Oleh : Yathi Hasta
Damailah kau di sana, Raju, my Krishna....
***
“Waitress!”
Dengan sigap pramusaji itu memutar badan lalu menyajikan seuntai senyum pada
wanita berpakaian Sari yang memanggilnya.
“Iya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya lembut dan ramah.
“Bill-nya!”
“Baik, Nyonya. Tolong tunggu sebentar,” jawab pramusaji sambil sedikit menundukkan
kepala dan tersenyum hormat. Tapi wanita paruh baya itu tak bereaksi apapun kecuali menatap
Langkah yang cekatan membuat pramusaji itu cepat hilang dan cepat kembali. Mengawali
ucapan, lagi-lagi ia suguhkan senyum keramahan, seolah tak melihat gunung salju di depannya.
“Ini bill-nya, Nyonya. Silahkan ambil,” ucapnya sambil sedikit membungkuk, menyodorkan
selembar bon tagihan di atas sebuah nampan dengan kedua tangannya. Setelah nampan kecil itu
sampai di tangan tujuan, ia sedikit mundur.
“Nyonya, anda dari Jakarta?” tanya pramusaji ceria. Tapi yang ditanya tak menghirau, malah
menusuk dengan tatapan dinginnya.
”Maafkan kelancangan saya, Nyonya,” ucap pramusaji dengan sopan. Tapi permintaan maaf
itu tak juga digubris. Wanita itu mengangkat tubuhnya lalu menaruh sejumlah uang dan selembar
kartu nama ke atas bon tagihan.
Pramusaji terbelalak, mengherankan secangkir kopi yang dihargai sedemikian mahal.
Bibirnya serta merta kelu namun tangannya telah terlambat untuk menunjuk sebuah tulisan berbunyi “
Thank you for not tipping” meskipun ia tak yakin wanita itu memberinya tip sedemikian banyak.
Pramusaji itu hanya bisa menatap wanita yang sedang membelah meja-kursi sambil membenarkan
Sari-nya yang berkibar, terusik angin dari ceiling-fan.
Sonia Tumpeng-Tandoori. Pramusaji itu tampak keras berpikir. Bukan, bukan
memikirkan nama restoran yang tampaknya menyajikan makanan ala Indonesia dan India,
tapi, mengapa wanita bernama Sonia itu memberinya kartu nama.
***
Teriknya mentari telah lama pergi. Dalam sejam senja akan menjelang. Angin sore
mengibar-ngibarkan baju Sari seorang wanita yang tetap cantik di usianya, meskipun sinar
matanya tampak menyimpan duka.
“Not yesterday, today, or tomorrow,” desisnya sambil mengerjapkan mata. Langkah
mulai ia ayun. Pantai Nusa Dua yang biru membentang tujuannya.
“Raju, apa yang terjadi?” tanyaku begitu tiba di hamparan pasir putih Nusa Dua.
Tapi Raju tak menjawab. Ia hanya menatap mataku sambil memegangi dada kiri yang
sepertinya sakit luar biasa. Segera kurebahkan kepalanya di pangkuanku. Airmata yang
tak sanggup kutahan mendarat lalu meresap di sela-sela jenggot putihnya.
Sambil mengusap airmataku, dengan susah-payah Raju menggelengkan kepala, memberi
isyarat agar aku tak menangis. Tapi ombak bergemuruh kian ganas, bergulung dan menggeliat kian
dahsyat, seolah menabuhku untuk terisak-isak.
“Not yesterday, today or tomorrow, Aisyah...” Raju berbicara dengan terbata-bata.
“Apa yang coba kau katakana, Raju?” tanyaku tak mengerti.
“Pernikahan bukan takdir kita, Aisyah. Tidak untuk kemarin, hari ini atau esok....” ucap Raju
dalam getar suara dan jari-jemari yang menggenggam telapak tanganku.
”Itu tak masalah, Raju. Aku ikhlas menerima takdir ini. Aku sangat bahagia Giring akan menikahi
Esha, putrimu. Dengan begitu kita pun akan menjadi keluarga. Bukankah itu lebih indah?”
”Kau benar, Aisyah. Itu lebih indah. Rencana Allah sangat sempurna. Aku mohon jagalah
putriku. Cintailah dia seperti aku mencintaimu sepanjang hidupmu.”
”Raju... Jangan bicara seperti itu. Tentu aku akan mencintainya seperti putriku sendiri....”
”Terima kasih, Aisyahku.”
”Kau lupa, Raju? Tidak ada kata terima kasih di antara kita.”
