Thursday, August 1, 2013

Bab 1 : KUTA MURAM

Oleh Yathi Hasta        

  ”I will never forget Bali!”

Merekah. Kelopak-kelopak bunga bahagiaku merekah, menangkap selarik kalimat wajar namun terasa manis benar. Dalam hati tersenyum kumendongak, menatap wajah pemuda jangkung yang sedang berjalan sarimbit1 denganku, mencari-cari, adakah bibir dan mata yang sedang tersenyum di atas sana.

Ada. Kuhitung bintang-bintang di matanya ada sejuta.
Segera kupetik semua untuk menyinari dinding-pajang galeri cinta. Galeri yang tak akan ditemukan di jalan mana pun, tak terlihat mata setajam apa pun, tak tercapai kendaraan jenis apa pun dan tak termuat dalam peta terbitan mana pun. Sebab ia, terletak di kedalaman hatiku. 

Galeri yang kubangun sepuluh bulan lalu itu sebuah bangungan berbentuk bunga teratai yang kelopak-kelopaknya sedang setengah mekar. Kudirikan di tengah-tengah danau berwarna bening dan beraroma asa. Teratai beton itu berwarna putih mengkilat di siang hari, tapi selalu berganti-ganti warna di malam hari. Hijau muda, kuning, biru, ungu dan merah jambu silih berganti setiap satu jam. Semakin romantis oleh teknik pencahayaan bertema soft & cozy,  karya perancang terbaik yang bertempat tinggal di otak kananku.  

Indahnya Galeri Terataiku. Selalu puas kumemandang seluruh isinya. Angin pun tak pernah bosan mengintip melalui pori-pori kulit, menjelajah satu per satu beribu wajah tersenyumku yang terpampang di sana-sini. Selalu rajin ia menginventarisasi berjuta bingkai lukisan berisi kata cinta yang meliputi hati ini selaksa mimpi dan asa. Setiap saat angin memastikan, tak satu pun koleksiku lenyap dari tempatnya karena hilang atau tercuri.

Adalah patung sekuntum bunga teratai-putih raksasa kudirikan dengan megah di titik-nol Galeri Teratai. Setiap kelopaknya tercecer air segar yang membuat patung-bunga itu tampak seksi. Ujung-ujung kelopaknya bersinar-sinar secemerlang berlian. Dan gemericik air mancur di tengah-tengah patung bunga bagaikan alunan nada yang membuatnya tak pernah kuncup. Di sinilah aku dan angin sering bertemu.

Di beranda galeri kusediakan keran air untuk membersihkan kaki sebelum masuk. Ada pula belahan akar-pohon jati raksasa yang kupernis halus untuk duduk menunggu kaki kering sambil memandang taman beraneka segar bunga dan bertebar indah warna. Menikmati suara air dari bumbung-bumbung bambu yang kususun menyerupai bunga teratai melengkapi kenyamanan taman yang selalu sejuk. Ya, selalu sejuk! Sebab tak pernah ada musim panas yang membakar atau musim dingin yang membekukan. Di sana. Di lingkungan rumah teratai kesayanganku.

Indah, nyaman, penuh harapan. Itu yang selalu terasa setiap memandang Galeri Teratai di relung hatiku. Ketiga rasa yang pada akhirnya membuahkan puas yang pancarannya berpendar-pendar di seri wajah, membuatku tak sengaja tersenyum pada orang tak kukenal yang berpapasan mata denganku. Seorang pemuda berwajah Josh Groban dengan rambut ikal sepundak seperti Kenny G. Dengan senyum yang ramah, pemuda itu membalas senyumku sekaligus menawarkan senyum yang sama pada pemuda di sampingku: Ahmed. Dan dengan keramahan yang sama tulus, kekasihku membalas senyum turis Barat itu.

Aku pun tak kan pernah melupakan Bali, Janu2, bisik hatiku mantap dalam puas yang sempurna. Bahagianya mendengar belahan hatiku tadi berkata tak akan melupakan kebersamaan kami yang indah ini seumur hidupnya.

”Kenapa kamu tak akan pernah melupakan Bali?” bibirku pun ringan melontari Ahmed seayun tanya. Seringan ayun langkah kakiku meninggalkan pasir putih di tepi Pantai Kuta yang siang tadi panas sungguh. Membuat kami memutuskan untuk pulang ke hotel dan akan kembali di senja hari.

”Karena ... karena kita tak kan jumpa lagi ...” jawab Ahmed lirih dan sedikit terbata, tampak mencoba berhati-hati dalam bicara. Aku ternganga dalam mulut terkatup sempurna. Sedih yang teramat membuat kelopak-kelopak bunga bahagiaku layu seketika.

Salah besar! Aku telah salah besar. Kukira kekasihku akan mengatakan alasan yang manis untuk sempurnakan rasa indah ini. Tak kusangka, ia justru mendatangkan bergumpal-gumpal awan kelabu ke mataku. Kutolehi ia untuk mencari tahu, warna apakah yang kini disandang wajah dan matanya.

Sepasang matanya menatap cakarawala dalam kosong yang jujur, dalam sedih tak terkatakan. Wajah itu tak lagi merona. Dan hatinya seperti sedang mendanau.

Luluh. Aku luluh melihatnya. Marah, protes dan keluh batal kulancarkan. Akhirnya, kuhanya mampu terdiam dalam mood yang memburuk; dalam pusaran tanya yang melemparkanku ke dalam dalamnya lubang gelap. Yang kesuramannya menjalar ke setiap pori wajah, mengundang senyum empati seorang pria paruh baya berwajah Asia Selatan. Pria yang tampaknya arif oleh usia. Kusadari senyum itu sebuah ajakan melewati detik waktu tanpa keluh dan muram. Entah siapa pria itu, entah mengapa peduli pada wajah murungku. Untuk perhatian khususnya itu, kuhanya bisa memberi sekelebat senyum takzim yang segera ia balas dengan senyum kecil lewat mata.

