Thursday, April 3, 2014

BAB 16: SUNRISE



 Aku diam mematung, dirundung kaget yang menggunung. Airmata berduyun-duyun datang dan berkumpul untuk mengalir bersama. Sungguh aku tak mengerti, kenapa Ahmed tega menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah mempunyai seorang anak.
Jadi Ahmed seorang duda? Tapi, kapan ia menikah? Dengan siapa menikah? Kapan bercerai dan kenapa? Dan yang tak kalah penting, kenapa tak berterus-terang dengan statusnya? Kejutan bahagia yang tadi ia bawa, pelan tapi pasti menjadi blur, bagai tinta di atas kertas yang terkena air. Hahh, betapa dekat jarak kebahagiaan dan kesedihan.
            “Apa yang kamu pikirkan, ha?”
Tahu-tahu Ahmed telah kembali ke hadapanku dan
bertanya dengan mengedepankan raut mengejek. Aku diam, sibuk berpikir, mengapa bukan raut bersalah yang ia sandang.
            “Kamu pasti berpikir buruk tentang saya. Akuilah!”
Ahmed semakin terang-terangan mengejek dengan tawanya. Bumi serasa berhenti berotasi. Seperti pikiranku yang tak bisa mengalir karena membeku.
            ”Memang benar ini anak saya. Mau kenalan?”
Masih sambil tertawa, dengan pelan dan lembut, Ahmed melepaskan bocah manis yang semakin tampak manis karena wajah-tak berdosa dari pelukannya. 
”Ayo Shahzad, ikut amma barumu.
Tanpa basa-basi, Ahmed menempelkan bocah berumur sekitar satu tahun itu ke tubuhku untuk kupeluk. Tapi anak itu meronta-ronta. Matanya yang bengkak dan merah menatapku tak berkedip sambil menangis keras. Tapi Ahmed tak sedikit pun terganggu. Tawanya bahkan terdengar lebih renyah, seolah tangis itu sebuah kemenangan.
            ”Apa lagi ini, Ahmed??”
Dengan menyuguhkan wajah panik kuberi ia selembar tanya. Tapi Ahmed hanya tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia ambil kembali bocah itu dan membawanya ke dalam pelukan. Sebelah tangannya dengan pelan menghapus airmata di pipi si bocah.
Kuputar bola mata mencari sosok Pak Robby untuk menuntaskan ketidakmengertian ini. Tapi ia ... telah lenyap dari tempatnya!
”Saya rasa, jam sepuluh malam adalah waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di kepalamu,” Ahmed mencoba meredakan gemuruh di kepalaku.
            Setelah payah melayari waktu dalam gundah, menunggu jarum jam menunjukkan angka yang tadi siang disebutkan Ahmed, kini saat itu telah tiba. Ternyata tepat pilihan waktu yang diambilnya. Makan malam sudah, Shahzad telah tidur dan orang-orang dengan urusannya masing-masing. Di pinggir kolam kecil ini, malam terasa indah dan sejuk. Hanya aku dan Ahmed.
            ”Cerita ini cukup panjang dan saya tak bisa menyingkatnya dalam hitungan menit. Itulah mengapa saya minta kamu bersabar menunggu waktu terbaik, agar saya bisa menceritakan semua secara detail dan kronologis.”
            Kuberi Ahmed diam sebagai tanda mengerti pada ’kata pendahuluan’-nya barusan.
“Paman Fahim, adik amma saya. Dia meninggal ....”
            Berhenti. Belum juga menyelesaikan satu kalimat, Ahmed memutus cerita dan mendongak ke atas seolah sedang mencari-cari bintang.
            “Tidak ada bintang di langit, Janu. Ia sedang tidur di dalam kamar itu,” kataku bermajas. Ahmed tersenyum tipis, mengerti ucapanku yang bermaksud mengencerkan kekentalan duka dengan menghibur hatinya. Sejenak ia menatap kamarnya, di mana Shahzad sedang tidur pulas.
            ”Lanjutkan,” pintaku lembut meski jelas tak sabar. Telingaku sudah sangat gatal, ingin segera tahu yang terjadi pada paman Fahim, yang kudengar dari bisik angin adalah baba kandung Shahzad.
            ”Paman Fahim meninggal karena dibunuh ....”
            ”Dibunuh? Siapa yang membunuhnya??!”
Menggebu-gebu kupotong cerita Ahmed yang baru dimulai. Ahmed menolehiku sambil menunjukkan senyum yang kuncup, memaklumi ketidaksabaran yang mulai mengendalikanku.
            ”Orang-orang yang memusuhinya.”
            ”Kenapa dimusuhi?!”
Lagi-lagi ketidaksabaran memintaku memotong cerita Ahmed. Lagi-lagi pula Ahmed menolehiku, kali ini sambil tersenyum setipis membran.
            ”Aifa, tolong jangan memotong. Biarkan saya bercerita secara kronologis.”
            ”Baiklah,” jawabku tersipu sambil menekan si tak sabar yang sedang mendominasi rasa di dada.
            Amma saya anak tertua. Ia punya dua orang adik, Bibi Rehana dan Paman Fahim. Semenjak Nana meninggal, Nani95 tinggal bersama kami. Tapi begitu Paman Fahim menyelesaikan study-nya di Malaysia dan pulang ke Bangladesh, Nani kembali tinggal di rumahnya bersama Paman Fahim. Tak lama kemudian, Paman Fahim menikah dengan Bibi Shahista dari Pakistan. Setelah setahun, Nani kembali tinggal di rumah kami karena Paman Fahim dan Bibi Shahista pergi ke Amerika. Paman akan melanjutkan pendidikan atas beasiswa dari Rezaur Laboratories. Setelah enam tahun, paman pulang dan bekerja di tempat yang membiayainya. Tiga tahun setelah itu, Prof. Rezaur, pemilik Rezaur Laboratories meninggal dan dari sanalah penderitaan Nani bertambah parah dari hari ke hari.”
           Kutatap Ahmed untuk bertanya dengan rona dan sorot mata, mengapa kematian Prof. Rezaur membuat neneknya tambah menderita.
