mendapatkan yang kita inginkan. Dalam proses itu, kita belajar banyak.
Sekarang, aku sudah tahu kalau mencintai manusia secara berlebihan hanya akan
mendapatkan derita.
Haha, tiba-tiba temanku yang
cengeng jadi dewasa. Kata-katanya seperti seorang filsuf bijaksana. Inilah dampak hati yang sedang bahagia! Zia mengejek tapi tak serius.
Itulah kekuatan bahagia, Zia.
Saat bahagia, pikiran kita menjadi jernih. Jadi, kau harus berusaha bahagia,
hehe.
Ya, ya. Kadang-kadang, aku
memang harus mendengarkan kata-katamu. Tapi, Aifa, aku harus minta tolong.
Apa itu, Zia?
Jadilah teman baik, Ria.
Bantulah dia jika ada masalah. Ceriakan dia jika sedih. Kalau ada yang perlu
aku lakukan, tolong katakan padaku, tapi jangan pernah bilang padanya kalau aku
yang melakukan.
Okay bos. Jawabku dengan semangat bercanda.
Bos? Aku tidak suka kamu
bicara begitu.
Kamu! Masak begitu saja
marah. Itulah akibat banyak makan
daging. Ejekku tapi tak
serius.
Kamu lupa ya, betapa sedihnya
kamu saat itu karena Ahmed. Aku tak pernah lupa kamu sering mengatakan, ’betapa
aku sangat mencintainya dan selalu meneteskan airmata hanya dengan mengingat
dan menyebut namanya.’ Huh. Setelah bahagia, kamu lupa semua keluhan-keluhanmu
dulu dan mengolok-olokku.
Dengan berpura-pura kesal, Zia memprotesku.
Hehehe, maaf, Bondhu. Aku tak
bermaksud begitu.
It’s okey. Teman, boleh aku
mengakui satu hal padamu. Hanya untuk kau ketahui. Mengerti maksudku? Zia memintaku menyimpan sebuah rahasia.
Mengerti. Terima kasih telah
mempercayaiku. Aku akan menjaga kepercayaanmu.
Terima kasih. Aifa, aku
ternyata ’lelaki kecil’. Bukan pria sejati yang sanggup menyeberangi lautan api
cinta. Zia membuatku terharu
meski di saat yang sama ingin tergelak dengan kata-kata puitisnya.
Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Bondhu. Kamu sudah
melakukan yang terbaik. Kalau kamu tidak melakukan upaya apa pun, akulah yang
pertama kali memanggilmu pecundang totol.
Aku seharusnya bisa melakukan
lebihbanyak, Aifa. Ucap Zia
mengungkapkan rasa tak berdaya.
Jodoh ada di tangan Allah.
Betapa pun kamu menginginkannya, kalau Allah tidak berkehendak, pasti tak akan
terjadi. Kita harus belajar menerima kenyataan yang tak sejalan dengan
keinginan. Kamu harus yakin kalau kehendak Allahlah yang terbaik.
Tapi tidak mudah melepaskan
sesak di dada ini, Aifa.
Kamu tahu, aku sangat
mengerti dan berpengalaman dalam masalah itu. Ketahuilah temanku, melupakan
seseorang yang kita cintai itu kadang mudah, kadang susah. Saat kita sendiri
akan terasa susah, tapi saat bersama dengan orang lain yang positive thinking
dan bijak, rasanya akan menjadi lebih mudah. Jadi jangan suka sendiri.
Bersamalah orang yang bisa membuat pikiranmu jernih atau setidaknya yang bisa
membuatmu senang.
Terima kasih, Bondhu. Malam
ini aku telah belajar dari yang telah berpengalaman haha.
Dan MS-SMS kami masih terus berlari
dan menjemput hingga aku lelah dan tertidur. Missed calls dan SMS dari Anya, Kak Dio dan Ahmed terabai
karenanya.
?