Tak akan bertemu lagi! Setelah mengatakan tak akan pernah melupakan Bali, Ahmedku berkata kami tak akan bertemu lagi! Kekagetan yang pedih menggiring batinku berulang-ulang melafazkan ucapan yang tadi lemah terucap tapi memiliki daya-ledak luar biasa. Namun tetap kuteruskan langkah dan mencoba tampak tenang meski hati ini terberati duka. Adalah keramaian sekitar mengekangku bereaksi dan berekspresi jujur. Ketika Ahmed menolehiku pun pasti tak menemukan sesuatu kecuali wajah yang tampak seperti biasa. Begitulah yang terlihat di permukaan.

Tapi tidak di kedalaman hatiku. Siklon badai sidr3 melanda di sana, menghabiskan segala dalam sekedip mata. Asa, bahagia dan apa pun yang  kupunya. Tak terkecuali Galeri Teratai dan seluruh isinya. Semua tersapu musnah!

Mematung berurai airmata kutangisi kehilanganku. Di sini! Di reruntuhan puing-puing Galeri Teratai; galeri cintaku. Aku pun runtuh, tinggal sekeping puing.

Desau lembut angin sejenak mampir ke telinga, menyampaikan pesan ombak agar kumenoleh pada Pantai Kuta. 

Ke kanan kupalingkan wajah, memandang ombak yang tiba-tiba menggeliat ganas. Dengan liuk yang lincah mereka ingin membuncahkan protes yang tegas. Pasukan ombak mendekat semakin dekat ... semakin besar. 

Breesss!!! 

Ombak yang murka melahap Ahmed dari sisiku! Spontan kupegang tangan Ahmed kuat-kuat. Jika ombak ingin membawanya, aku pun ingin ikut serta. 

Ahmed menatap lurus ke mataku. Melalui sorot herannya bertanya 'ada apa'? 

Namun tak segera kujawab. Aku masih mematung, sembunyikan ketegangan di balik sebelah tangan yang menutupi wajah bagian bawah.

”Kamu baik-baik saja, Honey??” Ahmed bertanya, masih dalam heran yang belum setitik pun lenyap.

Tak ada ular si binatang yang paling kutakuti, mendadak melintas dan mematuk Ahmed. Tak ada pula kendaraan yang hampir menabrak dan mencelakai kekasihku. Apalagi Mr. Bean tiba-tiba muncul dan merebut jus di tangan Ahmed lalu meledek dengan 'wajah jelek'nya. Tapi mengapa aku sedemikian ngeri, Ahmed masih sibuk mencari-cari penyebabnya.

Pelan kulepaskan tangan dari wajah saat kesadaranku berangsur-angsur kembali. Bodoh! Kuumpati diri sendiri dalam hati saat satu tanganku telah kuambil dari pergelangan tangan Ahmed yang aliran darahnya kurasa begitu hangat. Karena untuk sampai ke jalan raya pinggir Pantai Kuta ini, ombak harus melewati dataran pasir putih yang cukup tinggi dan pondasi di tepi luarnya yang lebih tinggi lagi. 

Itu tadi kejadian di kepalaku belaka, bisikku menampari imajinasi yang berlebihan. Namun begitu, keyakinanku pada makna geliat ombak tak terkorupsi. Seperti aku, ombak Pantai Kuta pun tak suka dengan keputusan Ahmed merampas mimpiku. Siang tadi.

Lembut, tenang, sepi. Sore ini Pantai Kuta berubah rona. Ia telah lepas dari ombak ganas. Ia kini jinak, meski di kedalamannya dingin dan tersekap nyeri. Kini diam meski tak bisu. Tak menggeliat di permukaan tapi menyimpan luka di bawah sana.

”Ooh ... kamu di sini? Saya pikir kamu sudah pulang ke Jakarta dan tinggalkan saya sendiri di Bali.”

Sebaris canda yang coba Ahmed tebarkan memporak-porandakan diam bisuku. Kekasihku muncul, mengubah keadaanku yang seorang menjadi tak lagi, membuatku yang nyaman dalam kesendirian menjadi tak lagi.

Sepi. Sebab suara Ahmed tak lagi mencuat. Aku pun mempertahankan kebisuan, tak rela terbangkan seutas kata menyambut hasratnya menanti senja dengan menggandengku memasuki bilik canda. Itulah akibat membuat hatiku mendebu.

Dalam sepi bisu suasana, kuteringat SMS Ahmed sebelum ia tiba di Indonesia. 

Untuk apa saya tetap berada di Bali jika kamu tidak ada bersama saya, Buddhu4

Begitulah ia menjawab saranku untuk tetap berada di Bali, sementara aku pulang mendahului, mengingat masa cuti yang hanya dua hari. Itu karena kuingin ia menjelajah Bali lebih jauh, selagi berada di pulau yang masyur karena keindahannya.

Tapi di Jakarta aku tak  bisa menemanimu, Ahmed. Aku harus pergi kerja, jawabku juga lewat SMS.

Tak masalah. Saya akan tidur seharian. Tapi setelah kamu pulang kerja, dapatkah kau antar saya melihat-lihat kota Jakarta di malam hari? 

Ahmed meyakinkanku sambil menebar canda. Canda yang tak boleh kuanggap benar-benar lelucon, karena sangat mungkin pangeran tukang tidur itu akan melakukannya.