            ”Sebelum meninggal, Prof. Rezaur mewariskan sebagian harta sekaligus tanggung jawab pada Paman Fahim untuk mengurus Rezaur Laboratories, karena putri beliau satu-satunya tidak berminat. Sejak itu, Paman Fahim berubah. Ia sering pulang tengah malam selama tujuh hari dalam seminggu. Nani menjadi muram dan pendiam karena jarang bertemu paman. Paman Fahim menyadari kerinduan Nani yang harus selalu ditahan. Paman akhirnya mengulang kebiasaan saat muda, tidur di sofa agar saat Nani bangun untuk sholat malam dapat menghampiri dan melihat wajahnya.”
”Ibuku dulu juga suka menengokku saat tidur,” sahutku tak sadar memotong. Ahmed tersenyum mengerti. Sesaat ia menyentuh rambutku, memaklumi rindu pada ibu yang tiba-tiba menyergap.
”Suatu saat Bibi Shahista membawa Nani ke kantor Paman dengan dalih mengantarkan makan siang. Tapi Paman tak segera bisa menemui hingga Bibi dan Nani harus menunggu lama. Paman merasa sedih tapi tak berdaya dengan tanggung jawab yang dijunjungnya. Ia berjanji untuk berusaha keluar dari kondisi abnormal itu. Tapi janji itu tak pernah bisa terwujud. Nani keburu meninggal tiga tahun setelah peristiwa itu yang sebenarnya satu bulan menjelang terpenuhinya janji Paman pada Nani.”
            ”Sayang sedikit terlambat, ya?” gumanku.
            ”Ya. Karena itu Paman Fahim tak pernah berhasil membuang rasa sesal. Sejak Nani meninggal, Paman menjadi sulit tersenyum. Paman tak putus berdoa untuk Nani dan mengerjakan amal baik atas nama Nani. Semakin lama semakin tak puas. Paman lalu mendirikan komunitas Mikrobiologis Peduli Anak yang melakukan kegiatan penelitian terhadap makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi anak-anak, memberikan penyuluhan lewat media massa juga langsung pada penjual kecil. Tapi masalah timbul ketika dua perusahaan besar tidak mau mengindahkan permintaan dari komunitas Paman. Beberapa kali Paman dan teman-temannya melawan mereka dalam perdebatan di media massa. Paman menjadi semakin terkenal, dipuji dan didukung banyak kalangan. Tapi nyawanya diincar musuh karenanya.”
            Sejenak Ahmed menghentikan cerita. Ia hela nafas panjang tapi halus, tampak sedang mencoba menguasai diri. Rasa berkabung masih menyelimuti, membuat matanya berkaca-kaca. Melihat itu penasaranku hilang. Sudah dapat kutebak akhir ceritanya.
            ”Betapa menjijikkan, Aifa ....”
            ”Apanya yang menjijikkan, Janu?”
            ”Perbuatan mereka terhadap paman saya. Mereka membunuh Paman dengan cara yang sangat keji.”
            ”Bagaimana?” tanyaku sambil mengelus pundaknya. Ahmed kembali menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.
            ”Saat itu paman pulang dari acara rapat rutin dengan komunitasnya di Dhaka. Di tengah jalan, tiba-tiba mobilnya meledak ....”
            ”Tubuh paman saya hancur ....” Lanjut Ahmed dengan suara bergetar. Ia lalu berhenti bercerita dan menekuri air kolam yang tenang begitu lama. Aku pun diam dan tak berani bertanya kenapa.
            ”Ada bom di dalam mobilnya.”
Ahmed menjawab pertanyaan bisuku. Setelah gejolak di dadanya berhasil ia bekuk. Tapi gejolak di dadaku justru baru dimulai.
            Amma dan Bibi Rehana sangat sedih dan terpukul ....” lanjut Ahmed. Tapi kemudian berhenti lagi karena airmatanya mengintip. Hati Ahmed kembali bergolak.
            ”Sudah, Janu. Cukup. Aku mengerti kelanjutannya.”
            Dengan menggenggam tangannya, kumeminta ia berhenti. Ahmed mengangguk dan memilih untuk tidak melanjutkan cerita.
            ”Apakah Shahzad anak Paman Fahim?” tanyaku sekedar memastikan. Aku lalu diberi anggukan sebagai jawaban. Dalam diam kumenunggunya berhasil menguasai diri.
            “Bibi Shahista di mana?” tanyaku meluncur saat mata Ahmed tak juga berkedip menatap langit yang tak berbintang.
            “Meninggal setelah melahirkan Shahzad,” jawabnya datar tapi muram.
            ”Bibi Shahista sudah berumur empat puluh tahun saat Shahzad lahir. Ia lemah jiwa-raga saat persalinan itu,” lanjutnya. Cerita tentang orang tua Shahzad kini semakin menarikku ke dalam dalamnya empati pada pangeran kecil itu.
            ”Bibi Shahista punya masalah kesuburan. Ia mengalami endometriosis yang sudah akut. Ia dikatakan tak bisa punya keturunan. Tapi Allah berkehendak lain. Bibi Shahista sedang hamil delapan minggu saat Paman meninggal. Setelah kematian Paman, Bibi Shahista sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Saat itulah baru diketahui kalau Bibi Shahista hamil.”
            Kubiarkan Ahmed sejenak berhenti bercerita dan kugunakan waktu itu untuk merasakan hembus angin dari pohon kamboja.
”Warna hidup Bibi Shahista bagai papan catur. Hitam dan putih berselang-seling. Ia merasa sedih bila ingat paman, lalu bersemangat bila ingat dirinya sedang hamil, lalu suram lagi, kemudian cerah lagi. Seperti itu terus. Kelabilannya membuat Amma dan Bibi Rehana tambah perih.”
”Kurasa Bibi  Shahista tak kuat menerima guncangan itu,” kataku sekedar berkomentar.
”Iya. Karena ia sangat mencintai Paman. Begitu pula sebaliknya. Dulu, tiap kali orang menanyakan kenapa belum punya keturunan, Paman selalu mengatakan bahwa masalah ada pada dirinya. Karena telah tiga tahun menikah Bibi Shahista belum juga hamil, Paman berinisiatif membuat laporan lab palsu untuk meyakinkan semua orang bahwa Bibi Shahista sehat. Semua itu ia lakukan agar Bibi Shahista tak dicemooh dan digunjingkan orang. Saya baru tahu masalah itu dari Bibi Shahista beberapa saat sebelum ia meninggal.”