”Aifa! Giliran bahagia, kamu lupa
dan tidak mau angkat telepon Kakak, ya?” protes Kak Dio tak serius, juga tak
bercanda.
”Maafin aku, Kak. Semalam aku tertidur.”
”Tidak apa-apa. Kakak cuma mau ngucapin
selamat. Kakak turut bahagia untukmu.”
”Terima kasih, Kak. Ini kejutan dari si pendustu.”
”Kamu harus cerita
selengkap-lengkapnya nanti setelah pernikanmu, ya?”
”Iya, Kak. Hari ini aku harus
mencari baju untuk akad nikah besok pagi.”
”Oke, oke. Kalau begitu kamu harus segera pergi.
Kamu tidak punya waktu lagi.”
”Tapi Kakak akan ke sini, kan?”
”Tentu saja. Kamu ini memang bodoh.
Pantas saja sering dipanggil si bodoh sama Ahmed.”
”Hehehe. Kakak jangan ketularan
manggil aku si bodoh, ya?”
”Sepertinya menyenangkan memanggilmu begitu, haha.” Goda Kak Dio.
”Kalau sampai Kakak melakukannya, akan kubalas. Kupanggil Kakak dengan
sebutan Nonta99.”
”Artinya??”
“Si
asem, whee,” kataku yang langsung disambarnya dengan tawa geli.
“Ya
udah ya, Kak. Kami tunggu kedatangan Kakak besok, ya?”
“Oke.
Aku tak sabar melihat senyum bahagiamu.”
“Ah,
Kak Dio bisa saja.”
“Sungguh. Kebahagiaanmu kali ini pasti sebuah kejujuran. Bukan bahagia
paksaan atau bahagia yang diusahakan seperti biasa.”
“Iya, kurasa begitu. Sampai jumpa besok, Kak.”
“Ya. Sampai jumpa besok. InsyaAllah. Bye.”
Dengan senyum yang dikatakan
kejujuran rasa oleh Kak Dio kututup telepon darinya. Anya. Tinggal satu nama
yang belum melengkapi rasa bahagiaku dengan ucapan selamatnya. Sahabatku itu
bahkan kalah dengan Riza yang telah memberi ucapan selamat meski hanya lewat
SMS. Tapi missed call-nya semalam
telah mengisyaratkan niatnya memberi ucapan selamat. Sekaranglah saatnya ia
mengucapkan selamat itu dan mengakui Ahmed tak seburuk yang ia sangka.
“Halo ....” sapa Anya lemah di sana.
“Pagi, Bu. Bangun, bangun! Gini hari
masih tidur. Urusin tuh Eva.”
“Kamu kali yang tidur. Ngelindur
lagi.”
”Ngelindur apaan?”
”Laah, kamu ke Bali kan untuk
ngehadirin nikahannya Kiron. Pake kabar-kabar kamu yang mau nikah segala. Sama
Ahmed lagi. Mimpi kaliii.”
”Huh! Susah ngomong sama orang yang
nggak percaya pada takdir dan ketulusan cinta. Kamu telfon ayah aja, deh. Aku
gak mau buang-buang waktu buat ngejelasin ke kamu supaya percaya dengan semua
ini.”
”Lah, kenapa mesti begitu?”
”Ceritanya panjang. Aku nggak punya
banyak waktu untuk jelasin ke kamu karena sekarang aku dan Ahmed harus segera
beli baju untuk pernikahan kami besok pagi.”
”Ya ampun. Aku bener-bener bingung. Semua ini
benar atau karangan, sih?”
”Sudah, sudah. Kamu telfon ayah aja,
deh. Bye.”
Gagal. Aku gagal. Tapi tak apa.
Karena ayah pasti bisa meyakinkan Anya kalau kabar yang kusampaikan itu benar.
Sekarang harus kubangunkan Ahmed untuk segera bersiap-siap pergi ke toko.
”Januuu!”
panggilku seranya mengetuk pintu.