”Hei??” seru Ahmed lembut, membuatku tersadar dari lamunan. Sekilas kutatap ia yang sedang merenangi mata coklatku. Aku tentu paham arti kalimat elips itu kependekan dari, ”Hei, kenapa kamu diam tak mau bicara denganku?” Begitulah cara Ahmed mengajukan tanya dalam senyum mentari sore yang hangat, meski segumpal sandung tergelar di matanya, melihat beku di wajahku tak kunjung mencair.

Pun demikian aku tak juga melemparinya jawab. Padahal telah sempurna ia bawa tubuhnya duduk di hamparan kain pantai yang kugelar di atas pasir putih. Duduk tepat di sisiku dengan membuka jarak selebar dua tubuh orang dewasa. Ada desir luka karena begitu lebar ia buat jarak itu. Terasa begitu jauh aku dengan pemuda Bangladeshku, seakan lebih jauh dari jarak Indonesia-Malaysia yang selama ini merintangi.

"Kamu harus bersyukur, Dik. Itu tandanya Ahmed menghargaimu sebagai perempuan." 
Terngiang suara Kak Faysal yang mengirim penghiburan sekaligus motivasi untukku berpikir positif. Kemarin. Saat ia menelepon setelah menerima SMS-ku, mengeluhkan sikap Ahmed yang selalu dan selalu menjaga jarak.

Mangga harum manis. Ahmed meletakkan wadah plastik berisi mangga yang sudah dikupas dan diiris rapi ke dalam jarak itu. Entah dari mana ia meminjam pisau untuk melucuti kulit si mangga. Karena dari Jakarta aku tak mungkin membawa benda tajam sesuai aturan penerbangan. Hanya sebuah wadah plastik dan tiga buah mangga: Harum Manis, Manalagi dan Indramayu, sengaja kubawa ke Bali untuk kami santap sambil menikmati debur ombak Pantai Kuta.

”Boleh kita coba?” tanya Ahmed sambil membuka wadah plastik itu. Tapi tak kujawab tawarannya. Aku tetap membisu dan terus memakunya dalam kaku suasana yang membuatnya kembali menolehiku. Bersamaan itu kulirik ia yang dengan cermat mencari-cari senyumku yang selalu disukainya. Tapi yang sebaliknyalah yang ia dapati. Airmataku meluncur meninggalkan pipi. Tes, tes! Mereka terdampar di kaos oblong putihku yang bertuliskan kata ’Bali’.

”Kenapa kamu menangis?!” 

Sambil mengembalikan seiris mangga ke dalam wadah plastik, Ahmed yang terperanjat bertanya dalam cengang yang sungguh. Cengang yang penuh rasa tak suka. Wajah pemuda yang biasanya teduh itu seketika menggarang. Matanya tak lagi sejuk! Sorot matanya yang dikerubuti api tak juga berkedip meski ombak telah ribuan kali meneriakinya untuk tak menatap seorang gadis serupa itu.

Airmataku tak lagi sendiri mengalir. Ia telah ditemani suara terisak. Hatiku tercabik oleh tatap mata kekasihku yang sarat kekesalan dan kemuakan. Tatap mata yang belum pernah kuterima dari siapa pun, apalagi dari mata pria yang mengaku mencintaiku.

”Saya benci airmata! Saya tak suka kamu menangis. Tolong berhentilah menangis. Kamu bisa…??!”

Tak bisa berhenti. Pinta Ahmed malah bagai api yang menyulut kabel-kabel di mataku meledakkan tangis. Ia mengatakan tak suka melihatku menangis tapi baru saja Ahmed membersihkan saluran di mataku hingga air di dalamnya lancar mengalir. Wajah murungku tak dikehendaki, tapi sadar tak sadar dialah yang menghembuskan asap kemurungan nan pedih itu. Bahkan saat airmataku semakin deras, ia tetap tak sudi menghapus atau mencegahnya berderai dengan bujuk lembut. Mata tak berkedipnya pun terus memecut airmataku semakin kencang berlari.

”Jangan bersikap emosional! Kendalikan dirimu!!” ucap Ahmed spontan, keras dan tegas. Laksana penglima perang memberi instruksi pasukannya untuk menyerang. Dukaku kian menggunung karena bentak suara dan matanya, meski dibalik kekasaran itu kusadari ada cemas yang membukit. 

Mungkin karena semakin banyak pasang mata yang memperhatikan kami. Dalam hati perih dan terkoyak, aku menduga-duga pemancingnya.

Adalah sekelompok laki-laki dan perempuan bule yang sedang berjemur spontan menolehi kami. Pemuda pribumi berkulit coklat lumpur yang menenteng papan surfing hendak masuk ke pantai pun sejenak menghentikan langkah dan menatap ke arah kami. Juga dua wanita Tionghoa yang sedang diurut kakinya sambil membicarakan rencana bisnis yang akan sukses di depan mata, mereka sempat memberi kami wajah cemberut dan menghentikan obrolan yang menggebu-gebu karena nada tinggi Ahmed. Dan sesungguhnya masih banyak pasang mata yang menyoroti, membuatku tersadar, kami berada di keramaian.

Airmataku mengering seketika. Isakku pun terhenti. Sudah. Pertunjukan drama yang emosional usai sudah. Kubuang wajah dari tatap mata garang Ahmed. Tatap mata yang telah kutetapkan sebagai kebencianku. Aku kuyub dihujani heran, begitukah cara ia menangani kekasih yang hatinya sedang bergolak? Sama sekali bukan cara seorang pemuda yang manis.

Tidak manis? 