Ahmed menghela nafas panjang lalu menyerahkan wajah muramnya ke hadapan tatap mataku.
            ”Aifa, saya belum menikah tapi sudah memiliki seorang anak. Saya ingin bertanya sekali lagi, jika kamu menerima saya sebagai suami, apakah juga menerima Shahzad sebagai anakmu?”
            Buddhu ... kenapa kamu bertanya seperti itu?” jawabku setengah marah. Dengan intonasi itu kuharap ia mengerti aku akan menerima dan menyayangi Shahzad setulus hati.
            ”Saya tahu kamu akan setuju. Terima kasih, Janu.”
            Hanya senyum dan anggukan kuberi untuk menjawab ucapan terima kasihnya. Bibirku terkatup, sibuk mencari cara menjelaskan kegundahan yang menyusul rasa haruku.
            ”Ada apa, Janu?” tanya Ahmed tampak cemas.
            ”Saya harus mengatakan semua ini, Ahmed.”
            ”Ceritakanlah. Kini saatnya saya mendengar. Karena saya sudah terlalu banyak bicara sejak tadi,” dengan tersenyum ia memberikan ruang dan waktu padaku.
            Endometriosis, Ahmed. Aku memilikinya dan dokter mengatakan aku mungkin akan sulit mendapat keturunan. Kalau ....”
            ”Cukup, Buddhu. Saya sudah tahu kelanjutannya. Saya menerimamu lengkap satu paket. Kamu dan endometriosismu itu,” jawab Ahmed dengan senyum kecilnya.
            ”Tapi, kalau nanti keluargamu ...”
            ”Ssssttt, kamu tidak boleh bicara begitu.”
            ”Itu mungkin saja terjadi, Ahmed.”
            ”Kalau sampai itu terjadi, saya akan mengikuti jejak Paman Fahim,” dengan senyumnya yang lucu Ahmed meyakinkanku.
            ”Maksudmu, kamu akan membuat laporan lab palsu?”
            ”Ya, tentu.”
Tawa di ekor mata Ahmed membuat kedua bibirku melengkungkan senyum gembira.
            ”Kamu sungguh-sungguh tak keberatan?”
            ”Tidak, Janu. Yang penting kamu selalu bersama saya. Hanya itu yang saya inginkan.”
            Dhonnobaad, Janu. Aku lega mendengarnya.” 
            Dhonnobaad tomakeo96. Itu tak masalah bagi kita.” 
            Senyum dan kata-kata Ahmed membuatku tersenyum lega. Ganjalan di hati telah kuutarakan dan tanggapan Ahmed menyejukkan.
            ”Besok, kita akan mencari baju pengantinmu?”
            Kujawab ajakan itu dengan lukisan senyum bahagia yang disambutnya dengan lukisan senyum yang sama.
            ”Saya ingin melihat sunrise sebelum kita menikah.
            ”Kenapa?”
            ”Karena gara-gara saya, kamu pernah kehilangan momen melihat sunrise di pantai Kuta.” Dengan senyum rasa bersalah, Ahmed bermaksud melunasi hutangnya.
            ”Dasar late riser! Susah banget sih bangun pagi. Kebo!
Gerutuku yang di sambutnya dengan senyum kecil. Aku pun menemaninya dengan senyum sambil memandang mata bercahayanya.
            Sunrise adalah peralihan dari gelap ke terang, sedangkan sunset peralihan dari terang ke gelap. Karena itulah sekarang saya lebih menyukai sunrise.”
            ”Benar. Kalau begitu aku pun akan menyukai sunrise.”
            ”Haha, dasar pengekor. Nah, sekarang sudah waktunya kita untuk istirahat.”
            ”Ya. Tapi aku yakin tak bisa tidur.”
            ”Itu bagus. Kalau Shahzad nanti terbangun, kamu bisa membuatkannya susu.”
            ”Huh, maunya.”
            ”Dia juga akan pindah ke kamarmu?”
            ”Masalahnya dia masih takut denganku.”
            ”Makanya kamu yang banyak senyum.”
            ”Banyak senyum bahaya. Nanti dikirim ke rumah sakit jiwa.”
            ”Jangan khawatir. Saya akan sering ke sana menjengukmu.”
            ”Kamu menyebalkan.”
            ”Hehe. Kamu tak pernah menang berdebat dengan saya.”
            ”Aku memang benci berdebat.”
            ”Kamu harus bisa melakukan banyak hal, Sayang. Termasuk berdebat. Ada kalanya itu diperlukan.”
            ”Nggak, nggak. Ayo kita masuk kamar saja. Sudah malam,” ajakku sambil beranjak, membawanya mengakhiri percakapan panjang yang berakhir dengan  senyum dan mata berkilat cahaya.
            ”Ok, Dear.” Ia pun beranjak.
            ”Benarkah lusa kita akan menikah?” tanyaku sambil berjalan menuju kamar.
            InshaAllah. Kenapa bertanya?”
            ”Percaya-nggak percaya.”
            ”Percayalah. Karena saya ada di sini.”
Ahmed menjawab sambil tersenyum maklum. Aku tak lagi menyahut dan hanya mengirimkan rasa bahagia lewat senyum.  
            Sweet dream, Honey,  ucapnya tampak rela-tak rela membiarkanku masuk kamar.
            You too, sweet dream, Janu.
            Aku menantapnya pergi menuju kamar sebelah sebelum menutup pintu. Setelah saling tersenyum, kami pun bersama-sama masuk. Ke kamar masing-masing.
?


            Dug, dug ....
            Sebuah ketukan dinding membuyarkan konsentrasiku mengetik SMS untuk Ria. Setelah masuk kamar, aku sama sekali tak bisa tidur dan menggunakan waktu untuk mengabari pernikahan mendadakku pada teman dan keluarga. Mungkin kekasihku di kamar sebelah tahu aku masih terjaga karena mendengar bunyi SMS masuk berkali-kali hingga menggangguku dengan mengetuk dinding. Hanya saja aku tidak tahu apa arti ketukan itu. Apakah menyuruhku cepat tidur, atau minta dikirimi SMS juga?