”Kenapa, Sayang? Jangan keras-keras
bicaranya, nanti Shahzad terbangun,” jawab Ahmed sambil membuka pintu kamarnya.
Ia lalu menyandarkan punggung kirinya ke frame pintu. Telapak kaki kiri
yang ditekuk, menambah kuat gestur santai yang dibuatnya.
”Kita harus siap-siap pergi cari
baju untukku.”
”Iya. Tapi kita harus tunggu Shahzad
bangun, memandikan dan memberinya makan dulu.” Jawab Ahmed sambil tetap menahan
pintu agar tak terbuka.
”Tapi kapan dia bangun?”
”Sabar, Sayang.”
”Trus, apa yang harus kita lakukan?”
”Saya sih mau tidur lagi.”
”Huuh, masak tidur lagi? Jangan
nyantai-nyantai, dong?”
”Lalu, apa yang harus saya lakukan,
haa?”
”Banyak. Kita juga harus bantu Kiron dan Mbak Lina
nyiapin segala sesuatunya. Kan nggak enak kalau semua mereka yang lakukan.”
”Saya lelah, Sayang. Lagipula
semuanya sudah beres.”
”Beres apanya? Baju untuk aku aja
belum ada.”
”Iya kita akan membelinya nanti.
Tinggal itu yang belum.”
”Jangan nanti-nanti, nikahnya besok
pagi-pagi, Ahmeed ....”
”Tapi kita belum bisa pergi
sekarang. Shahzad belum bangun, Sayang.”
”Kan ada Ko Robby?”
”Robby mana bisa mengurus Shahzad.
Kemarin saya tinggal sebentar saja, Shahzad menangis seperti itu.”
”Nanti keburu siang. Nyari baju buat
nikahan kan gak gampang.”
”Kamu bersemangat sekali mau beli
baju, tapi tidak bersemangat untuk berterima kasih pada amma.”
Sejenak aku terdiam melihat senyum
aneh Ahmed yang terhampar.
”Aku memang harus berterima kasih
pada amma atas restunya. Tapi apa arti senyummu itu, Dustu?”
”Telepon saja. Ada penerjemahmu di
sini. Nanti juga kamu akan tahu.”
”Tahu apa?”
”Kalau ingin tahu, cepatlah telepon amma. Dia juga ingin segera mendengar suaramu.”
Tiba-tiba aku merinding mendengar
ucapan Ahmed. Bahagia, terharu, juga takut merangsek masuk ke hatiku bersamaan.
”Tapi aku grogi, Janu.” Ucapku pelan. Dengan sorot mata
ingin dipahami, kumendongak untuk melihat matanya.
”Kenapa grogi? Amma seorang ibu yang ramah dan baik hati. Kamu tahu itu, kan?” Aku
tersipu malu menjawab ekor mata Ahmed yang melempar sindiran.
”Saya sudah tahu kamu telah diam-diam menelepon ke rumah,” ucap Ahmed
memperjelas.
”Makanya jangan melarang. Malah
bikin orang penasaran.” Kilahku membela diri.
”Bandel.”
”Kamu yang buat aku jadi bandel.”
”Kamu mau terus berdebat atau
menelepon Amma? Setidaknya untuk
mengucapkan terima kasih telah dibuatkan baju pengantin yang indah.”
”Apa??!”
”Saya tahu kamu akan berseru seperti
itu,” ejek Ahmed sambil membuka daun pintu dan berjalan menuju lemari baju.
”Katakan pendapatmu tentang baju
ini.”
Di tangan Ahmed kanan, sepotong baju
pengantin ala India muslim warna biru muda sedang menanti untuk dipuji. Bukan
karena dipenuhi payet dan bordir indah hingga tampak mewah. Justru karena
minimalis dan terbuat dari bahan yang ringan, baju itu akan cocok untuk badan
dan seleraku. Sedang di tangan kiri, selembar kerudung dengan warna senada
tampak cantik dan anggun. Ahmed tersenyum lebar, seperti sedang mengepakkan
sayap-sayap kebahagiaan.