Aku cepat-cepat membantah diri sendiri. Karena biasanya Ahmed selalu bersikap manis! Saat kumenangis di telepon karena cemburu pada Jessy, dengan lembut ia membujukku berhenti menangis dan mengatakan tak suka melihat wajah ini berduka. Karena yang senantiasa ia harapkan hanyalah wajah tersenyumku. Ia bahkan memohon kuberhenti menangis demi ketenangan hatinya karena tak tahan membayangkan pipiku dipenuhi airmata. Tapi sekarang, saat di depannya kubersimbah airmata, bagaimana bisa menyulut Ahmed menjadi sedemikian garang? Aku tak habis pikir. Sesak dadaku terikat erat oleh rasa bingung yang kuat membebat.

”Kenapa kamu tadi menangis?” tanya Ahmed lembut. Tapi, bukan kelembutan yang berasal dari hati yang telah melembut, karena garang di wajahnya masih tersisa. 

”Karena ... karena tadi kamu bilang kita tidak bertemu lagi, uh huhuhu ....”
Kembali. Kembali airmataku berpesta bersama isak tangis yang mengeras seiring debur ombak menggulung kian buas. Kuta sungguh-sungguh tak rela aku ’kan ditinggalkan Ahmed, pemuda yang teramat di segalaku.

Tanpa sepatah kata, Ahmed mengulurkan sapu tangan yang telah ia ambil dari kantong celana jeans Lois biru tuanya. Sapu tangan warna biru langit tak bercorak gambar maupun garis ada di depan mataku. Tapi kutak sudi mengambilnya. 

”Ambillah,” kata Ahmed lembut. Rupanya ia cepat sadar, aku tak berkenan dengan caranya. Kuambil sapu tangan itu dan memakainya untuk menghapus airmata saat debur ombak mengamuk menyeruduk pantai. Dalam hati yang masih dipeluk kosong, kutatap pasukan buih yang berlomba-lomba menciumi pasir putih.   

Amma5 tidak mengijinkan saya menikah dengan gadis asing,” kata Ahmed kini dalam kelembutan yang seharusnya.

”Pernahkah kamu coba memberi pengertian padanya?!” sahutku bergetar. Getar yang timbul dari gemuruh di seantero dada yang belum sempurna kukuasai.

”Saya rasa tidak perlu, Amma tidak akan pernah mengijinkan,” jawab Ahmed mantap, membuat hati ini seketika pucat pasi.

”Kenapa tidak perlu??!” tanyaku dalam luka yang naik pitam.

Tapi Ahmed tetap tak bergeming. Bahkan menjadi pelit mengalirkan kata. Mata keruhku memanah mata Ahmed yang setelah debur ombak terbesar memecah pun tetap tak menggugahnya bersuara. Dalam kesal menghebat kusandarkan tubuh pada pohon waru yang tarian daun-daunnya memberi isyarat untuk bersikap tenang. Tari-tarian yang tentu tak akan ada jika sekumpulan angin tak membunyikan musik dan mengajari koreografinya. Sesaat kemudian, dalam kemeriahan pesta-dansa daun waru, tak sengaja kuberpapas kembali dengan lelaki tua berwajah berwajah Asia Selatan itu di pelupuk mata. Mata teduhnya memimpinku untuk meredakan amarah di hati.

”Kenapa tidak perlu? Bicara, Ahmed ...” pintaku lembut akhirnya. Aku lupa, bicara keras akan membuat pemuda Rajshahi6 itu bertambah keras. Cengeng dibenci, keras tak disukai. Begitulah dia adanya. Begitulah ia membuatku kadang serba salah, tak tahu harus bagaimana.

”Aifa ... saya tidak bisa menikah dan tinggal di Indonesia bersamamu. Setelah kembali ke Malaysia, saya akan segera pulang ke Bangladesh. Saya sudah mengatakannya padamu, bukan?” lembut Ahmed berkata.

”Kapan? Kapan aku memintamu menetap di Indonesia dan meninggalkan keluarga demi aku? Kapan Ahmed ...?? Walaupun sudah lama tinggal di Jakarta, tapi aku masih perempuan Jawa yang manut7. Akulah yang akan ikut kamu. Aku akan turut ke mana pun kamu pergi! Kenapa kamu pikir aku akan memintamu tinggal di Indonesia sebelum bertanya?” protesku dalam kalimat tanya yang tajam menikam, meski nada lirih yang kupilih.

Ahmed kaget dalam senyum malu yang selintas lewat. Kutak lepas menatap rona wajahnya yang membuat hatiku berseru, hhhhh, dasar sok tahu!

”Kenapa? Kenapa kaukira aku akan menuntutmu tinggal di Indonesia?” tanyaku semakin ’panas’. Lebih panas dari udara pantai yang membuatku tak nyaman karena gerah.

”Karena saya pikir begitu,” jawab Ahmed polos dan ringan, membuatku ingin berseru, hhaah, lagi-lagi dia bersikap sok tahu.. 

”Kenapa kamu pikir begitu??” Kukejar ia dengan pertanyaan. 

Diam. Tapi Ahmed malah kembali dikuasai diam. Ia tak peduli aku begitu tak sabar menunggu jawabannya. Dan dalam diam itu kulihat neraca di matanya, tapi tak tahu gerangan apa yang sedang ditimbangnya.

”Maukah kamu saya ceritakan sebuah kisah?”

”Tentang?”

”Masa lalu saya dengan seorang gadis Jogja. Jogja juga bagian dari pulau Jawa, bukan?”

”Ya, Jogja bagian dari Jawa,” jawabku datar dan mengambang. Bukan karena tak yakin Jogja adalah bagian dari pulau Jawa, melainkan belum paham mengapa Ahmed menekankan pertanyaan itu.

”Baik, saya ingin mendengar cerita masa lalumu,” kataku yang kalah dalam perang diam, demi membuatnya segera memulai cerita. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkan ceritanya.

”Hani. Dia kekasih saya selama tiga tahun saat di India. Kami saling cinta tapi harus berpisah dan saya tak bisa menjadi suaminya.”