            Sengaja tak kubalas untuk memancing penjelasannya akan maksud ketukan itu. Sementara itu kegiatan mengirim SMS tidak terhenti karenanya.
            Tapi ada yang bisa menghentikan kelincahan jariku di atas keypad hape. Adalah panggilan telepon Kak Faysal dari Dubai.
            Salaam alykum, Adik.”
            ”Waalaikum salam, Bhaiya. Aap kaisi ho97?”
            Mai theek hoon, meri bahna98. Kenapa kamu bertanya seperti itu di SMS, Dik?”
            ”Aku hanya ingin mengujimu. Aku ingin tahu, apa kau bisa merasakan perasaanku.”
            “Ok. Aku rasa sekarang kamu sedang bahagia, tapi sedikit sedih juga.”
            “Bagaimana kau tahu? Aku kan nggak cerita apa pun.”
            “Karena kamu chotti bahna99-ku.”
            ”Seratus. Kau lulus, Kak.”
            ”Jadi, sekarang ceritakan apa yang terjadi.”
            ”Aku akan menikah! Besok lusa segera setelah matahari terbit.”
           Wow, ini kabar bagus yang selalu aku tunggu. Jadi aku akan dikirim manisan? Tapi, ngomong-ngomong siapa pengantin prianya?”
            ”Kakak Fay harus nebak lagi.”
            ”Kali ini aku menyerah.”
            ”Jangan menyerah, dong, Kak. Cobalah. Gunakan kepekaan rasamu.”
            ”Aku sungguh tak mengerti, Dik. Kamu begitu bahagia, artinya kamu akan menikah dengan Ahmed. Karena sampai saat ini aku yakin hanya dia yang kamu cintai. Tapi, bagaimana mungkin?”
            ”Kenapa tidak mungkin, Kak?”
            ”Dia sudah meninggalkanmu.”
            ”Dia kembali, Kak. Kenyataannya seperti itu.”
            ”Oh, ya?? Benarkah ...?”
            ”Itu benar, Kak.”
            ”Syukurlah, aku senang mendengarnya. Anyway, selamat ya, Dik. Kalau pulang ke Indonesia nanti, akan kubelikan sesuatu untuk hadiah pernikahanmu. Katakan yang kau inginkan.”
            ”Nggak tahu, Kak. Terserah, apa saja yang menurutmu bagus untukku.”
            ”Oke. Nanti aku dan Ning akan pergi mencari.”
            ”Makasih, Kak. Makasih juga untuk telfonnya. Salam buat Mbak Ning.”
            ”Tak masalah. Dengar Aifa, Ahmed kembali karena ada cinta di hatinya. Dan cinta itu memang untukmu. Aku benar-benar bahagia untukmu. Rasanya ingin berada di sana dan melihatmu menikah.”
            “Kau memang di sini, Kak.”
            ”Aku tahu. Aku akan segera pulang dan memberi kabar gembira ini pada Ning. Sambutlah hari bahagiamu, Dik. Salaam alykum.”
            ”Iya, Kak. Sekali lagi terima kasih. Waalaikum salam.”
            Setelah menutup telepon dari Kak Fay, panggilan telepon Ria yang telah menunggu segera kusambut.
            ”Aifa, aku rela menunggu karena kamu pasti sibuk dengan telfonmu.”
            ”Ria, maaf ya.”
            ”Gak papa lagi.”
            ”Bukan, bukan itu maksudku. Aku minta maaf karena mengabarimu soal pernikahanku. Aku bukan bermaksud membuatmu sedih karenanya.”
            ”Aifa, mana mungkin aku sedih dengan kebahagiaanmu. Mungkin aku memang tidak berjodoh dengan orang Bangladesh.”
            ”Semoga itu yang terbaik.”
            ”Ya, semoga. Ngomong-ngomong selamat atas pernikahanmu dan aku ikut berbahagia untukmu, Aifa.”
            ”Trims. Tapi saat ini aku mengkhawatirkan Zia, Ria.”
            ”Sudahlah, Aifa. Kamu harus konsen dengan urusanmu sendiri. Kamu akan menjelang hari bahagiamu dan Zia akan baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri. Suatu saat ia akan menerima perjodohan itu dan melupakanku.”
            ”Tapi kamu yakin kan, kalau Zia tidak pernah mempermainkanmu?”
            ”Aku yakin itu, Aifa. Dan aku sungguh-sungguh menghargai usahanya selama ini. Aku akan menyimpan namanya dalam hatiku.”
            ”Kadang aku iri dengan ketabahan dan kerendahan hatimu menerima kenyataan pahit, Ria. Aku dulu sama sekali tak seperti itu. Hatiku dipenuhi pemberontakan.”
            ”Aifa, ini belum apa-apa. Nanti kalau kita sudah memiliki keluarga, akan menghadapi masalah yang jauh lebih rumit. Yah, ini mungkin latihan buatku.”
            “Iya, benar.”
            “Ngomong-ngomong, aku ingin minta tolong padamu, Aifa.”
            ”Apa itu?”
            ”Tolong katakan pada Zia, aku ingin dia mematuhi amma-nya karena tak akan baik melangkah tanpa restu orang tuanya. Aku juga tak mau membuat seorang anak yang baik menjadi durhaka. Dan tolong bantu dia melupakan aku.”
            ”Caranya?”
            ”Jangan bicara apa pun tentang aku kecuali dia yang memulai.”
            ”Baik.”
            ”Terima kasih, ya. Sekali lagi selamat dan sampaikan salamku pada calon suamimu. Ntar, kirimi aku foto pernikahan kalian ya?”
            ”Tentu.”
            ”Ya udah, ya. Assalamualaikum.
            Waalaikum salam.
            Dug, dug ....
            Ahmed kembali mengetuk dinding, membuatku tergerak mengirimnya SMS.
            Maaf, Sayang. Aku sedang sibuk.
            Begitu dapat telfon dari temanmu, kamu segera melupakanku, protes Ahmed sok teraniaya.
            Buddhu, aku baru mengabaikanmu beberapa menit kamu sudah mengeluh. Kamu sendiri, berapa lama mengabaikan aku? Dua tahun. Huh!