”Ini ... ini baju pengantin yang
sangat indah dan anggun. Modelnya seperti yang biasa dipakai pengantin muslim
India. Aku sering melihatnya di tivi.”
”Ini bajumu, Sayang. Amma sendiri yang merancang, menjahit
dan menyulam hiasannya.”
”Apa ....? Be ... benarkah??”
”Tentu saja benar. Kalau tidak
percaya, tanya saja sama amma. Tapi
saya tidak mau menjadi penerjemahmu.”
”Janu,
kamu ini bodoh sekali. Aku bukannya tidak percaya pada kata-katamu, tapi belum
percaya dengan berkah yang melimpah ini. Amma
memberikan restu saja aku sudah sangat bahagia, apalagi ....”
”Apalagi amma begitu sayang padamu?” jawab Ahmed terpaksa meneruskan
kalimatku yang tak sanggup kutuntaskan. Ingatanku pada almarhumah ibu tak
tercegah, membuat airmata pun tak terbendung untuk tidak menderas.
”Amma
tahu, kamu sudah tidak memiliki ibu. Makanya ia sangat sayangnya padamu. Mungkin suatu saat akan lebih dari
menyayangimu daripada saya.” Ahmed mencoba menguatkan hatiku dengan menyerahkan
amma untuk kumiliki lebih dari
kapasitasku sebagai menantu.
”Wah, saya harus siap-siap dari sekarang.”
Ahmed mencoba membuatku tersenyum dengan mimiknya. Dengan mimik lucu
disertai garuk-garuk kepala itu Ahmed ingin melarikanku dari suasana
sentimentil. Tapi kali ini
tak ada sesuatu pun yang mungkin membuatku tertawa. Aku hanya tersenyum kecil
demi menunjukkan penghargaan atas usahanya membuatku terlepas dari tawanan
muram.
”Sayang, ibu pasti tersenyum melihatmu bahagia. Ibu juga merestui saya,
kan?” tanya Ahmed yang kini serius.
”Tentu saja, Buddhu.” Jawabku
yang masih belum bisa kembali bersikap normal.
”Oh, ya, Janu, kita akan menjemput Rasel di bandara nanti sore.”
”Rasel datang? Benarkah?”
”Tentu saja benar. Kenapa?”
”Huh, dasar the master of dustu. Tadi dia SMS, merayuku dan minta maaf tidak
bisa datang karena banyak tugas.”
“Kamu senang dia datang?” Ahmed tiba-tiba
memberiku wajah nonta alias kecut.
“Tentu saja. Dia pemuda yang sangat
menyenangkan.”
“Bagimu. Tidak bagiku,” sahut Ahmed
dengan wajah tak senang. Aku menjadi heran, tak mengerti mengapa ia tak
menyukai sahabatnya sendiri.
“Kamu ada masalah apa dengan Rasel, Janu?”
Sedetik, dua detik hingga kami di
sini menjemput Rasel, jawaban itu tak kuterima. Aku pun tak ingin memaksanya,
saat ucapan Ko Robby yang mengatakan
kalau mereka suka mempermalukan Ahmed mencuat kembali dari pikiranku. Mungkin
itu yang membuat Ahmed masih kesal pada Rasel.
”Hem, hem ... sedang menunggu
seseorang, Tuan, Nyonya?”
Kami spontan membalikkan badan,
begitu mendengar seseorang berbicara sambil tertawa seolah senang atas sebuah
kemenangan. Ahmed tersenyum begitu mata mereka berpapas. Lalu mereka pun
berpelukan. Dari mata dan warna wajah Ahmed, aku tak melihat kebencian dan rasa
tak suka yang terpendam. Mungkin rasa tak sukanya pada Rasel hanya di
permukaan, tak sampai ke dasar hati.
”Kamu pasti Aifa.”
”Ya. Senang bertemu denganmu,
Rasel?”