Selintas. Kulihat selintas kesedihan Ahmed mengemuka.

”Masalahnya?” tanyaku lepas kendali. Seiring lepasnya tali-kekang kelembutan dan keramahanku. Aku sungguh tak suka melihat kesedihan yang tadi sempat bocor dari matanya. 

”Dia tak bisa ikut dan tinggal di negara saya. Saya juga tak bisa tinggal di Indonesia karena harus menjaga amma saya.”

”Kenapa dia tak mau tinggal di Bangladesh?”

”Alasannya sama. Hani tak bisa tinggalkan ibunya. Ayahnya sudah meninggal. Keadaan membuatnya mengambil keputusan itu. Hani juga gadis Jawa seperti kamu. Ia pun ingin turut dengan saya ke mana saja, tapi ....”

”Tidak ada kata ’tapi’, Ahmed! Dia akan ikut kalau memang dia mau ikut!” jawabku ketus dan menyengat yang aku kira tak terkira. Ahmed menatap mataku sekilas lalu diam memandang laut. Suasana kami kembali mendingin. Mungkin itu yang membuat ibu setengah tua mundur, membatalkan keinginannya menawarkan dagangan pada kami.

Ssshhh. Angin yang baik hati mengitari si ibu pedagang, memberi sejuk untuk menekan duka di dada yang mengira sinar mata keruhku pertanda tak suka akan kehadirannya. Sayang, kutak sanggup mengatakan kalau warna mata ini bukan ditujukan padanya dan berpuluh lembar kaos yang tersampir di kedua tangannya. Aku hanyalah seorang gadis muda yang sedang tak kuat menerima letupan dari sebuah kabar di luar dugaan yang membuatku tersudut dalam luka.

”Jadi, masa lalu itu yang membuatmu berpikir kita tidak bisa bersama?” tanyaku memecah diam seribu bahasa Ahmed. Tanya yang meluncur dengan nada ketus akibat ketidakmampuanku mengendalikan emosi di dada.

”Ya ... salah satunya.” Ahmed berbaik hati menjawabku.

”Kamu tidak bisa menyamakan aku dengan Hani. Aku ya aku, Hani ya Hani. Aku tidak sama dengan dia. Dia tidak bisa berkorban demi cinta kalian, sedangkan aku bisa. Aku bersedia ikut ke mana pun kamu pergi dan itu bukan hanya di bibir. Aku sungguh-sungguh mengatakannya. Sekali lagi, ke mana pun kamu pergi, Ahmed. Aku mohon ingatlah selalu kata-kataku ini!” kataku tegas demi meyakinkan. Tapi Ahmed tak sedikit pun menyahut. Ia hanya sejenak menatap wajah dan mataku lalu pelan membuang muka.

”Satu lagi! Jika ayahku tak setuju, aku tidak akan menyerah. Sebagai anak aku wajib memberi pengertian, dan sebagai kekasih kuingin berusaha mewujudkan cinta kita. Aku akan menjalankan kedua tugas itu, Ahmed. Dua-duanya. Bukan hanya salah satu,” imbuhku tak patah arang oleh ketidaksukaannya pada kata tegasku yang mungkin dianggap marah. Tapi senyum Ahmed mengembang, membuat hatiku yang menggumpal keras perlahan melembut.

”Jadi gadis keras kepala ini masih punya karakter perempuan Jawa yang manut, ya?” sindir Ahmed dalam senyum dan mata melirik.

”Almarhumah ibuku mengajari begitu,” jawabku tersipu oleh sindiran Ahmed. Gadis Jawa yang keras kepala. Ahmed mengataiku demikian dan ini bukan yang pertama. 

Waktu itu, saat kami sedang bercengkerama di ruang chatting, dalam suasana bercanda Ahmed mengatakan kalau akulah yang keras kepala. Aku tak terima dikatakan demikian, lalu kubalikkan kata bahwa dialah yang sebenarnya memiliki sifat itu meski terbalut dalam sikap kalem. Perdebatan kami tak habis jika Ahmed sebagai orang yang sepuluh tahun lebih tua tak mengakhiri dengan taktik jitunya. Mengalah untuk damai.

Kini, meski nada dan suasana canda lagi-lagi ia pilih, tapi peluru yang ditembakkan terbuat dari timah kesungguhan. Dan aku terluka meski tak tepat di jantung.

”Oh. Jadi ... ibumu sudah meninggal? I’m so sorry to hear that, Dear.”

Aku diam. Tak mampu menjawab ungkapan bela sungkawanya karena sibuk menahan guliran bulir-bulir airmata yang siap meluncur. Ahmed pun entah mengapa tiba-tiba diam dalam bibir tak terkatup sempurna. Ia seperti kaget dan membatin, kenapa selama ini aku tak pernah bercerita soal ibuku.

”Apa yang terjadi dengan amma-mu? Apa beliau sakit?” tanyaku coba mengalihkan perhatian sekaligus mengupas rasa ingin tahu di kepalaku.

Amma dalam masalah besar. Fisik dan mentalnya lemah. Saya harus menjaganya dan tak mungkin melakukan sesuatu yang tak dikehendakinya. Karena itu akan membuat sakit jantungnya kambuh.”

“Sesuatu yang tak dikehendaki? Apa sesuatu yang tak dikehendaki itu??” 

Tapi pertanyaan yang menggebu tak segera dijawab Ahmed, membuatku segera sadar, itu bukan sesuatu yang menyenangkan.

“Menikah dengan gadis di luar Bangladesh,” jawab Ahmed dalam lirih yang mendekati sempurna. Beberapa saat kemudian.