            Heheh ... maaf, maaf.
            Belum juga sempat menimpali SMS Ahmed, bunyi hapeku memberitahu ada SMS masuk dari Zia. Kali ini, kupilih membaca dan membalas SMS teman daripada kekasih.
            Sunset di sungai Padma tak lagi indah, Aifa. Tapi aku bahagia untukmu. Selamat atas pernikahanmu, semoga kau bahagia selamanya.
            Dhonnobaad, Bondhu. Kau tahu, saat bahagia hal yang sangat sederhana bisa tampak indah, tapi saat sedih, hal yang indah pun tampak tak bernilai di mata. Jadi semua itu tergantung hati.
            Kepalaku tersumbat, Aifa. Aku tak bisa berpikir dan merasakan apa pun, keluh Zia yang masih berada di dalam kumparan marah yang ditahan.
            Bondhu, inilah hidup. Kadang sedih, kadang bahagia. Ngomong-ngomong soal bahagia, sebenarnya kebahagiaan itu harus dicari, dia tidak datang dengan sendirinya.
            Di mana mencarinya? Zia menantang.
            Bukan di tempat yang jauh, karena dia terletak di dalam hatimu sendiri.
            Kenapa kamu percaya dengan teori-teori seperti itu, Aifa?
            Maksud kamu, Zia?
            Itu mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan, Teman. Zia menyanggah dengan pesimis membuatku gatal untuk berkhotbah padanya.
            Dalam hidup tak ada yang selalu mudah, Zia. Kadang kita harus melalui banyak rintangan dan masalah, baru mendapatkan yang kita inginkan. Dalam proses itu, kita belajar banyak. Sekarang, aku sudah tahu kalau mencintai manusia secara berlebihan hanya akan mendapatkan derita.
            Haha, tiba-tiba temanku yang cengeng jadi dewasa. Kata-katanya seperti seorang filsuf bijaksana. Inilah dampak hati yang sedang bahagia!  Zia mengejek tapi tak serius.
            Itulah kekuatan bahagia, Zia. Saat bahagia, pikiran kita menjadi jernih. Jadi, kau harus berusaha bahagia, hehe.
            Ya, ya. Kadang-kadang, aku memang harus mendengarkan kata-katamu. Tapi, Aifa, aku harus minta tolong.
            Apa itu, Zia?
            Jadilah teman baik, Ria. Bantulah dia jika ada masalah. Ceriakan dia jika sedih. Kalau ada yang perlu aku lakukan, tolong katakan padaku, tapi jangan pernah bilang padanya kalau aku yang melakukan.
            Okay bos. Jawabku dengan semangat bercanda.
            Bos? Aku tidak suka kamu bicara begitu.
            Kamu! Masak begitu saja marah.  Itulah akibat banyak makan daging. Ejekku tapi tak serius.
            Kamu lupa ya, betapa sedihnya kamu saat itu karena Ahmed. Aku tak pernah lupa kamu sering mengatakan, ’betapa aku sangat mencintainya dan selalu meneteskan airmata hanya dengan mengingat dan menyebut namanya.’ Huh. Setelah bahagia, kamu lupa semua keluhan-keluhanmu dulu dan mengolok-olokku. Dengan berpura-pura kesal, Zia memprotesku.
            Hehehe, maaf, Bondhu. Aku tak bermaksud begitu.
            It’s okey. Teman, boleh aku mengakui satu hal padamu. Hanya untuk kau ketahui. Mengerti maksudku? Zia memintaku menyimpan sebuah rahasia.
            Mengerti. Terima kasih telah mempercayaiku. Aku akan menjaga kepercayaanmu.
            Terima kasih. Aifa, aku ternyata ’lelaki kecil’. Bukan pria sejati yang sanggup menyeberangi lautan api cinta. Zia membuatku terharu meski di saat yang sama ingin tergelak dengan kata-kata puitisnya.
Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Bondhu. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kalau kamu tidak melakukan upaya apa pun, akulah yang pertama kali memanggilmu pecundang totol.
           Aku seharusnya bisa melakukan lebihbanyak, Aifa. Ucap Zia mengungkapkan rasa tak berdaya.
            Jodoh ada di tangan Allah. Betapa pun kamu menginginkannya, kalau Allah tidak berkehendak, pasti tak akan terjadi. Kita harus belajar menerima kenyataan yang tak sejalan dengan keinginan. Kamu harus yakin kalau kehendak Allahlah yang terbaik.
            Tapi tidak mudah melepaskan sesak di dada ini, Aifa.
            Kamu tahu, aku sangat mengerti dan berpengalaman dalam masalah itu. Ketahuilah temanku, melupakan seseorang yang kita cintai itu kadang mudah, kadang susah. Saat kita sendiri akan terasa susah, tapi saat bersama dengan orang lain yang positive thinking dan bijak, rasanya akan menjadi lebih mudah. Jadi jangan suka sendiri. Bersamalah orang yang bisa membuat pikiranmu jernih atau setidaknya yang bisa membuatmu senang.
            Terima kasih, Bondhu. Malam ini aku telah belajar dari yang telah berpengalaman haha.
           Dan MS-SMS kami masih terus berlari dan menjemput hingga aku lelah dan tertidur. Missed calls dan SMS dari Anya, Kak Dio dan Ahmed terabai karenanya.
?


            ”Aifa! Giliran bahagia, kamu lupa dan tidak mau angkat telepon Kakak, ya?” protes Kak Dio tak serius, juga tak bercanda.
            ”Maafin aku, Kak. Semalam aku tertidur.”
            ”Tidak apa-apa. Kakak cuma mau ngucapin selamat. Kakak turut bahagia untukmu.”
            ”Terima kasih, Kak. Ini kejutan dari si pendustu.”
            ”Kamu harus cerita selengkap-lengkapnya nanti setelah pernikanmu, ya?”
            ”Iya, Kak. Hari ini aku harus mencari baju untuk akad nikah besok pagi.”
            ”Oke, oke. Kalau begitu kamu harus segera pergi. Kamu tidak punya waktu lagi.”
            ”Tapi Kakak akan ke sini, kan?”