”Tapi kali ini aku harus, Aisyah...” ucap Raju sambil tersenyum lembut dan mengangguk lewat
mata saat langit biru tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. Sinar mentari pun lenyap tertahan awan
yang telah menghitam legam. Hatiku terasa kosong. Senyum Mami Sonia yang telah lama tiada
hadir di antara kami.
”Dewa Krishna tak pernah menikah dengan Radha....”
”Tapi Radha-lah yang dicintai sepanjang hidupnya,” sahutku sambil tergugu. Raju mengangguk
puas, aku masih hafal kata-kata saktinya . Tak sadar, airmataku kian deras mengalir. Dengan nafas
tersengal Raju terus berusaha berbicara, memintaku merahasiakan cinta kami dari anak-anak.
Setelah aku berhasil menghapus airmata dan tampak tegar, wajah Raju menjadi setenang danau.
“Don’t cry, my Radha…” pesan terakhir Raju sebelum nafasnya terhenti. Subhanallah...
mualaf ini menutup mata dalam senyum damai.
”Nyonya Sonia....”
Sebuah panggilan menyeruak, membuat Aisyah menutup buku hariannya. Tapi ia tak segera
mencari sumber suara. Matanya yang bercerita tentang kesepian memandang laut lepas yang
berakhir di garis cakrawala, seolah Raju di sana sedang menatap wajahnya.
“Pernikahan bukan takdir kita, Raju. Tidak untuk kemarin, hari ini atau esok. Tapi tak
mengapa karena bukan itu yang utama. Damailah kau di sana, Raju, my Krishna....”
Dengan membungkuk Aisyah menyerahkan buku hariannya pada hempasan ombak untuk
dilebur. Buku itu kini bisu, selamanya.
“Nyonya Sonia.…”
Panggilan bernada tinggi tapi lembut itu kembali mengusik Aisyah yang matanya menaiki
ombak di tengah laut. Pelan Aisyah menoleh pada sumber suara.
Seseorang sedang menatap lurus padanya sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
Pramusaji di kafe tempat ia minum kopi tadi siang telah tegak berdiri di hamparan pasir putih.
Aisyah lalu menghampiri gadis pramusaji dan membawanya ke sebuah kursi panjang.
”Anda baik-baik saja, Nyonya?” dengan penuh empati, pramusaji itu menanyakan keadaan
Aisyah. Kartu nama di tangan telah berpindah ke saku seragamnya.
“Saya tidak apa-apa, terima kasih,” jawab Aisyah dengan tersenyum lembut. Pramusaji
membalas dengan senyum manis sambil menyembunyikan heran di kedalaman hatinya. Tapi ia
senang wajah dan tatap dingin yang ia lihat tadi siang telah tiada.
“Duduklah,” pinta Aisyah setelah sampai kursi panjang. Pramusaji itu menurut tanpa
membantah sedikit pun.
“Saya akan menjadi teman anda selama di Bali jika Nyonya merasa butuh seorang teman.”
Pramusaji itu menawarkan kebaikan.
“Terima kasih. Nama kamu siapa?” tanya Aisyah sengaja mengalihkan perhatian.
”Desak, Nyonya.”
”Desak? Kamu pernah ke Jakarta?”
“Sebenarnya saya ingin sekali ke Jakarta tapi tidak mungkin, Nyonya,” jawab Desak sambil
mencuatkan seulas senyum yang sulit dimengerti maknanya. Aisyah menatap Desak lekat-lekat.
“Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di restoran saya,” kata Aisyah serupa permintaan.
”Jadi, itu sebabnya Nyonya memberi saya kartu nama anda?” tanya Desak di antara senyum
puas, telah memahami maksud Aisyah meninggalkan kartu nama dan lima belas lembar uang
seratus ribu. Aisyah menjawab pertanyaan Desak dengan senyum membenarkan.
”Tapi, bukankah anda tidak puas dengan pelayanan saya?”
”Kamu salah, Desak. Saya sangat puas. Saya tadi sengaja berbuat seperti itu untuk melihat
sejauh mana kesabaranmu,” kata Aisyah sambil tersenyum lembut. Desak menjadi tersipu malu.
”Tapi maaf beribu maaf, Nyonya. Saya harus mengembalikan semua ini,” ucap Desak
sembari mengulurkan sejumlah ratusan ribu.
”Kenapa, Desak? Kamu takut saya bukan orang baik?” tanya Aisyah lembut.
“Tidak, Nyonya. Bukan begitu. Kita memang tidak selalu bisa mendapatkan yang kita mau.”
“Kamu bisa kalau kamu berfikir bahwa kamu bisa.”