Rasa heran kenapa Amma Ahmed masih konservatif kubiarkan lewat begitu saja. Nyeri di jantung yang bagai dijingkati lincahnya jarum jahit menusuk-nusuk pun tak kupedulikan. Aku meneruskan diam. Tak mampu membayangkan hal buruk sedang terjadi pada seorang ibu yang kuimpikan menjadi ibu mertuaku kelak.

Amma Ahmed seharusnya baik-baik saja. Seperti saat aku diam-diam menelepon ke rumahnya, melanggar larangan Ahmed yang justru menyentil rasa penasaran. Amma-nya begitu lembut, berbicara dengan rileks dan tampak seorang ibu yang bahagia. Tapi mengapa Ahmed menggambarkan kondisi amma-nya seburuk itu? Dalam heran yang tak habis, aku bertanya-tanya.

My name is Aifa, may I speak with Ahmed?” 

Kubuka percakapan di telepon dengan setangkup tanya asal. Ya, tentu saja kusebut asal, karena aku tentu saja tahu Ahmed sebenarnya tidak sedang berada di negaranya.

Tak ada jawaban dalam waktu cukup lama membuatku termangu dalam ragu. Apakah menutup telepon begitu saja atau menunggu entah sampai kapan. Padahal laju rupiah di display telah melesat hingga membuatku ketar-ketir8, khawatir kalau uangku tak akan cukup untuk membayar tagihan. 

Angin yang merasa iba tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menyejukkan kepalaku lewat goyangan kipas angin mungil di ruang selebar 1x1 meter.

Setelah sekian puluh detik, ketar-ketir di dadaku akhirnya tewas saat kudengar suara ramah yang kelembutannya mengalun di setiap intonasi. Tapi kutak mengerti kata-kata yang diucapkan Amma Ahmed. Rupanya ia tak bisa berbahasa Inggris. Meskipun begitu aku mengerti ia berusaha menjelaskan kalau putra bungsunya sedang tak berada di Bangladesh. Malaysia adalah kata kuncinya.

Aapni kemon achhen9? Are you Ahmed’s amma?” tanyaku dalam bahasa campur-campur.

”Yaa! Amma, amma ....” 

Amma Ahmed menjerit ringan dan ceria, memberitahuku dirinya memang orang tua perempuan Ahmed.

Aapni kemon achhen?” Aku mengulang pertanyaan pertama.

Ami khub valo asi10,” jawab Amma Ahmed kudengar tulus dalam luapan hati gembira. Tapi, selanjutnya aku benar-benar tak mengerti karena ia berbicara panjang dalam bahasa Bengali yang baru seujung kuku kupelajari. Mau tak mau harus kujelaskan kalau sebenarnya aku tidak bisa berbahasa Bengali. Melainkan, baru mulai belajar dan hanya mengenal beberapa kosa kata.

Tumi ki jano ami tomake valobashi etar mane ki11? Amma Ahmed memotong, tampak tak sabar mengajukan keingintahuan dalam sebuah tanya. Tentu aku tak paham arti kalimat itu dengan sempurna. Tapi kurasa ia sedang bertanya, apa aku mengerti arti kata ami tomake valobashi12. 

Sontak aku diseret-seret ragu. Jika kuiyakan, bisa saja Amma Ahmed menduga kalau aku kekasih putranya. Aku akan terperosok ke dalam bahaya kalau sampai si Jerapah tahu aku menelepon ke rumahnya. Ia akan marah dan mendiamkanku selama ia mau karena telah berani melanggar larangannya.

”Saya ingin menceritakan semuanya, tapi tak bisa, Aifa. Karena ini masalah keluarga.” 

Suara lembut Ahmed menggugurkan sebagian daun-daun dari pohon lamunanku. Kelembutan, getar suara rileks dan tawa gembira Amma Ahmed pun terbang bersama angin. 

”Jangan marah, ya?” tanya dan pinta Ahmed bersungguh-sungguh.

”Tidak apa-apa. Aku mengerti, Ahmed,” jawabku luluh oleh kesungguhan permintaan pemuda jangkungku.

”Masalah keluarga kami banyak dan rumit, tapi saya jauh. Saya harus pulang, Aifa. Saya ingin menjaga Amma dan membantu kakak perempuan saya,” kata Ahmed yakin bin tak terbantahkan. Ingin tahu menghentak-hentak tapi tak mungkin kubertanya karena sudah diperingatkan sebelumnya. Kecuali kutak keberatan diberi sinar mata keruhnya. 

”Pulanglah. Aku setuju kamu pulang.”

”Apa??” tanya Ahmed tanpa mengeluarkan suara. Senyum senang dan mata berbinarnyalah yang berkata.

”Pulanglah,” jawabku sembari memberinya sekilas senyum tipis. 

”Benarkah kamu bicara seperti itu?”

“Ya.”

“Terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum pada cakrawala.

“Semua keluarga dan teman saya tidak setuju. Mereka mengatakan saya harus kembali ke Malaysia untuk selesaikan pendidikan di UPM. Hanya kamu seorang yang sepaham dengan saya,” lanjutnya bersemangat didampingi sinar mata yang melonjak-lonjak. Kulihat berkilas-kilas senyum bahagia di mata minus empat alias half-blind-nya. Bahagiaku pun perlahan tapi pasti mencuat karenanya.

”Gelar Ph. D. yang akan kamu sandang tak bisa menjaga amma-mu, kan?” tanyaku laksana seorang yang arif-bijaksana.

”Maaf, maksudmu?” Ahmed jujur mengutarakan ketidakpahamannya.

”Pulanglah, Ahmed. Jagalah amma-mu. Saat ini ia membutuhkan kehadiranmu di sisinya. Kamu bisa kembali ke Malaysia untuk meneruskan pendidikan di masa depan. Hanya saja, menurutku akan lebih baik kalau kamu selesaikan dulu semester dua ini. Karena tinggal dua minggu lagi.”