            ”Tentu saja. Kamu ini memang bodoh. Pantas saja sering dipanggil si bodoh sama Ahmed.”
            ”Hehehe. Kakak jangan ketularan manggil aku si bodoh, ya?”
”Sepertinya menyenangkan memanggilmu begitu, haha.” Goda Kak Dio.
”Kalau sampai Kakak melakukannya, akan kubalas. Kupanggil Kakak dengan sebutan Nonta99.”
”Artinya??”
“Si asem, whee,” kataku yang langsung disambarnya dengan tawa geli.
“Ya udah ya, Kak. Kami tunggu kedatangan Kakak besok, ya?”
“Oke. Aku tak sabar melihat senyum bahagiamu.”
“Ah, Kak Dio bisa saja.”
“Sungguh. Kebahagiaanmu kali ini pasti sebuah kejujuran. Bukan bahagia paksaan atau bahagia yang diusahakan seperti biasa.”
“Iya, kurasa begitu. Sampai jumpa besok, Kak.”
“Ya. Sampai jumpa besok. InsyaAllah. Bye.”
            Dengan senyum yang dikatakan kejujuran rasa oleh Kak Dio kututup telepon darinya. Anya. Tinggal satu nama yang belum melengkapi rasa bahagiaku dengan ucapan selamatnya. Sahabatku itu bahkan kalah dengan Riza yang telah memberi ucapan selamat meski hanya lewat SMS. Tapi missed call-nya semalam telah mengisyaratkan niatnya memberi ucapan selamat. Sekaranglah saatnya ia mengucapkan selamat itu dan mengakui Ahmed tak seburuk yang ia sangka.
            “Halo ....” sapa Anya lemah di sana.
            “Pagi, Bu. Bangun, bangun! Gini hari masih tidur. Urusin tuh Eva.”
            “Kamu kali yang tidur. Ngelindur lagi.”
            ”Ngelindur apaan?”
            ”Laah, kamu ke Bali kan untuk ngehadirin nikahannya Kiron. Pake kabar-kabar kamu yang mau nikah segala. Sama Ahmed lagi. Mimpi kaliii.”
            ”Huh! Susah ngomong sama orang yang nggak percaya pada takdir dan ketulusan cinta. Kamu telfon ayah aja, deh. Aku gak mau buang-buang waktu buat ngejelasin ke kamu supaya percaya dengan semua ini.”
            ”Lah, kenapa mesti begitu?”
            ”Ceritanya panjang. Aku nggak punya banyak waktu untuk jelasin ke kamu karena sekarang aku dan Ahmed harus segera beli baju untuk pernikahan kami besok pagi.”
            ”Ya ampun. Aku bener-bener bingung. Semua ini benar atau karangan, sih?”
            ”Sudah, sudah. Kamu telfon ayah aja, deh. Bye.”
            Gagal. Aku gagal. Tapi tak apa. Karena ayah pasti bisa meyakinkan Anya kalau kabar yang kusampaikan itu benar. Sekarang harus kubangunkan Ahmed untuk segera bersiap-siap pergi ke toko.
            Januuu!” panggilku seranya mengetuk pintu.
            ”Kenapa, Sayang? Jangan keras-keras bicaranya, nanti Shahzad terbangun,” jawab Ahmed sambil membuka pintu kamarnya. Ia lalu menyandarkan punggung kirinya ke frame pintu. Telapak kaki kiri yang ditekuk, menambah kuat gestur santai yang dibuatnya.
            ”Kita harus siap-siap pergi cari baju untukku.”
            ”Iya. Tapi kita harus tunggu Shahzad bangun, memandikan dan memberinya makan dulu.” Jawab Ahmed sambil tetap menahan pintu agar tak terbuka.
            ”Tapi kapan dia bangun?”
            ”Sabar, Sayang.”
            ”Trus, apa yang harus kita lakukan?”
            ”Saya sih mau tidur lagi.”
            ”Huuh, masak tidur lagi? Jangan nyantai-nyantai, dong?”
            ”Lalu, apa yang harus saya lakukan, haa?”
            ”Banyak. Kita juga harus bantu Kiron dan Mbak Lina nyiapin segala sesuatunya. Kan nggak enak kalau semua mereka yang lakukan.”
            ”Saya lelah, Sayang. Lagipula semuanya sudah beres.”
            ”Beres apanya? Baju untuk aku aja belum ada.”
            ”Iya kita akan membelinya nanti. Tinggal itu yang belum.”
            ”Jangan nanti-nanti, nikahnya besok pagi-pagi, Ahmeed ....”
            ”Tapi kita belum bisa pergi sekarang. Shahzad belum bangun, Sayang.”
            ”Kan ada Ko Robby?”
            ”Robby mana bisa mengurus Shahzad. Kemarin saya tinggal sebentar saja, Shahzad menangis seperti itu.”
            ”Nanti keburu siang. Nyari baju buat nikahan kan gak gampang.”
            ”Kamu bersemangat sekali mau beli baju, tapi tidak bersemangat untuk berterima kasih pada amma.
            Sejenak aku terdiam melihat senyum aneh Ahmed yang terhampar.
            ”Aku memang harus berterima kasih pada amma atas restunya. Tapi apa arti senyummu itu, Dustu?”
            ”Telepon saja. Ada penerjemahmu di sini. Nanti juga kamu akan tahu.”
            ”Tahu apa?”
            ”Kalau ingin tahu, cepatlah telepon amma. Dia juga ingin segera mendengar suaramu.”
            Tiba-tiba aku merinding mendengar ucapan Ahmed. Bahagia, terharu, juga takut merangsek masuk ke hatiku bersamaan.
            ”Tapi aku grogi, Janu.” Ucapku pelan. Dengan sorot mata ingin dipahami, kumendongak untuk melihat matanya.
            ”Kenapa grogi? Amma seorang ibu yang ramah dan baik hati. Kamu tahu itu, kan?” Aku tersipu malu menjawab ekor mata Ahmed yang melempar sindiran.
”Saya sudah tahu kamu telah diam-diam menelepon ke rumah,” ucap Ahmed memperjelas.
            ”Makanya jangan melarang. Malah bikin orang penasaran.” Kilahku membela diri.