“Itu betul. Saya sebenarnya ingin bekerja di Jakarta, atau setidaknya sekali saja melihat
kota Jakarta. Tapi saya tidak bisa meninggalkan nenek saya barang sehari pun.”
“Begitu, ya?”
“Iya, Nyonya. Saya tinggal berdua dengan nenek saya yang sudah sangat tua dan tak bisa
pergi kemana-mana. Ibu saya sudah lama meninggal. Sedangkan ayah saya tinggal di Jakarta
bersama istri pertamanya. Ibu saya istri kedua,” cerita Desak tanpa beban dan rasa sedih.
Aisyah merasa heran mengapa Desak bisa seperti itu.
“Kamu sempat kenal kasih sayang ayah kamu?”
“Ya, sedikit. Waktu kecil, ayah saya kadang-kadang datang. Tapi sudah 15 tahun ini tidak
pernah datang sama sekali. Entah masih hidup, entah sudah meninggal, saya tidak tahu. Tapi,
sebelum menghilang, ayah sempat membelikan ibu rumah, mobil dan membuatkan kafe.”
“Hmm… jadi, kamu pemilik kafe itu? Kenapa kamu berlaku sebagai pramusaji?”
“Setelah lulus kuliah nanti, saya ingin mengelola dan mengembangkan kafe itu dengan baik.
Jadi saya harus mulai belajar dari bawah.”
“Itu tindakan yang benar,” kata Aisyah. Desak tersenyum senang dengan pujian yang tak
berlebihan itu.
“Mari, Nyonya saya antar anda pulang. Sepertinya anda sedang tidak sehat.”
“Terima kasih. Saya masih ingin di sini.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan menemani Nyonya.”
“Terima kasih. Oh ya, jangan panggil Nyonya lagi, ya. Panggil saja Tante. Tante Aisyah.”
“Aisyah? Saya pikir nama anda Sonia,” kata Desak sambil tersenyum malu.
“Itu bukan nama saya.”
“Jadi nama siapa, Tante?”
“Seorang wanita yang sangat baik pada Tante. Yang Tante cintai dan mencintai Tante.”
“Pasti ibu Tante, ya?”
Aisyah menggeleng.
“Anak Tante?”
Kembali Aisyah menggeleng.
”Maafkan rasa penasaran saya, Tante Aisyah. Tapi kalau Tante tak berkenan
memberitahu tak apa,” kata Desak pasrah. Aisyah pun diam.
“Kapan Tante pulang ke Jakarta?” tanya Desak mengalihkan perhatian.
“Besok pagi.”
“Tante jangan meninggalkan Bali dengan hati sedih, ya? Tolong ingat manisnya saja dan
tinggalkan kesedihan Tante disini,” pinta Desak yang disambut Aisyah dengan senyum getir.
“Maaf, kalau kata-kata saya membuat Tante sedih.”
“Tidak. Kamu benar. Tante memang harus melarutkan semua kesedihan Tante di sini agar
bisa pulang ke Jakarta dengan wajah bahagia.”
Desak menoleh dan sepintas memandang wajah Aisyah sambil tersenyum senang karena
sarannya didengar.
“Tante sering ke Bali?”
“Dulunya iya… tapi semenjak suami Tante meninggal tidak pernah lagi.”
“Adanya Tante di Bali sekarang ini?”
Aisyah diam sejenak, tampak mempertimbangkan sesuatu.
“Kamu benar, Desak. Saya butuh seorang teman,” kata Aisyah yang disambut Desak
dengan senyum gembira.
“Kunjungan Tante saat ini untuk berdiskusi dengan calon besan Tante tentang pernikahan
anak-anak kami. Tapi… dia malah meninggal disini. Tiga hari yang lalu....”
“Saya ikut berduka cita, Tante. Tapi, apa benar kesedihan Tante hanya karena meninggalnya
calon besan? Sepertinya, kesedihan Tante sangat mendalam,” celoteh Desak mulai berani.
Aisyah tersenyum dengan kedekatan yang semakin terasa.
“Calon besan Tante itu… mantan pacar Tante 28 tahun yang lalu. Kami saling mencintai tapi
tidak bisa menikah karena beda agama. Tante muslim dan Raju hindu. Lalu kami berpisah dan
menjalani takdir masing-masing. Tante menikah dengan seorang lelaki yang sangat baik tapi beliau
meninggal saat putra kami satu-satunya baru berusia 7 tahun.”
“Setelah itu, Tante tidak pernah menikah lagi?”