”Tidak, Aifa. Saya tidak akan menunda kepulangan saya dengan alasan apa pun. Saya hanya sedang menunggu kiriman uang tiket,” dengan tegas dan mantap, bibir dan mata Ahmed berkata.

”Kalau menurutmu itu yang terbaik, lakukanlah.”

Kembali senyum Ahmed bagai kelopak mawar yang perlahan mekar. Kunikmati pemekaran itu meski di hatiku masih tersisa perih tertusuk durinya.

”Saya senang kamu sepaham dengan saya,” ujar Ahmed puas. Senyumnya kian tak tertahan untuk tidak segera mekar sempurna. Sorot matanya tampak lega, terbebas dari ketidaksetujuan demi ketidaksetujuan. 

”Akankah kamu bicara tentang aku pada amma-mu?” tanyaku meminta imbalan. Tapi Ahmed tak segera menjawab. Karena yang ia segerakan adalah mengambil wadah plastik berisi irisan mangga.

”Ya. Akan saya coba,” jawab Ahmed sambil mengambil seiris mangga dalam senyum anehnya.

”Apa yang akan kamu coba?? Mangganya atau coba bicara tentang aku pada amma-mu??” 

Dengan tersenyum tipis kuajukan tanya sembari menikmati pudarnya simpul di hati yang mulai terurai.

”Bicara pada amma saya,” jawab Ahmed sembari tertawa dan tersenyum tipis.

”Terima kasih,” jawabku lega. 

”Tolong sampaikan juga salamku padanya!” pintaku dalam senyum yang tak lagi tak tulus.

”Tentu.”

”Ingat, bukan kamu yang akan tinggal di Indonesia. Tapi aku yang ikut kamu ke Bangladesh.” Sekali lagi aku memperingatinya. 

”Iyaaa, ingatan saya masih belum rusak, Sayang.” Ahmed menjawab sambil menahan kesal buatan. Aku segera menyahutinya dengan sekelebat senyum lega. Segala gejolak di dadaku teredam sudah. Permusuhan di dalam hatiku pun purna. Segala rasa buruk melebur dan  dilemparkan jauh-jauh oleh sebuah kabilah angin yang belum pernah kulihat.

”Apa kau akan membuat mangga ini menderita?” tanya Ahmed membuat mataku bertanya apa maksud ucapannya.

”Mangga ini akan sedih kalau kamu tak segera memakannya. Buddhu!” Jawab Ahmed memancing bibirku melukis senyum.

”Kamu saja. Aku sudah tahu rasanya,” jawabku santai.

”Baik. Tapi jangan menyesal ya. Saya akan menghabiskannya,” ancam Ahmed semakin mencerahkan senyum.

”Tidak akan,” jawabku dalam hati dan mata tersenyum. Kulirik wajah dan mata Ahmed yang tampak bebas dari beban apa pun. Senyum di hati pun kian terang. Galeri Terataiku yang runtuh siap kubangun kembali dengan semangat menyala. Tapi namanya akan menjadi Galeri Valobashi13.

”Hmm ... lezaaat ....” ujar Ahmed tersenyum sambil mengunyah si Harum Manis dengan nikmat. Melihatnya seperti itu, rasa senang di hatiku berlipat ganda.

”Tapi masih kalah lezat dengan Langra14. Tak ada yang mengalahkan kelezatan mangga Bangladesh.” Sambil tersenyum penuh kebanggan dan melirikku, ia berujar.

”Aku tidak percaya!” jawabku pura-pura sengit dan tak percaya.

”Tak masalah.” Ahmed pun enteng menjawab. Seringai kecilnya memberitahu, ia tak peduli pada ketidakpercayaanku. Ia teruskan keasyikannya melahap Harum Manis sambil tersenyum pada laut.

”Habiskan saja,” sindirku sambil menatap tegas potongan terakhir di wadah itu. Ahmed hanya tertawa kecil.

”Tidak. Yang terakhir untukmu, Sayang,” dengan senyum puas Ahmed berkata sambil menyodorkan wadah plastik berisi irisan mangga yang tinggal semata wayang.

”Untukmu saja.”

”Tidak. Untukmu saja.”

”Aku tidak mau.”

”Kamu akan mau. Kalau tidak, saya lempar mangga ini ke laut!”

”Kamu memang pintar memaksa,” jawabku gemas. Kuambil seiris mangga itu dan memakannya sambil melancarkan sorot mata kesal bohongan. Tapi yang dilancari sorot mata keruh tak sedikit pun terpengaruh apalagi takut. Malah tersenyum penuh kemenangan.

Kuhitung laju detik telah sampai pada angka puluhan ribu dan selama itu kami menikmati suasana diam yang hangat dan bahagia. Inilah lukisan pertama yang akan menempati ruang pamer Galeri Valobashi.      

”Saya sudah dapat motornya?” suara Ahmed meretakkan suasana diam kami.

”Motor ...??”

”Ya. Di dekat hotel ada ojek motor. Saya bertemu anak muda baik hati yang mau sewakan motornya dengan diskon lima puluh persen. Bukankah itu bagus?”

Kali ini kujawab ia dengan anggukan, meski di hatiku terselip sedih yang datang dari masalah keuangan kami yang krusial benar. Tapi segera kuabaikan rayuan duka itu untuk secepatnya memberi senyum pada Ahmed meski sambil berpikir, entah bagaimana orang asing ini bisa mendapatkan diskon besar.

”Tahu tidak, pemuda itu asli Bali, tapi namanya seperti nama orang Amerika Selatan. Aneh! Hehehe ....” Kata Ahmed yang mengakhiri ceritanya dengan tawa ringan penuh heran.

”Oh, ya? Siapa namanya?”