            ”Bandel.”
            ”Kamu yang buat aku jadi bandel.”
            ”Kamu mau terus berdebat atau menelepon Amma? Setidaknya untuk mengucapkan terima kasih telah dibuatkan baju pengantin yang indah.”
            ”Apa??!”
            ”Saya tahu kamu akan berseru seperti itu,” ejek Ahmed sambil membuka daun pintu dan berjalan menuju lemari baju.
            ”Katakan pendapatmu tentang baju ini.”
            Di tangan Ahmed kanan, sepotong baju pengantin ala India muslim warna biru muda sedang menanti untuk dipuji. Bukan karena dipenuhi payet dan bordir indah hingga tampak mewah. Justru karena minimalis dan terbuat dari bahan yang ringan, baju itu akan cocok untuk badan dan seleraku. Sedang di tangan kiri, selembar kerudung dengan warna senada tampak cantik dan anggun. Ahmed tersenyum lebar, seperti sedang mengepakkan sayap-sayap kebahagiaan.
            ”Ini ... ini baju pengantin yang sangat indah dan anggun. Modelnya seperti yang biasa dipakai pengantin muslim India. Aku sering melihatnya di tivi.”
            ”Ini bajumu, Sayang. Amma sendiri yang merancang, menjahit dan menyulam hiasannya.”
            ”Apa ....? Be ... benarkah??”
            ”Tentu saja benar. Kalau tidak percaya, tanya saja sama amma. Tapi saya tidak mau menjadi penerjemahmu.”
            Janu, kamu ini bodoh sekali. Aku bukannya tidak percaya pada kata-katamu, tapi belum percaya dengan berkah yang melimpah ini. Amma memberikan restu saja aku sudah sangat bahagia, apalagi ....”
            ”Apalagi amma begitu sayang padamu?” jawab Ahmed terpaksa meneruskan kalimatku yang tak sanggup kutuntaskan. Ingatanku pada almarhumah ibu tak tercegah, membuat airmata pun tak terbendung untuk tidak menderas.
           Amma tahu, kamu sudah tidak memiliki ibu. Makanya ia sangat sayangnya padamu. Mungkin suatu saat akan lebih dari menyayangimu daripada saya.” Ahmed mencoba menguatkan hatiku dengan menyerahkan amma untuk kumiliki lebih dari kapasitasku sebagai menantu.
”Wah, saya harus siap-siap dari sekarang.”
Ahmed mencoba membuatku tersenyum dengan mimiknya. Dengan mimik lucu disertai garuk-garuk kepala itu Ahmed ingin melarikanku dari suasana sentimentil. Tapi kali ini tak ada sesuatu pun yang mungkin membuatku tertawa. Aku hanya tersenyum kecil demi menunjukkan penghargaan atas usahanya membuatku terlepas dari tawanan muram.
”Sayang, ibu pasti tersenyum melihatmu bahagia. Ibu juga merestui saya, kan?” tanya Ahmed yang kini serius.
”Tentu saja, Buddhu.” Jawabku yang masih belum bisa kembali bersikap normal.
            ”Oh, ya, Janu, kita akan menjemput Rasel di bandara nanti sore.”
            ”Rasel datang? Benarkah?”
            ”Tentu saja benar. Kenapa?”
            ”Huh, dasar the master of dustu. Tadi dia SMS, merayuku dan minta maaf tidak bisa datang karena banyak tugas.”
            “Kamu senang dia datang?” Ahmed tiba-tiba memberiku wajah nonta alias kecut.
            “Tentu saja. Dia pemuda yang sangat menyenangkan.”
           “Bagimu. Tidak bagiku,” sahut Ahmed dengan wajah tak senang. Aku menjadi heran, tak mengerti mengapa ia tak menyukai sahabatnya sendiri.
            “Kamu ada masalah apa dengan Rasel, Janu?”
            Sedetik, dua detik hingga kami di sini menjemput Rasel, jawaban itu tak kuterima. Aku pun tak ingin memaksanya, saat ucapan Ko Robby yang mengatakan kalau mereka suka mempermalukan Ahmed mencuat kembali dari pikiranku. Mungkin itu yang membuat Ahmed masih kesal pada Rasel.
            ”Hem, hem ... sedang menunggu seseorang, Tuan, Nyonya?”
            Kami spontan membalikkan badan, begitu mendengar seseorang berbicara sambil tertawa seolah senang atas sebuah kemenangan. Ahmed tersenyum begitu mata mereka berpapas. Lalu mereka pun berpelukan. Dari mata dan warna wajah Ahmed, aku tak melihat kebencian dan rasa tak suka yang terpendam. Mungkin rasa tak sukanya pada Rasel hanya di permukaan, tak sampai ke dasar hati.
            ”Kamu pasti Aifa.”
            ”Ya. Senang bertemu denganmu, Rasel?”
            ”Ya, saya juga. Senang melihat Shahzad tidak menangis di tanganmu, Aifa. Rupanya dia sudah menerimamu sebagai amma-nya,” ujarnya sambil tersenyum takjub.
            ”Ibu saya sudah tiada saat adik saya masih bayi. Jadi, saya sudah berpengalaman dengan anak kecil.”
            Oh, I am so sorry to hear that.”
            “Tidak apa-apa Rasel. Ibu sudah tenang dalam istirahat panjangnya.”
            “Ya, dia pasti bahagia melihatmu menikah esok.”
            Bahagia. Memang benar ini momen yang sangat membahagiakan dan berharga meski setitik airmata menetes menyadari bukan ibu, tapi Budhe Prapti yang saat ini memelukku.
            “Kamu sudah menjadi seorang istri, Nduk. Jadilah istri yang berbakti dan taat pada suami seperti mendiang ibumu, ya nduk ya?” pesan Budhe terharu.
            Hanya anggukan kuberi sebagai jawaban. Kutak bisa lagi berkata apa-apa. Pernikahan sederhana ini tak kusesali, ketidakhadiran amma di sini bisa dimaklumi, tiadanya ibu pun sudah takdir, tapi tetap saja airmataku berterjunan. Ayah di sisi Budhe Prapti yang selesai menerima sungkem101 Ahmed pun menunduk menyembunyikan perasaannya. Ibra lari ke pelukan ayah dan bertanya hal menambah kecepatan laju airmataku.