”Ya, saya juga. Senang melihat
Shahzad tidak menangis di tanganmu, Aifa. Rupanya dia sudah menerimamu sebagai amma-nya,” ujarnya sambil tersenyum
takjub.
”Ibu saya sudah tiada saat adik saya
masih bayi. Jadi, saya sudah berpengalaman dengan anak kecil.”
”Oh, I am so sorry to hear that.”
“Tidak
apa-apa Rasel. Ibu sudah tenang dalam istirahat panjangnya.”
“Ya,
dia pasti bahagia melihatmu menikah esok.”
Bahagia.
Memang benar ini momen yang sangat membahagiakan dan berharga meski setitik
airmata menetes menyadari bukan ibu, tapi Budhe
Prapti yang saat ini memelukku.
“Kamu
sudah menjadi seorang istri, Nduk. Jadilah
istri yang berbakti dan taat pada suami seperti mendiang ibumu, ya nduk ya?” pesan Budhe terharu.
Hanya
anggukan kuberi sebagai jawaban. Kutak bisa lagi berkata apa-apa. Pernikahan
sederhana ini tak kusesali, ketidakhadiran amma
di sini bisa dimaklumi, tiadanya ibu pun sudah takdir, tapi tetap saja
airmataku berterjunan. Ayah di sisi Budhe
Prapti yang selesai menerima sungkem101 Ahmed pun menunduk
menyembunyikan perasaannya. Ibra lari ke pelukan ayah dan bertanya hal menambah
kecepatan laju airmataku.
“Mbak Aifa akan
pergi ikut Kak Ahmed ya, Yah?”
Ayah
tak menjawab. Hanya memeluk Ibra lembut dan kuat. Tapi yang dipeluk
memberontak, ia berusaha melepaskan diri dari tangan ayah. Pelukanku yang
dituju.
“Kalau
ada rezeki, Mbak-mu akan mengunjungi kita, Le102.
Kalau kangen kan bisa telpon.
Bisa juga pakai internet. Dengan internet kamu bisa lihat Mbak-mu, seperti waktu kamu lihat Mbak Ratih yang ada di Inggris itu lho,” dengan kekuatan khas
seorang ibu, Budhe berusaha membuat
Ibra tegar. Melihat Ibra menghapus airmatanya, aku pun menghapus airmataku
dengan selendang buatan amma.
Kak Dio dengan pelan menarik Ibra dari
pelukanku dan membawanya duduk di antara dirinya Anya. Entah mengapa, aku
merasa mereka serasi dan terpikir untuk menjodohkan.
“Ada apa, Nduk?”
“Mereka cocok, Budhe,” bisikku sambil melirik Anya di sela-sela mataku yang masih
berembun. Sementara yang dilirik menatapku dengan ekor mata tak sedap.
”Kalau memang jodoh, mereka akan
menemukan jalannya,” jawab Budhe Prapti
sambil memberi isyarat untuk melanjutkan acara.
Aku menuju ayah yang sudah bisa
menguasai diri untuk menghaturkan sungkem.
Senyum ayah dan lirikannya pada Kiron membuatku kuat dan berusaha tak
menangis lagi. Dengan lirikan itu Ayah mengingatkanku untuk tak menangis.
Semalam saat makan bersama, Kiron sudah meminta pada semua orang agar
menghindari suasana haru dan airmata. Ia hanya mengharap wajah dan senyum cerah
agar bisa melupakan kenyataan bahwa keluarganya belum memberi restu pada
pernikahannya.
Kiron di belakangku, akan menghaturkan sungkem
pada Budhe Prapti yang
mendampingi Ayah. Ia mengikuti tradisi menghaturkan sungkem pada prosesi pernikahan karena telah dianggap anak oleh
Ayah. Dia tak ingin merasa
tak punya siapa-siapa di sini, di negeri asing yang telah membuatnya
meninggalkan keluarga yang telah bersama sepanjang hidupnya.