”Pedro Jose Antonio,” jawab Ahmed sambil tersenyum tak habis pikir.

”Oh, ya? Unik juga?” 

Aku pun tersenyum geli sembari membiarkan bayangan wajah Pak Dio, yang juga memiliki darah Amerika Selatan, yang pernah singgah di hatiku lewat. Ahmed menjawabku dengan seulas senyum. Kemudian di antara kami kembali tak ada suara.

”Mungkin orang tuanya pernah berjumpa seorang baik hati bernama Pedro Jose Antonio, atau saat persalinan dibantu seorang dokter bernama Pedro Jose Antonia lalu nama itu dilekatkan pada anaknya sebagai memoria.”

Kusampaikan dugaan demi mengisi suasana diam yang kembali datang. Ahmed tak menjawab, hanya mengangguk untuk menyampaikan tanda persetujuan. 

”Kita akan ke Jimbaran dan Nusa Dua, Honey?” tanya Ahmed di antara senyum bahagia yang luapannya mendekam di setiap erat simpulnya. 

”Tentu,” jawabku sambil beranjak dan membereskan kain pantai.

Seulas senyum di balik hati yang terhampiri sesal mengembang. Sesal yang pelan tapi pasti muncul, saat kutersadar betapa besar ingin Ahmed berkendara bersamaku. 

Delapan bulan yang lalu, ia mengatakan ingin berkendara ke tempat yang sangat jauh berdua. Dini hari tadi, di tengah perjalanan dari Bandara International Ngurah Rai ke hotel pun dengan antusias Ahmed memintaku bertanya pada penjemput dari hotel, di mana kami bisa menyewa sepeda motor.

”Tapi kamu tidak punya International Driving Lisence, Ahmed,” cegahku.

”Di sini tidak punya SIM Internasional tidak masalah, Bu.” 

Penjemput hotel berusaha membantu Ahmed membunuh kecemasanku. Mendengar itu aku diam. Bukan saja karena enggan berbantahan, tapi masih masyuk menatap keindahan patung Satria Gatotkaca yang dibuat I Wayan Winten pada tahun 1993. Patung megah itu pun segera kupindahkan dari tengah-tengah simpang tiga di sebelah timur laut Bandara Internasional Ngurah Rai ke altar-pajang Galeri Teratai.

”Nanti kalau tertangkap polisi bagaimana?” tanyaku setelah membiarkan mereka lama terperangkap dalam diam.

”Ya ... itu sih apes. Tapi hal itu jarang sekali terjadi, Bu.”  

Bapak penjemput tak patah semangat meyakinkan. Tapi, terlalu cemas membuatku tak berani membiarkan Ahmed berurusan dengan polisi gara-gara SIM.

”Kita ke Jimbaran dan Nusa Dua naik taksi saja, Ahmed.”

Ahmed tak menjawab. Hatinya meminta tolong pada sorot mata keruh dan sikap diamnya untuk menjelaskan kalau keinginannya tak goyah oleh persoalan SIM Internasional yang tak dimiliki.

”Pakai helm-nya!” sambil menyodorkan sebuah helm butut dan bau, Ahmed membuyarkan ingatanku. Aku hanya menjawabnya dengan seberkas senyum. Dan senyum yang sama spontan kuberikan pada tukang parkir yang berkata lewat isyarat tangan pada Ahmed agar kekasihku tak perlu membayar uang parkir. Dengan dilingkari rasa senang kuperhatikan Ahmed dan Bapak Tukang Parkir yang berkomunikasi dengan bahasa senyum.

”Banyak orang Bali yang hidup dari industri pariwisata. Sebagian menghasilkan uang dari menyewakan motor. Polisi paham situasi ini. Jadi, mengendarai motor tanpa International Driving Lisence tak masalah di sini,” sambil tersenyum Ahmed memberi penjelasan yang ... hmm, masuk akal meski tak mendidik. Sebab Indonesia memang bukan sebuah negara dengan penduduk yang berdisiplin tinggi dalam berlalu lintas seperti di Jepang atau Afrika Selatan.

”Kita ke mana dulu?” tanya Ahmed sambil menghidupkan motor sewaan. 

”Ke Jimbaran dulu, dong. Kita kan mau dinner di sana.”

Wow. I will love it! Let’s go there, Honey!” seru Ahmed dengan mantap. Hatiku lalu diliputi angin yang mengangkut hanya satu muatan. Bahagia. Indahnya berkendara di sore yang sejuk dengan kekasih menambah koleksiku di Galeri Valobashi yang semakin marak.
*Bersambung


Catatan Kaki:
Jw : Bahasa Jawa
Bg  : Bahasa Bangla/Bengali (bahasa nasional Bangladesh)


  1. [Jw] Berjalan beriringan
  2. [Bg] Sayang
  3. [Bg] Badai tropis yang melanda Bangladesh 15~17 Nov 2007, menewaskan ribuan orang dan merusak lahan pertanian, rumah dll. (referensi: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:nglTd39aE7gJ:dennysitohang.wordpress.com/2007/11/17/badai-siklon-sapu-bangladesh-1100-tewas/+siklon+badai+sidr&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id)
  4. [Bg] Bodoh
  5. [Bg] Ibu
  6. [Bg] Nama salah satu distrik di Bangladesh
  7. [Jw] Ikut, patuh
  8. [Jw] Was-was
  9. [Bg] Apa kabar anda? 
  10. [Bg] Kabar saya sangat baik 
  11. [Bg] Apa kau tahu arti kata ‘ami tomake valobashi’?
  12. [Bg] Aku cinta kamu
  13. [Bg] Galeri Cinta
  14. [Bg] Nama salah satu jenis mangga di Bangladesh

No comments:

Post a Comment