Oleh: Yathi Hasta
“Aku terpenjara di Qatar ….”
Jari-jemariku lemas. Tergolek tak berdaya di atas laptop. Sudah! Harapan bertemu Saida
di Indonesia terhapus sudah.
Musim sedang indah di tanah Khatulistiwa. Setiap hari dinaungi langit yang
tak panas, meski untuk itu harus berwarna kelabu. Di sore hari, biasanya turun hujan
dengan curah sedang.
Inilah musim yang kami tunggu. Di musim ini, Saida berencana mengunjungi
Indonesia untuk bersamaku menari di bawah hujan.
”Aku tak bisa keluar Qatar, Arin. Aku terjebak di sini selamanya. Di negeriku
“Kau bilang ‘selamanya’?”
Tapi pertanyaanku tak tak dijawab. Dalam getir kumenunggu lama. Sampai
akhirnya smiley-icon menangis itu kuterima. Rasa getirku berubah. Pahit yang sangat
tak mampu kuabai, ketika Saida kemudian memberitahu, telah terjadi kecelakaan
yang merenggut kedua kakinya.
”Itukah sebabnya kami tak bisa menghubungimu sebulan ini?”
“Aku dirawat di rumah sakit. Seminggu dalam keadaan koma lalu kedua
kakiku harus diamputasi. Aku tak bisa ke mana-mana lagi, Arin. Impianku
melihat kehidupan di luar negeri pudar dan aku akan terus terkurung di rumah ini
selamanya L.”
”Saida ... aku sangat sedih,” jawabku sambil berlinang airmata.
“Aku tak beruntung, Arin. Aku gagal ke Indonesia dan tak ’kan pernah
menemui hujan selamanya. Tak akan pernah!”
Disertai smiley-icon sedih yang berderet-deret, Saida menjawab.
Airmata yang panas kubiarkan membanjir, menemani kesedihan sahabatku
atas kehilangannya.
”Mau lihat kakiku?” Saida seolah menantang dan terpaksa kuiyakan. Tak
sampai hati kusakiti ia dengan penolakan.
Kuisi hening dengan membayangkan Saida sedang membuka
webcam dan mengundangku. Hening yang pedih.
”Di sini hanya ada musim panas dengan sinar mentari yang sangat terik.
TAK ADA HUJAN! Kami hanya memiliki dua musim: panas dan sangat panas.
Angin dingin berhembus selama empat bulan, selebihnya udara sangat panas.
Gadis dengan alergi-sinar matahari sepertimu tak akan sanggup hidup di Qatar.”
Ucap Saida disertai smiley mengejek di akhir kalimat. Aku hanya menjawab
dengan smiley-icon sedih.
”Berbahagialah kau yang lahir di Indonesia. Di negeri tropis dengan jutaan
hektar pepohonan. Pemandangan gunung, air terjun dan pantai indah membentang.
Kau beruntung bisa menemui hujan dan kelembaban. Berada di antara teman dan
keluarga yang bersahabat dan toleran. Arin, sekarang lihatlah aku yang baru!”
Dengan tangan bergetar kuterima undangan Saida untuk melihat dirinya
melalui webcam.
”Dengan keadaanku sekarang, aku tak bisa ke mana-mana. Aku terjebak
di Gurun Arab selamanya.” Sesal Saida kembali berkumandang di Yahoo Messenger,
tempat kami sering mengobrol. Tak kuat melihat Saida di atas kursi roda tanpa
kedua kakinya, kuberanjak pergi ketika Aria datang dan menatapku heran. Dengan
cepat Aria menoleh pada laptop untuk mencari jawab. Melihat Saida di webcam,
saudara kembarku bergegas mendekati meja.
“Aku akan menjemputmu. Membawamu ke Indonesia untuk menari di bawah
hujan.”
“Kau mengejekku, Arin! Bagaimana aku menari tanpa kaki??”
”Setelah menikahimu, kakiku adalah milikmu. Jadi kau pasti bisa menari,
Honey.”
”Ariaaaa??? Kaukah yang di sana? Sejak kapan?? Aku bicara dengan Arin
tadi.”
Jerit Saida kala itu masih kuingat dengan baik. Jerit entah karena sedih atas
musibahnya, atau bahagia atas keteguhan cinta Aria. Kini di balik jendela yang
basah, kumenunggu Aria pulang membawa Saida … untuk bersamaku menari
di bawah hujan.
No comments:
Post a Comment