”Apa kamu tahu bagaimana perasaan orang yang akan menikah tanpa restu kedua
orang tua dan keluarga, Aifa?” tanya Kiron semalam saat ia berhasil menculikku
dari Ahmed dan Shahzad.
Dalam diam kumenyadari, di balik gaya cuek dan ucapannya yang suka
sembarangan, Kiron tetap saja menyimpan sedih yang berbuih-buih. Rona wajah
saat ia mengungkapkan perasaan itu membuatku dapat melihat jelas warna hatinya.
Tiba saatnya Kiron sungkem pada
ayah. Kulirik ayah yang mengelus pundak dan memeluknya seperti ia melakukannya
pada Ahmed tadi. Melihat itu, aku merasa tenang
meninggalkan Kiron di Indonesia.
Mentari semakin naik, seperti naiknya optimis kami menyambut hari depan
yang diawali hangat mentari di sela-sela riak jinak dan desau angin Pantai
Kuta. Tapi, di hatiku masih ada ganjalan teringat Zia sedang sendiri mengalami
’sunset’ dalam hidupnya. Kiron
pun masih harus menanti ’matahari terbit’ entah sampai kapan.
”Photographer, lakukan tugasmu!” seru Rasel sambil
menyenggol Robby.
“Sure,” jawab Ko Robby sambil menyerahkan Shahzad pada
Rasel sambil tertawa. Rasel kaget dan berseru, “No, no, no, no, no! Kasih ke baba-nya
saja!”
Sambil berjalan mundur dan menunjuk Ahmed, Rasel menolak Shahzad. Sinar
mata suamiku mengeruh karena Rasel bersikeras tak mau menggendong Shahzad. Ia pun dengan muka masam mendekati kedua
temannya itu.
”Berikan padaku! Anakmu sendiri pun tak pernah kamu gendhong,” kata suamiku
dengan muka merah padam. Tapi
Rasel tak terpengaruh saja.
”Dapur dan anak bukan teritoriku. Aku tak suka menyentuh yang bukan
wilayahku,” jawab Rasel sambil terkekeh cuek.
”Kamu harus belajar. Sebentar
lagi kamu punya bayi kedua.”
”Mungkin aku akan belajar, tapi tidak sekarang.” Rasel tetap menjawab
seenaknya. Suamiku tak lagi memperdulikan Rasel. Ia mendekatiku sambil menenangkan Shahzad dengan
pelukan dan usapan.
”Kalau mau fotonya bagus jangan cemberut,” ujar Ko Robby menyindir suamiku sambil mengarahkan kamera pada kami.
Seketika suamiku tersenyum dan memelukku hangat. Dengan provokasi Kiron dan
Rasel, yang lain pun berlomba mendekat dan mengambil posisi.
Cekrek, cekrek ....
Di bawah naungan mentari yang sedang menjulurkan jari-jarinya, entah berapa
puluh kali kami mengambil momen bahagia untuk bekal mengarungi hari depan
diiringi lagu Heaven Knows103.
Lagu yang menggambarkan hari-hariku sebelum
dipertemukan kembali dengan Ahmed, belahan hatiku.
Maybe my love will come back some day
Only Heaven knows
And maybe our hearts will find a way
Only heaven knows
And all I can do is hope and pray
Cause Heaven knows.
Only Heaven knows
And maybe our hearts will find a way
Only heaven knows
And all I can do is hope and pray
Cause Heaven knows.
Ketr.:
95. [Bg] Nenek dari pihak ibu
(ibunya ibu)
96. [Bg] Terima kasih kembali
97. [Hd] Apa kabar? (bahasa
perempuan)
98. [Hd] Kabarku baik, saudariku
99. [Hd] Adik perempuan
100. [Bg] Asam
101. [Jw] Cara menghaturkan hormat pada
orang tua ala Jawa
102. [Jw] Nak, Dik (untuk laki-laki)
103. Lagu yang dipopulerkan oleh Erick Price.
No comments:
Post a Comment