“Tidak. Tante sibuk membesarkan Giring. Tante bahagia dan tak pernah merasa membutuhkan
seorang lelaki, hingga 8 bulan yang lalu saat bertemu kembali dengan Raju. Kami jatuh cinta lagi
dan berencana akan menikah. Tapi….” Aisyah berhenti bercerita dan menggantinya dengan tawa
sedih bercampur bahagia.
“Tapi….?”
“Ternyata Esha, calon menantu Tante adalah anak Raju. Tante dan Raju baru mengetahui hal
itu saat acara temu keluarga menjelang pertunangan Giring dan Esha.”
“Lalu bagaimana reaksi anak Tante dan calonnya?”
“Anak-anak dan siapapun tidak tahu-menahu tentang kami dan masa lalu kami. Kami
merahasiakannya dengan baik. Karena kalau tidak, Giring dan Esha akan membatalkan pernikahan
mereka demi kami. Kami ini orang tua, sangat memalukan jika bersikap egois, mengorbankan
pernikahan anak-anak untuk pernikahan kami. Orang tua mana yang bisa melakukan tindakan itu?
Dimana pun, orang tua selalu ingin melakukan apa saja yang bisa membuat anak-anaknya bahagia.
Karena senyum anak adalah kebahagiaan orang tua dan duka anak adalah seribu kali duka bagi
orang tua. Kami tak ingin menikah, Desak. Kami ingin anak-anak kami bahagia dan memberi
kami cucu-cucu yang manis. Itulah yang akan menjadi kebahagiaan kami. Kamu paham yang
Tante bicarakan, Desak?” tanya Aisyah sambil merangkul Desak tanpa sadar.
”Paham, Tante. Saya belum pernah menjadi orang tua, tapi tak sulit memahami hati orang tua.
Karena saya juga punya orang tua, meskipun ayah saya....”
Desak tak melanjutkan ucapannya. Ia memilih diam dan memberikan senyumnya yang
bercerita tentang kesepian pada langit yang mulai memerah. Aisyah merangkul Desak semakin
erat dan hangat.
”Lalu siapa Sonia itu, Tante?” tanya Desak mengalihkan perhatiannya.
”Oh, Tuhan... pikiranmu masih terganggu oleh Mami Sonia rupanya.”
”Mami?”
”Mami Sonia itu ibunya Raju. Kasih sayang beliau tak pernah luntur meski Tante tak bisa
menikah dengan Raju. Bagi Tante, beliau adalah mertua Tante meski anaknya tak pernah menjadi
suami Tante.”
“Oooo... Itu sebabnya Tante mengabadikan nama beliau untuk nama restoran Tante?”
”Ya, betul,” jawab Aisyah sambil mengerjapkan mata, menghalau kaca-kaca di matanya.
”Kisah yang indah dan unik. Luar biasa,” desis Desak.
”Tapi Tante, berarti putra Tante menikah dengan seorang wanita Hindu??”
”Tidak. Esha dan Raju telah menjadi mualaf.”
”Oh.” Jawab Desak kali ini singkat. Aisyah tersenyum manis. Setiap teringat Raju meninggal
dalam senyum damai, hati Aisyah menjadi sangat ringan dan tergetar.
”Tante harap, semua yang Tante katakan akan kamu simpan untuk dirimu sendiri, Desak.”
”Tante bisa mempercayai saya.” Jawab Desak mengulas senyum bersemburat bangga.
”Terima kasih. Mari kita pulang.”
”Tidak. Sebelum Tante bertanya kenapa saya ada di sini.”
Aisyah tertawa kecil mendengarnya. Lalu ia pun bertanya kenapa.
“Jelas karena ini, Tante,” jawab Desak sembari menyodorkan kelima belas lembaran uang
seratus ribu yang tadi diberikan Aisyah padanya.
“Tante tak bisa mengambil kembali yang telah Tante berikan.”
“Saya juga tak bisa mengambil yang bukan hak saya.”
“Kalau begitu berikan pada yang berhak.”
”Siapa, Tante?”
”Orang-orang yang membutuhkan di sekitarmu,” jawab Aisyah sambil merapikan rambut
Desak yang dipermainkan angin. Desak tersenyum bahagia di antara kaca-kaca di matanya.
Kerinduannya pada kasih sayang orang tua telah sedikit terobati.
Mentari luruh, senja menjelang. Kedua perempuan yang matanya bercerita tentang
kesepian itu meninggalkan pantai Nusa Dua yang khidmat mendengarkan kisah mereka.
Cerpen ini dimuat di buku Imazonation Phantasy Poetica
Cerpen ini dimuat di buku Imazonation Phantasy Poetica
No comments:
Post a Comment