Mbak Aifa akan pergi ikut Kak Ahmed ya, Yah?”
            Ayah tak menjawab. Hanya memeluk Ibra lembut dan kuat. Tapi yang dipeluk memberontak, ia berusaha melepaskan diri dari tangan ayah. Pelukanku yang dituju.
            “Kalau ada rezeki, Mbak-mu akan mengunjungi kita, Le102. Kalau kangen kan bisa telpon. Bisa juga pakai internet. Dengan internet kamu bisa lihat Mbak-mu, seperti waktu kamu lihat Mbak Ratih yang ada di Inggris itu lho,” dengan kekuatan khas seorang ibu, Budhe berusaha membuat Ibra tegar. Melihat Ibra menghapus airmatanya, aku pun menghapus airmataku dengan selendang buatan amma.
            Kak Dio dengan pelan menarik Ibra dari pelukanku dan membawanya duduk di antara dirinya Anya. Entah mengapa, aku merasa mereka serasi dan terpikir untuk menjodohkan.
            “Ada apa, Nduk?”
            “Mereka cocok, Budhe,” bisikku sambil melirik Anya di sela-sela mataku yang masih berembun. Sementara yang dilirik menatapku dengan ekor mata tak sedap.
            ”Kalau memang jodoh, mereka akan menemukan jalannya,” jawab Budhe Prapti sambil memberi isyarat untuk melanjutkan acara.
            Aku menuju ayah yang sudah bisa menguasai diri untuk menghaturkan sungkem. Senyum ayah dan lirikannya pada Kiron membuatku kuat dan berusaha tak menangis lagi. Dengan lirikan itu Ayah mengingatkanku untuk tak menangis. Semalam saat makan bersama, Kiron sudah meminta pada semua orang agar menghindari suasana haru dan airmata. Ia hanya mengharap wajah dan senyum cerah agar bisa melupakan kenyataan bahwa keluarganya belum memberi restu pada pernikahannya.
Kiron di belakangku, akan menghaturkan sungkem pada Budhe Prapti yang mendampingi Ayah. Ia mengikuti tradisi menghaturkan sungkem pada prosesi pernikahan karena telah dianggap anak oleh Ayah. Dia tak ingin merasa tak punya siapa-siapa di sini, di negeri asing yang telah membuatnya meninggalkan keluarga yang telah bersama sepanjang hidupnya.
”Apa kamu tahu bagaimana perasaan orang yang akan menikah tanpa restu kedua orang tua dan keluarga, Aifa?” tanya Kiron semalam saat ia berhasil menculikku dari Ahmed dan Shahzad.
Dalam diam kumenyadari, di balik gaya cuek dan ucapannya yang suka sembarangan, Kiron tetap saja menyimpan sedih yang berbuih-buih. Rona wajah saat ia mengungkapkan perasaan itu membuatku dapat melihat jelas warna hatinya.
Tiba saatnya Kiron sungkem pada ayah. Kulirik ayah yang mengelus pundak dan memeluknya seperti ia melakukannya pada Ahmed tadi. Melihat itu, aku merasa tenang  meninggalkan Kiron di Indonesia.
Mentari semakin naik, seperti naiknya optimis kami menyambut hari depan yang diawali hangat mentari di sela-sela riak jinak dan desau angin Pantai Kuta. Tapi, di hatiku masih ada ganjalan teringat Zia sedang sendiri mengalami ’sunset’ dalam hidupnya. Kiron pun masih harus menanti ’matahari terbit’ entah sampai kapan.
Photographer, lakukan tugasmu!” seru Rasel sambil menyenggol Robby.
Sure,” jawab Ko Robby sambil menyerahkan Shahzad pada Rasel sambil tertawa. Rasel kaget dan berseru, No, no, no, no, no! Kasih ke baba-nya saja!”
Sambil berjalan mundur dan menunjuk Ahmed, Rasel menolak Shahzad. Sinar mata suamiku mengeruh karena Rasel bersikeras tak mau menggendong Shahzad. Ia pun dengan muka masam mendekati kedua temannya itu.
”Berikan padaku! Anakmu sendiri pun tak pernah kamu gendhong,” kata suamiku dengan muka merah padam. Tapi Rasel tak terpengaruh saja.
”Dapur dan anak bukan teritoriku. Aku tak suka menyentuh yang bukan wilayahku,” jawab Rasel sambil terkekeh cuek.
”Kamu harus belajar. Sebentar lagi kamu punya bayi kedua.”
”Mungkin aku akan belajar, tapi tidak sekarang.” Rasel tetap menjawab seenaknya. Suamiku tak lagi memperdulikan Rasel. Ia mendekatiku sambil menenangkan Shahzad dengan pelukan dan usapan.
”Kalau mau fotonya bagus jangan cemberut,” ujar Ko Robby menyindir suamiku sambil mengarahkan kamera pada kami. Seketika suamiku tersenyum dan memelukku hangat. Dengan provokasi Kiron dan Rasel, yang lain pun berlomba mendekat dan mengambil posisi.
Cekrek, cekrek ....
Di bawah naungan mentari yang sedang menjulurkan jari-jarinya, entah berapa puluh kali kami mengambil momen bahagia untuk bekal mengarungi hari depan diiringi lagu Heaven Knows103. Lagu yang menggambarkan hari-hariku sebelum dipertemukan kembali dengan Ahmed, belahan hatiku.
Maybe my love will come back some day
Only Heaven knows
And maybe our hearts will find a way
Only heaven knows
And all I can do is hope and pray
Cause Heaven knows.

Ketr.:
95. [Bg]     Nenek dari pihak ibu (ibunya ibu)
96. [Bg]     Terima kasih kembali
97. [Hd]    Apa kabar? (bahasa perempuan)
98. [Hd]    Kabarku baik, saudariku
99. [Hd]    Adik perempuan
100. [Bg]   Asam
101. [Jw]   Cara menghaturkan hormat pada orang tua ala Jawa
102. [Jw]   Nak, Dik (untuk laki-laki)
103. Lagu yang dipopulerkan oleh Erick Price.


No comments:

Post a Comment